Pengelolaan sumberdaya ikan kurisi (Nemipterus furcosus) berdasarkan model produksi surplus di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

(1)

i

PENGELOLAAN SUMBERDAYA

IKAN KURISI (

Nemipterus furcosus

) BERDASARKAN

MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN,

KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

ENDAH TRI SULISTIYAWATI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

iii

RINGKASAN

Endah Tri Sulistiyawati. C24070080. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Berdasarkan Model Produksi Surplus di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Di bawah bimbingan Mennofatria Boer dan Zairion.

Ikan kurisi merupakan ikan ekonomis penting karena biasa dimanfaatkan masyarakat dalam perdagangan sehari-hari dalam bentuk segar maupun olahan (ikan asin). Tingginya permintaan akan ikan kurisi menyebabkan eksploitasi meningkat. Berbagai carapun digunakan untuk mendapatkan ikan tersebut, seperti menggunakan alat tangkap yang merusak. Oleh karena itu, dalam menghadapi permasalahan tersebut terdapat beberapa cara yang cukup memadai untuk mengkaji stok ikan kurisi, yaitu melalui pendekatan pemodelan. Salah satu model yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan model produksi surplus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui model yang tepat dalam menduga hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dan tingkat upaya optimum secara biologi serta menentukan pola musim penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten agar pengelolaan ikan kurisi dapat secara berkelanjutan.

Analisis yang digunakan untuk menduga hasil tangkapan maksimum lestari dan tingkat upaya optimum dilakukan dengan menggunakan model Schaefer, Fox, Gulland, Pella dan Thomlinson, Walter dan Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley dengan membandingkan R2. Pola musim penangkapan dianalisis dengan menggunakan metode rata-rata bergerak.

Hasil analisis didapatkan bahwa nilai R2 pada model Schaefer, Fox, Gulland, Pella dan Thomlinson, Walter dan Hilborn, Schnute serta Clarke Yoshimoto Pooley masing-masing adalah 97.19%, 96.64%, 60.04%, 97.21%, 42.81%, 99.61% serta 99.15%. Berdasarkan nilai R2, model Schnute merupakan model produksi surplus terbaik untuk dasar pengelolaan perikanan kurisi di Teluk Banten. Hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dan tingkat upaya (effort) optimum secara biologi dari model Schnute adalah 157.8846 ton/tahun dan 1307 trip/tahun. Pola musim penangkapan ikan kurisi terjadi pada bulan Januari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, November dan Desember dengan nilai IMP lebih besar dari 100%. Implementasi kebijakan yang dilakukan dalam pengelolaan perikanan kurisi di Teluk Banten adalah pembatasan penangkapan baru, pengaturan upaya penangkapan dan jumlah tangkapan.


(3)

iv

PENGELOLAAN SUMBERDAYA

IKAN KURISI (

Nemipterus furcosus

)

BERDASARKAN

MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN,

KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

ENDAH TRI SULISTIYAWATI C24070080

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Berdasarkan Model Produksi Surplus di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

Adalah benar merupakan karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber informasi yang dikutip dari penulis dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks serta dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Endah Tri Sulistiyawati C24070080


(5)

v

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Berdasarkan Model Produksi Surplus di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

Nama Mahasiswa : Endah Tri Sulistiyawati Nomor Pokok : C24070080

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Tanggal lulus: 21 Juni 2011

Pembimbing II

Ir. Zairion, M.Sc NIP 19640703 199103 1 003 Pembimbing I

Prof. Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA NIP 19570928 198103 1 006

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002


(6)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat segala izin dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Berdasarkan Model Produksi Surplus di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan yang dimiliki penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Juli 2011


(7)

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA selaku dosen pembimbing I dan Ir. Zairion, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M.

Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan.

3. Ali Mashar, S.Pi, M.Si selaku pembimbing akademik atas saran, motivasi, dan nasehat yang diberikan selama penulis kuliah.

4. Pengelola PPN Karangantu atas izin dan bantuannya selama peneliti melaksanakan penelitian.

5. Keluarga tercinta : Bapak, Mama, Kakak (Retno dan Respati) dan Keponakan tersayang (Resya dan Nurin) atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian, kesabaran dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis selama ini. 6. Ade Satya Wahana, atas doa, dukungan, semangat dan perhatian selama ini

kepada penulis.

7. Teman seperjuangan penelitian dan sahabat terbaik (Nuralim Pasisingi) atas bantuan, semangat, dan dukungan selama kuliah hingga penyusunan skripsi. 8. Teman-teman MSP 44 : Ayu, Ade, Furry, Rini, Ipul, Austin dan teman-teman


(8)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 16 September 1989 dari pasangan Suwito dan Sri Maryatun. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN Cijawa, SMP Negeri 1 Serang, SMA Negeri 1 Serang. Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Metode Statistika (2009/2010 dan 2010/2011), Biologi Perikanan (2009/2010) dan (2010/2011), Pengkajian Stok Ikan (2010/2011) dan Ekotoksitologi Perairan (2010/2011). Penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan, seperti menjadi anggota Futsal Putri IPB, Anggota Departemen Kewirausahaan BEM FPIK, Kepala Divisi Kesekretariatan HIMASPER serta aktif mengikuti seminar maupun kepanitiaan di lingkungan kampus IPB.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi Nemipterus furcosus

Berdasarkan Model Produksi Surplus di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten”.


(9)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Ikan Kurisi (Nemipetrus furcosus) ... 4

2.1.1. Klasifikasi dan tatanama ... 4

2.1.2. Karakter morfologi ... 5

2.1.3. Biologi dan habitat ... 5

2.1.4 Distribusi ... 6

2.2. Alat Tangkap ... 7

2.3. Pengkajian Stok Ikan ... 7

2.4. Model Surplus Produksi ... 9

2.5. Model Schaefer (1954) ... 11

2.6. Model Gulland (1961) ... 14

2.7. Model Pella dan Tomlinson (1969) ... 15

2.8. Model Fox (1970) ... 17

2.9. Model Walter dan Hilborn (1976) ... 18

2.10. Model Schnute (1977) ... 19

2.11. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP)(1992) ... 21

2.12. Pola Musim Penangkapan Ikan ... 23

2.13. Pengelolaan Perikanan ... 23

2.14. Teluk Banten ... 25

3. METODE PENELITIAN ... ... 27

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

3.2. Pengumpulan data ... 27

3.3. Analisis Data ... 28

3.3.1. Standarisasi alat tangkap ... 28

3.2.2. Model Schaefer (1954) ... 28

3.3.3. Model Gulland (1961) ... 29

3.3.4. Model Pella dan Tomlinson (1969) ... 30

3.3.5. Model Fox (1970) ... 30

3.3.6. Model Walter dan Hilborn (1976) ... 31

3.3.7. Model Schnute (1977) ... 31


(10)

viii

3.3.9. Pola musim penangkapan ikan ... 32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1. Hasil ... 35

4.1.1. Kondisi perikanan kurisi di Teluk Banten ... 35

4.1.2. Hasil tangkapan ikan kurisi di Teluk Banten ... 36

4.1.3. Upaya penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten ... 36

4.1.4. Catch per unit effort (CPUE) ikan kurisi di Teluk Banten .... 37

4.1.5. Model Schaefer (1954) ... 38

4.1.6. Model Gulland (1961) ... 39

4.1.7. Model Pella dan Tomlinson (1969) ... 41

4.1.8. Model Fox (1970) ... 42

4.1.9. Model Walter dan Hilborn (1976) ... 43

4.1.10. Model Schnute (1977) ... 45

4.1.11. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP)(1992)... 47

4.1.12. Perbandingan model produksi surplus ... 48

4.1.13. Pola musim penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten ... 53

4.2. Pembahasan ... 54

4.2.1. Hasil tangkapan ikan kurisi di Teluk Banten ... 54

4.2.2. Upaya penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten ... 55

4.2.3. Catch per unit effort (CPUE) ikan kurisi di Teluk Banten ... 56

4.2.4. Model produksi surplus ... 57

4.2.5. Pola musim penangkapan ikan kurisi ... 59

4.2.6. Implementasi untuk pengelolaan perikanan kurisi ... 60

5. KESIMPULAN ... 61

5.1. Kesimpulan ... 61

5.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA... 62


(11)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Hasil tangkapan (ton) ikan kurisi di Teluk Banten 2005-2009 ... 3 2. Jumlah hasil tangkapan dalam ton, jumlah upaya penangkapan dalam

trip dan hasil per unit upaya untuk perikanan kurisi di Teluk Banten .... 39 3. Proporsi nilai CMSY dan FMSY berdasarkan nilai IMP terhadap jenis

alat tangkap lain yang digunakan pada model Schaefer ... 39 4. Jumlah hasil tangkapan (ton), jumlah upaya penangkapan (trip), CPUE

dan upaya rata-rata perikanan kurisi di Teluk Banten ... 40 5. Proporsi nilai CMSY dan FMSY berdasarkan nilai IMP terhadap jenis

alat tangkap lain yang digunakan pada model Gulland ... 40 6. Jumlah hasil tangkapan (ton), jumlah upaya penangkapan (trip), CPUE

dan upaya dengan m = 2.1 perikanan kurisi di Teluk Banten ... 41 7. Proporsi nilai CMSY dan FMSY berdasarkan nilai IMP terhadap jenis

alat tangkap lain yang digunakan pada model Pella dan Tomlinson ... 42 8. Jumlah hasil tangkapan dalam ton, jumlah upaya penangkapan dalam

trip, hasil per unit upaya dan ln hasil tangkapan per upaya untuk perikanan kurisi di Teluk Banten ... 42 9. Proporsi nilai CMSY dan FMSY berdasarkan nilai IMP terhadap jenis

alat tangkap lain yang digunakan pada model Fox ... 43 10. Jumlah hasil tangkapan, jumlah upaya penangkapan, CPUEt,

CPUEt+1 / CPUEt perikanan kurisi di Teluk Banten ... 44

11. Proporsi nilai CMSY dan FMSY berdasarkan nilai IMP terhadap jenis

alat tangkap lain yang digunakan pada model Walter dan Hilborn ... 45 12. Jumlah hasil tangkapan (ton), jumlah upaya penangkapan (trip), CPUE,

ln(Ut+1/Ut), (Ut+1+Ut)/2 dan (Et+1+Et)/2 perikanan kurisi di Teluk Banten 46

13. Proporsi nilai CMSY dan FMSY berdasarkan nilai IMP terhadap jenis

alat tangkap lain yang digunakan pada model Schnute ... 46 14. Jumlah hasil tangkapan (ton), jumlah upaya penangkapan (trip), CPUE,

ln(CPUEt+1), ln(CPUEt) dan Et+1+Et perikanan kurisi di Teluk Banten 48

15. Proporsi nilai CMSY dan FMSY berdasarkan nilai IMP terhadap jenis

alat tangkap lain yang digunakan pada model Clarke Yoshimoto Pooley 48 16. Perbandingan nilai koefisien determinasi, standar error, F dan VIF ... 53 17. Nilai indeks musim penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten ... 53


(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) ... 4

2. Peta penyebaran ikan kurisi ... 6

3. Tahapan dan tingkat kebijakan dalam pengelolaan perikanan... 25

4. Peta Teluk Banten ... 27

5. Hasil tangkapan perjenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu 35 6. Hasil tangkapan ikan kurisi di Teluk Banten ... 36

7. Upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten ... 37

8. CPUE tahunan ikan kurisi di Teluk Banten ... 37

9. Hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan ... 49

10. Hubungan CPUE dan upaya penangkapan ... 51

11. Perbandingan model produksi surplus dengan hasil tangkapan aktual .. 52


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data hasil tangkapan bulanan ikan kurisi (ton) ... 65

2. Upaya penangkapan (trip) bulanan per alat tangkap ... 66

3. Standarisasi alat tangkap ... 70

4. Pendugaan MSY dengan menggunakan Model Schaefer ... 72

5. Pendugaan MSY dengan menggunakan Model Gulland ... 73

6. Pendugaan MSY dengan menggunakan Model Pella dan Tomlinson ... 74

7. Pendugaan MSY dengan menggunakan Model Fox ... 75

8. Pendugaan MSY dengan menggunakan Model Walter dan Hilborn ... 76

9. Pendugaan MSY dengan menggunakan Model Schnute ... 78

10. Pendugaan MSY dengan menggunakan Model Clarke Yoshimoto Pooley 80 11. Pola musim penangkapan ikan kurisi ... 82

12. Model-model produksi surplus untuk menentukan potensi maksimum lestari ... 85


(14)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang memiliki nilai gizi yang tidak kalah pentingnya dari ikan pelagis. Ikan tersebut memiliki kandungan kolesterol yang rendah namun mengandung asam amino esensial yang bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. Selain itu, ikan tersebut juga merupakan ikan ekonomis penting karena biasa dimanfaatkan masyarakat dalam perdagangan sehari-hari dalam bentuk segar maupun olahan (ikan asin).

Tingginya manfaat dari ikan kurisi tersebut menyebabkan peningkatan permintaan akan ikan kurisi dan berakibat kepada peningkatan eksploitasi. Berbagai carapun digunakan untuk mendapatkan ikan tersebut, seperti menggunakan alat tangkap yang merusak. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan agar pemanfaatan ikan kurisi tersebut dilakukan tetap lestari dan berkelanjutan. Namun, permasalahan utama dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut adalah seberapa banyak ikan kurisi tersebut dapat diambil tanpa mengganggu keberadaan stok di alam. Oleh karena itu, dalam menghadapi permasalahan tersebut terdapat beberapa cara yang cukup memadai untuk mengkaji stok ikan kurisi, yaitu melalui pendekatan pemodelan.

Model merupakan sekumpulan pernyataan yang dirumuskan dengan baik yang dapat menggambarkan sistem yang kompleks dan memungkinkan adanya pernyataan-pernyataan yang tepat mengenai bagaimana komponen-komponen sistem tersebut berinteraksi. Suatu model dikatakan baik jika model tersebut sederhana secara matematika, beroperasi dengan sedikit parameter dan mudah dipahami, namun mengarah pada hasil-hasil yang sesuai dengan kenyataan yang harus digambarkan (Widodo 1987 in Tinungki 2005).

Model produksi surplus merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya. Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau hasil tangkapan yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya


(15)

penangkapan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model produksi surplus banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa model yang memiliki keunggulan dan kelemahan yang berbeda-beda sehingga dapat diketahui model mana yang cocok dalam menduga stok ikan kurisi. Penelitian tentang ikan kurisi yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai pendugaan potensi lestari maksimum ikan kurisi (Nemipterus spp.) di Perairan Timur Kalimantan Timur (Tarigan 1995) dan pendugaan stok dan parameter biologi ikan kurisi (Nemipterus japonicas) di Perairan Teluk Lampung (Siregar 1997).

1.2. Perumusan Masalah

Setiap sumberdaya yang berada dilaut adalah milik bersama (common property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open acces). Sifat dasar inilah yang memudahkan setiap pelaku usaha dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut keluar masuk. Mengingat sumberdaya ikan memiliki sifat yang terbatas dan dapat rusak maka perlu dikelola untuk menjamin bahwa sumberdaya dapat dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Kegiatan penangkapan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di Teluk Banten meningkat dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada jumlah nelayan yang semakin meningkat. Selain itu, ikan tersebut memiliki hasil tangkapan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi tersebut terlihat dari tingkat hasil tangkapan (ton) dari tahun 2005-2009 seperti disajikan dalam Tabel 1.


(16)

Tabel 1. Hasil tangkapan (ton) ikan kurisi di Teluk Banten pada tahun 2005-2009 Tahun Hasil tangkapan (ton) Nilai Hasil Tangkapan ( x Rp 1 000 )

2005 116.0940 324 136

2006 108.5990 380 086

2007 161.1070 568 035

2008 114.7170 808 662

2009 83.4090 726 970

Sumber : Ditjen-Tangkap –DKP (2010)

Penyebab terjadinya fluktuasi hasil tangkapan belum dapat teridentifikasi dengan pasti. Diduga, penyebabnya akibat penangkapan ikan yang berlebihan, penggunaan alat tangkap dengan jaring dogol yang mengakibatkan ikan kurisi banyak yang ikut tertangkap (Nuraini 2004). Selain itu, ikan kurisi juga merupakan ikan demersal yang memiliki laju pertumbuhan rendah (umur untuk mencapai dewasa lambat) dan kurang rentan terhadap pengaruh eksploitasi selama distribusinya tetap berada di dasar laut. Sebagai akibatnya bila intensitas penangkapan ditingkatkan maka pengaruh tekanannya cenderung meningkat pula (Aoyama 1973 in Siregar 1997). Permasalahan utama dalam analisis studi ini adalah belum tersedianya model produksi surplus yang tepat dalam menentukan tingkat upaya penangkapan yang optimal agar hasil yang didapatkan dapat lestari (MSY).

1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui model yang lebih tepat dalam menduga hasil tangkapan maksimum lestari dan tingkat upaya (effort) optimum secara biologi dan menentukan musim penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten agar pengelolaan ikan kurisi dapat secara berkelanjutan.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dari aspek biologi dalam merumuskan rencana pengelolaan ikan kurisi di Teluk Banten secara berkelanjutan.


(17)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Kurisi

2.1.1. Klasifikasi dan tata nama

Ikan kurisi (Gambar 1) menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (www.zipcodezoo.com 2010) :

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Subordo : Percoidei

Famili : Nemipteridae

Genus : Nemipterus

Spesies : Nemipterus furcosuss (Valenciennes, 1830) Nama Indonesia : Kurisi

Nama Internasional : Fork-tailed threadfin bream


(18)

2.1.2. Karakter morfologi

Ikan kurisi termasuk kedalam jenis ikan demersal. Hal ini dicirikan dengan bentuk mulut yang letaknya agak ke bawah dan adanya sungut yang terletak didagunya yang digunakan untuk meraba dalam usaha pencarian makanan (Burhanuddin et al 1994 in Siregar 1997). Ciri-ciri ikan kurisi menurut Fischer dan Whitehead (1974) in Siregar (1997) adalah berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulut terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas (kadang-kadang ada juga pada rahang bawah). Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Sisik dibagian badan lebih besar dan berbentuk seperti sisir dan kasar bila disentuh. Sebuah garis rusuk (linea lateral) dengan satu sisik atau lebih. Warna sangat bervariasi, seperti kemerah-merahan, kecoklat-coklatan, merah kekuningan ataupun kehijau-hiajuan.

Menurut Food and Agricultural Organization (1972) in Siregar (1997), ciri-ciri khusus dari ikan kurisi adalah panjang tubuh tidak termasuk flagel pada sirip ekor maksimum 32 cm dan umumnya 12-25 cm. Ikan jantan tumbuh lebih cepat menjadi besar dibandingkan dengan ikan betina. Kepala tanpa duri dan bagian anterior tanpa sisik. Sirip dorsal tunggal dengan 10 duri keras dan 9 duri lemah. Sirip ekor bagian atas memanjang membentuk flagel sedangkan pada sirip ekor bagian bawahnya tidak. Warna pada bagian atas kepala kecoklatan, satu sampai tiga garis kuning membujur diatas garis rusuk, 7 sampai 9 pada bagian bawah garis rusuk dan sebuah pita kuning sepanjang perut. Terdapat totol orange atau merah terang dekat pangkal garis rusuk (linea lateral). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau orange dengan satu pita kuning yang luas sepanjang dasar sirip dorsal.

2.1.3. Biologi dan habitat

Ikan kurisi termasuk karnivor. Hal ini terlihat dari susunan giginya yang tajam. Biasanya memakan organisme dasar, seperti cacing-cacing kecil, udang dan moluska (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005). Makanan ikan kurisi yang dominan adalah crustacea dan ikan. Komponen makanan yang lebih dominan pada perairan dangkal (10-30 m) adalah jenis udang (Crustacea), misalnya Metapenaeus, Parapenaeus dan Parapenaeosis. Pada peraiaran yang lebih dalam (30-50 m)


(19)

komponen makanan yang paling penting adalah ikan (Burhanuddin et al. 1984 in Siregar 1997).

Habitat ikan kurisi meliputi perairan estuari dan perairan laut. Tipe substrat sangat mempengaruhi kondisi kehidupan ikan kurisi untuk dapat berkembang dengan baik, karena sedimen dasar laut mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di dasar perairan. Kebanyakan ikan ini hidup di dasar laut dengan jenis substrat berlumpur atau lumpur bercampur pasir (Burhanuddin et al. 1984 in Siregar 1997). Hidup di dasar, karang-karang, dasar lumpur atau lumpur berpasir pada kedalaman 10-50 m (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005). Selain itu, ikan kurisi tidak melakukan migrasi dan biasanya hidup berasosiasi dengan karang (www.fishbase.org 2010 ).

2.1.4. Distribusi

Daerah penyebaran ikan kurisi hampir terdapat diseluruh perairan Indonesia, ke utara meliputi Teluk Siam dan Philipina (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005). Distribusi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di seluruh dunia disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta penyebaran ikan kurisi Sumber : http://www.fishbase.org (2010) ( = Konsentrari daerah penyebaran ikan kurisi)


(20)

2.2. Alat Tangkap Ikan Kurisi

Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik, payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl dan bubu (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005). Alat tangkap yang digunakan di Teluk Banten untuk menangkap ikan kurisi adalah dogol, payang, jaring insang, pancing, bagan dan jaring rampus. Dogol merupakan alat tangkap yang dominan menangkap ikan kurisi di Teluk Banten.

Dogol merupakan alat penangkap ikan berkantong tanpa alat pembukan mulut jaring (BPPI 2007 in Rachmawati 2008). Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), jaring dogol terdiri dari kantong, dua buah sayap, dua buah tali ris, tali selembar serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dan mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah ikan lari ke arah vertikal. Daerah penangkapan dogol di Teluk Banten di Utara Pulau Panjang yang memiliki dasar perairan pasir berlumpur pada kedalaman diatas 16 m. Jumlah awak buah kapal (ABK) setiap kapal berkisar 6-7 orang. Penangkapan ikan kurisi dilakukan pada siang hari, yaitu dari jam 07.00 wib hingga 17.00 WIB. Hasil tangkapan tergantung pada besarnya kapasitas perahu, biasanya dapat mencapai 150-300 kg per perahu/hari. Jaring dogol di Kabupaten Serang berasal dari Labuan (Nuraini 2004).

2.3. Pengkajian Stok ikan

Pendugaan stok merupakan kegiatan aplikasi ilmu statistika dan matematika pada sekelompok data untuk mengetahui suatu stok ikan secara kuantitatif demi kepentingan pendugaan stok ikan dan alternatif kebijakan ke depan. Pendugaan stok ikan di Indonesia dilakukan dengan beberapa metode, seperti yang dijelaskan di bawah ini :

1) Metode sensus atau transek digunakan untuk mengkaji stok ikan yang sifatnya tidak bergerak cepat, seperti ikan hias dan ikan karang

2) Metode swept area digunakan untuk menduga stok ikan dasar (demersal). Metode ini dilakukan dengan prinsip menyapu area perikanan dengan menggunakan alat tangkap trawl.


(21)

3) Metode akustik digunakan untuk menduga ikan pelagis maupun demersal. Prinsip kerja metode ini adalah menghitung potensi ikan dengan menggunakan alat yang dinamakan echosounder.

4) Metode produksi surplus digunakan untuk menduga ikan dengan memanfaatkan data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan

Pengkajian stok mencakup suatu estimasi tentang jumlah dan kelimpahan (abundance) dari sumberdaya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan serta sebab-sebab lainnya, dan mengenai berbagai tingkat laju penangkapan atau tingkat kelimpahan stok yang dapat menjaga dirinya dalam jangka panjang (Widodo & Suadi 2006).

Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam jumlah atau berat total individu. Baik jumlah maupun berat (biomassa) suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu, dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Densitas atau kelimpahan, umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu per satuan area atau per satuan upaya penangkapan. Satuan yang sering digunakan ialah hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit of effort/CPUE) dari suatu alat tangkap atau alat sampling tertentu (Widodo et al. 1998).

Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam hal lingkungan, proses rekrutmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, populasi organisme mangsa (prey), pemangsa (predator) atau pesaing (kompetitor). Selanjutnya perubahan ukuran stok, atau ukuran beberapa bagian tertentu dari stok dalam kurun waktu tertentu, dapat digunakan sebagai data statistik kasar untuk mengestimasi laju kematian atau laju kelangsungan hidup (survival rate) dari stok yang bersangkutan. Menurut Widodo & Suadi (2006), proses penipisan stok sering dibarengi dengan lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratakan, penurunan berat rata-rata ikan, perubahan dalam struktur umur populasi ikan (ukuran, umur), dan perubahan komposisi spesies ikan (ekologi perikanan). Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok


(22)

merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaan (Widodo et al. 1998).

2.4. Model Produksi Surplus

Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok secara jangka panjang, yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari. Model produksi surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies, hasil tangkapan per unit upaya per spesies atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999).

Model produksi surplus merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya. Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau hasil tangkapan yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya penangkapan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model produksi surplus banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies), hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal yang sulit ditentukan. Oleh sebab itu, penggunaan model ini


(23)

memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al. 1998).

Persyaratan untuk analisis model produksi surplus adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999):

1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif

2) Distribusi ikan menyebar merata

3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam

Asumsi yang digunakan dalam model produksi surplus menurut Sparre &Venema (1999) adalah :

1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, hasil tangkapan biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

2) Asumsi biologi

Alasan biologi yang mendukung model produksi surplus telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi hasil tangkapan berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen.

b.Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan.


(24)

c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi

3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap Pada model surplus hasil tangkapan diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

2.5. Model Schaefer (1954)

Model Schaefer (1954) merupakan pengembangan model produksi surplus yang awalnya dibangun oleh Graham (1935). Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai berkut : “Dimisalkan B menyatakan biomassa dari stok (ukuran berat dari populasi ikan dalam ton), dan r dapat dinyatakan sebagai laju pertumbuhan alami dari populasi dan dimisalkan K daya dukung lingkungan atau keseimbangan (equilibrium) alamiah dari ukuran stok. Ini didefinisikan sebagai tingkat stok maksimum dari perairan dan lingkungan yang dapat dukungan” (Tinungki 2005). Asumsi-asumsi yang digunakan pada model Schaefer adalah sebagai berikut : 1. Terdapat batas tertinggi dari biomassa, K

2. Laju petumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linier dari biomassa 3. Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition)

4. Kematian akibat penangkapan sebanding dengan upaya (f ) dan koefisien penangkapan (q)

5. Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum

Menurut Boer dan Aziz 1995 Model Schaefer memiliki bentuk awal yang sama dengan model pertumbuhan logistik, yaitu


(25)

Persamaan ini belum memperhitungkan pengaruh penangkapan, sehingga dapat dituliskan kembali, seperti :

= r B 1− −C (2)

sedangkan C adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

C = qf B (3)

dengan q sebagai koefisien ketertangkapan (catchability) dan ft menunjukkan upaya

tangkap. Persamaan terakhir ini jika ditulis menjadi :

= qB (4)

menunjukkan hipotesis Schaefer yang menyatakan bahwa Tangkapan per Upaya Tangkap (CPUE = Catch Per Unit of Effort) sebanding dengan kelimpahan stok Bt.

Oleh karena Bt tidak dapat diamati, maka pendekatan ini sangat penting dalam

pengkajian stok dengan asumsi dasar yang selalu dipertimbangkan bahwa :

 q tidak dapat / sulit diduga

 pendekatan kesebandingan antara CPUE dan B hanya berupa hipotesis sehingga hasilnya dapat bias.

Berdasarkan persamaan diferensial yang terakhir, tangkapan optimum dapat dihitung pada saat = 0 atau disebut juga penyelesaian pada titik keseimbangan yang berbentuk :

r B 1− −C = 0 (5)

atau

C = r B 1− = qf B (6)

Berdasarkan persamaan ruas tengah dan ruas kanan atas diatas, nilai Bt dapat


(26)

B = K 1− (7)

C = qf K 1− (8)

Persamaan terakhir ini disederhanakan lagi oleh Schaefer menjadi :

= a−bf (9)

sedangkan a = qK dan b = . Hubungan linier ini yang digunakan secara luas untuk menghitung dugaan MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap f dalam rangka menemukan solusi optimal, baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama C terhadap f adalah :

= a−2bf (10) sehingga diperoleh dugaan f (upaya tangkapan maksimal yang diperbolehkan) dan MSY (tangkapan yang diperbolehkan) masing-masing :

f = = (11)

dan

C = = (12)

Kelemahan dari model ini adalah mengandung dua parameter sehingga tidak dapat menduga tiga parameter biologi lain yang menyebabkan munculnya beberapa model-model hasil tangkapan surplus lain yang dapat menduga ketiga parameter tersebut (Tinungki 2005). Selain terdapat kelemahan, model Schaefer juga memiliki keunggulan, yaitu dapat digunakan dengan tidak bergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka menduga parameter-parameter dengan menggunakan metode analisis regresi sederhana dapat dilakukan.


(27)

2.6.Model Gulland (1961)

Gulland (1961) memberikan suatu metode untuk meneliti hubungan antara kondisi-kondisi stok pada saat ini dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Selain itu, metode Gulland pada prinsipnya mengatasi kehadiran upaya penangkapan sebagai peubah bebas pada kedua sumbu analisis regresi yang membuat penyimpanagan pada plot kearah suatu korelasi terbalik dengan mengganti upaya dengan rata-rata bergerak dari nilai yang diamati sebelumnya dan nilai saat ini.

Metode Gulland mengasumsikan bahwa terdapat suatu hubungan antara kelimpahan dan upaya masa lalu, bila rekruitmen yang mungkin dipengaruhi berasal dari ukuran penangkapan. Bila rekruitmen tetap stabil dengan berkembangnya penangkapan besar-besaran maka ukuran rata-rata individu yang tertangkap akan menurun. Sebaliknya, bila ukuran rata-rata ikan yang ditangkap tetap tidak dapat berubah sedangkan kelimpahan menurun, terdapat beberapa indikasi bahwa rekruitmen berpengaruh (Widodo 1987).

Gulland (1983) in Widodo (1987) secara umum menyatakan bahwa kebanyakan ikan dalam populasi yang dieksploitasi akan berada dalam periode yang jauh lebih pendek dari pada rentang hidup potensialnya. Rentang hidup rata-rata dalam perikanan dari setengah hingga sepertiga dari rentang hidup potensial merupakan perkiraan yang lebih masuk akal dan rata-rata dari upaya penangkapan masa lalu yang ditentukan dalam periode itu. Misalnya, Gulland (1961) menggunakan rata-rata dari upaya penangkapan 3 tahun berturut-turut, sebelum salah satu dari yang ada untuk ikan cod Islandia dan plaice didasarkan pada fakta bahwa sekitar 7 kelas tahun memberikan kontribusi yang berharga untuk perikanan. Ricker (1975) menunjukkan bahwa sebenarnya tidaklah penting untuk mendefinisikan periode terbaik secara tepat, karena upaya penangkapan di tahun-tahun yang berdekatan dengannya, pada umumnya cenderung berubah dengan perlahan (Widodo 1987).

Hubungan yang diperoleh antara U dan upaya rata-rata bergerak ( ) kadang-kadang lurus, kadang-kadang melengkung. Gulland (1961) in (Widodo 1987) menyatakan bahwa perikanan dalam keadaan tetap, linenya akan sangat dekat dengan hubungan antara U sebagai indeks dari kelimpahan relatif dan upaya penangkapan. Hubungan linier metode Gulland dapat dinyatakan sebagai :


(28)

U = a + bf (13) f , adalah upaya rata-rata yang digunakan terhadap t tahun sebelumnya dan termasuk tahun ke-t yang merupakan rentang hidup rata-rata individu dalam stok yang dieksploitasi. adalah perkiraan untuk , adalah perkiraan untuk dan adalah perkiraan untuk hasil equilibrium maksimum (MSY). Gulland (1961) menemukan suatu hubungan kurva-linier, yaitu hubungan eksponential antara CPUE dan upaya penangkapan, bukan bentuk linier.

2.7. Model Pella dan Tomlimson (1969)

Model Pella dan Tomlimson dapat digunakan dalam menduga parameter-parameter (r, K, q dan m) dan berbagai pengulangan. Keistimewaan dari model ini adalah serupa dengan model Schaefer namun dengan sedikit modifikasi. Model Pella dan Tomlimson dapat dituliskan sebagai :

(14)

di mana m > 1 adalah ukuran parameter tambahan. Jika m = 2 maka model ini sama dengan model Schaefer. Pengenalan parameter m tidak hanya merubah kecekungan dari fungsi produksi tetapi juga hubungan produksi tiap kemiringan sebelah kanan (bilamana m>2) atau kiri (bilamana m<2). Hal inilah yang membedakan dengan model Schaefer dimana kurva produksi surplusnya simetris sempurna dalam hubungannya dengan ukuran stok, dari 0 sampai K.

Hasil equilibrium sebagai suatu fungsi dari biomassa dalam model Graham-Schaefer dapat dinyatakan sebagai :

(15)

Pada bentuk yang lebih umum, Pella dan Tomlimson (1969) menyatakan bahwa eksponen 2 pada persamaan (15) jika digantikan oleh peubah m (Ricker 1975), akan menjadi :


(29)

(16) Bentuk asli model Pella dan Tomlimson (1969) dinyatakan sebagai :

(17)

di mana

dan

Model Pella dan Tomlimson sebagaimana didefinisikan pada persamaan (17) memberikan hasil bahwa atau MSY dapat menyertai setiap nilai , yang dibatasi dengan sebagaimana halnya dengan model Graham-Schaefer. Bila m = 2, kita telah mendapatkan model Graham Schaefer, yaitu plot hasil pada biomassa dengan parabola simetris. Bila m<2, kurva akan membentuk parabola asimetris dengan maksimum dipindahkan ke arah asalnya. Bila m>2 maksimum dari kurva asimetris dipindahkan dari asalnya (Widodo 1986 in Tinungki 2005). Dengan kata lain, memplotkan baik hasil dari biomassa ataupun hasil dan upaya penangkapan akan menghasilkan parabola, dengan maksimumnya bergantung pada nilai m. Garis kiri adalah lebih curam daripada yang kanan bila m<2, garis kiri adalah kurang curam bila m>2 dan akhirnya parabola adalah simetris bila m=2.

MSY dan Upaya optimum akan ditetapkan dalam kaitannya dengan K. Hal tersebut menyebabkan bahwa model Pella dan Tomlimson adalah fungsi regenerasi biomassa yang dapat mengasumsikan berbagai bentuk, namun bukan semua bentuk yang mungkin dengan mempertimbangkan, misalnya ukuran stok aktif minimum dan kendala-kendala internal lain pada nilai-nilai parameter (Pitcher dan Hart 1982 in Tinungki 2005).

Pada kondisi equilibrium persamaan Pella dan Tomlimson dapat terlihat sebagai berikut :

, (m=2 merupakan model Schaefer) Untuk m=3 


(30)

Untuk m=4  (18) dan seterusnya untuk berbagai nilai m.

2.8. Model Fox (1970)

Model Fox (1970) memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan model Graham-Schaefer. Pada model Schaefer, populasi ikan dianggap memiliki laju pertumbuhan intrinsik. Padahal, tidak semua populasi ikan memiliki laju pertumbuhan intrinsik yang mengikuti model linier. Tentu saja model Schaefer tidak berlaku untuk menduga MSY dari populasi ikan tersebut. Oleh karena itu, Fox (1970) mengajukan model alternatif untuk populasi ikan yang pertumbuhannya intrinsik mengikuti model logaritmik. Asumsi-asumsi model eksponensial Fox (FAO 1984 in Tinungki 2005), yaitu populasi dianggap tidak akan punah dan populasi sebagai jumlah dari individu ikan.

(19)

Model ini, yang selanjutnya dikenal sebagai Model Fox menghasilkan garis lengkung bila secara langsung diplotkan terhadap upaya , akan tetapi bila diplotkan dalam bentuk logaritma terhadap upaya maka akan menghasilkan garis lurus. Adapun perumusannya dapat dituliskan sebagai berikut :

(20)

Persamaan ini menghasilkan (upaya tangkapan maksimal yang diperbolehkan) dan MSY (tangkapan yang diperbolehkan) masing-masing :

(21)

dan


(31)

Besarnya parameter a dan b secara matematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan regresi . Rumus-rumus untuk model produksi surplus ini hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan jumlah effort akan menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai slope (b) positif, maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maupun besarnya effort minimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort masih menambah hasil tangkapan (Tinungki 2005).

2.9. Model Walter dan Hilborn (1976)

Model Walter dan Hilborn dikenal sebagai suatu model yang berbeda dari model Schaefer. Perbedaannya adalah pada model Walter dan Hilborn dapat memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q dan K dari tiga koefisien regresi. Berikut adalah persamaan Walter dan Hilborn :

(23)

Prosedur bagi model Walter dan Hilborn adalah sebagai berikut : , jika

Maka diperoleh

yang menyatakan CPUE (Catch per unit of effort)

Persamaan model produksi surplus dapat diformulasikan kembali sebagai berikut :

(24)

Penyusunan kembali persamaan diatas dengan memindahkan ke sisi kiri dan mengalikan persamaan dengan sehingga diperoleh persamaan model Walter dan Hilborn sebagai berikut :


(32)

Persamaan diatas adalah suatu regresi linier dalam peubah tidak bebas yang merupakan laju perubahan biomassa dan puebah bebas merupakan dan upaya penangkapan. Secara umum persamaan regresi di atas dapat dituliskan sebagai :

(26)

di mana :

adalah error dari persamaan regresi. Error ini diasumsikan mempunyai rataan nol dan ragam konstan, sehingga regresi OLS dapat digunakan (Fauzi 1998 in Tinungki 2005).

2.10. Model Schnute (1977)

Metode Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskret (Roff 1983 in Tinungki 2005). Dasar dari model Schnute adalah transformasi persamaan dinamik sehingga diperoleh :

(27)

di mana : , sehingga :

(28)

(29)

Jika persamaan (29) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh :

(30)

di mana : dan

Persamaan (30), selanjutnya disederhanakan, dimana dan adalah rata-rata CPUE dan rata-rata-rata-rata upaya penangkapan pertahun. Ini memberikan persamaan :


(33)

(31)

Schnute (1977) mencatat bahwa meskipun kekhasan data perikanan mengandung dan , nilai variable , yang meliputi nilai seketika dimulai pada tiap-tiap tahun, biasanya tidak diketahui. Jika rata-rata CPUE tiap tahun mendekati rata-rata geometrik dari nilai yang dimulai pada awal dan akhir tahun, yaitu . Dengan asumsi ini, penjumlahan pada persamaan (31) untuk tahun ke t+1 di bagi 2, akhirnya beberapa manipulasi aljabar, persamaan (31) dimodifikasi, sehingga diperoleh :

(32)

Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter biologi dengan menggambarkan OLS, dimana :

(33)

(34)

(35)

Keuntungan model Schnute, disamping teori lebih masuk akal, model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan adalah bahwa data catch dan effort yang nilainya dimulai dari periode (tahun) yang dapat digunakan untuk memprediksi catch dan effort tahun yang akan datang dari data yang lalu. Biarpun keadaan yang merugikan, Schnute mancatat kelihatannya bentuk terdapat pada kedua sisi persamaan itu tidak jelas apakah digunakan untuk ln atau sebagai peubah tak bebas dari regresi. Sebagai suatu hasil regresi yang terbaik dan tepat tidak mungkin didapatkan dari model ini (Fauzi 1998 in Tinungki 2005).


(34)

Schnute menunjukkan bahwa harus merupakan aksioma, bukan . Namun, akan berarti hanya bila sedangkan akan berarti . Dari dapat disimpulkan bahwa CPUE, secara umum bukanlah nol bahkan bila upaya itu sendiri adalah nol. Karenanya,

menyatakan bahwa interpretasi yang benar untuk , adalah untuk menyatakan sebagai CPUE potensial, yaitu potensi ini diaktualisasikan hanya bila penangkapan terjadi yaitu bila (Tinungki 2005). .

2.11. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992)

Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) atau lebih dikenal dengan model CYP dapat mengestimasi parameter biologi, seperti r (laju pertumbuhan alami/intrinsik), q (koefisien kemampuan penangkapan) dan K (daya dukung lingkungan). Model CYP dapat dinyatakan sebagai berikut (Persamaan 36) :

(36) di mana :

dan ft adalah upaya penangkapan.

Persamaan (36) diatas dapat ditulis dalam bentuk persamaan (37) :

(37) Persamaan ini dalam menduga parameter-parameter menggunakan OLS (Ordinary Least Square). Dengan meregresikan tangkapan per unit upaya yang disimbolkan dengan pada periode t+1 dan pada periode t serta penjumlahan input pada periode t dan t+1, sehingga diperoleh parameter r, q dan K secara terpisah.


(35)

Namun dalam menghitung parameter r, q dan K adakan didapat kesulitan sehingga dibuat Algoritma (Fauzi 2002 in Tinungki et al. 2004) sebagai berikut : 1. Koefisien regresi b yang diperoleh dari persamaan (37) digunakan dalam

menghitung r yaitu

(38)

2. Koefisien regresi c yang diperoleh dari persamaan (37) dan nilai r yang diperoleh dari persamaan (38) digunakan dalam menghitung q yaitu :

(39)

3. Koefisien regresi a yang diperoleh dari persamaan (37) dan nilai q yang diperoleh dari persamaan (39) digunakan dalam mencari nilai Q untuk digunakan dalam menghitung nilai K yaitu :

(40)

4. Nilai q yang diperoleh dari persamaan (39) dan nilai Q yang diperoleh dari persamaan (40) digunakan dalam menghitung nilai K yaitu

(41)

MSY dapat diduga dengan

(42)

Sedangkan upaya optimum dapat diduga dengan


(36)

2.12. Pola Musim Penangkapan Ikan

Nontji (1987) in Gunawan (2004) menyatakan bahwa pola musim yang berlangsung di suatu perairan dipengaruhi oleh pola arus serta terjadi interaksi yang cukup erat antara udara dan laut. Perubahan cuaca yang mempengaruhi kondisi laut antara lain : angin yang dapat menentukan terjadinya gelombang dan arus permukaan air laut serta curah hujan yang dapat menentukan kadar salinitas air laut.

Berdasarkan arah utama angin yang bertiup ke suatu daerah, dikenal istilah musim barat dan musim timur. Di Indonesia dikenal adanya empat musim yang mempengaruhi kegiatan penangkapan, yaitu musim barat, musim timur, musim peralihan awal tahun dan musim peralihan akhir tahun kedua. Musim timur terjadi pada bulan Mei – September dan musim barat pada bulan November – Maret sedangkan pada bulan April dan Oktober mengalami musim peralihan. Selama bulan Maret, angin yang bertiup adalah angin barat tetapi kecepatannya telah berkurang. Memasuki bulan April, arah angin sudah tidak menentu dan pada periode inilah dikenal musim peralihan atau pancaroba awal tahun. Siklus ini berlangsung kembali ketika memasuki bulan Oktober, periode ini dikenal sebagai musim pancaroba akhir tahun (Djufri 2002 in Gunawan 2004).

2.13. Pengelolaan Perikanan

Menurut FAO (1997) in Widodo & Suadi (2006), pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo & Suadi 2006).

Secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu biologi, ekologi, ekonomi dan sosial, dimana tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Sedangkan tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengkayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial


(37)

nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo 2002).

Menurut Boer dan Aziz (2007) bahwa pengelolaan perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa serta mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan. Selain itu, pengelola perikanan memiliki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang umum digunakan dalam studi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pendekatan struktural atau analitik yaitu pendekatan dengan cara menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut. Komponen-komponen tersebut adalah penambahan, pertumbuhan dan mortalitas.

Pendekatan struktural cukup ideal saat ini dan juga termahal serta membutuhkan waktu yang cukup lama, dimana untuk dapat memahami setiap komponen diperlukan penelitian khusus yang beragam, mulai dari aspek biologi hingga aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu studi. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan global yang menjelaskan sistem sumberdaya perikanan tanpa memperhatikan komponen yang membentuknya, melainkan berdasarkan data maupun informasi yang paling mudah dikumpulkan, seperti data tangkapan, upaya tangkap, hasil tangkapan dan nilai hasil tangkapan serta informasi lain yang diperoleh melalui sistem pelaporan kegiatan armada perikanan di pelabuhan, tempat pelelangan ikan atau tempat lain yang telah ditentukan (Boer dan Aziz 2007).

Menurut Widodo dan Suadi (2006), model pengelolaan perikanan pertama kali disusun dengan berbasis pada data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Model yang dibangun dari data tersebut dikenal sebagai model hasil tangkapan lestari atau yang lebih dikenal sebagai model maximum sustainable yield (MSY). Model MSY memusatkan perhatiannya pada keperluan untuk membatasi aktivitas penangkapan agar dapat meningkatkan hasil tangkapan jangka panjang yang mengarah kepada keadaan yang lestari, berlangsung terus-menerus dan rasional

Semua kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan harus ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut : Pada tahap awal, kebijakan harus ditujukan terutama untuk mendorong perkembangan perikanan. Kemudian setelah batas kemampuan (potensi, daya dukung) dari stok ikan telah tercapai, laju perkembangan harus mulai dikurangi. Selanjutnya, semua kebijakan akan lebih bersifat sebagai usaha


(38)

pembatasan. Dalam bentuk model yang sederhana, tahapan dan sifat kebijakan yang diperlukan disajikan pada Gambar 3 (Widodo & Suadi 2006).

Gambar 3. Tahapan dan tingkat kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan

Menurut Nikijuluw (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti :

(1) Pembatasan alat tangkap ikan (2) Penutupan daerah penangkapan ikan (3) Penutupan musim penangkapan ikan

(4) Pemberdayaan kuota penangkapan ikan yang dialokasikan menurut alat tangkap, kelompok nelayan, atau daerah penangkapan ikan

(5) Pembatasan ukuran ikan yang menjadi sasaran operasi penangkapan (6) Penetapan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap kapal.

2.14. Teluk Banten

Perairan Teluk Banten secara geografis terletak pada 05o54’30” – 06o04’00” LS dan 106o04’00” – 106 o15’00” BT (Resmiati et al. 2002). Teluk Banten merupakan perairan yang dangkal dengan luas sekitar 150 km2. Pada kawasan ini terdapat beberapa pulau kecil, seperti Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau


(39)

Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Pisang, Pulau Dua, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul dan Pulau Lima (Tiwi 2004).

Perairan Teluk Banten dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat merupakan musim hujan, pada bulan Desember hingga Februari dengan curah hujan tertinggi. Musim timur merupakan musim kemarau. Musim penangkapan ikan di sini pada musim timur (Nuraini 2004). Hal ini dikarenakan pada bulan-bulan tersebut terjadi kenaikan hasil tangkapan dibandingkan dengan bulan lainnya, tetapi kadang mengalami pergeseran (Ditjen Tangkap-DKP 2011).

Secara keseluruhan, perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa yang termasuk dalam WPP712. Suhu air berkisar antara 28-31,5oC dengan rata-rata 29,5oC. Salinitas didaerah penangkapan ikan sekitar 28-33,8 ppm dengan salinitas terendah kurang dari 20 ppm yang terjadi pada musim hujan (Januari-Februari) di perairan dekat muara sungai. Kecerahan disekitar pulau karang di tengah Teluk Banten hingga Pulau Panjang bervariasi berkisar antara 2-10 m. Kecerahan pada musim hujan di kawasan pantai dapatmencapai 10 cm (Nuraini 2004). Kedalaman perairan antara 2-13 meter, tetapi pada bagian mulut Teluk dapat mencapai 20 meter (Mohamad 2006).


(40)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu yang terletak di Kabupaten Serang, Provinsi Banten (Gambar 4). Pengambilan data yang dilakukan adalah pengambilan data sekunder yang dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2011.

KOTA CILEGON SERANG 106°15'0"E 106°15'0"E 106°10'0"E 106°10'0"E 106°5'0"E 106°5'0"E 5 °5 0 '0 "S 5 °5 0 '0 "S 5 °5 5 '0 "S 5 °5 5 '0 "S 6 °0 '0 "S 6 °0 '0 "S 107°0'0"E 107°0'0"E 106°0'0"E 106°0'0"E 105°0'0"E 105°0'0"E 6 °0 '0 "S 6 °0 '0 "S

PETA LOKASI PENELITIAN

©

3 1.5 0 3 6 9 12

km Skala 1:250.000 LEGENDA DAERAH PENANGKAPAN SUNGAI JALAN DARAT LAUT

- PETA ADMINISTRASI BAKOSURTANAL TAHUN 2006

- SURVEI LAPANG 2010

SUMBER DATA :

TAHUN PEMBUATAN : 2011

Gambar 4. Peta Teluk Banten

3.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan melalui pengumpulan data sekunder yang meliputi data hasil tangkapan hasil tangkapan ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu dan upaya penangkapan (kapal perikanan, alat tangkap dan jumlah nelayan) serta keadaan umum Teluk Banten. Selain itu, dilakukan wawancara kepada nelayan yang menangkap ikan kurisi di Teluk Banten sebagai data pendukung untuk mengetahui kegiatan penangkapan ikan kurisi. Proses wawancara terhadap nelayan ikan kurisi dilakukan setelah nelayan selesai mendaratkan hasil tangkapan. Pemilihan responden nelayan dilakukan secara acak.


(41)

3.3. Analisis Data

3.3.1. Standarisasi alat tangkap

Standarisasi dilakukan karena alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap target sumberdaya perikanan beragam, sehingga sangat dimungkinkan satu spesies ikan tertangkap oleh dua alat tangkap yang berbeda atau lebih. Alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap yang memiliki produktivitas tinggi (dominan) dalam menangkap sumberdaya perikanan yang menjadi objek penelitian atau memiliki nilai rata-rata CPUE terbesar pada suatu periode waktu dan memiliki nilai faktor daya tangkap sama dengan satu.

Standarisasi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut (Prasetya 2010) :

1. Upaya dan hasil tangkapan dihitung masing-masing hingga tahun ke-i, di mana i = 1, 2, 3, ….., n

2. CPUE dihitung untuk masing-masing upaya.

3. Total upaya yang terbesar dari beberapa jenis upaya dipilih sebagai standar dalam menghitung Fishing Power Indeks (FPI).

4. Jika upaya yang diperoleh terbesar misalnya alat tangkap dogol, maka FPI dogol adalah 1 dan FPI payang adalah , demikian pula sebaliknya

5. Upaya standar dihitung melalui persamaan sebagai berikut :

Upaya standar = (Upaya dogol tahun ke-i x FPI dogol) + (Upaya payang tahun ke-i x FPI payang) + (Upaya jarring insang tahun ke-I x FPI jarring insang) dst

3.3.2. Model Schaefer (1954)

Persamaan umum yang digunakan dalam model Schaefer adalah sebagai berikut :

(44)

Penentuan tingkat upaya penangkapan optimum dan hasil tangakapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in Boer dan Aziz (1995) dapat diketahui melalui persamaan berikut :


(42)

1) Upaya penangkapan optimum dapat diperoleh melalui persamaan :

(45)

2) Maximum sustainable yield (MSY) atau hasil tangkapan maksimum lestari dapat diperoleh melalui persamaan :

(46)

Hubungan yang digunakan untuk menghitung CPUE adalah sebagai berikut :

(47)

adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit), catch adalah hasil tangkapan pertahun (ton) dan effort adalah upaya penangkapan per tahun (unit).

3.3.3. Model Gulland (1961)

Persamaan umum yang digunakan dalam model Gulland (1961) adalah sebagai berikut :

(48)

, adalah upaya rata-rata yang digunakan terhadap t tahun sebelumnya dan termasuk tahun ke-i yang merupakan rentang hidup rata-rata individu dalam stok yang dieksploitasi. adalah perkiraan untuk , adalah perkiraan untuk .

Pada model Gulland (1961) nilai dan dapat diduga dengan menggunakan rumus masing-masing sebagai berikut :

(49)


(43)

3.3.4. Model Pella dan Tomlinson (1969)

Persamaan umum yang digunakan dalam model Pella dan Tomlinson (1969) adalah sebagai berikut :

(51)

Pada model Pella dan Tomlinson (1969) nilai dan dapat diduga dengan menggunakan rumus masing-masing sebagai berikut :

(52)

(53)

3.3.5. Model Fox (1970)

Model kedua yang digunakan dalam model produksi surplus adalah model alternatif yang diperkenalkan Fox (1970). Persamaan umum model Fox adalah sebagai berikut :

(54)

Penentuan tingkat upaya penangkapan optimum dan hasil tangakapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Fox (1970) in Boer dan Aziz (1995) dan sebagai berikut:

1) Upaya penangkapan optimum dapat diperoleh melalui persamaan : (55)

2) Maximum sustainable yield (MSY) atau hasil tangkapan maksimum lestari dapat diperoleh melalui persamaan :


(44)

3.3.6. Model Walter dan Hilborn (1976)

Secara umum persamaan Walter dan Hilborn (1976) dapat dituliskan sebagai berikut :

(57)

Di mana :

adalah error dari persamaan regresi. Error ini diasumsikan mempunyai rataan nol dan ragam konstan, sehingga regresi OLS dapat digunakan (Fauzi 1998 in Tinungki 2005).

Nilai dapat diduga dengan

(58)

Sedangkan upaya optimum dapat diduga dengan

(59)

3.3.7. Model Schnute (1977)

Berikut ini adalah persamaan model Schnute yang telah dimanipulasi dan dimodifikasi dari model Schaefer sehingga memperoleh :

(60)

Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter biologi dengan menggambarkan OLS, dimana :

(61)

(62)


(45)

di mana

Pada model Schnute (1977) nilai dan dapat diduga dengan menggunakan rumus masing-masing sebagai berikut :

(64)

(65)

3.3.8. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992)

Parameter yang diduga CYP adalah r (laju pertumbuhan alami/intrinsik), q (koefisien kemampuan penangkapan) dan K (daya dukung lingkungan yang dirumuskan sebagai :

(66)

Sedangkan , , dan

Nilai MSY dapat diduga dengan

(67)

Sedangkan upaya optimum dapat diduga dengan

(68)

3.3.9. Pola musim penangkapan ikan

Perhitungan pola musim penangkapan menggunakan data CPUE bulanan, namun karena data CPUE yang diperoleh di lapangan memiliki peluang yang tidak sama besar dengan distribusi normal maka metode rata-rata bergerak digunakan agar data yang diperoleh mendekati keadaan sebenarnya. Pola musim penangkapan ikan kurisi dapat dihitung menggunakan analisis deret waktu terhadap data hasil tangkapan. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut :


(46)

1. Menyusun deret CPUE dalam periode kurun waktu tertentu :

(69)

CPUEi adalah CPUE urutan ke-i, ni adalah CPUE urutan ke-i dan I

adalah 1,2,3,……dst.

2. Menyusun rata-rata bergerak CPUE selama 12 bulan (RGi)

RGi adalah rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i, CPUEi adalah CPUE

urutan ke-i dan I adalah 7, 8, 9,.., n-5.

3. Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGPi)

RGPi adalah rata-rata bergerak CPUE terpusat ke-i, RGi adalah rata-rata

bergerak 12 bulan urutan ke-I dan I adalah 7, 8, 9, ……….., n-5. 4. Rasio rata-rata tiap bulan (Rb)

(72)

Rbi adalah asio rata-rata bulan urutan ke-i, CPUEi adalah CPUE urutan

ke-I dan RGPi adalah rata-rata bergerak CPUE terpusat urutan ke-i.

5. Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matrik berukuran i x j yang disusun untuk setiap bulan, yang dimulai dari bulan Juli-Juni. Selanjutnya menghitung nilai total rasio rata-rata tiap bulan (RBBi) dengan menggunakan rumus :


(47)

RBBi adalah rata-rata dari Rbij untuk bulan ke-i, Rbij adalah rasio

rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j, i adalah 1, 2, 3, …….., 12 dan j adalah 1, 2, 3, ……... n.

6. Menghitung jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB)

JRBBi adalah jumlah rasio rata-rata bulanan, RBBi adalah rata-rata RBij

untuk bulan ke-i dan I adalah 1, 2, 3, …….., 12. 7. Indeks Musim Penangkapan (IMP)

Idealnya jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) sama dengan 1200. Namun banyak faktor yang menyebabkan sehingga JRBB tidak selalu sama dengan 1200. Oleh karena itu, nilai rasio rata-rata bulanan haruis dikoreksi dengan suatu nilai koreksi yang disebut dengan nilai Faktor Koreksi (FK). Rumus untuk memperoleh nilai Faktor Koreksi :

(75)

FK adalah nilai faktor koreksi dan JRBB adalah jumlah rasio rata-rata bulanan.

Indeks Musim Penangkapan (IMP) dihitung dengan menggunakan rumus :

(76)

IMPi adalah Indeks musim penangkapan bulan ke-I, RBBi adalah rasio

rata-rata untuk bulan ke-I, FK adalah nilai faktor koreksi dan I adalah1, 2, 3,…12.

Kriteria Indeks Musim Penangkapan (IMP) : IMP < 50 % : Musim paceklik

50 % < IMP < 100 % : Bukan musim penangkapan IMP > 100 % : Musim penangkapan


(48)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi perikanan kurisi di Teluk Banten

Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan adalah dogol, bagan, jaring insang, payang dan lain-lain. Kapal yang digunakan umunya 6 GT. Hasil tangkapan utama nelayan di Teluk Banten berupa ikan pepetek, cumi-cumi, kuniran, kembung, kurisi dan lain-lain. Berikut ini disajikan gambar hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu (Ditjen-Tangkap (DKP 2010))

Ikan kurisi di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu sebagian besar ditangkap dengan menggunakan alat tangkap dogol. Pengoperasian alat tangkap ini dengan menggunakan alat bantun mesin garden.. Daerah penangkapannya di utara Pulau Panjang yang memiliki dasar pantai pasir berlumpur dengan kedalaman di atas 16 m. Ikan kurisi akan didistribusikan ke daerah Serang, Cilegon, Tangerang dan Jakarta dalam bentuk segar maupun olahan (ikan asin).


(49)

4.1.2. Hasil tangkapan ikan kurisi di Teluk Banten

Penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat terlihat dari gambar grafik dibawah ini (Gambar 6).

Gambar 6. Grafik Hasil tangkapan (ton) Perikanan Kurisi di Teluk Banten Tahun 2005-2009 (Ditjen-Tangkap DKP 2010)

Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebanyak 161,1070 ton. Hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2009 sebanyak 83,4090 ton.

4.1.3. Upaya penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten

Upaya penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten didapatkan dari standarisasi data jumlah trip alat tangkap dogol, payang, bagan tancap, bagan apung, sero, jaring rampus dan gillnet dari tahun 2005-2009. Berikut ini adalah grafik upaya penangkapan ikan kurisi di Teluk banten (Gambar 7).


(50)

Gambar 7. Grafik Upaya Penangkapan (trip) Perikanan Kurisi di Teluk Banten Tahun 2005-2009 (Ditjen-Tangkap DKP 2010)

Pada Gambar 7, terlihat upaya penangkapan perikanan kurisi di Teluk Banten tahun 2005-2009 berfluktuasi. Upaya tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebanyak 2347 trip sedangkan upaya terendah terjadi pada tahun 2006 sebanyak 636 trip.

4.1.4. Tangkapan per satuan upaya (TPSU) ikan kurisi

Tangkapan per satuan upaya (TPSU) atau Catch per unit effort (CPUE) diperoleh dengan cara membagi hasil tangkapan ikan kurisi dengan upaya penangkapannya. Hasil tangkapan dalam jumlah ton sedangkan upaya penangkapan dalam jumlah trip. Grafik TPSU ikan kurisi dari tahun 2000-2010 disajikan pada Gambar 8.


(51)

Berdasarkan Gambar 8, dapat dilihat bahwa nilai CPUE tertinggi terdapat pada tahun 2006 sebesar 0.17 ton/trip. Sedangkan nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 0.04 ton/trip. Hal tersebut menunjukkan bahwa produktivitas dari upaya penangkapan terbaik pada tahun 2005-2009 adalah pada tahun tahun 2006.

4.1.5. Model Schaefer (1954)

Hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) dan tingkat upaya optimum dapat diperoleh dari hubungan parabola antara hasil ekuilibrium dan upaya penangkapan optimum. Hasil tangkapan (kolom 3) dan upaya penangkapan (kolom 2) untuk setiap tahunnya dapat terlihat dari tabel 2. Ut (kolom

4) adalah hasil tangkapan dibagi dengan upaya penangkapan.

Dengan meregresikan antara Ut (kolom 4) dan upaya penangkapan (kolom

3), diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :

Dengan mensubstitusi a = 0.2325 dan b = 0.0001 maka akan diperoleh dugaan upaya optimum sebagai berikut :

Artinya : dalam setahun jumlah unit upaya penangkapan tidak boleh melebihi 1362 trip. Dugaan hasil maksimum lestari (MSY) dapat diperoleh melalui :

Artinya : untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara lestari, maka potensi ikan yang dapat ditangkap maksimal adalah 158.3043 ton/tahun.


(52)

Tabel 2. Jumlah hasil tangkapan dalam ton, jumlah upaya penangkapan dalam trip dan hasil per unit upaya untuk perikanan kurisi di Teluk Banten

Tahun Ct (ton) ft (trip) Ut (ton/trip)

2005 116.0940 2124 0.0547

2006 108.5990 636 0.1708

2007 161.1070 999 0.1613

2008 114.7170 1832 0.0626

2009 83.4090 2347 0.0355

(Diolah dari Ditjen Tangkap (DKP 2000-2010))

Berikut ini adalah proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan (Tabel 3) :

Tabel 3.Proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan

Alat tangkap

Dogol 116.5437 1002.4481

Gillnet 9.2791 79.8137

Payang 2.0326 17.4834

Bagan tancap 0.5284 4.5446 Bagan apung 0.5376 4.6237

Pancing 4.4593 38.3563

Sero 17.0915 147.0123

Jaring rampus 7.7794 66.9147 Lain-lain 0.0528 0.4545

4.1.6. Model Gulland (1961)

Hubungan linier dari model Gulland untuk perikanan kurisi di Teluk Banten dapat terlihat sebagai berikut :

Persamaan di atas didapatkan dari regresi antara Ut dengan upaya

penangkapan rata-rata. Dugaan upaya penangkapan optimum dapat diperoleh sebagai berikut :


(53)

Artinya : dalam setahun jumlah unit upaya penangkapan tidak boleh melebihi 1240 trip. Dugaan hasil maksimum lestari (MSY) dapat diperoleh melalui :

Artinya : untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara lestari, maka potensi ikan yang dapat ditangkap maksimal adalah 156.8344 ton/tahun

Berikut ini adalah tabel jumlah hasil tangkapan, jumlah upaya penangkapan, Ut dan upaya rata-rata perikanan kurisi (Tabel. 4) serta proporsi nilai dan

berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan (Tabel 5) : Tabel 4. Jumlah hasil tangkapan (ton), jumlah upaya penangkapan (trip), TPSU dan

upaya rata-rata perikanan kurisi di Teluk Banten

Tahun Ct (ton) ft (trip) Ut (ton/trip) frata-rata

2005 116.0940 2124 0.0547

2006 108.5990 636 0.1708 1380

2007 161.1070 999 0.1613 818

2008 114.7170 1832 0.0626 1416

2009 83.4090 2347 0.0355 2090

(Diolah dari Ditjen Tangkap (DKP 2010))

Tabel 5. Proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan

Alat tangkap

Dogol 115.4615 912.8626 Gillnet 9.1929 72.6810

Payang 2.0137 15.9209

Bagan tancap 0.5234 4.1385 Bagan apung 0.5326 4.2105 Pancing 4.4179 34.9285

Sero 16.9328 133.8743

Jaring rampus 7.7072 60.9347 Lain-lain 0.0524 0.4139


(54)

4.1.7. Pella dan Tomlimson

Hubungan linier dari model Pella dan Tomlimson untuk perikanan kurisi di Teluk Banten dengan menggunakan nilai m = 2.1 adalah sebagai berikut :

Persamaan di atas didapatkan dari regresi antara Ut (kolom 4) dengan Upaya

penangkapan (kolom 5) yang terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah hasil tangkapan (ton), jumlah upaya penangkapan (trip), Ut dan

upaya dengan m = 2.1 perikanan kurisi di Teluk Banten

Tahun Ct (ton) ft Ut (ton/trip) ft1.1

2005 116.0940 2124 0.0547 4569.5135

2006 108.5990 636 0.1708 1212.8381

2007 161.1070 999 0.1613 1993.0676

2008 114.7170 1832 0.0626 3883.4527

2009 83.4090 2347 0.0355 5099.9322

(Diolah dari Ditjen Tangkap (DKP 2010))

Dugaan upaya penangkapan optimum dapat diperoleh sebagai berikut :

Artinya : dalam setahun jumlah unit upaya penangkapan tidak boleh melebihi 1372 trip. Dugaan hasil maksimum lestari (MSY) dapat diperoleh melalui :

Artinya : untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara lestari, maka potensi ikan yang dapat ditangkap maksimal adalah 160.1658 ton/tahun

Berikut ini adalah proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan (Tabel 7) :


(55)

Tabel 7. Proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan

Alat tangkap

Dogol 117.9142 1009.9818

Gillnet 9.3882 80.4135

Payang 2.0565 17.6148

Bagan tancap 0.5346 4.5788 Bagan apung 0.5439 4.6585

Pancing 4.5117 38.6446

Sero 17.2925 148.1171

Jaring rampus 7.8709 67.4176 Lain-lain 0.0535 0.4579

4.1.8. Model Fox (1970)

Model hasil tangkapan eksponensial Fox secara umum dapat dinyatakan sebagai berikut :

Dengan menggunakan regresi antara ln (kolom 5) dan upaya penangkapan (kolom 3) pada Tabel 8 maka didapatkan hubungan sebagai berikut :

Tabel 8. Jumlah hasil tangkapan dalam ton, jumlah upaya penangkapan dalam trip, hasil per unit upaya dan ln hasil tangkapan per upaya untuk perikanan kurisi di Teluk Banten

Tahun Ct (ton) ft (trip) Ut (ton/trip) Ln Ut

2005 116.0940 2124 0.0547 -2.9067

2006 108.5990 636 0.1708 -1.7675

2007 161.1070 999 0.1613 -1.8247

2008 114.7170 1832 0.0626 -2.7707

2009 83.4090 2347 0.0355 -3.3371


(56)

Dugaan upaya penangkapan optimum dapat diperoleh sebagai berikut :

Artinya : dalam setahun jumlah unit upaya penangkapan tidak boleh melebihi 1081 trip. Dugaan hasil maksimum lestari (MSY) dapat diperoleh melalui :

Artinya : untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara lestari, maka potensi ikan yang dapat ditangkap maksimal adalah 138.8333 ton/tahun.

Berikut ini adalah proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan (Tabel 9) :

Tabel 9. Proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan

Alat tangkap

Dogol 102.2091 795.2659 Gillnet 8.1378 63.3181

Payang 1.7826 13.8700

Bagan tancap 0.4634 3.6053 Bagan apung 0.4714 3.6681 Pancing 3.9108 30.4290

Sero 14.9893 116.6283

Jaring rampus 6.8226 53.0850 Lain-lain 0.0463 0.3606

4.1.9. Walter dan Hilborn (1976)

Hubungan linier dari model Walter dan Hilborn untuk perikanan kurisi di Teluk Banten adalah sebagai berikut :


(57)

Jumlah hasil tangkapan, jumlah upaya penangkapan, Ut, Ut+1/Ut perikanan

kurisi di Teluk Banten disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah hasil tangkapan, jumlah upaya penangkapan, Ut, Ut+1/Ut perikanan

kurisi di Teluk Banten

Tahun Ct (ton) ft (trip) Ut Ut+1/Ut

2005 116.0940 2124 0.0547 3.1240

2006 108.5990 636 0.1708 0.9445

2007 161.1070 999 0.1613 0.3883

2008 114.7170 1832 0.0626 0.5675

2009 83.4090 2347 0.0355

(Diolah dari Ditjen Tangkap (DKP 2010))

Dugaan upaya penangkapan optimum dapat diperoleh sebagai berikut :

Artinya : dalam setahun jumlah unit upaya penangkapan tidak boleh melebihi 898 trip. Dugaan hasil maksimum lestari (MSY) dapat diperoleh melalui :

Artinya : untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara lestari, maka potensi ikan yang dapat ditangkap maksimal adalah 111.8462 ton/tahun.

Nilai perkiraan parameter biologi yang dapat diperoleh dari model Walter dan Hilborn adalah sebagai berikut

Tingkat pertumbuhan alami

Koefisien kemampuan penangkapan Daya dukung lingkungan

K = 81.7481

Berikut ini adalah proporsi nilai dan berdasarkan nilai FPI terhadap jenis alat tangkap lain yang digunakan (Tabel 11) :


(1)

87 Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(92)

dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan tahun ke-t. Persamaan (92) ini ditulis menjadi :

(93)

Berdasarkan persamaan (90), tangkapan optimum dapat dihitung pada saat sehingga menjadi :

(94)

atau

(95)

(96)

Berdasarkan persamaan (95) dan (96) nilai dapat diperoleh sebagai :

(97)

Dengan mensibstitusi akan memperoleh :

(98)

Persamaan (98) disederhanakan lagi oleh Schaefer menjadi

(99)

Sedangkan a = qK dan b =-q2K/r. Hubungan linier ini digunakan secara luas untuk menghitung MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap , yaitu :


(2)

88 Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing :

(101)

(102)

C. Pella dan Tomlimson

Model Pella dan Tomlimson adalah serupa dengan model Schaefer namun dengan sedikit modifikasi. Model Pella dan Tomlimson dapat dituliskan sebagai :

(103)

Hasil equilibrium sebagai suatu fungsi dari biomassa dalam model Graham-Schaefer dapat dinyatakan sebagai :

(104)

Pada model Pella dan Tomlinson, menyatakan bahwa eksponen 2 pada persamaan (104) jika digantikan oleh peubah m menjadi :

(105)

Pada kondisi equilibrium persamaan Pella dan Tomlimson dapat terlihat sebagai berikut :

(106)

Untuk m=2 merupakan model Schaefer Untuk m=3 

Untuk m=4 


(3)

89 D. Fox

Model Fox merupakan model alternatif untuk populasi ikan yang pertumbuhan intrinsiknya mengikuti model logaritmik. Model Fox menghasilkan hubungan antara dan yang berbeda, yaitu :

(107)

atau

(108)

Perhitungan MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap , yaitu :

(109)

(110)

Upaya penangkapan optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch terhadap effort sama dengan nol atau

(111)

Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing :

(112)

(113)

E. Walter dan Hilborn

Persamaan awal Walter dan Hilborn adalah sebagai berikut :

(114)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :


(4)

90 dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan. Persamaan (115) ini ditulis menjadi :

atau (116)

Substitusi persamaan (116) ke persamaan (114)

(117)

Persamaan (117) dikalikan dengan sehingga diperoleh :

(118)

(119)

Persamaan Walter dan Hilborn menjadi :

(120)

Secara umum persamaan regresi diatas dapat dituliskan sebagai :

(121)

di mana :

adalah error dari persamaan regresi.

F. Schnute

Model Schnute merupakan modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskret. Dasar dari model Schnute adalah transformasi persamaan dinamik sehingga diperoleh :

(122)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(123)

Substitusi persamaan (123) ke persamaan (122) sehingga menjadi

(124)


(5)

91 Jika persamaan (125) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh :

(126)

di mana : dan

Persamaan (126), selanjutnya disederhanakan, dimana dan adalah rata-rata CPUE dan rata-rata upaya penangkapan pertahun. Ini memberikan persamaan :

(127)

(128)

G. Clarke Yoshimoto Pooley

Persamaan awal Clarke Yoshimoto Pooley adalah sebagai berikut :

(129)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(130)

dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan. Persamaan (130) ini ditulis menjadi :

atau (131)

Persamaan (131) disubtitusikan pada persamaan (129). Kemudian kedua sisinya dikalikan dengan sehingga akan menghasilkan persamaan sebagai berikut:

(132)

Integral dari t=tahun ke-n sampai t=tahun ke-n+1 menjadi:


(6)

92 dimana adalah CPUE pada awal tahun ke-n sedangkan adalah total upaya pada tahun ke-n. Derajat pertama Taylor polynomial ln dipusatkan pada , sehingga rata-rata CPUE tahun ke-n adalah:

(134)

Perkiraan tangkapan diperoleh melalui integral sebagai berikut:

(135)

jika maka persamaan (135) menjadi:

(136)

persamaan (136) dimasukkan ke dalam persamaan (134) menghasilkan persamaan berikut

(137)

Untuk n+1 persamaan (137) menjadi :

(138) dengan menggunakan asumsi Schnute (1977) untuk menduga nilai CPUE

(139)

CPUE tahun tertentu adalah rata-rata geometri CPUE pada awal dan akhir tahun tersebut. Pendugaan CPUE dipecahkan dengan cara memasukkan persamaan (138) secara aljabar untuk ln( menghasilkan persamaan berikut: