TANAMAN SAGU TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN SAGU

Sagu termasuk dalam jenis tumbuhan monokotil dari keluarga Famili Palmae, Marga Genus Metroxylon dari Ordo Spadiciflorae. Di kawasan Indo Pasifik terdapat 5 marga Genus Palmae yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup tinggi Haryanto dan Pangloli, 1992. Kata sagu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti tepung yang dikandung ole h umbut kelapa. Namun demikian, dalam banyak bahasa, kata sagu tersebut telah menjadi nama umum untuk semua sumber pati. Di daerah dimana bahasa Indonesia-Malaysia digunakan, kata sagu dipakai untuk mengartikan pati dari jenis-jenis tanaman palma Schuilling and Jong, 1996; dalam Miftahorrahman, 1999. Di Indonesia, terdapat sejumlah nama yang berbeda untuk genus yang ada; pohon sagu Indonesia; Kirai Sunda, Ambulung atau Kersulu Jawa dan Lapia ambon dan Seram. Di Irian Jaya banyak sekali nama lokal yang digunakan. Sementara di daerah Papua New Guinea, pohon sagu dikenal dengan nama saksak, juga ditemukan berbagai nama lokal lainnya. Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu: yang berbunga berbuah dua kali Pleonanthic dan berbunga berbuah sekali Hapaxanthic yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena kandungan karbohidratnya lebih banyak bila dibandingkan dengan sagu yang berbunga lebih dari satu kali Flach, 1977 dalam Miftahurrahman, 1999. Golongan sagu yang berbunga satu kali terdiri dari 5 varietas penting, yaitu: 1. Metroxylon sagus, Rottbol atau sagu Molat. 2. Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni. 3. Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Martius atau sagu Ihur. 4. Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Martius atau sagu Makanaru. 5. Metroxylon rumphii, Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Riotan. Dari kelima varietas tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tuni, dan Molat. Secara umum sagu tumbuh dalam bentuk rumpun, memiliki bentuk pohon tegak dan tinggi batang bebas daun sekitar 10-20 m. Pada satu rumpun sagu rata-rata terdapat 1-8 batang. Tinggi pohon sagu mulai berbunga bervariasi antara 10-15 m dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tinggi batang tersebut sekitar 7-15 tahun Flach,1977 dalam Miftahurrahman, 1999. Pohon sagu memiliki akar rimpang yang panjang dan bercabang, dan tertanam dangkal di permukaan tanah. Akar sagu berjumlah sangat banyak sehingga dapat menyesuaikan dengan lahan yang memiliki air tanah aerobik. Batang sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan gudang penyimpanan pati atau karbohidrat. Batang sagu berbentuk silinder dengan diameter sekitar 50 cm, bahkan dapat mencapai 80-90 cm. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat pati Haryanto dan Pangloli, 1992. Daun sagu termasuk ke dalam daun majemuk, berbentuk memanjang, agak lebar dan berinduk tulang daun. Pada kondisi baik pohon sagu pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang panjangnya sekitar 5-7 m. Masing- masing tangkai daun terdapat 50-60 pasang anak daun dengan panjang sekitar 60-180 cm. Pelepah daunnya memiliki dasar lebar yang menjepit batang tanpa tersarung kedalamnya. Puncak dari pertumbuhan pohon sagu ditandai dengan keluarnya malai bunga, sebab setelah berbunga dan berbuah sagu akan mati. Pohon sagu berbunga dan berbuah sekitar 8-15 tahun, tergantung dari jenis dan tempat tumbuhnya. Proses pembuahan atau penyerbukan terjadi melalui penyerbukan silang Haryanto dan Pangloli, 1992. Kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda tergantung dari umur, jenis, dan lingkungan tempat sagu tersebut tumbuh. Semakin tua umur tanaman sagu maka kandungan pati dalam empulur semakin besar, dan pada umur tertentu kandungan pati tersebut akan menurun. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga, sehingga para petani sagu dengan mudah dapat mengenali saat rendemen pati sagu mencapai maksimum. Pada umur 3-5 tahun empulur batang belum banyak mengakumulasi pati, tetapi pada umur 11 tahun keatas atau sekitar umur panen empulur sagu mengandung pati 15-20 persen Haryanto dan Pangloli, 1992. Bentuk dari pohon sagu dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam perkembangannya tanaman sagu melalui beberapa tahapan pertumbuhan yaitu: 1. Tunas Tunas adalah bonggol generasi baru dari pohon induk. Posisinya sangat dekat dengan pohon induknya, melalui penjuluran batang horizontal yang sangat pendek di bawah tanah. Tunas ini tidak layak untuk ditanam karena ukurannya kecil, mudah kering, stolonnya pendek akarnya sedikit, dan biasanya pohon induknya mudah terluka saat pemisahan, sehingga kemampuan hidupnya sangat rendah. 2. Anakan Jika tunas-tunas berkembang, maka akan tumbuh menjauhi pohon induknya pada permukaan tanah. Pangkal batang stolon tumbuh lebih panjang dan keras dan ujungnya berdekatan dengan daerah pelekatan dengan pohon induknya. Banyak akar berkembang pada stolon, dan anakan ini tidak terlalu tergantung pada pohon induknya. Biasanya terlihat jelas antara pangkal batang dan pangkal pelepah, Anakan biasanya dikenal sebagai bibit yang sudah dewasa mature sucker dan sudah dapat dipisahkan dari pohon induknya utnuk keperluan penanaman. Berat anakan untuk penanaman yang disukai pada umumnya berkisar antara 2-5 kg. 3. Sapihan Sapihan merupakan bonggol besar yang sudah dewasa dan akan menuju pada tahapan pembentukan batang. Sapihan ini tidak baik untuk keperluan penanaman, karena sulit untuk dipisahkan dan terlalu besar serta berat untuk diangkut. 4. Pembentukan Batang Pada pertumbuhan yang normal, dibentuk kira-kira 4 hingga 5 tahun setelah penanaman. Hal ini dicirikan melalui tumbuhnya pertumbuhan sisi sampingnya dan pelebaran dari pangkal untuk membentuk batang vertikal pada diameter sekitar 40-50 cm. 5. Pohon Muda Setelah pembentukan batang, batang tumbuh secara vertikal pada kisaran tinggi sekitar 1,5 m per tahun. Tingkatan batang muda mengacu pada tinggi batang palem berkisar 1-2 m. 6. Pohon Belum Masak Tebang Tingkatan ini pertengahan dari proses pertumbuhan pohon, biasanya tinggi batang berkisar 3-5 m. 7. Pohon Masak Tebang Tahapan ini ditandai dengan terjadinya penurunan dalam ukuran pelepah yang baru terbentuk pada bagian pucuknya. Terlihat warna putih menyerupai serbuk pada pelepah pada dasar tangkai. 8. Tahap Pembungaan Pada akhir pertumbuhan vegetatif, tidak ada pembentukan pelepah baru kecuali struktur pembungaan dibentuk pada bagian pucuknya. Hal ini ditandai melalui perpanjangan pada batang ujung, diikuti oleh pengembangan dari struktur bunga yang besar seperti tanduk rusa. 9. Tahap Pembuahan Buah ditutupi oleh kulit luar berbentuk sisik dan berkembang menjadi masak setelah periode 1,5-2 tahun. Buah masak berdiameter sekitar 3-5 cm. Ukuran mahkotanya berangsur-angsur mengecil sepanjang tidak terbentuk pelepah yang baru. Akhirnya pohon sagu mati ketika buah gugur dan semua pelepah mati mengering. Gambar 1. Pohon sagu Puslitbangbun, 1999 Pohon sagu secara umum dapat dimanfaatkan baik untuk ind ustri pangan maupun non pangan. Pati sagu untuk industri non pangan diolah menjadi alkohol, plastik biodegradable, surfaktan deterjen, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk industri pangan, pengolahannya ditekankan pada diversifikasi pangan yang memiliki prospek untuk dikembangkan Djoefrie, 1999. Selain itu juga ditinjau dari potensi dan komposisi zat- zat makanan yang terkandung dalam tanaman sagu, maka tanaman ini memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Tepung sagu ini dapat digunakan sebagai campuran dalam pakan ternak atau dapat langsung diberikan kepada ternak seperti ayam, bebek, itik, babi, domba dan hewan ruminansia lainnya. Menurut Haryanto dan Pangloli 1992, tepung sagu dengan kadar serat 5 dapat digunakan sebagai makanan babi dan ayam, sedangkan tepung sagu dengan kadar serat 7 tidak baik untuk makanan ayam. Tepung sagu yang dengan kadar serat lebih dari 12 hanya cocok untuk makanan hewan ruminansia. Pemanfaatan pohon sagu lainnya dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 1. Komposisi Kandungan Sagu per 100 gram. Sagu juga memiliki fungsi sebagai pengganti dan pelengkap makanan dengan kandungan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Di beberapa daerah, sagu digunakan sebagai pengganti makanan pokok. Seperti di wilayah Melanesia sedikitnya 300.000 orang bergantung kepada sagu sebagai makanan pokok dan sekitar 1.000.000 orang mengkonsumsi sagu untuk diet Kenneth R. et.all dalam Hendrasari,2000. Sagu liar banyak tumbuh di daerah rawa-rawa, sedangkan sagu semi budidaya banyak tumbuh di lahan yang kering. Di lahan yang agak kering, pertumbuhan batang lebih besar dan umur berbunga lebih panjang, sehingga kandungan patinya dapat menjadi lebih banyak. Makin kering suatu lahan maka jenis pohon yang tumbuh di lahan tersebut akan semakin banyak, sehingga akibatnya tanaman sagu akan makin berkompetisi dengan pohon lain yang mengakibatkan sagu maupun tanaman lainnya menjadi tinggi. Hasil analisis korelasi antar karakter vegetatif dengan hasil sagu memperlihatkan bahwa karakter tinggi batang, lingkar batang, dan volume batang sangat nyata berkorelasi positif dengan bobot pati sagu Malia dan Novarianto,1994 dalam Novarianto,2003. Kandungan Jumlah Kalori 357 cal Air 13,7 gr Protein 0,7 gr Lemak 0,2 gr Karbohidrat 85 gr Serat 0,2 gr Abu 0,4 gr Sumber : Djoefri 1999 Gambar 2. Pohon Industri Sagu Djoefrie, 1999 Pohon Sagu Daun Ampas Batang Kulit Batang Pelepah Daun Kerajinan Tangan Atap Rumah Arang Lantai Dinding rumah Media Tanam Kompos Pakan Ternak Tepung Campuran Sagu Mutiara Industri Pangan Industri Pakan Gula Cair Pati Modifikasi Dekstrin Sorbitol Asam Amino Alkohol Penyedap MSG Asam Organik Protein Sel Tunggal Pati Kayu Bakar Produksi pati sagu sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan, jenis sagu dan saat panen, selain teknik pengolahan hasil. Kondisi lahan dan jenis sagu adalah dua faktor yang berhubungan dengan teknologi budidaya. Untuk satu pohon sagu pada lahan agak kering dan tidak tergenang air dalam waktu yang cukup lama dapat menghasilkan produk sagu basah sebesar 500 kg pati sagupohon Malia dan Novarianto,1994 dalam Novarianto, 2003.

B. PRODUKSI SAGU NASIONAL