Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Tua Di Kotamadya Bogor).

(1)

ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA

(Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)

Oleh HANI F34102101

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA

(Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh HANI F34102101

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA

(Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh HANI F34102101

Dilahirkan pada tanggal 2 November 1983 Di Kotamadya Bogor

Tanggal lulus : 26 Januari 2007 Disetujui,

Bogor, Maret 2007

Dr. Ir. Sukardi, MM Pembimbing Akademik


(4)

Hani. F34102101. Supply Chain Analysis for Coconut (Case Study in Bogor Regency, Indonesia). Supervised by: Sukardi.

SUMMARY

Coconut has many benefit derived from almost of its parts which are able to be processed into various products. Coconut are available in large amount in Indonesia. Indonesia’s coconut production (copra equal) in 2004 reach the amount of 3.301.942 tons. So far Bogor is unable to fulfill its needs of coconut so that the coconut supply must be sent from other areas. Coconut for direct use and industry in Bogor supplied from traditional markets. This research is intended for the managers of the traditional markets and members of the supply chain to provide more efficient supply chain system. The research objectives are to analyze coconut supply chain management in Bogor and to analyze the efficiency of the supply chain. Coconut supply chain investigated in this research is the ripe coconut supply chain. Coconut supply chain management analysis is limited only on descriptive analysis of logistic network configuration, inventory control and supply chain integration. Supply chain efficiency analysis consist of marketing margin analysis and efficiency analysis of coconut supply allocation.

Primary members of the coconut supply chain in Bogor are the interregion traders (IT), whole sellers, retailers and consumers including industries. The secondary members are transportation service company, the packaging sellers, the sellers of coconut scrapping and (milk) pressing machine, and the machinary fuel sellers. The IT that periodically supply coconut to Bogor come from three regions which are Banten, Tasikmalaya-Ciamis and Lampung. They supply coconut to the whole sellers at Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka and Pasar Jambu Dua.

Coconut transported to Bogor with trucks and pick ups. Coconut carried by IT received by the whole sellers. There are some whole sellers, who accept the coconut from IT, which sell it directly to consumer. Some other sell the coconut also to the retailer in the same market or from different market. Based on interview result during the research, total amount of coconut entering Bogor is 1.195.500 nuts per month which most are from Banten. Coconut are accepted from IT and stored in the form of coconut that almost of their fiber is husked. Whole seller store coconuts in masonry wall warehouse, wooden warehouse, or in the market kiosk.

Coconut supply chain in Bogor implements the pull strategy, although not the pure one. IT only supply coconut based on the whole seller’s demand. The flexibility of the relationship between IT and whole sellers in coconut supply chain also performed by the risk sharing system. This system is about exchanging the rotten coconut from the whole seller’s storage with the new fruit carried by IT. The partnership between them can in terms of coconut payment system to the IT that can be take place after the fruits get delivered by the whole sellers.

Marketing channel No. 1 is the most efficient channel among channels that involve retailer, because the functional cost is the lowest and occur more fair profit distribution to the cost that each member spent. This marketing channel consist of IT from Banten, whole seller and retailer from Pasar Kebon Kembang-Merdeka. For the channel that not involve retailer, marketing channel No. 5 is the


(5)

most efficient channel because it needs the lowest functional cost and occur more fair profit distribution to the cost that each member spent. Marketing channel No. 5 consist of IT from Tasikmalaya-Ciamis and whole seller from Pasar Baru Bogor.

Transportation model result is coconut allocation that minimize the coconut transportastion cost to traditional markets in Bogor. The transportation cost is minimum if the supply of coconut in Pasar Baru Bogor received from IT from Tasikmalaya-Ciamis (165.500 nuts) and from IT from Lampung (172.000 nuts), the coconut supply for Pasar Kebon Kembang-Merdeka received from IT from Banten (499.000 nuts) and from IT from Tasikmalaya-Ciamis (179.000 nuts), and the coconut supply for Pasar Jambu Dua received from IT from Tasikmalaya-Ciamis (176.000 nuts). Coconut supply with such allocation is more efficient because its reduce transportation cost as much as Rp. 13.311.680,00 per month.


(6)

Hani. F34102101. Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Tua Di Kotamadya Bogor). Di bawah bimbingan : Sukardi.

RINGKASAN

Buah kelapa memiliki banyak manfaat di mana hampir seluruh bagian buah tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Buah kelapa tersedia dalam jumlah yang cukup melimpah di Indonesia. Produksi kelapa Indonesia (setara kopra) mencapai 3.301.942 ton pada tahun 2004.Kota Bogor tidak mampu memenuhi kebutuhan kelapanya secara mandiri sehingga penyediaannya memerlukan pasokan dari daerah lain. Buah kelapa untuk kebutuhan penduduk dan industri di Kota Bogor diperoleh dari pasar-pasar tradisional. Penelitian ini diharapkan dapat djadikan pertimbangan oleh pihak pengelola pasar dan anggota-anggpta rantai pasokan untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengelolaan rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor serta menganalisis efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor. Rantai pasokan buah kelapa yang diteliti pada penelitian ini adalah rantai pasokan buah kelapa tua. Analisis pengelolaan rantai pasokan kelapa terbatas pada analisis deskriptif untuk konfigurasi jaringan logistik, pengendalian inventori dan integrasi rantai pasokan. Analisis efisiensi rantai pasokan terdiri dari analisis marjin pemasaran dan analisis efisiensi alokasi pasokan kelapa.

Anggota primer rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu Pedagang Antar Wilayah (PAW), pedagang besar, pedagang eceran dan konsumen termasuk industri. Anggota sekundernya yaitu lembaga jasa transportasi, pedagang kemasan, pedagang mesin pemarut dan pemerasan santan, serta penyedia bahan bakar mesin-mesin tersebut. Seluruh aliran rantai pasokan di Kota Bogor memperoleh kelapa dari PAW. PAW yang memasok buah kelapa ke Kota Bogor secara rutin berasal dari tiga wilayah yaitu Banten, Tasikmalaya-Ciamis dan Lampung. Mereka memasok buah kelapa ke pedagang besar di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka dan Pasar Jambu Dua.

Kelapa diangkut dari daerah-daerah penghasil kelapa ke Kota Bogor dengan menggunakan truk-truk jenis colt diesel serta kendaraan jenis pick up. Kelapa-kelapa dari PAW diterima oleh para pedagang besar. Pedagang besar tersebut ada yang langsung menjual kelapa kepada konsumen, adapula yang menjualnya lagi kepada pedagang-pedagang pengecer baik dalam satu pasar maupun berlainan pasar. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, total jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah 1.195.500 butir per bulan yang sebagian besar berasal dari Banten. Kelapa diterima dari PAW dan disimpan dalam bentuk kelapa yang sebagian besar sabutnya telah dikupas. Pedagang besar menyimpan kelapa dalam gudang tembok, gudang kayu ataupun dalam kios pasar. Rantai pasokan kelapa di Kota Bogor menggunakan strategi pull. PAW hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Fleksibilitas hubungan antara PAW dan pedagang besar dalam rantai pasokan kelapa ke Kota Bogor juga terwujud dalam sistem pembagian resiko antara keduanya. Sistem tersebut berupa penukaran kelapa yang busuk di tempat penyimpanan pedagang besar dengan kelapa baru yang dibawa oleh PAW. Kemitraan antara beberapa PAW dan


(7)

pedagang besar juga terlihat dengan adanya sistem pembayaran kelapa kepada pihak PAW dilakukan setelah kelapa tersebut telah laku terjual kepada konsumen ataupun pedagang pengecer.

Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien di antara saluran yang melibatkan pedagang pengecer, karena biaya fungsionalnya paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran tersebut terdiri dari PAW dari Banten serta pedagang besar dan pedagang pengecer dari Pasar Kebon Kembang-Merdeka. Untuk saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran yang paling efisien karena memerlukan biaya fungsional paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran ke-5 terdiri dari PAW dari Tasikmalaya-Ciamis serta pedagang besar dari Pasar Baru Bogor.

Model transportasi menghasilkan alokasi kelapa yang meminimalkan biaya transportasi kelapa ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya transportasi minimal jika Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis (165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar Kebon Kembang-Merdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000 butir) dan Tasikmalaya-Ciamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua memperoleh seluruh pasokan kelapa dari Banten (176.000 butir). Pemasokan kelapa dengan alokasi tersebut lebih efisien karena mengurangi biaya transportasi sebesar Rp. 13.311.680,00 per bulan.


(8)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, 20 Januari 2007 Yang Membuat Pernyataan

Hani F34102101


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor Jawa Barat pada tanggal 2 November 1983 dari pasangan Abdul Aziz Harran dan Ratu Erna Darmiasih. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Pada tahun 1988 penulis masuk Taman Kanak-kanak Al Irsyad Bogor dan lulus pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Al Irsyad Bogor dan lulus pada tahun 1996. Tahun 1996 penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002.

Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis pernah menjadi asisten praktikum MK. Penerapan Komputer Tahun 2005. Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PERUM BULOG pada Unit Pengolahan Gabah Beras dan Gudang BULOG BARU yang terletak di Binong, Subang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Kelapa Di Kotamadya Bogor).


(10)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)”. Tulisan ini adalah salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Sukardi, MM selaku dosen pembimbing akademik atas petunjuk, saran dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa S1 serta dalam penelitian.

2. Ir. Muslich, MS dan Dr. Ir. Yandra Arkeman M.Eng atas kesediaannya menjadi penguji serta atas arahan dan bimbingannya.

3. Pihak Kantor Kesbang-Linmas dan Dinas Perindagkop Kotamadya Bogor, para staf Unit Pengelola Teknis Dinas Pasar Baru Bogor, Pasar Merdeka, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, serta para pedagang kelapa atas kesediaanya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.

4. Ayahanda Abdul Aziz Harran, ibunda Ratu Erna Darmiasih serta para kerabat yang telah memberikan semangat, dorongan dan doa yang tulus bagi penulis selama menempuh kuliah dan menyelesaikan penelitian.

5. Teman dan kakak sebimbingan (Novi, Euis, Asep, Mbak Wati dan Mas Rio) atas bantuan dan kebersamaannya.

6. Seluruh mahasiswa TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(11)

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2007


(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 4

C. Ruang Lingkup ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Kelapa (Cocos nucifera L.) ... 5

B. Buah Kelapa ... 9

C. Kondisi Perkelapaan Indonesia ... 14

D. Supply Chain Management ... 18

E. Metode Penelitian ... 21

F. Efisiensi Pemasaran ... 22

G. Programa Linier ... 23

H. Model Transportasi ... 26

I. LINDO ... 27

J. Hasil Penelitian Terdahulu ... 27

III. METODOLOGI ... 31

A. Kerangka Pemikiran ... 31

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

C. Jenis dan Sumber Data ... 31

D. Metode Penelitian ... 32

D.1. Metode Pengumpulan Data ... 33

D.2. Metode Analisis Data ... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 38

B. Konsumsi dan Kebutuhan Buah Kelapa ... 41

C. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan ... 42

D. Konfigurasi Jaringan Logistik ... 45

E. Pengendalian Inventori ... 52

F. Integrasi Rantai Pasokan ... 55

G. Marjin Pemasaran ... 57

H. Model Transportasi ... 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi daging kelapa pada berbagai tingkat umur ... 10

Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging kelapa ... 11

Tabel 3. Komposisi kimia air buah kelapa ... 12

Tabel 4. Produk-produk pangan menurut jenis kelapa ... 14

Tabel 5. Luas lahan perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan... 15

Tabel 6. Produksi perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan .. 15

Tabel 7. Penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia ... 16

Tabel 8. Volume ekspor ekspor beberapa produk kelapa Indonesia ... 17

Tabel 9. Impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa ... 18

Tabel 10. Jumlah penduduk Kotamadya Bogor Tahun 2000-2004 ... 39

Tabel 11. Aktivitas anggota primer rantai pasokan kelapa di Kota Bogor ... 44

Tabel 12. Harga rata-rata buah kelapa di tingkat pedagang besar ... 47

Tabel 13. Biaya transportasi kelapa dari setiap daerah asal ke setiap pasar ... 48

Tabel 14. Kebutuhan buah kelapa industri pengolahnya di Kotamadya Bogor ... 50

Tabel 15. Biaya, keuntungan dan marjin pemasaran ... 59

Tabel 16. Rasio keuntungan terhadap biaya total ... 60

Tabel 17. Variabel keputusan yang dicari ... 62

Tabel 18. Biaya transportasi dari tiap sumber ke tiap tujuan ... 64

Tabel 19. Matriks persoalan transportasi pasokan kelapa ... 65

Tabel 20. Nilai optimal variabel keputusan ... 66

Tabel 21. Batas-batas perubahan biaya transportasi ... 67


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Buah dan pohon kelapa dalam Tenga ... 5 Gambar 2. Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf ... 6 Gambar 3. Buah dan pohon kelapa Hibrida PB-121 ... 7 Gambar 4. Diagram tahapan penelitian rantai pasokan buah kelapa di

Kotamadya Bogor ... 32 Gambar 5. Tahapan analisis model transportasi buah kelapa ke Kotamadya

Bogor ... 37 Gambar 6. Lokasi pasar-pasar tradisional di Kotamadya Bogor ... 40 Gambar 7. Pola aliran pasokan kelapa ... 45 Gambar 8. Sumber dan penyebaran pasokan kelapa per bulan di Kota

Bogor ... 49 Gambar 9. Penyebaranpasokan buah kelapa per bulan di pasar tradisional

Kota Bogor ... 51 Gambar 10. Sumber dan pusat permintaan kelapa ... 61


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa ... 73

Lampiran 2. Deskripsi Beberapa Jenis Kelapa ... 74

Lampiran 3. Deskripsi Kelapa Hibrida PB-121 ... 76

Lampiran 4. Jumlah Pasokan Pedagang Besar Kelapa di Kota Bogor ... 77

Lampiran 5. Perhitungan Harga Beli Rata-rata Buah Kelapa Di Tingkat Pedagang Besar ... 78

Lampiran 6. Perhitungan Biaya Penyimpanan Kelapa ... 79

Lampiran 7. Perhitungan Marjin Pemasaran ... 80

Lampiran 8. Model Persamaan Matematik dalam Program LINDO ... 83

Lampiran 9. Solusi Model Keluaran Program LINDO ... 84

Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Model Keluaran Program LINDO ... 85

Lampiran 11. Perhitungan Biaya Transportasi Alokasi Optimal dan Alokasi Selama Ini ... 86

Lampiran 12. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang Pengecer ... 87

Lampiran 13. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang Pengecer yang Telah Diisi ... 89

Lampiran 14. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah ... 91

Lampiran 15. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah yang Telah Diisi ... 93


(16)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Seperti halnya negara-negara di Samudra Pasifik, Indonesia merupakan penghasil kelapa utama di dunia. Pertanaman kelapa di Indonesia adalah yang terluas di dunia yaitu 31,2% dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (25,8%), disusul India (16,0%), Sri Langka (3,7%) dan Thailand (3,1%). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Philipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Langka. Perolehan devisa dari produk kelapa Indonesia mencapai US$ 229 juta atau 11% dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003 (Allorerung et al., 2005).

Kelapa merupakan tanaman perkebunan yang cukup besar kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Perkebunan kelapa memiliki luasan kedua terbesar di Indonesia setelah perkebunan kelapa sawit. Data dari Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 perkebunan ini telah mencapai luasan 3,4 juta hektar dengan produksi kopra sebesar 3,2 juta ton. Arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta hektar dan melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani (Allorerung et al., 2005). Sebagian besar produksi kelapa Indonesia dimanfaatkan untuk konsumsi dan industri dalam negeri.

Kelapa adalah tanaman dengan banyak manfaat. Tanaman ini dapat menyediakan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, juga sebagai sumber pendapatan dari produk-produk olahannya (Foale, 2003). Empat produk berikut yaitu kopra, minyak kelapa, bungkil dan gula merah adalah produk tradisional. Minyak kelapa adalah salah satu sumber minyak nabati yang juga menjadi bahan baku penting dalam industri makanan dan non makanan seperti sabun, kimia dan kosmetika (Amrizal dan Hasni, 1994). Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang lebih tinggi dari pada minyak sawit dan minyak inti sawit. Dua pertiga bagian asam lemak jenuh pada minyak kelapa dan minyak inti sawit adalah asam laurat. Oleh


(17)

karena minyak laurat memiliki kestabilan yang tinggi, maka jenis minyak ini banyak digunakan pada produk-produk pangan yang membutuhkan daya simpan yang lama (Barlina, 1993). Buah kelapa juga dapat diolah menjadi produk-produk lain yang bernilai ekonomis. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), oleokimia, kelapa parut kering, coconut cream/milk, arang tempurung, karbon aktif dan serat kelapa. Pelaku agribisnis produk-produk tersebut mampu meningkatkan pendapatannya 5-10 kali lipat dibandingkan dengan bila hanya menjual kopra (Allorerung et al., 2005).

Tersedianya buah kelapa dalam jumlah yang cukup melimpah di Indonesia membuat pendirian industri berbasis komoditas ini cukup prospektif. Apalagi jika industri tersebut menerapkan teknologi pengolahan secara terpadu sehingga dari bahan baku kelapa dapat dibuat berbagai macam produk olahan secara sekaligus. Hal demikian akan semakin memberikan nilai tambah bagi kelapa karena hampir tidak ada bagian buah kelapa yang terbuang percuma. Menurut Allorerung et al. (2005), daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya di mana nilai tambah yang dapat tercipta pada produk hilir jauh lebih besar daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang baik untuk usaha kecil, menengah maupun besar. Kota Bogor tidak mampu memenuhi kebutuhan kelapanya secara mandiri sehingga penyediaannya memerlukan pasokan dari daerah lain. Karenanya, untuk mendirikan atau mengembangkan industri berbasis kelapa di Kota Bogor, diperlukan pertimbangan yang cermat dari segi sistem dan ketersediaan pasokan kelapa.

Menurut Prakosa (2002), permasalahan yang dihadapi oleh agribisnis perkelapaan cukup kompleks. Peran kelapa sebagai bahan baku minyak goreng pada saat ini sudah tergeser oleh kelapa sawit yang harganya relatif lebih murah. Ketergantungan para petani selama ini pada produk utama berupa kopra sangat tidak mendukung tingkat perolehan pendapatan yang layak karena harga kopra cenderung menurun. Upaya penganekaragaman produk belum berkembang sesuai dengan harapan sehingga kurang memberi peluang untuk memperoleh tambahan pendapatan ataupun nilai tambah dari


(18)

hasil usaha. Keterkaitan subsistem on-farm dengan off-farm masih jauh dari keterpaduan. Akibatnya, peluang menciptakan efisiensi dan nilai tambah tidak dapat diraih secara optimal.

Rantai pasokan adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang tersebut (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Rantai pasokan berkaitan dengan siklus lengkap bahan baku dari pemasok sampai ke konsumen. Eltram (1991) mendefinisikan Supply Chain Management (SCM) sebagai pendekatan integratif dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan aliran material dari pemasok sampai ke pengguna akhir. Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang terlibat, untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan.

Pertimbangan rancangan supply chain meliputi rancangan pengelolaan bagian hulu dan hilir rantai pasokan. Bagian hulu rantai pasokan terdiri dari proses-proses yang berlangsung antara pemasok dan pihak pabrik. Pertimbangan rancangan hulu rantai pasokan perlu memperhatikan dukungan pasokan bahan baku. Analisis rantai pasokan kelapa di Kota Bogor diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan pasokan kelapa sebagai pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolah kelapa. Penyediaan buah kelapa di Kota Bogor baik untuk konsumen rumah tangga maupun untuk industri selama ini dilakukan di pasar-pasar tradisional. Penelitian ini juga diharapkan dapat djadikan pertimbangan oleh pihak pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Sehubungan dengan hal ini, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana rantai pasokan buah kelapa tua selama ini dikelola di Kota Bogor.


(19)

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini yaitu :

1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor. 2. Menganalisis efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor.

C. Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas rantai pasokan buah kelapa tua/matang yang masuk ke Kotamadya Bogor. Aspek rantai pasokan yang dianalisis dalam penelitian ini terbatas pada jaringan konfigurasi logistik, pengendalian inventori, integrasi rantai pasokan dan efisiensi rantai pasokan pada sebagian level anggota rantai pasokan.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa (Cocos nucifera L.)

Kelapa adalah salah satu jenis tanaman palem yang tersebar di hampir semua negara tropis, terutama di daerah dekat pantai. Hal ini merupakan petunjuk bahwa tanaman kelapa berasal dari daerah tropis, walaupun sulit menentukan negara mana tepatnya. Kelapa dikenal sebagai tanaman serba guna karena seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi kehidupan manusia (Palungkun, 1998). Pemanfaatan bagian-bagian tanaman kelapa dapat dilihat pada pohon industri kelapa di Lampiran 1.

Palungkun (1998) menyatakan bahwa pada mulanya hanya ada dua varietas kelapa yang dikenal, yaitu varietas dalam (tall variety) dan varietas genjah (dwarf variety). Setiap tipe kelapa baik kelapa dalam maupun kelapa genjah terdiri atas beberapa kultivar. Kelapa dalam Mapanget, kelapa dalam Tenga, kelapa dalam Palu dan kelapa dalam Bali adalah kultivar-kultivar kelapa dalam unggul (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2005). Deskripsi lebih lanjut mengenai jenis-jenis kelapa unggul terdapat pada Lampiran 2. Gambar 1 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa dalam Tenga dan Gambar 2 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf.


(21)

Gambar 2. Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf (Batugal et al., 2005) Kelapa varietas dalam terdapat di berbagai negara produsen kelapa. Varietas ini berbatang tinggi dan besar, tingginya mencapai tiga puluh meter atau lebih. Umurnya dapat mencapai lebih dari seratus tahun. Keunggulan varietas ini adalah (Palungkun, 1998) :

ƒ produksi kopranya lebih tinggi, yaitu sekitar satu ton kopra/ha/tahun pada umur sepuluh tahun,

ƒ daging buah tebal dan keras dengan kadar minyak yang tinggi, dan ƒ lebih tahan terhadap hama penyakit

Kekurangan dari kelapa varietas dalam adalah : ƒ lambat berbuah (6-7 tahun setelah tanam),

ƒ produksi tandan buah sedikit, yaitu sekitar 11 tandan/pohon/tahun, ƒ produktivitas sekitar 90 butir/pohon/tahun, dan

ƒ habitus tanaman lebih tinggi, yaitu sekitar 20 meter pada umur 50 tahun. Tanaman kelapa varietas genjah berbatang ramping, tinggi batang mencapai 5 meter atau lebih, masa berbuah 3-4 tahun setelah tanam, dan dapat mencapai umur 50 tahun. Kelebihan kelapa varietas genjah yaitu lebih cepat berbuah, produksi tandan buah lebih banyak (sekitar 18 tandan/pohon/tahun), habitus tanaman pendek dan produktivitas sekitar 140 butir/pohon/tahun. Kekurangan dari kelapa varietas genjah yaitu produksi kopra rendah (sekitar


(22)

0,5 ton/ha/tahun pada umur 10 tahun), daging buah tebal, rapuh dan kandungan minyaknya rendah, serta peka terhadap gangguan hama dan penyakit (Palungkun, 1998). Kelapa genjah kultivar unggul yaitu kelapa genjah Salak dan kelapa genjah Raja (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2005).

Kelapa hibrida adalah hasil silangan antar dua kultivar berbeda dari kedua tipe kelapa (dalam dan genjah) atau antar tipe yang sama (Hengky, 1994). Menurut Baudouin (1999), kelapa hibrida komersial adalah hasil persilangan antara tipe genjah dan dalam yang lebih mudah diproduksi dan memungkinkan penggabungan sifat kelapa genjah yang cepat berbuah. Selain Khina-1, Khina-2, dan Khina-3, telah ditemukan 4 hibrida baru yang bisa diterima petani karena low input yaitu Genjah Raja x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Bali x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga, dan Genjah Kuning Bali x Dalam Tenga (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2006). Salah satu jenis kelapa hibrida yang pernah ditanam di Indonesia yaitu kelapa PB-121, hasil persilangan antara kelapa Malayan Yellow Dwarf dan West African Tall (Batugal et al., 2005). Gambar 3 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa PB-121. Deskripsi lebih lanjut mengenai kelapa PB-121 terdapat pada Lampiran 3.


(23)

Palungkun (1998) menyatakan bahwa salah satu hasil persilangan adalah kombinasi sifat-sifat yang baik dari kedua jenis kelapa asalnya. Sifat-sifat unggul yang dimiliki oleh kelapa hibrida adalah :

ƒ lebih cepat berbuah, sekitar 3-4 tahun setelah tanam,

ƒ produksi kopra tinggi, sekitar 6-7 ton/hektar/tahun, pada umur 10 tahun, ƒ produktivitas lebih besar, sekitar 140 butir/pohon/tahun,

ƒ daging buah tebal, keras dan kandungan minyaknya tinggi, ƒ habitus tanaman sedang,

ƒ lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit.

Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai untuk pertumbuhan dan produksinya. Kelapa tergolong tanaman yang menyenangi sinar matahari dan pertumbuhannya akan terhambat jika kekurangan sinar matahari. Lama penyinaran yang dikehendaki adalah 2.000 jam per tahun atau minimal 120 jam per bulan. Pada bulan Mei hingga Agustus, jumlah lama penyinaran per bulan lebih tinggi dari rata-rata penyinaran pada bulan Oktober hingga Maret. Karenanya, pada bulan Mei hingga Agustus jumlah bunga betina lebih banyak dibanding pada bulan Oktober hingga Maret.

Suhu rendah tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman kelapa. Karenanya, penyebaran tanaman kelapa terbatas pada daerah tropik. Tanaman kelapa dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl. Suhu optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya adalah 27-28°C. Bila temperatur udara rata-ratanya 15°C, maka akan mengakibatkan perubahan morfologis tanaman. Tanaman kelapa dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun yang terbaik untuk tanaman ini adalah tanah aluvial. Derajat kemasaman (pH) tanah yang terbaik untuk pertumbuhan kelapa adalah 6,5-7,5. Namun kelapa masih dapat tumbuh pada tanah yang mempunyai pH 5-8.

Tanaman kelapa juga menyukai udara yang lembab. Namun udara yang lembab dalam waktu lama juga tidak baik untuk pertumbuhan tanaman karena akan mengurangi penguapan dan penyerapan unsur hara serta mengundang penyakit akibat cendawan. Lokasi yang cocok untuk tanaman kelapa adalah daerah yang mempunyai curah hujan rata-rata 1200-2500 mm


(24)

per tahun dengan penyebaran merata sepanjang tahun. Bila terjadi kekeringan selama tiga bulan, maka tanaman akan kritis. Sebaliknya jika rata-rata curah hujannya terlalu tinggi, tanaman juga sulit melakukan penyerbukan (Palungkun, 1998).

B. Buah Kelapa

Secara umum, buah kelapa mempunyai komposisi 35% sabut, 12% tempurung, 28% daging biji, dan 25% air kelapa. Namun komposisi ini sangat bervariasi menurut jenis kelapa. Buah kelapa umumnya dapat dipanen setelah 11-12 bulan sejak bunga betina diserbuki (Samosir, 1992). Buah kelapa yang normal terdiri dari beberapa bagian, yaitu kulit luar (epicarp), sabut

(mesocarp), tempurung (endocarp), kulit daging buah (testa), daging buah

(endosperm), air kelapa dan lembaga (Palungkun, 1998).

a. Kulit luar

Bagian buah kelapa yang paling luar ini berwarna hijau, kuning atau jingga. Permukaannya licin dan keras, tebalnya sekitar 0,14 mm. b. Sabut

Sekitar 35% dari total berat buah kelapa merupakan berat sabut kelapa. Bagian yang berserabut ini merupakan kulit buah dari buah kelapa dan dapat dijadikan sebagai bahan baku aneka industri, seperti karpet, sikat, keset, bahan pengisi jok mobil, tali, dan lain-lain. Sabut kelapa juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dengan cara dibakar. Sabut dari 100.000 buah kelapa akan menghasilkan sekitar 2.000 kg abu yang mengandung unsur kalium yang ekivalen dengan satu ton ZK. Abu sabut kelapa juga mengandung unsur fosfor sekitar 2% dari berat abu (Palungkun, 1998).

c. Tempurung

Tempurung terletak di bagian dalam kelapa setelah sabut. Tempurung merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kerasnya disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat di tempurung tersebut. Berat tempurung kelapa sebesar 15-19% dari total berat buah kelapa. Tempurung kelapa dimanfaatkan untuk berbagai industri seperti


(25)

arang tempurung dan karbon aktif yang berfungsi untuk mengabsorpsi gas dan uap (Palungkun, 1998).

d. Kulit daging buah

Kulit daging buah akan terlihat setelah tempurung dikupas. Kulit tersebut berwarna cokelat dan membungkus seluruh daging buah kelapa. Kulit tipis ini biasanya dibuang ketika daging buah akan diolah. Kalau diikutkan dalam pengolahan minyak, maka akan menyebabkan minyak berwarna coklat. Namun, kulit ini dapat diolah menjadi minyak goreng kualitas nomor dua (Palungkun, 1998).

e. Daging buah

Daging buah adalah jaringan yang berasal dari inti lembaga yang dibuahi sel kelamin jantan dan membelah diri. Daging buah kelapa berwarna putih, lunak, dan tebalnya 8-10 mm. Daging buah ini merupakan sumber protein yang penting dan mudah dicerna. Jumlah protein terbesar terdapat pada kelapa yang setengah tua, sedangkan kandungan kalorinya mencapai maksimal ketika buah sudah tua, demikian pula kandungan lemaknya. Dengan demikian jumlah zat dan gizi kelapa tergantung pada umur buah, seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi daging kelapa pada berbagai tingkat umur (per 100 gr) Analisis Satuan Buah Muda

Buah Setengah

Tua

Buah Tua

Kalori kal 68 180 359

Protein g 1 4 3,4

Lemak g 0,9 13,0 34,7

Karbohidrat g 14 10 14

Kalsium mg 17 8 21

Fosfor mg 30 35 21

Besi mg 1 1,3 2

Vitamin A IU 0,0 10,0 0,0

Thiamin mg 0,0 0,5 0,1

Asam askorbat mg 4,0 4,0 2,0

Air g 83,3 70 46,9


(26)

Daging buah kelapa juga mengandung asam-asam amino esensial seperti tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging kelapa

Asam Amino Jumlah (%) Asam Amino Jumlah (%)

Lisin 5,80 Tirosin 3,18

Methionin 1,43 Cistin 1,44

Fenilalanin 2,05 Arginin 15,92

Triptofan 1,25 Prolin 5,54

Valin 3,57 Serin 1,76

Leusin 5,9 Asam aspartat 5,12

Histidin 2,42 Asam glutamat 19,07

Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998)

Lengkapnya kandungan zat gizi pada daging buah kelapa menyebabkan buah kelapa dapat diolah menjadi berbagai produk kebutuhan rumah tangga seperti bumbu dapur, santan, kopra, minyak kelapa dan kelapa parut kering. Minyak kelapa memiliki banyak kegunaan antara lain sebagai minyak masak dan shortening, losion rambut dan badan, untuk obat lecet dan kulit terbakar, sebagai bahan bakar, serta sebagai bahan pembuatan sabun dan deterjen. Akhir-akhir ini juga terdapat kenaikan permintaan akan virgin coconut oil sebagai bahan masakan berkualitas, sebagai makanan sehat serta untuk pengobatan (Foale, 2003). f. Air kelapa

Buah kelapa yang terlalu muda belum memiliki daging buah, yang ada hanya air yang disebut air degan. Air kelapa muda ini rasanya manis, mengandung mineral 4%, gula 2%, abu dan air. Bila buah makin tua, maka kemanisan airnya semakin berkurang. Jumlah air kelapa dari jenis kelapa dalam lebih banyak daripada jenis hibrida. Air dari jenis kelapa dalam rata-rata 300 cc, sedangkan jenis hibrida rata-rata hanya 230 cc. Berat jenis air kelapa umumnya sekitar 1,02 dengan pH sekitar 5,6. Air kelapa dari buah tua mengandung asam amino bebas sebanyak 4,135 g/100g sisa alkohol tidak terlarut. Air kelapa selain diolah menjadi produk nata de coco juga dapat diolah menjadi berbagai macam produk, antara lain kecap (Palungkun, 1998). Perbandingan komposisi kimia air kelapa muda dan kelapa tua dapat dilihat pada Tabel 3.


(27)

Tabel 3. Komposisi kimia air buah kelapa (per 100 gr)

Analisis Satuan Air Kelapa Muda Air Kelapa Tua

Kalori kal 17,0 -

Protein g 0,2 0,14

Lemak g 1,0 1,50

Karbohidrat g 3,8 4,60

Kalsium g 15,0 -

Fosfor g 8,0 0,50

Besi mg 0,2 -

Asam askorbat mg 1,0 -

Air g 95,5 91,5

Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998) g. Lembaga

Lembaga buah akan tumbuh menjadi bakal tanaman setelah buah tua. Selain lembaga juga tumbuh alat penghisap makanan yang disebut kentos. Kentos berfungsi sebagai penghubung antara tempat cadangan makanan dengan bakal tanaman. Kentos akan membesar seiring dengan pertumbuhan lembaga. Sedang daging buahnya akan semakin lunak, berair, dan akhirnya habis terserap oleh kentos. Proses penyusutan daging buah ini terjadi bersamaan dengan tumbuhnya tunas dan daun (Palungkun, 1998).

Rumokoi et al. (1994) menyatakan bahwa jenis kelapa dan lama penyimpanan buah kelapa mempengaruhi kualitas produk-produk kelapa seperti kopra, minyak kelapa, santan dan kelapa parut kering. Hal tersebut di dasarkan pada hasil penelitian pengaruh perlakuan penyimpanan buah kelapa terhadap kualitas kopra, minyak kelapa, santan dan kelapa parut kering dari kelapa Dalam Tenga (DTA), kelapa Genjah Kuning Nias (GKN) dan kelapa hibrida Khina-1. Pengaruh lama penyimpanan buah dan jenis kelapa untuk setiap produk adalah sebagai berikut.

a. Kopra

Kadar lemak kopra menurun dengan semakin lama penyimpanan buah. Kadar lemak dari buah yang disimpan lebih dari 4 minggu kurang dari 60 persen. Pada penyimpanan buah 2 minggu, kadar lemak tertinggi diperoleh dari Khina-1 (67,34%) diikuti oleh Dalam Tenga (65,14%) dan Genjah Kuning Nias (59,81%). Pada penyimpanan buah 4


(28)

minggu mulai terjadi penurunan kadar lemak yaitu menjadi 63,21% (Khina-1), 63,43% (Dalam Tenga) dan 58,62% (Genjah Kuning Nias). b. Minyak kelapa

Bilangan asam, bilangan penyabunan dan kadar asam lemak bebas minyak dari kelapa DTA, GKN dan Khina-1 meningkat selama penyimpanan buah. Tidak terdapat perbedaan berarti pada sifat-sifat fisik dan kimia minyak kelapa antar jenis kelapa. Berdasarkan kadar asam lemak bebas, minyak kelapa yang dihasilkan dari buah yang disimpan lebih dari 4 minggu tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi karena kadar asam lemak bebas lebih dari 0,3%.

c. Santan

Kekentalan dan stabilitas emulsi santan menurun dengan makin lama penyimpanan buah. Kekentalan tertinggi diperoleh pada santan dari DTA dan GKN, dan terendah pada Khina-1. Sedangkan stabilitas emulsi santan tertinggi pada Khina-1 dan terendah GKN.

d. Kelapa parut kering

Lama penyimpanan buah tidak mempengaruhi kadar air kelapa parut kering untuk semua jenis kelapa tetapi mempengaruhi kadar lemak. Sesuai dengan SII bahwa kadar lemak kelapa parut kering minimal 65% maka kelapa parut kering yang memenuhi syarat adalah dari kelapa DTA dan Khina-1 pada penyimpanan buah selama 2 minggu.

Kelapa dengan kadar lemak tinggi dan asam lemak bebas rendah adalah bahan baku yang baik untuk industri minyak kelapa dan kelapa parut kering. Sedangkan untuk pembuatan konsentrat protein dibutuhkan kelapa dengan kadar protein tinggi. Menurut Djatmiko (1991), rubber copra adalah kopra yang memiliki sifat elastis dan sukar dipatahkan. Semakin tinggi jumlah

rubber copra, semakin tinggi tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan

minyak dari bahan. Galaktomanan merupakan salah satu penyebab sifat

rubbery pada kopra. Sifat ini akan menurun sejalan dengan menurunnya kadar

galaktomanan. Kadar galaktomanan akan menurun dengan semakin meningkatnya umur buah.


(29)

Kelapa dengan kadar fosfolipid yang tinggi tidak diinginkan karena berhubungan dengan warna produk olahan kelapa selama penyimpanan. Semakin tinggi kadar fosfolipid, semakin cepat terjadi perubahan warna produk dari putih menjadi kuning. Kelapa parut kering memerlukan daging kelapa yang mengandung kadar fosfolipid rendah. Prasetyanti (1991) dalam Rumokoi et al. (1994) menyatakan bahwa warna kuning atau coklat pada kelapa parut kering dapat disebabkan oleh oksidasi terhadap fosfolipid. Tabel 4 menunjukkan kesesuaian beberapa jenis kelapa untuk diolah menjadi kopra, minyak kelapa, kelapa parut kering dan konsentrat protein.

Tabel 4. Produk-produk pangan menurut jenis kelapa

Jenis Produk Jenis Kelapa

1. Minyak/santan DTA, Dalam Palu , Genjah Salak, Khina-1, PB-121

2. Kopra tidak rubbery DTA, Khina-3

3. Kelapa parut kering Khina-2 (buah umur 12 bulan), Khina-3 (buah umur 12 bulan), DTA (buah umr 12 bulan), Khina-1, PB-121

4. Konsentrat protein DTA, GKN, Khina-2, PB-121 Sumber : Rumokoi, et al. (1994).

Bahan baku kelapa yang biasa digunakan untuk pembuatan VCO biasanya kelapa dalam seperti kelapa dalam Mapanget, DMT-3283, Tenga, Bali, Suwarna, Palu, dan Riau. Kelapa-kelapa tersebut umumnya menghasilkan VCO dengan kualitas baik. Sebenarnya kelapa hibrida juga dapat digunakan sebagai bahan baku VCO. Namun, kelapa hibrida adalah hasil mutasi gen/persilangan yang membutuhkan kondisi tertentu dan penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam pembudidayaannya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pada VCO yang dihasilkan terdapat residu bahan kimia sehingga tidak benar-benar murni (Sutarmi dan Rozaline, 2006).

C. Kondisi Perkelapaan Indonesia

Kelapa diusahakan di seluruh propinsi di Indonesia. Bentuk dan skala usaha taninya berbeda-beda, tergantung ketersediaan sumber daya dan permintaan pasar. Selama lebih dari 25 tahun terakhir areal kelapa sudah berkembang lebih dari dua ratus persen. Di tahun 1969 luas areal kelapa hanya sebesar 1.680.536 Ha. Namun pada tahun 1997 luasnya sudah menjadi


(30)

3.668.233 Ha sehingga Indonesia merupakan negara dengan areal kelapa terluas di dunia. Ditinjau dari produksinya, mulai Pelita I-V tampak terus meningkat, kecuali pada Pelita III. Di Jawa dan Bali, produksi cukup tinggi pada Pelita I-III, tetapi tersaingi oleh Sumatera pada Pelita IV dan V. Ini disebabkan antara lain di Sumatera digunakan kelapa hibrida dan pesatnya perluasan areal, terutama di lahan pasang surut (Sukamto, 2001).

Di Indonesia tanaman kelapa diusahakan dalam tiga bentuk pengusahaan yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta. Lebih dari 90% lahan perkebunan kelapa di Indonesia adalah perkebunan rakyat. Hasil produksi kelapa sebagian besar berasal dari perkebunan rakyat. Sejak tahun 2001 sampai tahun 2004, luas lahan perkebunan kelapa terus menurun, sedangkan hasil produksinya pada periode tersebut terus meningkat. Tabel 5 dan Tabel 6 memperlihatkan perkembangan luas lahan dan produksi kelapa selama lima tahun terakhir (2001-2005) untuk tiap bentuk pengusahaan. Data tahun 2005 masih merupakan angka sementara yang telah dihimpun oleh Direktorat Jendral Perkebunan.

Tabel 5. Luas lahan perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan (hektar)

Tahun 2001 2002 2003 2004 2005

Perkebunan rakyat 3.818.946 3.806.032 3.785.343 3.759.736 3.786.063 Perkebunan negara 11.661 9.764 5.838 5.452 5.462 Perkebunan swasta 121.023 123.766 121.949 106.893 106.893 Total 3.951.630 3.939.562 3.913.130 3.872.081 3.898.418 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2006)

Tabel 6. Produksi perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan (ton kopra)

Tahun 2001 2002 2003 2004 2005

Perkebunan rakyat 3.068.727 3.010.894 3.136.360 3.191.126 3.176.575

Perkebunan negara 14.685 7.755 2.629 3.923 3.071

Perkebunan swasta 153.711 147.229 115.865 106.893 111.335

Total 3.237.123 3.165.878 3.254.854 3.301.942 3.290.981 Produktivitas (Ton/Ha) 0,819 0,803 0,831 0,852 0,844

Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2006)

Keterangan : Produktivitas total dihitung dengan cara membagi total produksi kelapa setara kopra (ton) dengan total luas areal kelapa (hektar).


(31)

Sebagian besar usaha perkebunan kelapa masih dilakukan secara tradisional, umumnya pada lahan pekarangan atau kebun rumah. Dari tahun 2002 sampai tahun 2004, terjadi peningkatan produktivitas kopra. Walaupun demikian, kegiatan pemeliharaan dan pembaruan tanaman kelapa tetap perlu dilakukan karena tanaman kelapa yang semakin tua akan mengalami penurunan produktivitas. Peremajaan kelapa sudah harus dimulai sejak tanaman berumur 60 tahun (Sukamto, 2001). Menurut Allorerung et al.

(2005), produktivitas tanaman kelapa di Indonesia masih dapat ditingkatkan menjadi 1,5 ton kopra/hektar. Sentra produksi kelapa Indonesia antara lain Propinsi Riau, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, serta Bali, NTB dan NTT.

Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat kopra atau minyak kelapa. Namun seiring dengan perkembangan pasar dan teknologi, permintaan berbagai produk turunan kelapa semakin meningkat seperti dalam bentuk desiccated coconut (DC), serat sabut, arang tempurung dan arang aktif. Dalam sepuluh tahun terakhir (1993-2002), penggunaan domestik kopra dan kelapa butiran masih meningkat namun dengan laju pertumbuhan yang sangat kecil. Penggunaan DC meningkat dengan laju 2,19% per tahun. Sebaliknya penggunaan domestik minyak kelapa cenderung berkurang. Tabel 7 menunjukan penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia.

Tabel 7. Penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia (ribu ton)

Tahun Kopra CCO DC Butir CF CCL AC

1993 1.039 454 0,0 11.947 0,0 0,0 0,0

1996 973 364 0,0 13.276 0,0 0,0 0,0

1999 1.212 231 0,0 14.935 0,0 0,1 0,0

2000 1.264 163 0,1 15.114 0,1 0,0 0,0

2001 1.276 334 0,1 15.160 0,1 0,0 0,0

2002 1.202 263 0,0 15.973 0,0 0,0 0,0

Laju (%/th) 2,7 -9,1 - 3,1 - - -

Sumber : Allorerung et al. (2005) Keterangan :

CCO : Coconut Crude Oil DC : Desiccated Coconut CF : Coconut Fiber


(32)

Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah. Produksi arang aktif, arang tempurung dan serat sabut selama ini lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Pada tahun 2002 penggunaan domestik kopra mencapai 1,2 juta ton, sedangkan CCO sebesar 263 ribu ton. Penggunaan domestik kelapa pada tahun yang sama mencapai 15,9 juta ton. Penggunaan tepung kelapa dan serat sabut dalam negeri justru berasal dari impor karena produksi dalam negeri seluruhnya diekspor.

Selama periode tahun 1993-2002 ekspor berbagai produk kelapa Indonesia cenderung meningkat kecuali kelapa butir dan serat sabut. Produk olahan CCO, DC, dan bungkil kopra adalah produk ekspor dominan. Tujuan ekspor produk kelapa Indonesia selama ini meliputi banyak negara di Eropa, Amerika maupun Asia dan Pasifik. Perolehan ekspor produk kelapa Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama (Philipina). Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh faktor perbedaan kualitas produk, tingginya biaya tranportasi serta kompleksitas prosedur ekspor (Allorerung et al., 2005). Tabel 8 menunjukkan volume ekspor beberapa produk kelapa Indonesia selama periode tahun 1993-2002.

Tabel 8. Volume ekspor ekspor beberapa produk kelapa Indonesia (ton)

Tahun Kopra CCO DC Butir CF CCL AC

1993 8.744 258.400 19.596 19.522 88 12.362 7.163

1996 0 378.800 24.150 2.264 866 15.855 12.325

1999 42.169 349.600 23.533 38.136 59 17.742 11.283 2000 34.579 734.600 31.373 5.334 102 26.735 10.205

2001 23.884 395.100 34.820 507 191 23.452 12.104

2002 40.045 446.300 48.550 8.694 191 29.493 11.553 Laju

(%/th) 12,11 6,29 7,76 -11,34 -10,23 8,95 4,72

Sumber : Allorerung et al. (2005)

Volume impor produk kelapa ke Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan volume ekspornya. Secara implisit berarti Indonesia masih menjadi pengekspor neto produk-produk kelapa. Selama periode tahun 1993-2002, volume impor kopra dan kelapa butiran berfluktuasi dengan


(33)

kecenderungan menurun. Impor DC baru terjadi sejak tahun 1997 hingga 2001 dengan laju kenaikan yang positif. Impor produk terbesar adalah berupa minyak kelapa (CCO) dengan volume bervariasi antara 5000-90.000 ton. Tabel 9 menunjukkan impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa selama periode tahun 1993-2002.

Tabel 9. Impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa (ton)

Tahun Kopra CCO DC Butir CF CCL AC

1993 0 33.500 0 82 0 - -

1994 5 46.000 0 40 0 - -

1995 1.911 26.000 0 48 0 - -

1996 3.124 43.600 0 625 0 - -

1997 0 20.000 30 157 0 - -

1998 25 5.000 94 0 0 - -

1999 90 90.000 31 0 31 - -

2000 2 60.000 128 20 128 - -

2001 27 35.000 67 7 67 - -

2002 1.657 18.000 0 0 0 - -

Laju (%/th) -3,15 1,17 21,92 -19,44 32,23 - - Sumber : Allorerung et al. (2005)

D. Supply Chain Management

Eltram (1991) mendefinisikan Supply Chain Management (SCM) sebagai pendekatan integratif dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan aliran material dari pemasok sampai ke pengguna akhir. Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang terlibat, untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan. Penggunaan istilah rantai dalam SCM benar-benar menunjukkan sebuah jaringan kerja perusahaan-perusahaan yang saling berinteraksi untuk mengantarkan produk/jasa ke konsumen akhir, mengaitkan aliran dari bahan mentah sampai penyampaian akhir.

Perspektif SCM mirip dengan saluran pemasaran yang teradministrasi atau terkontrak di mana pendekatan-pendekatan ini membutuhkan kerjasama sukarela ataupun kerjasama berdasarkan kontrak dari anggota-anggota saluran untuk mencapai tujuan umum. Pendekatan SCM berbeda dengan perspektif saluran pemasaran tradisional dalam 2 hal.


(34)

Pertama, SCM mempunyai tujuan yang lebih luas : mengelola inventory dan hubungan untuk mencapai pelayan konsumen tingkat tinggi daripada pencapaian tujuan-tujuan pemasaran spesifik. Kedua, pendekatan SCM mencoba untuk mengelola baik aktivitas hulu maupun aktivitas hilir dalam rantai persediaan. Saluran pemasaran cenderung untuk fokus pada aktivitas hilir (Eltram, 1991).

Manajemen rantai pasokan merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner (Simchi-Levi et al., 2003).

Anggota rantai pasokan meliputi semua perusahaan dan organisasi yang berhubungan langsung dengan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemasok atau pelanggannya dari point of origin hingga

point of consumption. Anggota primer adalah semua unit bisnis strategik yang

benar-benar-benar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi pelanggan atau pasar. Anggota sekunder adalah perusahaan-perusahaan yang menyediakan sumber daya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota primer. Melalui definisi anggota primer dan anggota sekunder diperolah pengertian bahwa the point of origin adalah titik dimana tidak ada pemasok primernya, sedangkan point of consumption adalah titik di mana tidak ada pelanggan utama (Miranda dan Amin, 2005).

Tujuan dari SCM adalah membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif ; minimasi biaya sistem total, dari transportasi dan distribusi sampai inventori bahan mentah, bahan dalam proses dan produk jadi. Penekanannya tidak hanya sebatas meminimalkan biaya transportasi atau mengurangi inventori, tetapi lebih kepada melakukan pendekatan sistem untuk SCM. SCM bergerak di sekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang dan


(35)

toko-toko secara efisien, mencakup aktivitas-aktivitas perusahaan dari level strategis, taktis sampai operasional (Simchi-Levi et al., 2003).

Simchi-Levi et al. (2003) menyatakan bahwa strategi SC tradisonal umumnya dikategorikan sebagai sistem push atau pull. Dalam SC dengan sistem push, kebijakan produksi dan distribusi didasarkan pada peramalan jangka panjang. Biasanya, perusahaan mengambil dasar peramalan permintaan berupa data order yang diterima dari gudang-gudang ritel. Karenanya SC dengan sistem ini perlu waktu lebih lama untuk bereaksi terhadap perubahan pasar. Kondisi ini dapat mengarah kepada ketidakmampuan untuk menyesuaikan pola perubahan permintaan, keusangan inventori SC pada saat permintaan untuk produk tertentu hilang serta timbulnya efek bullwhip dimana variabilitas permintaan yang diterima dari ritel lebih besar dari variabilitas permintaan pelanggan sehingga terjadi kelebihan inventori akibat kebutuhan

safety stock yang besar.

Dalam SC dengan sistem pull, produksi dan distribusi digerakkan oleh permintaan sehingga sistem ini berkoordinasi sesuai dengan permintaan nyata dari pelanggan daripada ramalan permintaan. Dalam sistem pull murni, perusahaan tidak menyimpan inventori sama sekali dan hanya merespon permintaan spesifik. Hal ini dimungkinkan dengan mekanisme aliran informasi yang cepat untuk mentransfer informasi mengenai permintaan pelanggan kepada berbagai partisipan SC. Dalam rantai dengan dasar sistem

pull, umumnya dilihat pengurangan inventori yang signifikan dalam sistem, peningkatan kemampuan untuk mengelola sumber daya, serta pengurangan biaya sistem saat dibandingkan dengan sistem push yang ekivalen. Di sisi lain, sistem pull seringkali sulit untuk diterapkan saat lead time sangat panjang sehingga tidak praktis untuk bereaksi atas informasi permintaan. Dalam sistem

pull, seringkali sulit untuk memperoleh manfaat dari skala ekonomi dalam pabrikasi dan transportasi karena sistem tidak disiapkan untuk jangka panjang.

Kelebihan dan kekurangan sistem pull maupun sistem push telah membawa perusahaan-perusahaan untuk mencari strategi SC baru yang mengambil keuntungan dari kedua sistem, yang umumnya berupa strategi


(36)

dioperasikan secara push-based sementara tahap selanjutnya menggunakan strategi pull-based. Interface antara tahap push-based dan pull-based dikenal sebagai push-pull boundary. Postponement, atau penundaan diferensiasi dalam disain produk, adalah salah satu contoh strategi push-pull. Perusahaan mendesain produk dan proses produksi sehingga kebijakan mengenai produk spesifik yang diproduksi dapat ditunda selama mungkin. Proses pabrik dimulai dengan memproduksi produk generik yang kemudian didiferensiasikan menjadi produk akhir saat permintaan muncul.

E. Metode Penelitian

Menurut Nasution (2003), studi kasus adalah bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Studi kasus dapat dilakukan terhadap seorang individu (misal suatu keluarga), segolongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial. Studi kasus dapat mengenai perkembangan sesuatu, dapat pula memberi gambaran tentang suatu keadaan. Dalam studi kasus dapat digunakan berbagai cara pengumpulan seperti observasi, wawancara, angket, studi dokumenter dan alat pengumpulan data lainnya.

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Dengan wawancara, peneliti bertujuan untuk memperoleh data yang dapat diolah untuk memperoleh generalisasi yang menunjukkan kesamaan dengan situasi-situasi lain. Wawancara dapat berfungsi deskriptif, yaitu melukiskan kenyataan seperti dialami orang lain sehingga peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih obyektif tentang masalah yang diselidikinya. Wawancara dapat juga berfungsi eksploratif, yakni bila masalah yang dihadapi masih samar-samar karena belum pernah diteliti secara mendalam oleh orang lain. Secara umum, dapat dibedakan dua jenis wawancara yakni berstruktur dan tak berstruktur. Wawancara berstruktur dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan dengan maksud dapat mengontrol dan mengatur berbagai dimensi pertanyaan ataupun jawabannnya. Wawancara tak berstruktur dilakukan secara spontan tanpa dipersiapkan daftar pertanyaan sebelumnya (Nasution, 2003).


(37)

F. Efisiensi Pemasaran

Menurut Sudiyono (2002), pemasaran sebagai kegiatan produktif mampu meningkatkan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu. Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu ini diperlukan biaya pemasaran. Biaya pemasaran ini diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran dan produsen sampai kepada konsumen akhir. Pengukuran kinerja pemasaran ini memerlukan ukuran efisiensi pemasaran. Secara sederhana konsep efisiensi ini didekati dengan rasio output-input. Suatu Proses pemasaran dikatakan efisien apabila :

1). Output tetap dicapai dengan input yang lebih sedikit 2). Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap

3). Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat daripada laju input

4). Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input

Output pemasaran ini berupa kepuasan konsumen akibat pertambahan utiliti terhadap output-output pertanian yang dikonsumsi tersebut. Biaya pemasaran seringkali digunakan untuk mendekati input pemasaran. Penilaian efisiensi pemasaran dengan menggunakan rasio output-input ini sulit dilakukan, terutama dalam pengukuran output pemasaran yang berupa kepuasan konsumen. Pengukuran rasio output-input dapat didekati dengan sudut pandang efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga.

Efisiensi penetapan harga berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kinerja proses pemasaran dalam menyampaikan output pertanian dari daerah produsen ke daerah konsumen. Efisiensi operasional diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran. Dalam menetapkan efisiensi operasional ini diasumsikan sifat utama output tidak mengalami perubahan atau efisiensi ini lebih berkaitan dengan kegiatan fisik pemasaran dengan penekanan ditujukan pada usaha mengurangi input untuk menghasilkan output pemasaran atau menaikan rasio output-input pemasaran.


(38)

Indikator-indikator yang lebih jelas dan lebih mudah digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah marjin pemasaran, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan intensitas persaingan pasar. Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga yang diterima petani. Sementara ini ada anggapan bahwa semakin besar marjin pemasaran, semakin tidak efisien suatu proses pemasaran. Anggapan ini tidak selamanya benar, sebab marjin pemasaran ini pada hakekatnya terdiri dari biaya-biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga-lembaga pemasaran. Anggapan tersebut dapat dibenarkan jika dibutuhkan biaya yang relatif kecil untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran.

Penyediaan fasilitas fisik untuk pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran. Kurang tersediaanya fasilitas fisik, terutama pengangkutan diidentikkan dengan ketidakefisienan proses pemasaran. Intensitas persaingan pasar juga seringkali digunakan untuk menilai efisiensi pemasaran. Struktur pasar persaingan sempurna dianggap lebih efisien dibanding struktur pasar oligopolistik maupun monopolistik.

G. Programa Linier

Menurut Dimyati dan Dimyati (2003), programa linier adalah suatu cara untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian sumber-sumber yang terbatas di antara beberapa aktivitas yang bersaing, dengan cara terbaik yang mungkin dilakukan. Programa linier menggunakan model matematis untuk menjelaskan persoalan yang dihadapinya. Dalam membangun model dari formulasi persoalan digunakan karakteristik-karakteristik yang biasa digunakan dalam persoalan programa linier, yaitu :

a. Variabel keputusan

Variabel keputusan adalah variabel yang menguraikan secara lengkap keputusan-keputusan yang akan dibuat

b. Fungsi tujuan

Fungsi tujuan merupakan fungsi dari variabel keputusan yang akan dimaksimumkan (untuk pendapatan atau keuntungan) atau diminimumkan (untuk ongkos).


(39)

c. Pembatas

Pembatas merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak bisa menentukan harga-harga variabel keputusan secara sembarang.

Bentuk standar dari persoalan programa linier tersaji di bawah ini. Setiap situasi yang formulasi matematisnya memenuhi model ini adalah persoalan programa linier.

Maksimumkan z = c1x1 + c2x2 + … + cnxn (fungsi tujuan) berdasarkan pembatas :

a11x11 + a12x2 + … + a1nxn < b1 a21x11 + a22x2 + … + a2nxn < b2

. . . am1x11 + am2x2 + … + amnxn < bm dan x1 > 0, x2 > 0, …, xn > 0

Selain model programa linier dengan bentuk seperti yang telah diformulasikan di atas, ada pula model programa linier dengan bentuk yang agak lain seperti :

1. Fungsi tujuan bukan memaksimumkan, melainkan meminimumkan.

2. Beberapa pembatas fungsionalnya mempunyai ketidaksamaan dalam bentuk lebih besar atau sama dengan.

3. Beberapa pembatas fungsionalnya mempunyai bentuk persamaan. 4. Menghilangkan pembatas nonnegatif untuk beberapa variabel keputusan.

Dalam menggunakan model programa linier, diperlukan beberapa asumsi sebagai berikut :

1. Asumsi kesembandingan (proportionality)

Kontribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan adalah sebanding dengan nilai variabel keputusan. Kontribusi suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas juga sebanding dengan nilai variabel keputusan itu.

2. Asumsi penambahan (aditivity)

Kontribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan bersifat tidak tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain. Kontribusi


(40)

suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas bersifat tidak tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain.

3. Asumsi pembagian (divisibility)

Dalam persoalan programa linier, variabel keputusan boleh diasumsikan berupa bilangan pecahan.

4. Asumsi kepastian (certainty)

Setiap parameter, yaitu koefisien fungsi tujuan, ruas kanan, dan koefisien teknologis, diasumsikan dapat diketahui secara pasti.

Menurut Nasendi dan Anwar (1985), sistematika dari analisis-analisis dalam proses pengambilan keputusan yang memakai progam linier dan variasinya mempunyai lima tahap sebagai berikut :

1. Identifikasi persoalan

Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data tentang kendala-kendala yang menjadi syarat ikatan terhadap peubah-peubah dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari.

2. Penyusunan model

Kegiatan penyusunan model terdiri dari empat hal, yaitu : (1)memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahannya

(2)merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika (3)menentukan peubah-peubah beserta kaitannya satu sama lain

(4)menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan parameter yang jelas

3. Analisis model

Model yang dipilih untuk dapat dianalisis dengan teknik program linier dan variasinya akan memberikan hasil-hasil yang optimal. Hasil analisis tersebut perlu diuji kepekaannya guna melihat sampai seberapa jauh parameter dari peubah-peubah yang ditetapkan dapat bertahan apabila terjadi perubahan pada sistem.


(41)

4. Pengesahan model

Analisis pengesahan model menyangkut penilaian terhadap model dengan cara mencocokkannya dengan keadaan dan data nyata. 5. Implementasi

Hasil-hasil yang diperoleh dapat dipakai dalam perumusan-perumusan rencana kegiatan yang sewaktu-waktu dapat dinilai. Implementasi hasil ini juga menyangkut sistem dokumentasi model dan dokumentasi hasil analisis yang baik.

H. Model Transportasi

Menurut Russel dan Taylor (2003), metode transportasi adalah suatu teknik kuantitatif yang digunakan untuk menentukan cara menyelenggarakan transportasi dengan biaya seminimal mungkin. Persoalan transportasi melibatkan pengangkutan barang dari berbagai sumber dengan jumlah penawaran tetap ke tujuan-tujuan tertentu dengan jumlah permintaan yang tetap pula dengan biaya serendah mungkin. Dimyati dan Dimyati (2003) menyatakan bahwa model transportasi merupakan salah satu bentuk khusus atau variasi dari program linier yang dikembangkan khusus untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan transportasi dan distribusi produk dari berbagai sumber (pusat pengadaan atau titik suplai) ke berbagai tujuan (titik permintaan). Ciri khusus dari suatu persoalan transportasi ini adalah :

1. Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu.

2. Kuantitas komoditas atau barang yang didistribusikan dari setiap sumber dan yang diminta oleh setiap tujuan, besarnya tertentu.

3. Komoditas yang dikirim atau diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan besarnya sesuai dengan permintaan dan atau kapasitas sumber.

4. Ongkos pengangkutan komoditas dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya tertentu.

Misalkan ada m buah sumber dan n buah tujuan. Masing-masing sumber mempunyai kapasitas ai, dengan i = 1, 2, …, m. Masing-masing tujuan membutuhkan komoditas sebanyak bj, dengan j = 1, 2, …, n. Jumlah


(42)

satuan yang dikirimkan dari sumber i ke tujuan j adalah sebanyak Xij dengan ongkos pengiriman per unit adalah Cij. Dengan demikian, maka formulasi programa liniernya adalah sebagai berikut.

Meminimumkan

∑∑

= = = m i n j ij ijX C Z 1 1

berdasarkan pembatas :

i n j ij a X =

=1

; i = 1, 2, ..., m j

n i ij b X =

=1

; j = 1, 2, ..., n

dan Xij ≥0untuk seluruh i dan j.

I. LINDO

LINDO (Linear Interactive and Discrete Optimizer) ialah suatu paket program interaktif programming linier, kuadratik dan integer yang dirancang agar dapat digunakan oleh berbagai kalangan pemakai. Lindo disusun sedemikian rupa sehingga sangat mudah digunakan karena persoalan

Linear Programming yang telah dinyatakan dalam fungsi tujuan dan

kendala-kendala tidak perlu dipindahkan ke dalam format-format tertentu yang menyulitkan, akan tetapi secara langsung dapat dimasukkan sesuai dengan bentuk aslinya (Pusat Pengolahan Data dan Statistik Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 1985).

LINDO telah digunakan pada ribuan badan usaha, perguruan tinggi, universitas dan badan pemerintahan di seluruh dunia. LINDO versi Windows menyediakan menu pull-down dan toolbar yang mudah digunakan serta editor model yang lengkap. Persoalan dapat diekspresikan dalam gaya persamaan lurus yang sederhana. LINDO juga mempunyai kapasitas untuk menyelesaikan model linier dan integer berskala besar dengan cepat. LINDO juga mempunyai semua fitur yang dibutuhkan untuk input model, editing, tampilan solusi, penyelidikan kelogisan data, penanganan file dan analisis sensitivitas (LINDO Sytems Inc, 2006).

J. Hasil Penelitian Terdahulu

Ritonga (2005) melakukan analisis pemasaran komoditas kentang dengan pendekatan konsep SCM di Semarang, dimana analisis difokuskan


(43)

pada pola rantai pasokan serta analisis marjin pemasaran dan farmer share

(bagian petani). Penelitian tersebut menggunakan data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan anggota mata rantai pasokan komoditas kentang baik melalui hipermarket maupun pasar tradisional. Anggota rantai pasokan yang terlibat dalam rantai pasokan kentang di Semarang yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pemasok, pedagang pengecer termasuk hipermarket serta konsumen.

Petani di lokasi penelitian menjual komoditas kentang yang dipanen untuk pasar Kota Semarang melalui dua pasar induk, yaitu Pasar Johar dan Pasar Bandungan. Secara umum pola rantai pasokan komoditas kentang dari lokasi penelitian adalah dari petani kentang dijual ke pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjual kepada pedagang grosir yang terdapat di pasar grosir Johar dan pasar grosir Bandungan. Terdapat tiga pola rantai pasokan komoditas kentang, yaitu :

1. Pola rantai pasokan 1 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar Johar Semarang → Pedagang pengecer pasar tradisional → Konsumen rumah tangga 2. Pola rantai pasokan 2 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar

Pasar Bandungan Semarang → Pedagang pengecer pasar tradisional → Konsumen rumah tangga

3. Pola rantai pasokan 3 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar Johar Semarang → Pemasok → Makro

Cash and Carry→ Konsumen rumah tangga

Perhitungan marjin, sebaran marjin dan farmer share dilakukan berdasarkan tiga kelas mutu komoditas kentang yaitu AB Super, AB dan ABC. Pola rantai pasokan 3 memiliki total marjin pemasaran yang lebih besar dibandingkan pola 1 dan pola 2. Penyebaran marjin belum merata di antara ketiga rantai pasokan. Pedagang grosir memperoleh marjin pemasaran terendah diantara anggota rantai pasokan lain karena sedikitnya aktivitas pedagang grosir yang membutuhkan biaya dan sedikitnya keuntungan yang


(44)

diambil. Bagian petani (farmer’s share) adalah bagian yang diterima petani sebagai balas jasa atas kegiatan usaha tani kentang. Bagian petani terbesar diperoleh pada pola rantai 1 karena pada pola ini harga jual komoditas di tingkat konsumen lebih rendah.

Perolehan marjin tertinggi rantai pasokan kentang mutu kelas AB super pada pola 1 dan pola 2 terdapat pada tingkat pengecer, sedangkan marjin tertinggi pada rantai pasokan 3 terdapat pada tingkat pemasok. Keuntungan lebih besar kontribusinya dalam marjin-marjin tersebut daripada biaya yang dikeluarkan. Marjin total untuk komoditas kentang mutu kelas AB dan ABC pada pola 1 dan 2 cenderung rendah. Kedua komoditas tersebut dijual dengan harga murah dan terkadang pedagang tidak mengambil keuntungan karena hanya mengharapkan keuntungan yang besar dari kentang untuk mutu AB super.

Persentase biaya terbesar yang dikeluarkan masing-masing anggota rantai pasokan adalah biaya penyusutan. Pada pola rantai 1, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer karena banyaknya aktivitas yang memerlukan biaya. Untuk pola rantai 1 biaya pemasaran terbesar untuk kentang kelas AB super ditanggung oleh pedagang pengumpul karena besarnya biaya angkut ke pasar grosir. Untuk kelas mutu lainnya, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer seperti pada pola pertama. Pada rantai pasokan ke 3, biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh pemasok ke pasar modern karena tingginya biaya seperti biaya pengemasan, pengangkutan dan resiko kerusakan komoditas di supermarket.

Susiyana (2005) melakukan analisis rantai persediaan komoditas jeruk Medan dengan metode studi kasus di Pasar Induk Kramat Jati dan Carrefour Cempaka Mas Jakarta. Data primer penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan 7 pedagang eceran serta beberapa pedagang grosir di Cililitan dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ). Data sekunder diperoleh dari BPS, Pasar Induk Kramat Jati, Departemen Pertanian dan instansi-instansi lain.


(45)

Anggota primer SC jeruk Medan adalah pedagang antar pulau (PAP), pedagang grosir, pedagang eceran, perusahaan pemasok dan swalayan. Anggota sekunder SC ini yaitu distributor dan supermarket collector. Marjin pemasaran dihitung berdasarkan ketiga saluran pemasaran yang terjadi yaitu : 1. Petani - PAP - Grosir PIKJ - Pengecer

2. Petani - PAP - Grosir Cililitan - Perusahaan Pemasok- Pengecer 3. Petani - PAP - Grosir Cililitan - Perusahaan Pemasok- Swalayan

Pola saluran 3 memiliki marjin pemasaran yang paling besar. Saluran pemasaran 1 memperoleh total keuntungan yang terbesar. Pola saluran pemasaran 1 juga yang paling efisien karena memiliki total biaya, keuntungan dan marjin pemasaran yang terendah serta rasio keuntungan dan biaya tertinggi. Pola saluran pemasaran 1 dapat memberikan nilai lebih bagi petani karena menghasilkan farmer’s share yang tinggi.


(46)

III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran

Penelitian tentang Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa ini meninjau anggota, aktivitas, pengelolaan, biaya dan efisiensi rantai pemasokan kelapa di Kota Bogor. Aliran rantai pasokan buah kelapa yang dimaksud yaitu aliran pasokan buah kelapa tua dari daerah-daerah penghasil kelapa ke pasar-pasar di Kota Bogor. Rantai pasokan terdiri dari anggota-anggota rantai pasokan dengan aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan.

Menurut Simchi-Levi et al. (2003), masalah kunci dalam pengelolaan rantai pasokan terdiri dari konfigurasi jaringan distribusi, pengendalian inventori, kontrak pemasokan, strategi distribusi, integrasi rantai pasokan dan kemitraan strategis, strategi procurement dan outsourcing, desain produk, teknologi informasi dan sistem penunjang keputusan serta penilaian pelanggan. Pengelolaan rantai pasokan tidak hanya dilakukan agar seluruh bagian sistem memberikan kinerja keseluruhan sistem yang efektif, tetapi juga efisien. Analisis pengelolaan rantai pasokan kelapa pada penelitian ini terbatas pada analisis konfigurasi jaringan logistik, metode pengendalian inventori, integrasi rantai pasokan dan efisiensi rantai pasokan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian lapang dilakukan terhitung mulai Mei sampai September 2006. Untuk data pasokan kelapa di Kota Bogor, diperoleh dari data kebutuhan pedagang besar dan data kebutuhan industri pengolah kelapa. Kota Bogor memiliki tujuh buah pasar yang dikelola oleh pemerintah yaitu Pasar Gunung Batu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Baru Bogor, Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari dan Pasar Padasuka.

C. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Untuk data primer, jenis data yang diperoleh antara lain data harga pembelian dan penjualan, data jumlah pasokan harian, data biaya pemasokan serta data lainnya yang terkait dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari informasi statistik dari situs BPS, situs Departemen Pertanian,


(47)

serta data dari Direktorat Jendral Perkebunan. Data industri pengolah kelapa diperoleh dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kotamadya Bogor.

D. Metode Penelitian

Penelitian diawali dengan tahap eksplorasi awal rantai pasokan buah kelapa sehingga teridentifikasi anggota-anggota primer dan sekunder rantai pasokan. Selanjutnya dilakukan tahap pengumpulan dan analisis data. Gambar 4 menunjukkan tahap-tahap penelitian rantai pasokan buah kelapa di Kota Bogor.

Gambar 4. Diagram tahapan penelitian rantai pasokan buah kelapa di Kotamadya Bogor

Analisis pengendalian inventori Analisis konfigurasi jaringan logistik

Selesai

Analisis efisiensi rantai pasokan Mulai

Identifikasi anggota rantai pasokan

Pembuatan daftar pertanyaan untuk pedagang

Wawancara dengan pedagang dan industri

Data lengkap?

ya tidak

analisis deskriptif

a. analisis marjin pemasaran b. analisis efisiensi alokasi kelapa


(48)

D.1. Metode Pengumpulan Data

Data-data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara. Sistem pengelolaan rantai pasokan kelapa di Kota Bogor diteliti lebih lanjut dengan cara mewawancarai berbagai level anggota primer rantai pasokan. Teknik wawancara yang dipakai antara lain yaitu wawancara berstruktur yang dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan dengan maksud dapat mengontrol dan mengatur berbagai dimensi pertanyaan ataupun jawabannya. Kecuali wawancara dengan industri pengolah kelapa yang dilakukan secara tidak berstruktur yaitu tidak menggunakan daftar pertanyan. Wawancara dengan pihak industri dilakukan untuk mengetahui jumlah kebutuhan kelapa.

Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat pedagang besar dilakukan dengan cara sensus pedagang besar kelapa yang ada di tiap pasar di Kota Bogor. Pedagang besar yang dimaksud di sini yaitu pedagang kelapa baik grosir/bandar maupun eceran yang memperoleh pasokan kelapa langsung dari wilayah produsen kelapa. Sensus adalah cara pengumpulan data dengan mengambil elemen atau anggota populasi secara keseluruhan untuk diselidiki (Hasan, 2002). Tidak semua pasar memiliki pedagang besar. Pasar-pasar yang memilikinya yaitu Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka dan Pasar Sukasari. Pasar Gunung Batu memperoleh kelapanya dari grosir di Pasar Kebon Kembang, sedangkan Pasar Padasuka memperoleh kelapanya dari Pasar Jambu Dua.

Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat Pedagang Antar Wilayah (PAW) dan pedagang pengecer dilakukan dengan cara wawancara dengan perwakilan masing-masing level. Pedagang Antar Wilayah yaitu pihak pemasok yang membawa kelapa dari daerah sentra kelapa kepada para pedagang besar. Untuk level PAW, peneliti mewawancarai seorang PAW dari Tasikmalaya dan seorang PAW dari Lampung. Keduanya adalah PAW yang dapat ditemui peneliti di Pasar Baru Bogor. Untuk data biaya dan keuntungan PAW Banten, peneliti memperoleh informasi dari grosir kelapa Banten di wilayah Pasar


(49)

Kebon Kembang. Hal ini dilakukan karena PAW dari Banten berada di Kota Bogor hanya pada malam hari sehingga peneliti sulit mewawancarainya. Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat pedagang pengecer diperoleh dari hasil wawancara dengan seorang pedagang pengecer yang mewakili pengecer kelapa asal Banten, Lampung dan Tasikmalaya-Ciamis sesuai aliran pasokannya masing-masing. Sebagian data biaya transportasi kelapa dari tiap sumber ke tiap pasar diperoleh dari hasil wawancara dengan pedagang besar.

D.2. Metode Analisis Data D.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang digunakan dengan tujuan memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif mengenai obyek penelitian. Tujuan penggunaan analisis ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu (Ritonga, 2005). Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabulasi maupun gambar-gambar sesuai kebutuhan. Data primer dan sekunder yang diperoleh dianalisis secara deskriptif tabulasi dan statistik sederhana untuk menggambarkan keadaan pasar dan aliran rantai pasokan kelapa. D.2.2 Analisis Efisiensi Rantai Pasokan

Menurut Sudiyono (2002), efisiensi pemasaran dapat didekati dengan efisiensi operasional yang diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran. Dalam menetapkan efisiensi operasional ini diasumsikan sifat utama output tidak mengalami perubahan, dengan penekanan ditujukan pada usaha mengurangi input untuk menghasilkan output pemasaran atau menaikan rasio output-input pemasaran. Input pemasaran berupa biaya tenaga kerja, modal dan manajemen untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran relatif lebih mudah diukur daripada output pemasaran berupa kepuasan konsumen. Mubyarto


(1)

most efficient channel because it needs the lowest functional cost and occur more fair profit distribution to the cost that each member spent. Marketing channel No. 5 consist of IT from Tasikmalaya-Ciamis and whole seller from Pasar Baru Bogor.

Transportation model result is coconut allocation that minimize the coconut transportastion cost to traditional markets in Bogor. The transportation cost is minimum if the supply of coconut in Pasar Baru Bogor received from IT from Tasikmalaya-Ciamis (165.500 nuts) and from IT from Lampung (172.000 nuts), the coconut supply for Pasar Kebon Kembang-Merdeka received from IT from Banten (499.000 nuts) and from IT from Tasikmalaya-Ciamis (179.000 nuts), and the coconut supply for Pasar Jambu Dua received from IT from Tasikmalaya-Ciamis (176.000 nuts). Coconut supply with such allocation is more efficient because its reduce transportation cost as much as Rp. 13.311.680,00 per month.


(2)

6 Hani. F34102101. Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Tua Di Kotamadya Bogor). Di bawah bimbingan : Sukardi.

RINGKASAN

Buah kelapa memiliki banyak manfaat di mana hampir seluruh bagian buah tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Buah kelapa tersedia dalam jumlah yang cukup melimpah di Indonesia. Produksi kelapa Indonesia (setara kopra) mencapai 3.301.942 ton pada tahun 2004. Kota Bogor tidak mampu memenuhi kebutuhan kelapanya secara mandiri sehingga penyediaannya memerlukan pasokan dari daerah lain. Buah kelapa untuk kebutuhan penduduk dan industri di Kota Bogor diperoleh dari pasar-pasar tradisional. Penelitian ini diharapkan dapat djadikan pertimbangan oleh pihak pengelola pasar dan anggota-anggpta rantai pasokan untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengelolaan rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor serta menganalisis efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor. Rantai pasokan buah kelapa yang diteliti pada penelitian ini adalah rantai pasokan buah kelapa tua. Analisis pengelolaan rantai pasokan kelapa terbatas pada analisis deskriptif untuk konfigurasi jaringan logistik, pengendalian inventori dan integrasi rantai pasokan. Analisis efisiensi rantai pasokan terdiri dari analisis marjin pemasaran dan analisis efisiensi alokasi pasokan kelapa.

Anggota primer rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu Pedagang Antar Wilayah (PAW), pedagang besar, pedagang eceran dan konsumen termasuk industri. Anggota sekundernya yaitu lembaga jasa transportasi, pedagang kemasan, pedagang mesin pemarut dan pemerasan santan, serta penyedia bahan bakar mesin-mesin tersebut. Seluruh aliran rantai pasokan di Kota Bogor memperoleh kelapa dari PAW. PAW yang memasok buah kelapa ke Kota Bogor secara rutin berasal dari tiga wilayah yaitu Banten, Tasikmalaya-Ciamis dan Lampung. Mereka memasok buah kelapa ke pedagang besar di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka dan Pasar Jambu Dua.

Kelapa diangkut dari daerah-daerah penghasil kelapa ke Kota Bogor dengan menggunakan truk-truk jenis colt diesel serta kendaraan jenis pick up. Kelapa-kelapa dari PAW diterima oleh para pedagang besar. Pedagang besar tersebut ada yang langsung menjual kelapa kepada konsumen, adapula yang menjualnya lagi kepada pedagang-pedagang pengecer baik dalam satu pasar maupun berlainan pasar. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, total jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah 1.195.500 butir per bulan yang sebagian besar berasal dari Banten. Kelapa diterima dari PAW dan disimpan dalam bentuk kelapa yang sebagian besar sabutnya telah dikupas. Pedagang besar menyimpan kelapa dalam gudang tembok, gudang kayu ataupun dalam kios pasar. Rantai pasokan kelapa di Kota Bogor menggunakan strategi pull. PAW hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Fleksibilitas hubungan antara PAW dan pedagang besar dalam rantai pasokan kelapa ke Kota Bogor juga terwujud dalam sistem pembagian resiko antara keduanya. Sistem tersebut berupa penukaran kelapa yang busuk di tempat penyimpanan pedagang besar dengan kelapa baru yang dibawa oleh PAW. Kemitraan antara beberapa PAW dan


(3)

pedagang besar juga terlihat dengan adanya sistem pembayaran kelapa kepada pihak PAW dilakukan setelah kelapa tersebut telah laku terjual kepada konsumen ataupun pedagang pengecer.

Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien di antara saluran yang melibatkan pedagang pengecer, karena biaya fungsionalnya paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran tersebut terdiri dari PAW dari Banten serta pedagang besar dan pedagang pengecer dari Pasar Kebon Kembang-Merdeka. Untuk saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran yang paling efisien karena memerlukan biaya fungsional paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran ke-5 terdiri dari PAW dari Tasikmalaya-Ciamis serta pedagang besar dari Pasar Baru Bogor.

Model transportasi menghasilkan alokasi kelapa yang meminimalkan biaya transportasi kelapa ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya transportasi minimal jika Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis (165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar Kebon Kembang-Merdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000 butir) dan Tasikmalaya-Ciamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua memperoleh seluruh pasokan kelapa dari Banten (176.000 butir). Pemasokan kelapa dengan alokasi tersebut lebih efisien karena mengurangi biaya transportasi sebesar Rp. 13.311.680,00 per bulan.


(4)

8 SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, 20 Januari 2007 Yang Membuat Pernyataan

Hani F34102101


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor Jawa Barat pada tanggal 2 November 1983 dari pasangan Abdul Aziz Harran dan Ratu Erna Darmiasih. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Pada tahun 1988 penulis masuk Taman Kanak-kanak Al Irsyad Bogor dan lulus pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Al Irsyad Bogor dan lulus pada tahun 1996. Tahun 1996 penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002.

Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis pernah menjadi asisten praktikum MK. Penerapan Komputer Tahun 2005. Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PERUM BULOG pada Unit Pengolahan Gabah Beras dan Gudang BULOG BARU yang terletak di Binong, Subang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Kelapa Di Kotamadya Bogor).


(6)

i KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)”. Tulisan ini adalah salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Sukardi, MM selaku dosen pembimbing akademik atas petunjuk, saran dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa S1 serta dalam penelitian.

2. Ir. Muslich, MS dan Dr. Ir. Yandra Arkeman M.Eng atas kesediaannya menjadi penguji serta atas arahan dan bimbingannya.

3. Pihak Kantor Kesbang-Linmas dan Dinas Perindagkop Kotamadya Bogor, para staf Unit Pengelola Teknis Dinas Pasar Baru Bogor, Pasar Merdeka, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, serta para pedagang kelapa atas kesediaanya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.

4. Ayahanda Abdul Aziz Harran, ibunda Ratu Erna Darmiasih serta para kerabat yang telah memberikan semangat, dorongan dan doa yang tulus bagi penulis selama menempuh kuliah dan menyelesaikan penelitian.

5. Teman dan kakak sebimbingan (Novi, Euis, Asep, Mbak Wati dan Mas Rio) atas bantuan dan kebersamaannya.

6. Seluruh mahasiswa TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.