menyangka sama sekali kalau sakit suaminya sampai separah itu. Dinda juga tidak mengetahui sejak awal bagaimana ciri-ciri orang terkena HIV dan tidak ada
berpikir mengenai HIV karena Dinda pun tidak mengetahui kalau suaminya pernah memakai narkoba yang digunakan dengan jarum suntik.
“…kondisinya seperti ini, semakin lemah, semakin lemah. Yah aku juga ciri- ciri orang kena HIV aku juga belum tahu, ya kan, kan nggak kita pikirin kan.
Ha…itu, dan aku nyangka, ntah nggak tahu tadinya dia ini pernah makai-makai suntik gitu, nggak pernah tahu.”
R2W1b.40-47hal 2. “Ya aku terkejutlah gitu. Kok bisa sampai segini parahnya dan ini juga
kayaknya kondisinya udah terlalu lemah kali…” R2W1b.315-318hal 8
Dinda tidak marah sama sekali dengan suami Dinda tetapi keluarga suami
Dinda yang marah kepada suami Dinda. Dinda tidak ingin keluarga suaminya marah karena menurut Dinda, seharusnya Dinda yang berhak marah dan menyesal
menikahi suaminya karena virus yang menyerang suaminya tersebut. Dinda menahan semua yang seharusnya ia rasakan karena Dinda hanya mau suaminya
sembuh dan tidak membuatnya stress yang dapat mengakibatkan kondisi suaminya tersebut semakin memburuk. Dinda selalu memberi dukungan kepada
suaminya agar dapat kembali pulih. “Marah-marah sama dia. terus aku bilang sama dia, itu yang seharusnya
marah-marah itu aku bukan keluargamu. Keluargaku yang seharusnya marah- marah sama kau kalau tahu kayak gini mending nggak usah dikawinkan sama kau,
bilang itu sama bapak itu nggak ada gunanya marah-marah gitu.” R2W1b.559-567hal 13.
“…aku dukung kau. Kasih semangat kau bukan untuk dimarah-marahi yang orang sakit kayak gini.”
R2W1.b.569-571hal 13.
c. Gambaran Kepuasan Perkawinan pada Partisipan II Dinda
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
Partisipan menikah dengan suaminya 5 tahun yang lalu. Partisipan menikah di usianya yang ketiga puluh lima tahun. Selama 5 tahun menikah, partisipan
dikaruniai 3 orang anak. Partisipan menikah dengan suaminya pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 mereka sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang saat
ini berusia 4 tahun. Anak kedua dari partisipan dan suaminya adalah laki-laki yang saat ini berusia 3 tahun dan anak ketiga mereka adalah perempuan yang
berusia 2 tahun. Saat ini partisipan berusia 40 tahun dan usia suaminya 29 tahun. Saat ini suami partisipan sedang menjalani perawatan karena mengidap HIV yang
dideritanya sejak Januari 2009 ini. Suami partisipan telah mengidap HIV selama 2 bulan sebelum bertemu dengan peneliti. Suami partisipan mengidap HIV karena
suami partisipan pernah menggunakan narkoba yang menggunakan jarum suntik secara berganti-gantian ketika suami partisipan belum menikah dan masih duduk
di bangku STM serta berdomisili di Jakarta. Suami partisipan adalah anak bungsu dalam keluarganya. Suami partisipan
merupakan anak kedua dari dua bersaudara dimana anak pertama dalam keluarganya adalah perempuan. Keluarga partisipan tinggal di Kampung A dan
sejak selesai sekolah dan meninggalkan Jakarta, suami partisipan tinggal di Medan bersama dengan paman dan bibinya yang merupakan tetangga partisipan.
Pertemuan itulah yang membuat mereka akhirnya menjalin ikatan perkawinan. Setelah menikah, partisipan tinggal bersama dengan orang tuanya karena mereka
belum mempunyai rumah hingga saat ini. Orang tua partisipan telah meninggal dunia dan rumah yang ditinggalkan oleh orang tua partisipan menjadi tempat
tinggal partisipan bersama suami dan anak-anaknya dan juga kakak kandungnya
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
yang belum menikah serta adik kandungnya yang telah menikah dan memiliki 3 orang anak.
Pada bulan 11 tahun 2008, suami partisipan mengalami sakit demam dan diare. Suami partisipan beranggapan kalau ia turun perut dan meminta partisipan
untuk memanggil tukang pijat, setelah perut suami partisipan dipijat, suami partisipan merasakan perubahan dan keadaannya semakin membaik, tetapi
ternyata hal itu hanya berlangsung selama beberapa hari saja karena setelah itu keadaan suami partisipan kembali memburuk. Partisipan dan suaminya pulang ke
kampung karena pada saat itu menjelang Natal dan Tahun Baru, keadaan suami partisipan juga tidak membaik hingga akhirnya dibawa ke klinik di kampung
tersebut. Mantri tersebut menyarankan agar mereka segera membawanya ke rumah sakit. Sepulang dari kampung, mereka membawa suami partisipan ke
klinik dekat rumah mereka dan disana dikatakan kalau suami partisipan sedang mengalami berbagai macam penyakit. Partisipan tidak mempercayainya sehingga
atas saran paman suami partisipan, mereka membawanya ke klinik lain yang dekat rumah mereka. Dokter tersebut mengatakan kalau kemungkinan suami partisipan
mengidap HIV dan menyarankan untuk segera diperiksa di rumah sakit. Pada hari itu juga mereka pergi ke Rumah Sakit X. Partisipan dan suaminya diperiksa di
dalam laboratorium rumah sakit tersebut. Hasil dari pemeriksaan mengatakan bahwa suami partisipan mengidap HIV, sedangkan partisipan sendiri tidak
mengidap HIV. “Bulan 11 itu dia sering demam tapi sore-sore.”
R2W1b.4-5hal 1
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
“Mencret-mencret gitu kan terus dia bilang ginilah, aku inilah kusuk karena mungkin perut aku turun…”
R2W1b.7-9hal 1 “Kusuklah perutnya, enaknya cuma seminggu aja nanti demam lagi, demam
lagi. Aku bawalah ke klinik-klinik sini kan, bawa ke klinik itu.” R2W1b.12-16hal 1
“…sampai di kampung kayaknya tambah parah. Bawaannya lemes aja, badannya oyong-oyong, oyong-oyong gitu. Bawalah ke mantri, mantri yang ada di
sana, di kampung. Berobatlah, dokter situ bilang apa, mantrinya bilang apa, katanya syaraf, baru ada jantung terus memang ada gangguan perutnya, maag
katanya gitu. Aku nggak percaya, masak dia syaraf kayak gini kok kondisinya seperti ini, semakin lemah, semakin lemah.”
R2W1b.30-41hal 1-2 “…bulan 1 pulanglah dari kampung tanggal 4 itu ke Medan terus tanggal 5,
besoknya ya dibawa ke klinik di dekat sini, dokternya orang Jerman yang nyuruh berobat ke situ ada mertuaku di sini. Udah disuruh berobat ke sana, waktu dia
tanya, waktu dia lihat kondisi abang ini, pernah makai narkoba ya, terus katanya gitu.”
R2W1b.53-63hal 2 “Udah kami dirujuk ke Rumah Sakit X, Rumah Sakit X iya, di situ diperiksa,
diperiksalah. Ada lab-nya di sana, dia itu diperiksa, iya kamu kena HIV.” R2W1b.86-90hal 3
“dikasih konseling juga kalian di situ. Udah, kita ke sana diperiksa sekali lagi, di situlah aku diperiksa kalau aku negatif cuma dokter itu bilang sama aku harus
diperiksa sekali 3 bulan selama setahun ini, kalau bisa rutin.” R2W1b.94-100hal 3
Saat partisipan mengetahui suaminya mengidap HIV, partisipan terkejut
mendengar penyakit yang menimpa suaminya tersebut. Partisipan saat pertama kali mendengar dokter mengatakan bahwa kemungkinan mengidap HIV,
partisipan tidak menduga kalau penyakit suaminya sampai separah itu. Menurut partisipan, suaminya tertular HIV karena suaminya pernah menggunakan narkoba,
sehingga memakai jarum suntik secara bergantian ketika suaminya masih duduk di bangku SMA.
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
“Ya aku terkejutlah gitu. Kok bisa sampai segini parahnya dan ini juga kayaknya kondisinya udah terlalu lemah…”
R2W1b.315-317hal 8 “…waktu dia tanya, waktu dia lihat kondisi abang ini, pernah makai narkoba
ya, terus katanya gitu.” R2W1b.59-61hal 2
“Orang dulu waktu di Jakarta, dia sekolah bukan di sini, kalau di sini dia pakai ganja itu. Nyuntik-nyuntik itu dia di Jakarta, kita nggak tahu sama sekali.”
R2W1b.151-154hal 4 Kondisi suami yang baru saja mengidap HIV mempengaruhi kondisi fisik
partisipan. Partisipan sangat sedih dengan kondisi suaminya, partisipan sering kali menangis yang disebabkan oleh kondisi suaminya. Kondisi fisik partisipan yang
semakin memburuk karena mengurus suaminya. Berat badannya sudah turun hingga 10 kg lebih, berat badan partisipan sebelum suaminya mengidap HIV
berkisar antara 65-68 kg dan berat badan partisipan pada saat ini hanya 52 kg saja. “…timbangan aku turun sampai 10 kg. Makan aku nggak bisa. Bawaannya
nangis karena terkejut itu juga. Kalau udah nangis nggak jadi makan cuma minum teh aja kalau nggak minum susu.”
R2W1b.1102-1107hal 25 Partisipan kurang banyak memiliki waktu untuk mengurus anak-anaknya serta
meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang masak bagi anak sekolah dan rumah tangga. Suami partisipan juga berhenti bekerja sebagai tukang becak karena
penyakit yang ia derita, sehingga pemasukan keuangan keluarga mereka tidak ada. Keuangan mereka semakin menipis untuk pengobatan suami partisipan serta
kebutuhan keluarga sehari-hari. Partisipan bahkan berhutang kepada kerabat mereka untuk pengobatan suaminya tersebut. Becak yang digunakan suami
partisipan untuk mencari nafkah dan barang-barang berharga yang mereka miliki dijual untuk memenuhi pengobatan dan kebutuhan mereka.
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
“Sewaktu dia ketahuan sakit kemarin itu, ya otomatis ngurusi dia, masak sambil kerja di rumah juga. Rantangannya diberhentikan kemarin itu, di rumah
ajalah sambil ngurusi anak.” R2W1b.342-346hal 8
“…kemarin itu sampai anak-anak nggak terurus juga lah tapi memang ada si kakak ini, kakak aku yang tinggal 1 rumah sama aku ini yang bantuin urus anak-
anak aku.” R2W1b.365-369hal 9
“Becak itu kami jual habis nggak bisa dibawa narik dan angsuran harus kami bayar setiap minggu. Ini becak kau jual aja, aku udah nggak bisa narik lagi, kau
bayari angsurannya, kau bayari angsurannya, darimana uang kita. Daripada nanti kita nggak bisa bayar lagi, ditarik showroom, kita nggak dapat uang limper pun.”
R2W1b.1021-1030hal 23 “Terus aku sempat berutang sama orang bawa dia berobat. Aku pinjam
dululah uang kalian terus aku bilang sama mertua aku, aku udah punya utang di Medan ini untuk bawa berobat dia. Kalian bantulah aku. Apa-apa aku udah nggak
ada lagi. Mas anak-anakku pun udah ku jual untuk pengobatan abang. Terus aku jual handphone…”
R2W1b.1012-1020
1 Komunikasi Komunikasi dalam perkawinan partisipan memiliki sedikit perubahan. Suami
partisipan tidak dapat berbicara banyak karena suaminya memiliki gangguan paru- paru. Suami partisipan tidak memiliki semangat dan memilih untuk lebih banyak
diam. Suami partisipan suka menyendiri, bahkan suami partisipan tidak mau berbicara ataupun menyentuh anak-anaknya karena suami partisipan takut kalau
anak-anaknya akan tertular HIV dari dirinya. “…dianya itu yang merasa minder sendiri. Nggak gitu semangatlah, diam aja,
diam aja, menyendiri kayaknya nggak mau diganggu.” R2W1b.327-331hal 8
“Mau ngomong dia itu pun susah kali gitu karena sesak ini, batuk, ada paru- parunya ini katanya. Itu susah dia untuk ngomong kalau ngomong sedikit aja
langsung batuk-batuk gitu.” R2W1b.398-403hal 9-10
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
“Abang itu nggak mau ngomong sama sekali. Takut dia mungkin anak-anak ini bisa jadi kena juga, atau apa yah nggak tahulah.”
R2W1b.902-905hal 20 “Ke anak-anak justru dia nggak mau nengok sama anak-anak. Takut mungkin
atau takut anak-anak kena.” R2W1b.1083-1085hal 24
2 Kegiatan di Waktu Luang
Sebelum suami partisipan mengidap HIV, partisipan memiliki pekerjaan sebagai tukang masak untuk anak sekolah dan rumah tangga. Setelah selesai
mengerjakan pekerjaannya, yaitu memasak, partisipan mengurus anak-anaknya. Semenjak suami partisipan mengidap HIV, partisipan menghentikan sejenak
perkerjaannya sebagai tukang masak untuk mengurusi suaminya dan anak- anaknya. Partisipan mengurus anak-anaknya juga semenjak suaminya mengidap
HIV tetapi partisipan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus suaminya. Partisipan harus menemani suaminya ke rumah sakit untuk rawat jalan.
Partisipan juga menjaga suaminya saat pagi hari hingga sore hari ketika suaminya dirawat di rumah sakit.
“Ngurus anak-anaklah sambil kemarin itu ada rantangan aku untuk anak sekolah terus rantangan untuk rumah tangga juga ada. Siap masak itu ya udah
ngurusi anak.” R2W1b.334-338hal 8
“Sewaktu dia ketahuan sakit kemarin itu, ya otomatis ngurusi dia, masak sambil kerja di rumah juga. Rantangannya diberhentikan kemarin itu…”
R2W1b.342-345hal 8 “…kemarin itu sampai anak-anak nggak terurus juga lah…”
R2W1b.365-366hal 9 “Kemarin waktu baru sakit, waktu parah-parahnya itu, lebih banyak ke si
abang ini. Malam ajalah aku sama anak-anak. Abang itu di rumah sakit kan.
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
Malam ajalah bisa sama anak-anak. Siang-siang itu nanti sebentar kadang lihat mereka aja udah.”
R2W1b.874-880hal 20 Keadaan suami partisipan sekarang ini semakin membaik dan partisipan sudah
dapat bekerja kembali untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Keadaan suami partisipan sudah semakin baik, tetapi suami partisipan belum dapat bekerja
untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Partisipan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga menjadi kurang memiliki waktu luang. Setiap hari
partisipan harus bekerja sebagai tukang masak anak sekolah, sebagai tukang cuci di suatu rumah tangga yang merupakan tetangganya, dan sebagai tukang jahit jika
ada pesanan. Pekerjaan-pekerjaan tersebut sangat menyibukkan dirinya dan di samping itu partisipan juga harus mengurus suaminya dan anak-anaknya.
3 Orientasi Keagamaan Orientasi keagamaan partisipan dan suaminya sebelum suaminya mengidap
HIV sangat dekat pada Tuhan. Partisipan dan suami partisipan pergi ke gereja setiap hari Minggu. Partisipan dan suami partisipan selalu berdoa sebelum makan
dan sebelum tidur. “Waktu...waktu...waktu ini sebelum terkena ya biasa-biasa aja maksudnya ya
ke gereja juga iya, mau makan berdoa juga iya, berdoa mau tidur juga ya iya.” R2W1374-378hal 9
Sesudah suami partisipan mengidap mengidap HIV, partisipan dan suami
partisipan semakin mendekatkan diri lagi dengan Tuhan. Partisipan dan suami partisipan biasanya berdoa sebelum makan dan sebelum tidur, tetapi mereka
berdoa sendiri-sendiri. Perubahan orientasi keagamaan dalam perkawinan
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
partisipan yaitu pada saat sekarang ini partisipan dan suami partisipan berdoa bersama-sama dan partisipan yang memimpin doa dalam keluarga mereka karena
suami partisipan tidak sanggup untuk berbicara lama-lama. Suami partisipan akan terbatuk-batuk dan sesak nafas jika suami partisipan berbicara panjang, misalnya
untuk berdoa. “Ya ini semakin dekat lagi setelah ini.”
R2W1.b378-379hal 9 “…aku suruh dia berdoa sama Tuhan, minta ampunlah sama semua perbuatan
dia selama ini. Kayaknya berat kali buat dia. Kau bantulah aku, aku nggak tahu ini, aku ini orang yang jahat. Selama ini aku kayak gini-gini, kau bantulah aku
berdoa. Bawalah aku berdoa sama-sama dengan kau. Sering sama-sama jadinya kita, kadang mau makan, setiap mau makan kami berdoa sama-sama. Aku kadang
aku minta supaya dia aja yang berdoa dulu kan tapi nggak sangguplah mau ngomong…”
R2W1b.385-397hal 9 “Mau ngomong dia itu pun susah kali gitu karena sesak ini, batuk, ada paru-
parunya ini katanya. Itu susah dia untuk ngomong kalau ngomong sedikit aja langsung batuk-batuk gitu.”
R2W1b.398-403hal 9-10 “…kalau untuk berdoa itu kayaknya mau ngomong lama gitu kan, soalnya
mau berdoa ini kan kita mesti…” R2W1b.427-429hal 10
4 Penyelesaian Konflik
Sebelum suami partisipan mengidap HIV, partisipan dan suami partisipan mengatasi masalah dalam rumah tangga mereka bersama-sama. Penyelesaian
konflik dalam rumah tangga partisipan dan suami partisipan terjadi perubahan setelah suami partisipan mengidap HIV.
“Kalau misalnya ada masalah lain, misalnya masalah dalam rumah tangga, kita sendiri juga yang atasilah. Berdualah,berdua sama abang.”
R2W1b.436-439hal 10
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
Dalam perkawinan partisipan setelah suami mengidap HIV, partisipan mempunyai masalah yang harus diselesaikannya sendiri. Partisipan tidak dapat
berbicara dengan suaminya karena partisipan takut suaminya akan mengalami stress dan kondisi suami partisipan menjadi semakin buruk.
“Kadang aku berpikir sendiri…” R2W1b.453hal 11
“Kadang aku cerita juga sama abang tapi lihat kondisi abang aku nggak mau cerita banyak-banyak nanti kondisinya makin memburuk pula.”
R2W1b.454-458hal 11 “Nggak mungkin aku cerita lagi sama dia nanti dia makin stress pula gara-
gara ada masalah, makin sakit.” R2W1b.465-468hal 11
Partisipan menyelesaikan permasalahan dalam perkawinannya dengan berdoa
pada Tuhan. Partisipan sangat puas jika sudah mengadu pada Tuhan lewat doa itu. Partisipan terkadang menangis sendiri dalam doanya sewaktu mengadu pada
Tuhan akan permasalahan yang sedang dihadapinya. “Kadang kalau ada ku rasa sedih kali ku rasa, ya aku berdoa aja sama Tuhan.
Memang sih nangis tapi udah puas sesudah itu, ngadu sendiri cuma ya kadang- kadang bisa nangis sendiri…”
R2W1b.459-463hal 11 Partisipan jika ingin bercerita tentang permasalahan dalam perkawinannya,
partisipan bercerita pada kakaknya yang tinggal satu rumah dengannya atau terkadang bercerita dengan adik laki-lakinya serta istri adik iparnya yang juga
tinggal satu rumah dengan partisipan. Partisipan tidak sanggup jika harus menanggung permasalahannya sendiri. Partisipan dapat merasakan stress jika
harus menanggung sendiri. “Kalau teman untuk ini, teman untuk tukar pikiran kan terus aku sering cerita
ya sama adek aku, kakak aku, ipar aku juga. Ya itulah paling sering kawan aku tukar pikiran. Habis kalau…kalau aku sendiri yang nanggungnya aku merasa bisa
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
stress sendiri aku kan, selagi masih bisa, mungkin orang ini masih bisa membantu ya syukurlah.”
R2W1b.468-477hal. 11
5 Pengelolaan Keuangan
Partisipan merasakan kesulitan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan dalam perawatan suami partisipan semenjak suami partisipan mengidap HIV.
Sebelum mengidap HIV, suami partisipan bekerja sebagai tukang becak dan penghasilan yang didapatkan oleh suami partisipan setiap harinya lumayan
mencukupi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari. Partisipan juga membantu menambah penghasilan dalam keluarga mereka selama ini.
“Kalau itu sih mencukupi walaupun pas-pasan tapi mencukupilah dibandingkan sekarang. Itukan setiap hari ada.”
R2W1b.496-498hal 12 “…sambil kemarin itu ada rantangan aku untuk anak sekolah terus rantangan
untuk rumah tangga juga ada.” R2W1b.334-337hal 8
Partisipan sekarang ini mencari penghasilan sendiri dengan menerima pesanan
rantang untuk anak sekolah, mencuci baju rumah tangga yang merupakan rumah tangganya. Hasil yang dihasilkan partisipan dalam satu bulan hanya Rp 500.000,-
dan uang itu untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Kekurangan uang yang dirasakan partisipan dapat terpenuhi dari rejeki yang didapatnya dari luar. Selalu
ada saja rejeki yang ia terima untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang belum dapat dipenuhi olehnya dari hasil pekerjaannya.
“Terus aku masak untuk rantangan anak sekolah baru aku berangkat nyuci kain tempat tetangga ini, di sini, cuma 1 rumah tangga aja kok. Siap itu ya pulang,
istirahat, ngurus abang, ngurusi anak-anak. Kadang kalau ada jahitan, ya sambil menjahitlah aku.”
R2W1b.911-918hal 21
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
“Sedikitnya cuma. Paling ada cuma 500. Itulah dibagi-bagi. Satu ya ke makan kami, susu terus kebutuhan ini, air, lampu, itu aja.”
R2W1b.483-486hal 11 “Ya kurang, kurang kali pun cuma ya ada aja rejeki dari luar-luaran. Ntah dari
mana.” R2W1b.488-490hal 11
Partisipan juga mengatur keuangan keluarga yang sangat sedikit dan berkekurangan dengan mengeluarkan uang sesedikit mungkin. Partisipan lebih
memperkecil pengeluaran uang untuk hal-hal yang kurang penting menurutnya. “Ya diatur seminim-minim mungkinlah untuk ngeluarkan hal-hal yang nggak
penting itu lah ya. Ya kadang-kadang anak-anak pingin ini ya terpaksa kita tahan yang belinya, yang seharusnya belinya, seharusnya belinya harus 3 ya dibeli 1
atau 2 dibagi-bagi gitulah jadinya.” R2W1b.503-510hal 12
6 Hubungan Seksual
Hubungan seksual bukan merupakan masalah bagi partisipan. Partisipan dan suami partisipan sudah tidak melakukan hubungan seksual semenjak 5 bulan
sebelum suami partisipan mulai merasakan sakit, yaitu semenjak bulan Juni. “Kebetulan kami itu bulan 11 ya yang mulai sakit-sakitan, 5 bulan sebelumnya
kayak berhubungan suami istri itu kurang gitu. Nggak adalah selama 5 bulan sebelumnya, sebelum dia tahu, sebelum 5 bulan, bulan…bulan berapa ya, 10-9-8-
7-6, ha… mulai dari bulan 6 kita itu udah nggak inilah.” R2W1b.513-520hal 12
Partisipan semenjak telah memiliki tiga orang anak sudah kurang menginginkan hubungan seksual. Partisipan bahkan merasakan bahwa hubungan
seksual menjadi beban baginya semenjak memiliki 3 orang anak. Jikalau suami partisipan tidak menyentuh partisipan, partisipan merasa lebih lega.
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
“…namanya juga udah punya 3, aku juga udah nggak ngeres,nggak ada nafsu lagi juga.”
R2W1b.521-523hal 12 “…kadang-kadang setelah anak ke-3 ini kayaknya jadi beban sama aku.”
R2W1b.534-536hal 12 “Justru kalau dia nggak ngapain aku, aduh syukur, syukur. Ha…gitulah.”
R2W1b.542-544hal 13 Ketidak-inginan partisipan untuk melakukan hubungan seksual juga
kemungkinan karena faktor usia partisipan yang dirasa partisipan sendiri sudah cukup tua untuk ingin melakukan hubungan seksual. Partisipan tetap melayani
suaminya dalam melakukan hubungan seksual karena partisipan takut kalau suami partisipan menjadi menaruh curiga padanya.
“Mungkin karena umur aku udah segini ya jadi kayaknya aku… tapi karena suamiku lebih muda jadi terpaksa ya aku harus gini. Kalau aku nggak aku layani,
nggak mungkinkan. Nanti jadi ada kecurigaannya lain-lain.” R2W1b.544-550hal 13
7 Keluarga dan Teman 8 Anak dan Pengasuhan Anak
Semenjak suami partisipan mengidap HIV, anak-anak mereka menjadi kurang mendapat perhatian dari orangtuanya. Perhatian yang didapat anak-anak mereka
dari kakak partisipan dan keponakan partisipan yang keduanya tinggal serumah dengan partisipan. Kakak dan keponakan partisipan tidak hanya memberikan
perhatian, tetapi juga mengurusi anak-anak partisipan. “Ngasih bantuan jugalah sama anak-anak aku, ngasih perhatian, diurus semua,
segala macam sama si kakak aku tadi. Kakak aku yang tinggal di sini juga.” R2W1b.867-871hal 20
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
Perhatian partisipan kepada anak-anaknya hanya dapat diberikan pada malam hari sewaktu suami partisipan sedang dirawat di rumah sakit dan partisipan harus
menjaga suaminya pada siang hari. Partisipan masih sempat terkadang memandikan anak-anaknya dan memberikan makan pada anak-anaknya, tetapi
sangat jarang sekali. Anak-anak partisipan lebih sering dimandikan dan diberi makan oleh keponakan partisipan.
“Malam ajalah aku sama anak-anak. Abang itu di rumah sakit kan. Malam ajalah bisa sama anak-anak. Siang-siang itu nanti sebentar kadang lihat mereka aja
udah. Nanti udah jaga ini, ya gitu sama anak kakak dan maktua anak-anakku, kakak aku ini.”
R2W1b.876-882hal 20 “Tiap malam aja bisa sama orang itu, tiap malam tidur.”
R2W1b.886-887hal 20 “Ya masih sempat juga sih mandiin anak-anak aku, kasih makan mereka
masih mau juga tapi ya sekali-sekali. Kebanyakan anak-anak sama anak kakak aku itu.”
R2W1b.890-894hal 20 Anak-anak partisipan sering menangis jika ditinggal oleh partisipan. Partisipan
yang sedang mengurus suaminya membiarkan anak-anaknya menangis, tetapi suami partisipan meminta partisipan untuk mendiamkan anak-anaknya terlebih
dahulu. Suami partisipan sangat menyayangi anak-anaknya. “Yah nangis. Nangis, sering nangis-nangis. Nangis-nangislah pokoknya paling
sering. Kadang kalau udah nangis-nangis gitu, datanglah bapaknya, udah kau diamkan aja dulu orang itu.”
R2W1b.897-901hal 20 “…dia sayang sama anak-anaknya…”
R2W1b.924-925hal 21
9 Kepribadian
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
Kepribadian pada suami partisipan juga dirasakan berubah. Perubahan kepribadian yang dialami oleh suami partisipan juga ikut mempengaruhi
partisipan. Suami partisipan yang sebelum mengidap HIV merupakan orang yang pendiam dan penyayang, suami partisipan sangat menyayangi keluarganya.
“Dia sih orangnya pendiam. Nggak banyak ngomong terus dia sayang sama anak-anaknya, sama istrinya sih sayang, sama keluarganya ya biasa-biasa aja.”
R2W1b.922-926hal 21 Perubahan kepribadian yang dialami oleh suami partisipan merupakan
perubahan pada hubungan suami partisipan dengan anak-anaknya. Suami partisipan menjadi takut mendekati anak-anaknya dan tidak berani menyentuh
anak-anaknya. Suami partisipan takut kalau ia menyentuh anak-anaknya, anak- anaknya tersebut bisa ketularan HIV.
“Abang itu nggak mau ngomong sama sekali. Takut dia mungkin anak-anak ini bisa jadi kena juga, atau apa yah nggak tahulah.”
R2W1b.902-905hal 20 “Udah berapa hari nggak aku lihat anak-anak tapi jangan kau bawa masuk, di
luar aja kau biar aku lihat dari jauh aja.” R2W1b.1077-1080hal 24
“Ke anak-anak justru dia nggak mau nengok sama anak-anak. Takut mungkin atau takut anak-anak kena.”
R2W1b.1083-1085hal 24 Suami partisipan semenjak mengidap HIV kehilangan semangat dan
merasakan putus asa. Partisipan tidak merasakan kemarahan akan apa yang dialami oleh suaminya, walaupun partisipan sangat takut ketularan. Partisipan
juga sebagai istri yang baik memberikan semangat kepada suaminya agat tidak terus merasakan putus asa dan agar suaminya mau tetap semangat dalam
memulihkan kondisi kesehatannya.
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
“…dia kayak merasa dia kayak langsung ini, putus asa.” R2W1b.930-931hal 21
“…seharusnya yang menyesal itu aku, kau nggak pernah cerita, bahkan aku takut ketularan. Seharusnya aku bisa marah sama kau tapi itu nggak ada guna
karena kau udah kena. Sekarang caranya kau itu harus kuat, harus kasih semangat sama dirimu sendiri kalau kau itu bisa masih, masih bisa bertahan, itu aja yang
aku minta.” R2W1b.932-940hal 21
“Yang aku minta kau itu harus kuat dan semangat, harus ada semangat kau itu untuk kau lihat anak-anakmu ini, yang 3 ini.”
R2W1b.942-945hal 21 Perubahan kepribadian yang dialami oleh suami partisipan sangat dirasakan
partisipan karena suami partisipan menjadi suka marah-marah kepada partisipan. Suami partisipan marah kepada partisipan jika suaminya tersebut mendengar hal-
hal yang tidak ia sukai. Partisipan hanya membiarkan suaminya marah-marah dengan meninggalkan suaminya sendiri dan jika partisipan merasa kalau suaminya
sudah lebih tenang, partisipan berbicara kembali kepada suaminya dengan baik- baik.
“Kalau kita ngomongkan yang lain kalau enggak enak sama dia, udah kau diam, nggak usah kau ceritakan itu sama aku, sakit kepalaku, pecah kepalaku,
nanti kau sasarannya ku lempar.” R2W1b.967-972hal 22
“Udah kau nggak usah… nggak usah ngomonglah. Aku udah sakit kepalaku dengar cerita kau itu. Nanti kau ku lempar, nanti kau sasarannya. Kau pergi ajalah
dulu, nanti tunggu aku tenang dulu pikiran aku. Udah aku tinggali aja dulu. Udah agak tenang dirasanya baru dia nanya pelan-pelan.”
R2W1b.993-1001hal 22-23
10 Kesetaraan Peran
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
Partisipan mengerjakan pekerjaan rumah dibantu oleh kakak partisipan dan keponakan partisipan yang juga tinggal satu rumah dengan partisipan. Suami
partisipan bekerja sebagai tukang becak untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari. Partisipan juga ikut membantu suami partisipan dalam
mencari nafkah untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga mereka dengan menerima pesanan rantangan bagi anak sekolah dan rumah tangga.
“…kemarin itu ada rantangan aku untuk anak sekolah terus rantangan untuk rumah tangga juga ada.”
R2W1b.334-337hal 8 Kakak partisipan dan keponakan partisipan juga membantu partisipan dalam
mengurus anak-anak partisipan. Bantuan yang diberikan kakak dan keponakan partisipan sangat membantu partisipan. Partisipan dapat lebih merawat suaminya
yang sedang sakit. Partisipan juga dapat bekerja mencari nafkah bagi keluarganya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
“…anak kakakku yang tadi itu dan dari keluarga sini juga mendukung. Ngasih bantuan jugalah sama anak-anak aku, ngasih perhatian, diurus semua, segala
macam sama si kakak aku tadi. Kakak aku yang tinggal di sini juga.” R2W1b.865-871hal 20
“Sekarang ini aku juga jadi kepala rumah tangga juga. Aku yang cari duit.” R2W1b.1146-1148hal 26
Partisipan merasakan bahwa peran yang dijalankan masing-masing suami dan
istri dalam rumah tangga sangat penting. Suami menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga untuk mencari nafkah memenuhi seluruh kebutuhan keluarga dan
istri menjalankan peran sebagai istri yang mengurus suami serta sebagai ibu yang mengurus anak-anak mereka dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Partisipan yang menjalankan peran ganda yaitu sebagai bapak dan sebagai ibu
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
dalam rumah tangganya sangat merasakan kelelahan. Partisipan terkadang tidak dapat mengontrol emosinya kepada anak-anaknya tidak dapat diaturnya, sehingga
partisipan memukul anaknya. Partisipan sangat menyesal telah memukul anak- anaknya, tetapi karena ia merasa anaknya tidak dapat diatur maka partisipan
memukul anak-anaknya. Jikalau partisipan memukul anak-anaknya, suami partisipan memarahi partisipan dan tidak mau partisipan sampai memukul anak-
anaknya. “Pentinglah. Ibaratnya aku sekarang yang jadi mamak tapi aku juga jadi bapak
untuk nyari nafkah, harus kerja.” R2W1b.1151-1153hal 26
“Aku harus nyayangi anak-anakku lebih ekstra lagi ya kan. Kadang-kadang emosi kalau anak-anak ini nggak bisa diatur. Kadang mau juga sih aku marahin,
kadang aku pukul kakinya. Itulah pikiran itu kalau lagi emosi. Itulah, mukul anak- anak juga aku akhirnya kalau udah nggak bisa diatur, kadang-kadang nggak bisa
diatur ya. Bukan gara-gara pikiran aku ini tapi karena nggak bisa diatur anak ini. Ha…itu kadang-kadang aku mukul anak-anak ya kan tapi mukulnya bukan
berlebihan.” R2W1b.1157-1170hal 26
“Abang itu jadi yang marah sama aku. Dia marah kalau aku marah sama anak- anak ini. Kalau salah dimarahin tapi jangan sampai dipukul.”
R2W1b.1174-1177hal 26 Partisipan belum merasakan kepuasan pada perkawinannya. Perkawinan
antara partisipan dan suami partisipan baru berlangsung selama lima tahun dan kemudian suami partisipan sudah mengidap HIV.
“Belum puaslah. Masih 5 tahun kami nikah langsung sakit pula abang ini kayak gini.”
R2W1b.1202-1204hal 27
4. Interpretasi Data Partisipan II Dinda