perkawinan, frekuensi berhubungan seksual, frekuensi perbedaan pendapat, ada atau tidak ada penyesuaian tentang perkawinan, ketelibatan emosional dengan
anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang menjadi ciri evaluasi dari suatu hubungan.
Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan
harapannya Huges Noppe, 1985. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa kepuasan
perkawinan adalah evaluasi mengenai kehidupan perkawinan yang dapat diukur dengan melihat area-area dalam perkawinan yang mencakup: komunikasi,
kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak,
kepribadian dan kesetaraan peran. Pengertian kepuasan perkawinan dimasukkan peneliti dalam penelitian ini
agar peneliti mengetahui arti dari kepuasan perkawinan sebelum melakukan penelitian.
3. Area-area dalam Perkawinan Kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat area-area dalam
perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson Fowers dalam Saragih, 2003. Adapun area-area tersebut adalah sebagai berikut:
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
a. Komunikasi
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang
yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya
yang membagi komunikasi perkawinan dalam lima elemen dasar, yaitu: openness adanya keterbukaan antar pasangan, honesty kejujuran
terhadap pasangan, ability to trust kemampuan untuk mempercayai satu sama lain, emphaty kemampuan mengidentifikasi emosi dan pasangan,
listening skill kemampuan menjadi pendengar yang baik.
b. Kegiatan di waktu luang
Area ini menilai pilihan kegiatan unutk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area
ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang
bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.
c. Orientasi keagamaan
Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan perkawinan. Menurut Landis Landis
dalam Wahyuningsih, 2002, tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari
termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Jika seseorang memiliki
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal- hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu
akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa
mereka wajib memberi teladan kepada anaknya dengan membiasakan diri beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembahyang secara teratur,
ikut dalam kegiatan atau organisasi agama Hurlock, 1999. d.
Penyelesaian konflik Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta
penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang
digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Sebagaimana dinyatakan oleh Kail Cavanaugh 2000 bahwa kebahagiaan dalam perkawinan
dapat terbina dengan melakukan komunikasi yang konstruktif dan positif mengenai masalah yang sedang dihadapi.
e. Pengelolaan keuangan
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk- bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Henslin
1985 mengemukakan bahwa pasangan yang senang dengan pemasukan yang mereka peroleh akan cenderung puas terhadap perkawinannya, tetapi
mungkin saja keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang buruk dapat bahagia dan langgeng selama tercipta kesepakatan bersama dalam
pengelolaan keuangan. Konflik dapat muncul jika salah seorang dari
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
pasangan menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan meragukan kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.
f. Hubungan seksual
Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam kasih sayang dan hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang
berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab
pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring
berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan
hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual dapat
tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan perkawinan.
g. Keluarga dan teman
Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalam area ini. Area ini
merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan
mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Perkawinan akan
cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
waktunya bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam
waktu yang lama Hurlock, 1999. h.
Anak dan pengasuhan anak Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki
dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak
serta bagaimna pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya
yang dapat menimbulkan kepuasan jika itu dapat tercapai. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya
dalam perkawinan. i.
Kepribadian Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan
dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuain diri dengan tingkah laku,
kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya, sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari
perhatian pasangannya bahkan dengan pura-pura menjadi orang lain. Namun setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul dan
perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam menimbulkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai
harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.
j. Kesetaraan peran
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah para pekerja, tugas rumah
tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock 1999 menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas
dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis
kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan
istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang
dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Peneliti memasukkan teori mengenai area-area dalam perkawinan agar peneliti mengetahui bagian-bagian apa saja yang penting atau yang utama dalam
perkawinan sehingga peneliti dapat mengetahui bagian mana yang terpenuhi dan yang tidak terpenuhi pada pasangan ODHA.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan antara lain, sebagai
berikut:
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
a. Kehadiran anak
Duvall dalam Domikus, 1999 menyatakan bahwa hadirnya anak di kemudian hari terbukti potensial dalam mengurangi kepuasan perkawinan,
mengingat keakraban dan perhatian suami istri terbagi dengan anak. Selain itu, anak menuntut banyak energi dan juga uang dalam banyak hal akan
menambah kompleks beban keluarga. Ditambahkan oleh Kurdek dalam Bhrem, 2002 bahwa anak adalah pekerjaan yang tidak ada akhirnya, dan
sebagian besar orangtua mengalami penurunan yang drastis dan tidak diharapkan dalam menikmati waktu berdua. Ketika bayi lahir, konflik
meningkat dan kepuasan perkawinan dan cinta terhadap pasangan menurun, khususnya pada wanita Belsky, dalam Bhrem, 2002. Selain
menambah stress pasangan Hendrick Hendrick, 1992, kehadiran anak dalam keluarga juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian
Katvetz, Warner Acock, dalam Bhrem, 2002.
b. Tingkat pendidikan
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kurdek dalam Lefrancois, 1993, ditemukan bahwa bagi pria dan wanita, rendahnya tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan terjadinya persengketaan dalam perkawinan. Hal ini terjadi karena kurangnya
pendidikan akan mengurangi kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan verbal dan sosial dalam menyelesaikan konflik, dan persiapan
yang kurang baik terjadi pada awal perkawinan. Ditambahkan oleh Hendrick Hendrick 1992 bahwa pasangan yang memiliki tingkat
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
pendidikan rendah merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran dan tingkat penghasilan
yang rendah.
c. Latar belakang sosial ekonomi
Status sosial ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan Hendrick Hendrick,
1992. Umumnya, individu dengan status pekerjaan rendah, kurang pendidikan, dan pendapatan yang rendah memiliki kemungkinan lebih
tinggi untuk bercerai Kitson et al; Karney Brabury, dalam Bhrem, 2002.
d. Usia ketika menikah
Pada wanita, usia ketika pertama kali menikah merupakan faktor penting yang berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Pada umumnya, semakin
dewasa wanita ketika menikah, maka akan semakin bahagia ia dalam perkawinannya. Selain itu, ditemukan juga bahwa remaja yang menikah
memiliki frekuensi dua kali lebih besar untuk bercerai dibandingkan dengan wanita yang lebih dewasa Lefrancois, 1993.
e. Lama perkawinan
Sebagaimana dikemukakan oleh Duvall dalam Lefrancois, 1993 bahwa tingkat kepuasan tertinggi terjadi awal perkawinan, menurun setelah
kelahiran anak pertama, dan meningkat kembali setelah anak terakhir meninggalkan rumah.
Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008
Peneliti memasukkan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan agar di dalam penelitian, peneliti dapat melihat kepuasan
perkawinan pada pasangan ODHA.
B. ODHA ORANG DENGAN HIVAIDS 1. Pengertian ODHA dan HIVAIDS