LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Human immunodeficiency virus yang sering disingkat dengan HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya Sarafino, 2006. Virus HI tidak sama dengan AIDS Acquired Immune Deficiency Symdrome, walaupun masyarakat atau media massa mencampur-adukkan keduanya. Perbedaan yang jelas antara HIV dan AIDS, yaitu AIDS merupakan kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. AIDS adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus HI yang menyebar melalui kontak darah dan semen Sarafino, 2006. Pertama kali AIDS ditemukan di Indonesia pada tahun 1983 oleh dokter Zubairi Djoerban yang meneliti dua orang waria penghuni taman lawang dan dipublikasikan Oktober 1983 Djoerban, 2001. Secara umum, AIDS diidentifikasi sejak tahun 1981 yang dipandang sebagai penyakit homoseksual. Pada tahun 1982, AIDS muncul pada penderita hemofilia. Ilmuwan memperbaharui teori AIDS dan mempersepsikan bahwa AIDS diakibatkan oleh virus yaitu virus HI dalam Ogden, 2000. Virus HI belakangan ini menjadi salah satu krisis kesehatan karena dapat mengancam kestabilan negara. Virus HI menjadi masalah besar karena diidentifikasi sebagai penyakit yang melibatkan lapisan masyarakat yang paling produktif, yaitu yang berusia sekitar 15 – 49 tahun Lek, 2008. Perlunya Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 perhatian akan penyakit ini disebabkan oleh kenyataan bahwa virus ini sangat membahayakan nyawa banyak orang dan menyerang semua kalangan yang mungkin bersentuhan langsung dengan virus ini Sarafino, 2006. Saat ini AIDS menduduki peringkat keempat penyebab kematian terbesar di dunia Sugiyati, 2008. Virus HI sangat mengkhawatirkan karena kemampuan virus untuk bertahan dalam tubuh manusia dan hingga sekarang belum ditemukan formula yang paling ampuh untuk mengatasinya Sugiyati, 2008. Pengetahuan medis saat ini hanya sanggup untuk menahan perkembangan virus ini dengan mengkonsumsi obat antiretroviral yang biasa disebut ARV, sehingga HIV menjadi salah satu virus yang paling ditakuti Sarafino, 2006. Penyebaran virus HI dapat terjadi melalui pertukaran jarum suntik, transfusi darah, dan hubungan seksual. Perilaku seksual yang menjadi bagian cara penularan HIVAIDS belum dijadikan sebagai suatu hal yang penting dalam masyarakat Sugiyati, 2008. Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan Sugiyati, 2008. Sesuai dengan hierarki kebutuhan Maslow dalam Lahey, 2004 yang menyatakan terdapat lima kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan untuk mencintaidicintai need of loving. Setiap manusia dan tidak terlepas ODHA Orang Dengan HIVAIDS juga mempunyai kebutuhan yang sama yaitu kebutuhan untuk mencintaidicintai. Hubungan cinta merupakan Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 bentuk ketertarikan antar pribadi yang menjadi dasar dari suatu perkawinan Ahmadi, 1999. Menurut Bhrem 2002, perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Perkawinan didefinisikan secara akurat sebagai hubungan yang diakui secara sosial antara seorang pria dan seorang wanita yang menyediakan hubungan seksual dan kemampuan atau keinginan mempunyai anak. Sangat penting membuat konsep perkawinan dan keluarga sejelas mungkin Duvall dan Miller, 1985. Perkawinan bukanlah peristiwa hidup yang tunggal, tetapi merupakan satu set tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah kontrol, kekuasaan dan otoritas Kovacs, dalam Kurdeck, 1999. Setiap orang mungkin mempunyai pertimbangan yang berbeda ketika harus memutuskan untuk memasuki lembaga perkawinan, yang dikategorikan ke dalam dua faktor utama, push factor, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera memasuki perkawinan; dan pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang menetralisir kekhawatiran seseorang untuk terikat dalam perkawinan yang akan mengurangi kebebasan Turner Helms, dalam Domikus, 1999. Perkawinan mungkin merupakan hal yang berat untuk penderita penyakit terminal termasuk AIDS, dimana perkawinan menuntut pemenuhan kebutuhan- kebutuhan pasangan dan tanggung jawab terhadap masyarakat Duvall dan Miller, Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 1985, yang jelas sulit untuk dipenuhi oleh penderita AIDS yang memiliki banyak keterbatasan dan dengan kemungkinan kematian yang sangat tinggi Sarafino, 2006. Keterbatasan itu berhubungan dengan menurunnya kekebalan tubuh mereka, ODHA akan menghadapi banyak masalah fisik Dimatteo, 1991. Masalah fisik yang mungkin akan dialami oleh ODHA, yaitu seperti warna kulit yang berubah dan infeksi dari penyakit yang membuat penderita HIVAIDS semakin takut akan kematian, yang dipaparkan dalam kutipan hasil wawancara berikut: “….aku melihat istriku makin lama kulitnya makin gosong kayak terbakar gitu, apalagi semenjak konsumsi ARV, makin parah... istriku dek, gampang kali sakit, sariawan terus batuk-batuk… yang aku tahu, orang kena HIVAIDS mudah kali diserang penyakit, kan kekebalan kita yang diserangnya…. tadi aku lihat banyak kali orang yang kurus-kurus datang ke sini, nanti istriku gitu juga gak ya?” Komunikasi Personal, 08 Mei 2008. Selain itu, ODHA juga mengalami tekanan psikologis karena HIVAIDS termasuk salah satu penyakit yang mengakibatkan kematian terminal illness. Kondisi yang biasanya menyertai terminal illness antara lain ketakutan akan kematian, penyangkalan, marah, menutup diri diam dan stress Dimatteo, 1991. Selain itu, AIDS seringkali membawa implikasi yang berat terhadap orang yang dekat dengan penderita terutama pasangan penderita penyakit terminal yang turut merasakan penderitaan yang dialami pasangannya Pence dkk, 2006. Sejalan dengan pernyataan di atas yang mengatakan bahwa dampak penyakit terminal bisa berupa stress yang diakibatkan oleh tekanan yang datang dari masyarakat yang menganggap HIVAIDS sebagai ‘penyakit kaum nakal’, ‘penyakit gay’ dan ‘penyakit kutukan’. Perlakuan ini menyebabkan penderita mengalami pengucilan, penindasan dan diskriminasi Fazidah, 1998. Penolakan Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 ini bahkan datang dari keluarga penderita itu sendiri, sesuai dalam kutipan wawancara berikut: “…kemarin itu waktu dia diopname disini, dia kena sariawan, aku bilang ama dia, dek maaf ya, abang megang adek pake sarung tangan karena abang takut bukan karena abang jijik ama adek. Jadi kemarin itu kan dek, istri abang ini bibirnya pecah-pecah semua....” Komunikasi Personal, 8 Mei 2008. Dampak stress juga dialami oleh pasangan penderita penyakit. Penelitian oleh Dehle dkk juga menemukan bahwa tekanan stress yang dialami pasangan dapat menyebabkan penurunan dalam kepuasan perkawinan. Hollist dkk, 2007. Penelitian oleh Pence dkk 2006 juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara cinta, komunikasi dan keintiman fisik terhadap kepuasan dalam perkawinan. Kurangnya cinta, komunikasi dan keintiman fisik berpengaruh terhadap penurunan kualitas kepuasan dalam perkawinan. Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya Huges Noppe, 1985. Sementara itu, terkadang pasangan penderita AIDS sulit untuk menerima kenyataan bahwa mereka dituntut untuk menjadi pengasuh pasangannya yang mengalami keterbatasan setelah menderita AIDS Pence dkk, 2006. Chappel dan Leigh dalam Pujiastuti Retnowati, 2004 menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah. Campbell dalam Domikus, 1999 menemukan bahwa orang-orang yang terikat dalam perkawinan seharusnya merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah. Kepuasan hidup yang diperoleh melalui perkawinan ini disebabkan karena hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui perkawinan, sebagaimana dikemukakan oleh Walgito dalam Domikus, 1999 bahwa melalui perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis atau biologis, psikologis, sosial, dan religious. Menurut Olson Fowers dalam Saragih, 2003, kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat area-area dalam perkawinan, seperti komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, dan kesetaraan peran. Terdapat beberapa area dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan perkawinan dimana salah satunya adalah komunikasi yang melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya yang berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya Olson Fowers, dalam Saragih, 2003 Masalah dalam perkawinan akan muncul ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik Kelly, dalam Sawitri, 2005 karena komunikasi yang baik dalam perkawinan erat Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 hubungannya dengan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh kedua individu Sawitri, 2005. Area perkawinan yang kedua yang dapat mengukur kepuasan perkawinan menurut Olson Fowers dalam Saragih, 2003 adalah kegiatan di waktu luang untuk melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi Newman Newman, 2006. Olson Fowers dalam Saragih, 2003 mengatakan bahwa area yang ketiga untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah orientasi keagamaan. Landis Landis dalam Wahyuningsih, 2002 menyatakan tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari- hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Pria dan wanita menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah diperoleh sebelumnya Hurlock, 1999, sehingga untuk mencapai kepuasan perkawinan, seseorang harus mendapat kepuasan beragama Jane, 2006. Penyelesaian konflik yang merupakan persepsi suami atau istri terhadap konflik dan penyelesaiannya dikemukakan oleh Olson Fowers dalam Saragih, 2003 sebagai area yang keempat dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan. Kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan bila semua anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah dan mendiskusikan dengan baik Henslin, 1985. Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 Area yang kelima dalam perkawinan yang dapat mengukur kepuasan perkawinan menurut Olson Fowers dalam Saragih, 2003 adalah pengelolaan keuangan yang menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk- bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Kesulitan dalam bidang ekonomi sehingga mengurangi pendapatan keluarga dapat muncul karena adanya masalah kesehatan Emmanuel et all., 2000. Kesulitan ekonomi merupakan masalah yang menyebabkan pengaruh negatif dalam perkawinan, dimana hal ini dapat menyebabkan penurunan terhadap kepuasan perkawinan Conger et al., 1990. Menurut Olson Fowers dalam Saragih, 2003, hubungan seksual merupakan salah satu area yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka. Keluarga dan teman termasuk dalam area perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan Olson Fowers dalam saragih, 2003. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarga sendirinya, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama Hurlock, 1999. Area berikutnya dalam perkawinan untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah kehadiran anak dan pengasuhan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan. Kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama pasangannya yang juga mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami Hendrick Hendrick, 1992. Kepribadian merupakan salah satu area dalam perkawinan yang juga mengukur kepuasan perkawinan Olson Fowers dalam Saragih, 2003. Matthews 1996 mengatakan bahwa tingkah laku dan kepribadian pasangan dapat menyebabkan kekecewaan terhadap pasangan jika tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, namun jika tingkah laku pasangan sesuai dengan apa yang diharapkan dapat menimbulkan perasaan puas Matthews, 1996. Kesetaraan peran merupakan area terakhir dalam pengukuran kepuasan perkawinan yang telah dikemukakan oleh Olson Fowers dalam saragih, 2003. Agoestinelli menyatakan bahwa peran dalam kehidupan perkawinan berkaitan dengan pekerjaan, tugas rumah tangga, peran jenis kelamin dan peran sebagai orangtua Kail Cavanaugh, 2000. Terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Duvall dalam Domikus, 1999 menyatakan bahwa salah satu dari faktor-faktor tersebut adalah kehadiran anak. Peneliti melakukan wawancara pada seorang suami yang istrinya terinfeksi virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut: “…aku aneh juga gitu kan dek, masak kami pake kondom gitu, orang nikah supaya mau ada keturunan ini kok malah gak mau ada keturunan… saya risih juga makenya, bingung gitu napa, apa dia gak suka ma aku ya, atau dia jijik ma aku… waktu saya tahu dia HIV barulah saya sadar napa dia gitu, saya Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 jadinya pikir positiflah, rupanya dia gitu karena sayang ma aku, dia gak mau aku kena juga kayak dia…. sejujurnya ya pasti pernahlah gak pake kondom cuma dia agak aneh gitu, takut-takut dia buatnya…” Komunikasi Personal, 08 Mei 2008. Peneliti juga melakukan wawancara pada seorang istri yang suaminya terserang virus HI, berikut kutipan wawancara tersebut: “……saya bahagia kok, orangtua saya mendukung saya dan suami saya… saya udah mikirin masak-masak sebelum saya menikah, jadi nggak ada penyesalan bagi saya… memang kami belum punya anak, bukan karena nggak bisa, siapa bilang kami nggak bisa punya anak, tapi kami sedang menunggu waktu aja, kami sekarang fokus ke finansial dulu, nanti anak saya gimana kalau kami sendiri belum mapan… memang kami selalu kontrol ke dokter, jadi dokter selalu mengecek kapan harinya virus itu tidak sedang aktif-aktifnya jadi saya bisa punya anak tanpa saya dan anak saya terkena virus itu…” Komunikasi Personal, 08 Maret 2008. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pasangan ODHA memerlukan perawatan yang intensif agar memiliki anak yang tidak terkena virus HI begitu juga dengan pasangannya. Keterbatasan pencapaian salah satu aspek pemenuhan kepuasan perkawinan tersebut memunculkan pertanyaan apakah pasangan ODHA kesulitan untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan secara keseluruhan. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada suamiistri yang pasangannya ODHA. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana kepuasan perkawinan pada pasangan ODHA”. Proses tersebut dilihat dari: 1. Apa penyebab ODHA tersebut tertular HIVAIDS? Stefani Anastasia : Kepuasan Perkawinan Pada SuamiIstri Yang Pasangannya Odha, 2008 USU Repository © 2008 2. Bagaimana reaksi psikologis yang dialami oleh suamiistri ketika mengetahui pasangannya mengidap HIVAIDS? 3. Bagimana kepuasan perkawinan pada suamiistri apabila pasangannya mengidap HIVAIDS?

C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepuasan perkawinan