Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria

(1)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PENSIUNAN PRIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RIZKI FADILAH RAZ

041301096

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2008/2009


(2)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Kepuasan Perkawinan pada Pensiunan Pria

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya besedia menerima sanksi apapun dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2009

RIZKI FADILAH RAZ 041301096


(3)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak rahmat serta kemudahan dalam penyusunan skripsi yang berjudul ”Kepuasan Perkawinan pada Pensiunan Pria”, guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Kepada kedua orang tuaku Drs.H.Sofyan Raz, AK.MM dan Rahmawaty atas setiap doanya, setiap dukungannya, setiap perhatiannya, setiap hal yang dilakukan untuk berjalannya skripsi saya dengan baik. Beserta ketiga adikku, Arisyi Fariza Raz, Hizrian Fathulah Raz dan Hasfi Fauzan Raz untuk setiap perhatiannya.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku Dekan Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Elvi Andraini M.Si selaku dosen pembimbing penulis yang selalu sabar dan

ketersediaan waktu ditengah kesibukannya serta perhatiannya.

3. Bapak Usman Tarmizi, Bapak Purwanto dan Bapak Edison atas waktu dan kerja

samanya hingga penelitian ini terselesaikan.


(4)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

5. Seluruh dosen dan pegawai di Psikologi USU terutama kepada Ibu Rr. Lita

Hadiati Wulandari , S. Psi, Psikolog dan Ibu Lili Garliah, M. Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji skripsi

6. Ibu. Filia Dina Anggaraeni, M. Pd untuk setiap kata-kata yang menghasilkan motivasi hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan.

7. Sahabat-sahabat terbaikku Fahmi setiap smsnya yang menyemangati, Raline

selaku cheerleader-ku, Ella si penganten baru, Kakak dan Ica ayo kerjakan skripsinya, jangan gaul-gaul aja. Riri yang udah jadi bankir ditunggu gaji pertama. Ican untuk setiap pengertiannya, Dita hmm.. unaginya enakloh, Adlin, Rifqi & Budi, ayo pake lagi itu raket tenis. Ira kita kejar mereka sama-sama. Isrin untuk setiap bantuannya. Bang Ronald untuk setiap centi di ruangannya itu. Bang Eko & Bang Amri buat membelikan kopi

8. Rianti Widiastuti atas waktunya untuk mendengarkan segala keluh kesah tanpa

batas waktu dan salah satu penyemangat terbaikku, Siti Annisa Rizky atas semua bantuannya mulai seminar sampai skripsi, semoga bahagia selalu dan Zulfirman Eroswika atas bantuannya juga semangatnya.

9. Seluruh keluarga besar dari YPSA, Pink Studio dan Elevate atas dukungan beserta doanya.

10. Pak As, Kak ari dan Kak Dian yang membantu memudahkan setiap proses skripsi ini hingga berjalan lancar.

11. Kak Rizka dan Kak Imma buat bantuan pinjaman si buku bantal itu yang sangat berguna.


(5)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

12. Tante Tina buat bingkisan-bingkisan menarik yang membuat gendut yang katanya untuk temenin bikin skripsi, Tante Veri dan Tante Ika buat yang online terus tapi menyemangati.

13. Tidak akan tertingal kedua kucingku tercinta, Simba dan Nala sebagai best companion ku hingga malam menjadi pagi menemaniku disebelah laptop.

Atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini peneliti mohon kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, Maret 2009


(6)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI………... ii

DAFTAR TABEL………... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Rumusan Masalah…….……….... 8

C. Tujuan Penelitian……….. 8

D. Manfaat Penelitian………. 8

1. Manfaat teoritis……… 8

2. Manfaat praktis……… 9

E. Sistematika Penulisan………. 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Perkawinan ….………... 11

1. Definisi Perkawinan..………... 11

2. Perkawinan dalam psikologi..………... 12

3. Tipe-Tipe Perkawinan………... 12

B. Kepuasan Perkawinan...………. 13

1. Pengertian Kepuasan Perkawinan ...…….... 13


(7)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

3. Faktor yang mempengaruhi kepuasan

perkawinan………..……… 19

4. Karakteristik Kepuasan Perkawinan…….……… 21

C. Pensiunan ………..……… 22

1. Definisi Pensiun ………... 22

2. Usia Pensiun ………...………….. 23

3. Fase Penyesuaian Diri pada Masa Pensiun... 23

4. Jenis-jenis Pensiun... 26

5. Model Masa Penyesuaian terhadap Pensiun ………....………... 26

6. Gaya Hidup Setelah Pensiun ... 28

7. Perubahan – Perubahan Akibat Pensiun... 28

8. Pengertian guru ... 29

D. Kepuasan Perkawinan pada Pensiunan Pria …... 30

E. Paradigma Penelitian... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ………...…... 36

B. Responden Penelitian……… 37

1. Karakteristik Responden Penelitian …….…….. 37

2. Jumlah responden penelitian……….…………. 37


(8)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

4. Lokasi penelitian……….…………. 38

C. Metode Pengumpulan Data... 38

1. Wawancara……... 38

D. Alat Bantu Pengambilan Data...….…... 39

1. Alat perekam (tape recorder)... 39

2. Pedoman wawancara ………...…..….. 39

E. Prosedur Penelitian... 40

1. Tahap Persiapan Penelitian ……...…..…….. 40

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian …... 41

3. Tahap Pencatatan Data... 43

F. Kreadibilitas dan Validitas Penelitian ……... 43

G. Prosedur Analisis Data... 45

BAB IV ANALISA DATA PENELITIAN DAN INTERPRETASI... 47

A. Responden I (P.S) ... 47

1. Analisa Data... 47

1.a. Deskripsi Identitas Diri Responden I (P.S) ... 47

1.b. Latar Belakang... 48

2. Hasil Observasi... 49

3. Hasil Wawancara... 52


(9)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

B. Responden II (E.D) ... 90

1. Analisa Data... 90

1.a. Deskripsi Identitas Diri Responden II (E.D) ... 90

1.b. Latar Belakang... 91

2. Hasil Observasi...,... 91

3. Hasil Wawancara... 94

4. Interpretasi Intra Subjek... 122

C. Responden III (U.T) ... 130

1. Analisa Data... 130

1.a. Deskripsi Identitas Diri Responden III (U.T) ... 130

1.b. Latar Belakang... 131

2. Hasil Observasi...,... 132

3. Hasil Wawancara... 135

4. Interpretasi Intra Subjek... 122

D. Analisa Banding... 175

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan... 140

B. Diskusi... 141


(10)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

1. Saran metodologis... 143

2. Saran praktis... 144

DAFTAR PUSTAKA ...

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Siklus Kehidupan Keluarga ... 18

Tabel 2. Data Diri Responden I (P.S)... 47

Tabel 3. Data Diri Pasangan P.S... 49

Tabel 4. Waktu Wawancara P.S... 49

Tabel 5. Kepuasan Perkawinan P.S... 83

Tabel 6. Data Diri Responden II (E.D) ... 90

Tabel 7. Data Diri Pasangan Responden II (E.D)... 91

Tabel 8. Waktu Wawancara E.D... 91

Tabel 9. Kepuasan Perkawinan E.D... 122

Tabel 10. Data Diri Responden III (U.T) ... 130

Tabel 11. Data Diri Pasangan Responden III (U.T)... 131


(11)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan salah satu aktivitas sentral manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia. Menurut Osborne (1990), perkawinan merupakan hubungan yang bermanfaat bagi manusia dan hampir semua orang berada dalam ikatan perkawinan hampir di sepanjang hidupnya.

Bagi banyak orang, perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga, namun dalam sebuah hubungan, baik itu perkawinan maupun hubungan interpersonal lainnya, masalahnya tidak dapat dihindarkan karena pada dasarnya sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai kepribadian, sifat dan karakter yang berbeda (Rini, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Parrot & Parrot (dalam Beroncal, 2003) menunjukkan bahwa sekitar empat puluh sembilan persen pasangan mengalami masalah perkawinan. Dengan kata lain individu merasa tidak puas terhadap kehidupan perkawinannya. Hal ini diungkapkan oleh NK yang sudah menikah selama 10 tahun.

”Kami menikah 10 tahun dengan 2 anak. Suami kaku dan keras kepala. Kami berdua bekerja, meskipun pekerjaan di rumah saya kelola sendiri. Suami tidak peduli kerepotannya, masih mengeluh katanya saya tidak mengurusi suami. Penghasilannya untuk keperluan bulanan dan keperluan pribadinya, sedangkan gaji saya untuk keperluan harian yang tidak kalah banyak. Sekarang saya tidak bekerja (sementara), suami mengeluh lagi, katanya dia yang bekerja keras mencarai nafkah, saya tidak bergaji”

Menurut Roach, dkk (dalam Pujiastuti & Retnowaty, 2004) kepuasan perkawinan merupakan persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Kepuasan yang


(12)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan perkawinan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Hughes & Noppe, 1985).

Hoyer (1999) yang menyatakan bahwa awal masa perkawinan, pria dan wanita saling mengenal kepribadian pasangan. Kedua pasangan saling berkenalan pula dengan lingkungan kehidupan pasangannya, seperti pertemanan dan keluarga pasangan. Bulan-bulan pertama perkawinan dipenuhi dengan masa eksplorasi dan evaluasi dan akhirnya menerima kenyataan bahwa perkawinan tidak selalu sesuai dengan harapan dan fantasi mengenai perkawinan.

Memasuki tahapan selanjutnya ialah menjadi orang tua. Beberapa pasangan memutuskan untuk tidak mempunyai anak dan pasangan lainnya mempunyai beberapa anak. Pada kebanyakan kebudayaan, tanggung jawab akan keuangan merupakan hal yang sangat penting dalam membesarkan anak. Pasangan-pasangan sering kali mengatakan bahwa dalam membesarkan anak berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Sering kali kedua orang tua harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan yang baik untuk dapat memenuhi kebutuhan anak. Hingga akhirnya anak tumbuh besar dan menjadi mandiri secara keuangan dari orang tua. Orang tua dan anak mempunyai hubungan yang berkembang dan semakin kuat satu dan lainnya. Ketika anak sudah mulai meninggalkan rumah, orangtua merasakan kehilangan yang dalam yang disebut masa kosong. (Hoyer dkk, 1999). Masa kosong ini berorientasi pada pasangan, bukan berorientasi pada hubungan keluarga yang dilakukan seperti pada masa dewasa dini. Berdasarkan fakta, masa kosong ini secara umum bukan periode menyenangkan bagi pria maupun wanita


(13)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

terngah baya (Hurlock, 1980). Masa kosong ini umumnya dialami oleh pasangan yang memasuki masa pensiun.

Pensiun merupakan suatu tahapan dalam masa dewasa akhir. Dimana diperlukan adanya penyesuaian – penyesuaian terhadap masa pensiun tersebut, seperti penyesuaian diri terhadap kebiasaan atau pola hidup. Dari pola hidup bekerja menjadi tidak bekerja, kemudian juga dari kehidupan kerja menjadi kehidupan rumah.(Hurlock,1999)

Menurut Jacinta (2001) pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak. Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan karena mendapatkan uang, jabatan dan memperkuat harga diri. Oleh karena itu, sering terjadi orang yang pensiun bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya, ada yang malahan mengalami problema kejiwaan atau pun fisik.

Masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangkan identitas seseorang yang sudah melekat begitu lama (Warr dalam Offord, 1992). Masa pensiun ini menimbulkan masalah psikologis yang baru bagi yang menjalaninya, karena banyak dari mereka yang tidak siap menghadapi masa ini. Hal yang paling memberatkan dari pensiun


(14)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

ialah, bahwa dengan pensiunnya seseorang dari pekerjaan maka ia kehilangan identitas pekerjaannya.

Ketika memasuki masa pensiun, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, harga diri, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah karena kehilangan peran (Eyde, 1983). Bagi pria pekerjaan terkadang bukan hanya merupakan pendapatan ataupun materi, namun merupakan suatu kabanggaan, rekognisi sosial, sebagai individu yang dianggap berguna dan kebanyakan pria menganggap pekerjaan merupakan hal yang berharga dalam kehidupan. (Cavanaugh & Fields, 2006). Terkadang pensiunan merasa diri mereka bersaing dengan orang-orang yang lebih muda yang mempunyai pengalaman jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka namun kaum muda dapat bekerja lebih efektif dibandingkan dengan mereka (Pikunas, 1991). Bahkan akibat yang paling buruk pada pensiunan adalah dapat mengakibatkan depresi dan bunuh diri (Zimbardo, 1979).

Akibat pensiun secara fisiologis oleh Liem & Liem (1978) dikatakan bisa menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, berkurangnya kepekaan.

Pada tahun 1999, penelitian menghasilkan 1.103 pensiunan menjadi lebih depresi, tidak sehat dan sulit beradaptasi dengan masa pensiunnya. Sebagian besar dari mereka merupakan pekerja profesional dengan jabatan tinggi, mereka merasa masih dapat bekerja dengan baik(Geishaw, 2000). Bahkan akibat yang paling buruk pada pensiunan adalah dapat mengakibatkan depresi dan bunuh diri ( Zimbardo, 1979 ). Akibat pensiun secara fisiologis oleh Liem & Liem (1978) dikatakan bisa menyebabkan masalah


(15)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, berkurangnya kepekaan. Ia menyebut penyakit diatas, dengan istilah retirement syndrome.

Seperti halnya yang terjadi pada AT, yang sudah mengidap penyakit.

“Atok sudah sakit parah. Atok sudah pernah operasi, 1 bulan sakit. Rupanya itu kena kanker Tiroid. Jadi di Rontgen mengecil hingga Atok susah bernafas. Kalau ini (dia memegang lehernya) tidak di tekan Atok tidak bisa ngomong” (Komunikasi Personal, 12 Maret 2008).

Fase-fase pensiun terbagi tiga, yaitu preretirement phase, dimana pada fase ini individu mendekati masa pensiunnya. Fase selanjutnya ialah retirement phase pada fase ini dimana individu sudah memasuki masa pensiun dan fase terakhir ialah end of retirement dan akhir dari fase pensiun ini individu sudah membutuhkan orang lain sebagai tempatnya bergantung (Robert Atchley, 1983).

Ketika individu mengalami penyesuaian dalam masa pensiun yaitu retirement phase dan end of retirement banyak mengalami perubahan pola hidup. Perubahan tersebut diantaranya, pekerjaan pasangan, kesehatan pasangan, situasi ekonomi keluarga dan keseimbangan hubungan dalam perkawinan (Flipen,2002). Sehingga menyebabkan gejala-gejala kejiwaan dan emosi yang tidak stabil dalam masa pensiun, memungkinkan dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan seseorang (dalam Hurlock,1999).

Awal transisi masa pensiun dapat menyebabkan stres pada keluarga. Memasuki masa pensiun pasangan sering terlibat perselisihan dan rendahnya kepuasan perkawinan

(Lang, 2001). Kebanyakan keluarga melihat ke arah berhentinya pencari nafkah.

Penyesuian masa pensiun bagi pria lebih mengalami kesulitan dari pada wanita dan kesulitan tersebut akan bertambah besar apabila perilaku keluarga tidak menyenangkan. Pria mempunyai sedikit sumber pengganti yang dapat menghasilkan kepuasan, untuk


(16)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

menggantikan sarana yang biasa diperoleh dari pekerjaanya dahulu dari pada yang dipunyai wanita. Untuk wanita, lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan masa pensiun disebabkan karena wanita selalu membawa tanggung jawab terhadap keluarga dalam kehidupan kerja. (dalam Hurlock,1999). Didukung oleh pernyataan Neill (2004), pria lebih sulit menghadapi masa pensiun disebabkan pria lebih suka memikirkan permasalahan sendiri dan mengakibatkan masalah semakin rumit sedangkan wanita cendrung dapat berbagi permasalahan dengan kelompoknya.

Gershaw (2000) menyatakan, pria lebih bermasalah menghadapi masa pensiun terlebih bagi keluarga yang masih memegang prinsip tradisional mengenai peran dalam sebuah keluarga, dimana istri menjadi ibu rumah tangga dan suami pencari nafkah. Pembagian tugas antara suami dan istri mengalami perubahan. Sehingga suami mengambil alih kontrol kendali terhadap rumah. Suami cendrung mengintervensi pekerjaan rumah dan mengkritik setiap pekerjaan pasangan dimana sebelumnya kendali terletak pada istri. Hingga hal ini sering mengakibatkan konflik.

Bagi pasangan yang sebelumnya sama-sama bekerja, ketika suami pensiun terlebih dahulu ini merupakan keadaan sangat berat. Virick (2001) menyatakan, suami pada awalnya merasa senang telah memasuki masa pensiun namun pada akhirnya mereka berharap agar istrinya juga segera pensiun karena mengharapkan istrinya untuk berada dirumah. Hingga akhirnya sering mengalami pertengkaran dengan pasangan karena suami kecewa. Sedangkan pada pasangan yang istri lebih dahulu pensiun istri menjadi kurang menghargai perannya yang baru sebagai ibu rumahtangga dimana sebelumnya ia sebagai wanita karir.


(17)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Bagi sebagian pasangan, memasuki masa kosong ini dapat menjadikan mereka membuat hubungan baru. Kedua pasangan lebih menghargai waktu kosong mereka untuk menjadikan diri mereka lebih baik, melibatkan diri dengan pasangan lebih intim, dengan hobi dan komunitas mereka (Hoyer dkk,1999). Seperti hasil wawancara dengan AT sebagai berikut.

“Atok juga suka bergaul, baik itu olahraga. Jadi banyak teman, jadi waktu kerja duluorang seSumatera Utara kenal semua sama Atok. Jadi hubungan itu sampai sekarang masih tetap ada. Kalau Atok sadari betul itu, orang pensiun itu perlu teman, teman curhat la...jadi kita curhat sama teman pensiun. Apalagi kalau sama sama bergerak sama orang kebunlah. Atokkan orang kebun. Jadi tiap pagi sekarang jam 5.00 sehabis shubuh Atok sudah sampai ke Palembang, Pasar Baru, Indonesia Timur kemana-mana. Jadi ada tempat disana, tempat berkumpul, Atok suka disana. Jadi apa yang ada disini tidak akan pernah hilang”.

Hal tersebut diatas akan memudahkan terjadi apabila pasangan yang mempunyai hubungan komunikasi yang baik dan dapat terbuka terhadap pasangan sebelum memasuki masa pensiun. Pasangan akan mudah menyesuaikan perkawinannya dan mendapatkan kepuasan pernikahan yang meningkat (Christine, 2003).

Berdasarkan penelitian dari Ohio State Universtity (Christine, 2003) pasangan yang memiliki kepuasan perkawinan yang tinggi setelah pensiun ialah pasangan yang berhubungan seperti memiliki kebutuhan emosi yang sama dan saling memberi, berusaha membuat perkawinan berjalan dengan baik, tidak mementingkan kebebasan sendiri tetapi mempunyai prioritas untuk perkawinan, mempunyai pandangan yang sama dalam hubungan seksual, pasangan dapat menikmati percakapan yang langsung, terbuka dan tidak memanipulatif pasangan, mempunyai sudut pandang yang positif, menghargai pasangan dan saling memuji pasangan, memiliki kepercayaan spiritual, menghargai


(18)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

perbedaan yang ada, ingin berkembangan dan menerima perubahan dan saling mengekspresikan kasih sayang dan sentuhan.

Bagi keluarga yang bermasalah, ketika memasuki masa mereka lebih memilih untuk menghindar satu dan yang lainnya dibandingkan harus bercerai. Namun akan sulit untuk menghindar dari pasangan ketika salah satu pasangan sudah memasuki masa pensiun akan tingkat pertemuan dengan pasangan menjadi sangat meningkat. Banyak pasangan merasa yang terbaik bagi hubungan perkawinan ialah dengan mengurangi masa bersama untuk hal privasi bagi masing-masing pasangan (Harley,2006).

Hubungan kepuasan pernikahan dengan masa pensiun dapat dilihat dari hubungan suami isteri yang baik, jika hubungan mereka baik maka akan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka berdua. Namun sebaliknya jika hubungan suami isteri yang kaku dan dingin, maka pertengkaran akan meningkat.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran kepuasan pernikahan pada pensiunan pria.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada pensiunan pria. berdasarkan lata belakang masalah, maka peniliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang akan di jawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama dari penelitian ini adalah :


(19)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

2. Perubahan apa saja yang terjadi dalam perkawinan ketika memasuki masa

pensiun?

3. Bagaimana individu memandang kehidupan pensiunan?

C. Tujuan Penelitian

Sebuah penelitian ilmiah sudah selayaknya memiliki tujuan tertentu, maka penelitian ini bertujuan untuk mengentahui kepuasan perkawinan pada pensiunan pria.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberi dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk menambahkan wawasan pengetahuan dan pengertian mengenai kepuasan perkawinan pada pensiun pria, selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi tambahan kepustakaan dalam khasanak ilmu pengetahuan pada umumnya dalam psikologi khususnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut :


(20)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi pria yang akan memasuki masa pensiun agar membuat persiapan baik fisik maupun mental untuk memasuki masa pensiun nantinya.

• Bagi pria yang sudah memasuki masa pensiun

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pria yang sudah memasuki masa pensiun mengenai perubahan dalam perkawinan dan dapat mengatasi perubahan tersebut.

• Bagi keluarga, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

informasi mengenai perubahan dalam perkawinan ketika suami atau ayah memasuki masa pensiun sehingga dapat memahami keadaan mereka. E. Sistematika Penulisan

Penulisan proposal penelitian disusun berdasarkan sistem sebagai berikut:

Bab I: Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II: Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalampembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai kepuasan perkawinan yang berisikan definisi, kriteria-kriteria kepuasan perkawinan, area-area dalam perkawinan, faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, tipe-tipe perkawinan, tahapan perkawinan, masalah utama dalam penyesuaian stabilitas perkawinan.


(21)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Kemudian teori mengenai pensiun yang berisikan definisi, usia pensiun, fase penyesuaian diri pada masa pensiun, jenis-jenis pensiun, model masa penyesuaian terhadap pensiun, perubahan – perubahan akibat pensiun Bab III: Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh

peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, subjek penelitian, teknik pengambilan sampel, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data.

Bab IV: Analisa dan interpretasi, dalam bab ini akan memuat deskripsi data, analisa data dan pembahasan

Bab V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran, dalam bab ini akan dijelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.

BAB II

LANDASAN TEORI A. Perkawinan

1. Definisi Perkawinan

Sebelum menjelaskan mengenai kepuasan perkawinan terlebih dahulu akan dibahas mengenai perkawinan itu sendiri. Orang memilih untuk melakukan perkawinan karena beberapa alasan, salah satunya adalah untuk mengungkapkan perasaan cinta kasih antara pria dan wanita (Peck,1991)


(22)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Di Indonesia, seluk beluk perkawinan diatur dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, yang mendefinisikan perkawinan sebagai: Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga bahagia dan kekal) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Domikus,1999).

Eshleman (1994) mendefinisikan perkawinan sebagai penetapan pria dan wanita secara institusional menjadi seorang suami istri.

Bhrem (1992) menyatakan bahwa pernikahan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam ; dimana dua individu berikrar yang didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka perkawinan dapat disimpulkan yaitu suatu ikatan lahir batin antara pria dan wanita secara institusional ialah suami dan istri dalam menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

2. Perkawinan dalam psikologi

Sisi psikologi dalam perkawinan menurut Sadli (dalam Anggraini, 1995) juga merupakan sistem yang penting dalam perkembangan individu. Perkawinan merupakan salah satu tugas perkembangan yang pantas dilakukan individu yang telah memasuki dewasa awal. Sisi psikologis dalam perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Perkawinan merupakan perpaduan, penyatuan dari dua pribadi yang unik dan


(23)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

b. Ikatan antara suami istri terutama dilandasi oleh ikatan afeksional, emosional, cinta dan hubungan kasih sayang

c. Kehidupan perkawinan merupakan suatu perpaduan dimana terjadi interaksi dan

komunikasi antara dua orang atau lebih yang masing-masing mempunyai peranan sendiri-sendiri sebagai suami istri.

d. Dalam mengisi peran, masing-masing memiliki tanggung jawab terhadap diri

sendiri keluarga dan masyarakat.

e. Kehidupan perkawinan sebagai landasan membina kehidupan berkeluarga akan

mewujudkan banyak persamaan dan pola budaya yang berlaku.

f. Dalam kehidupan perkawinan dituntut adanya penyesuaian diri baik terhadap

kebutuhan masing-masing ataupun terhadap ketentuan budaya yang berlaku.

3. Tipe-Tipe Perkawinan.

John Cuber dan Peggy Harrof (dalam Lefrancois, 1984), mendeskripsikan lima tipe perkawinan :

a. Conflict-habituated, bercirikan sering bertengkar tetapi jarang ada penyelesaian, tidak ada kecocokan satu sama lain dan hampir selalu dalam keadaan tegang. Meskipun demikian pasangan tersebut tidak bermaksud untuk berpisah. Beberapa peneliti dan psikolog klinis menyebut pasangan demikian sebagai memiliki kebutuhan “neurotik” untuk tetap selalu bersama.

b. Devitalized, bercirikan: “dulu pernah mengalami hubungan yang hangat tetapi sekarang tidak ada lagi percikan api yang menghidupkannya”, kebersamaan yang dijalani adalah rutinitas semata, yang kebanyakan berisi tugas dan tanggung jawab.


(24)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

c. Passive-congenials, bercirikan: jarang bertengkar, perkawinan berlangsung “aman dan tertib”, berbagai minat bersama dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, mengasuh anak, mengembangkan karir, namun tidak mementingkan hubungan romantik.

d. Vitals, bercirikan: saling terikat secara intens dalam semua persoalan kehidupan, sangat menikmati kebersamaan dan kegiatan yang dilakukan bersama.

e. Totals, bercirikan: terlibat secara lebih intim daripada tipe Vitals, berbagi dalam setiap aspek kehidupan, bahkan jika mungkin semua kegiatan akan mereka lakukan bersama.

B. Kepuasan Perkawinan.

1. Pengertian Kepuasan Perkawinan

Kesuksesan perkawinan ditandai bukan hanya oleh berapa lama hubungan tersebut terjalin dan intensitas perasaan yang dialami dua orang yang menjalin relasi perkawinan. Bukan juga ditentukan oleh siapa di antara kedua pasangan perkawinan tersebut yang memenangkan dominasi. Sukses dalam perkawinan berlainan dengan definisi kesuksesan dalam pekerjaan yang bisa diukur dari berapa jauh seseorang mampu meraih jenjang tertinggi dari kariernya.(“Faktor Praperkawinan yang Berpengaruh pada Sukses Perkawinan”,2004)

Menurut Grace (dalam Fournier, 1983) kepuasan perkawinan ialah upaya bersama dari pasangan suami istri dalam upayanya untuk dapat meperlakukan pasangannya dengan baik. Dengan demikian dapat disebutkan juga bahwa kebahagiaan perkawinan merupakan raport perilaku pasangan suami istri terhadap pasangannya. Perilaku yang


(25)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

baik akan dapat menghadirkan kebahagiaan bagi keduanya, dan sebaliknya perilaku yang buruk terhadap pasangan semakin menjauhkan keduanya dari kebahagiaan.

Menurut Skolnick (dalam Lefrancois,1984) mengatakan kepuasan perkawinan ialah persepsi individu terhadap hubungan perkawinannya dimana hubungan perkawinan tersebut terus berproses dan berkembang sepanjang umur perkawinan

Maka berdasarkan para ahli diatas maka dapat disimpulkan kepuasan perkawinan ialah persepsi individu terhadap pasangannya dalam hubungan perkawinan dimana hubungan perkawinan tersebut terus berproses dan berkembang sepanjang umur perkawinan yang akan menghadirkan kebahagiaan apabila kedua pasangan berprilaku baik dan sebaliknya akan menjauhkan kebahagiaan apabila kedua pasangan berprilaku buruk.

3. Area-area dalam perkawinan

Olson & Fowers (dalam Fournier, 1983) mengemukakan area-area dalam perkawinan untuk mengukur bagaiman kepuasan perkawinan pada pasangan. Area-area tersebut adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi

Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangan. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima


(26)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

informasi tentang perasaan dan pikirannya. Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan dalam 5 elemen dasar, yaitu : openess (adanya keterbukaan diantara pasangan), honesty (adanya kejujuran terhadap pasangan), ability to trust (kemampuan untuk mempercayai satu sama lain), empathy (sikap empati terhadap pasangan) dan listening skill (kemampuan mejadi pendengar yang baik.

2. Aktivitas mengisi waktu luang

Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilkakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakan suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan.

3. Orientasi Agama

Dalam area ini yang dinilai adalah makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragam, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua akan mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang dianut kepada anaknya. Selain itu mereka juga akan menjadi teladan yang baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama.

4. Resolusi terhadap konflik

Fokus dalam area ini adalah untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan


(27)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang mucul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama, serta membangun kepercayaan satu sama lain.

5. Pengaturan keuangan

Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan utnuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan (Hurlock, 2004). Konflik dapat muncul jika salah satu menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

6. Orientasi seksual

Fokus dalam area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiting berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mempu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasnagan sehingga dapat tercipta kepuasaan bagi pasangan suami istri.


(28)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalam area ini. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dengan mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunaka sebagian waktunya bersama keluarga sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 1999)

8. Kepribadian

Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah, perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasang sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

9. Peran yang sederajat

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus


(29)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam rumah maupun luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesepatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

10. Anak dan orangtua

Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan jika itu dapat tercapai. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak adalah hal penting dalam perkawinan.

Dalam kaitannya dengan kehadiran anak, Duvall (dalam Clyton, 1975) membagi siklus kehidupan keluarga menjadi 8 tahapan dengan ciri tersindiri seperti tabel berikut :

Tabel 1.

Siklus Kehidupan Keluarga

Tahap 1. Keluarga awal.

Setelah menikah 0-5 thn, tanpa anak


(30)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Anak pertama yang baru lahir sampai anak berusia 2 thn 11 bln.

Tahap 3. Keluarga dengan anak pra-sekolah.

Anak pertama berusia 3 thn sampai 5 thn 11 bln.

Tahap 4. Anak pertama usia 6 thn s/d 12 thn 11 bln

Tahap 5. Anak pertama 13 thn s/d 20 thn 11 bln

Tahap 6. Keluarga sejak masa anak sulung sampai

anak bungsu meningalkan rumah

Tahap 7. Keluarga dimana semua anak sudah

meninggalkan rumah sampai masa pensiun

Tahap 8. Keluarga dari masa pensiun sampai masa

kematian salah satu pasangan.

3. Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan

Menurut Hendrick (1992), mengatakan bahwa kepuasan dalam perkawinan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terjadi sebelum perkawinan dan sesudah perkawinan.

3.1. Faktor-faktor sebelum perkawinan 1. Latar belakang sosial ekonomi

Status ekonomi sebelum menikah dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan seseorang, hal ini berhubungan dengan harapan akan status ekonomi yang


(31)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

akan diterima setelah menikah. Umunya wanita berharap dengan perkawinan, maka status sosial dan ekonominya terangkat, namun dapat terjadi ketidakpuasan bila harapan tersebut tidak realistis dan wanita memilih suami karena alasan ekonomi. (Hurlock,2004)

2. Pendidikan

Kepuasan perkawinan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan, yang diperoleh seseorang, hal ini diasumsikan bahwa dengan pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan inidivu dalam memenuhi kebutuhan keinginan dan aspirasinya. (Turner & Helms, 1989) Penetian Luckey (dalam Hendrick&Hendrick, 1962) menghasilkan bahwa kepuasan perkawinan berhubungan positif dengan pendidikan yang tinggi dimana orang berpendidikan tinggi akan lebih puas dengan perkawinannya.

3. Pekerjaan

Pekerjaan berhubungan erat dengan tingkat pendidikan seseorang. Meningkatnya jumlah wanita bekerja sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan wanita. (Rini, 2002)

4. Pengaruh orang tua

Orang tua juga dapat mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan, dalam hal ini berhubungan dengan harapan orang tua, jodoh dan kehidupan perkawinan anak-anaknya. Orang tua yang terlalu ikut campur dalam perkawinan anaknya dapat menyebabkan anak tidak puas dengn perkawinannya.


(32)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

3.2.Faktor-faktor setelah perkawinan

1. Keberadaan anak

Keberadaan anak mempengaruhi kepuasan terhadap perkawinan, Ryder (dalam Laswell & Laswell, 1978) mengemukakan bahwa kepuasan dapat terwujud bila kenyataan tentang keberadaan anak sesuai dengan harapan.

2. Lama perkawinan

Lama perkawinan juga turut mempengaruhi kepuasan sesorang dalam perkawinan. Semakin lama usia perkawinan, maka akan semakin banyak penyesuaian yang terjadi antara suami istri yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan.

4. Karakteristik Kepuasan Perkawinan

Menurut Skolnick (dalam Lefrancois, 1984) beberapa hal dibawah ini merupakan cirri-ciri kepuasan perkawinan yang tinggi, yaitu :

1. Individu menyukai pasangannya

2. Individu mengaggumi dan menghargai pasangannya.

3. Individu dan pasangan saling menikmati waktu bersama 4. Individu bersedia menikahi pasangannya sekali lagi

5. Pernikahan kedua pasangan semakin meningkat seiring dengan berjalannya

waktu

6. Individu merasa dicintai oleh pasangan.


(33)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Sedangkan hal dibawah ini merupakan ciri-ciri kepuasan perkawinan yang rendah, yaitu :

1. Pernikahan hanya merupakan suatu keharusan dan rutinitas bukan merupakan

hubungan yang personal antara kedua pasangan 2. Individu berkeinginan untuk meninggalkan pasangan

3. Adanya permasalahan serius dan adanya perbedaan pendapat yang terjadi

antara kedua pasangan.

4. Terjadinya perbedaan kepribadian antara kedua pasangan yang menyebabkan

permasalahan.

5. Hubungan seksual menjadi tekanan bagi pasangan. 6. Individu selalu mengkritik pasangan.

C Pensiun

1. Definisi Pensiun

Beberapa batasan akan dikemukakan dibawah ini, dan secara garis besar dapat dibagi berdasarkan pandangan mengenai peran pekerjaan itu sendiri dan tinjauan definisi dari sudut psikologi perkembangan. Berikut definisi pensiun berdasarkan peran pekerjaan bagi seseorang.

Pamel dan Nessel (Turner,1989) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana individu tersebut telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa dilakukan.


(34)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Kroeger dalam ( Turner, 1989) mengatakan bahwa pensiun adalah salah satu titik balik yang signifikan dalam karier seseorang selama hidupnya atau setidak – tidaknya untuk mayoritas orang dewasa yang telah menghabiskan seluruh atau sebagian besar hidup mereka dalam bekerja. Pada saat itu seseorang kehilangan pekerjaannya, status sosialnya, fasilitas, materi, anak–anak sudah tumbuh dewasa dan pergi dari rumah. Teman–teman dan relasi–relasi tidak lagi mengunjunginya. Ia menjadi kesepian. Bersamaan dengan itu kesehatannya makin menurun.

Batasan yang jelas dikemukakan oleh Laswell (1991) mengatakan bahwa pensiun adalah proses pemisahan seseorang individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang di gaji. Masa pensiun mempengaruhi aktivitas seseorang, dari situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan.

Berdasarkan para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa pensiun ialah, satu titik balik yang signifikan dalma karir seseorang selama hidupnya dimana terjadi pemisahan individu dari pekerjaanya dan memasuki aktivitas kehidupan yang baru dengan batasan umur tertentu.


(35)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidup bekerja (Schawrz dalam Hurlock,2004). Transisi ini meliputi perubahan peran dalam linkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang. Jadi seseorang yang memasuki masa pensiun, bisa merubah arah hidupnya dengan mengerjakan aktivitas lain, tetapi bisa juga tidak mengerjakan aktivitas tertentu lagi.

Di Indonesia seseorang dapat dikatakan memasuki pensiun bila:

a) Sekurang-kurangnya mencapai usia 50 tahun.

b) Telah diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negri.

c) Memiliki masa kerja untuk pensiun ± 20 tahun,

Pada umunya usia pensiun di Indonesia berkisar antara usia 55 tahun, sedangkan di Negara Barat usia pensiun adalah berkisar 65 tahun. Pada usia 65 tahun, secara psikologi perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa akhir (late adulthood). Keadaan ini cukup berlainan dengan situasi di Indonesia dimana seseorang sudah termasuk pensiun pada tahapan dewasa menengah (middle adulthood). Masa dewasa menengah ini masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik maupun kekuatan mental seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal.


(36)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

3. Fase Penyesuaian Diri pada Masa Pensiun

Jika kita meninjau siklus dunia pekerjaan dari sudut psikologi perkembangan maka kita harus peka dengan istilah turning point (titik balik) ataupu crisis point (titik krisis). Masa ini ditandai dengan adanya suatu periode dimana ada saat untuk melakukan proses penyesuaian diri kembali dan juga melakukan proses sosialisai kembali sejalan dengan tujuan dari pekerjaan yang baru. Pensiun dapat dikatakan masa titik balik karena masa ini adalah masa peralihan dari seseorang memasuki dewasa akhir atau manula. Pensiun juga merupakan titik krisis karena terjadi akibat ketidakmampuan seseorang untuk mencari pekerjaan atau merupakan langkah akhir dalam perjalanan karir seseorang.

Penyesuaian diri pada saat pensiun merupakan saat yang sulit, dan untuk mengetahui bagaimana penyesuaian seseorang ketika memasuki masa pensiun(Robert Atchley, 1983) mengemukakan 3 fase proses pensiun. Adapun fase tersebut adalah :

1. Preretirement phase (fase pra pensiun)

Fase ini dapat dibedakan pada dua bagian, yaitu remote dan near.

a. remote phase, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang jauh. Biasanya fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali mendapat pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang tersebut mulai mendekati masa pensiun.

b. near phase, biasanya orang mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik.


(37)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Masa pensiun ini sendiri terbagi dalam 4 fase besar.

a. honeymoon phase. Periode ini biasanya terjadi tidak lama setelah orang memasuki masa pensiun. Sesuai dengan istilah honeymoon ( bulan madu ), maka perasan yang muncul ketika memasuki fase ini adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan dan rutinitas. Biasanya orang mulai mencari kegiatan pengganti seperti mengembangkan hobi. Kegiatan ini pun tergantung kepada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan situasi keluarga. Lamanya fase ini tergantung kepada kemampuan seseorang. Orang yang selama masa kegiatan aktifnya bekerja dan gaya hidupnya tidak bertumpu pada pekerjaan, biasanya akan mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan kegiatan lain dan juga menyenangkan. b. disenchantment fase. Pada masa ini pensiunan merasa depresi,

merasa kosong. Untuk beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, aturan tertentu (Jacob, 1989).

c. reorientation fase, yaitu fase dimana seseorang mengembangkan pandangan yang lebih realistis mengenai alternatif hidup. Mereka mulai mencari aktivitas baru. Setelah mencapai tahapan ini, para pensiunan akan masuk pada tahapan selanjutnya.


(38)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

d. stability fase yaitu fase dimana mereka mulai mengembangkan suatu set kriteria pemilihan aktivitas, dimana mereka merasa dapat hidup tentram dengan pilihannya.

3. End of retirement (fase masa pensiun)

Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggrogoti seseorang ketidakmampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang sangat merosot. Peran saat seseorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang membutuhkan orang lain sebagai tempat bergantung.

4.Jenis-jenis Pensiun

Masa pensiun dapat dibagi atas 2 bagian besar (Hurlock, 2004) 1. Voluntary (secara sukarela)

Ketika Indonesia memasuki masa krisis moneter, banyak perusahaan bangkrut sehingga harus menciutkan sejumlah pegawai dengan diberikan sejumlah imbalan. Kepada karyawan diberikan kebebasan untuk memilih apakah ia akan tetap bekerja atau mengundurkan diri. Kondisi seperti ini termasuk pensiun yang dilakukan secara sukarela. Kondisi lain yang termasuk dalam pensiun sukarela adalah kondisi dimana seseorang ingin melakukan sesuatu secara lebih berarti dalam kehidupannya dibandingakan dengan pekerjaan sebelumnya.

2. Compulsory retirement (berdasarkan peraturan)

Pensiun yang dijalani berdasarkan aturan dari perusahan adalah pensiun yang kerap kali dilakukan oleh suatu perusahaan berdasarkan aturan yang berlaku


(39)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

pada perusahaan tersebut. Dalam hal ini kehendak individu diabaikan, apakah dia masih sanggup atau masih ingin bekerja kembali.

Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada pensiun berdasarkan peraturan atau disebut juga compulsory retirement yaitu masa pensiun berdasarkan peraturan di Indonesia yaitu umur 55 tahun.

5.Model Masa Penyesuaian Terhadap Pensiun

Hormstein dan Wapner (Hoyer,1999) mengemukakan empat model penyesuaian terhadap masa pensiun, yaitu:

1. Transition to Old Age/Rest

Individu dengan tipe ini menganggap pensiun sebagai masa santai dan merupakan akhir pra kerja yang penuh dengan tekanan dan dimulainya gaya hidup yang menyenangkan dan santai ketika memasuki masa tua. 2. The New Begining

Individu memandang pensiun sebagai kesempatan yang menyenangkan, peluang untuk hidup sesuai dengan keinginan dan mempunyai kebebasan menghabiskan waktu dan energi untuk diri sendiri. Pensiun ditandai dengan perasaan baru, kembali bervitalitas, antusias dan energi yang bertambah. Individu memandang masa depan dengan positif sebagai saat untuk meraih kendali atas tujuan dan kesenangan (hobi dan minat) jangka panjang. Bagi individu tipe ini, pensiun merupakan awal yang baru dan tidak terkait sama sekali dengan proses menua.


(40)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

3. Contimation

Pensiun tidak membawa dampak personal yang penting bagi individu. Walaupun telah pensiun, individu ini mampu untuk kembali bekerja. Mereka berganti karir dan mencurahkan lebih banyak waktu untuk ketrampilan, hobi dan minat khusus. Pra pensiun dan pensiun dibedakan bukan dari aktivitas melainkan pengurangan langkah dan intensitas peran kerja.

4. Imposed Diruption

Individu memandang pensiun sebagai hal yang negatif (hilangnya pekerjaan, tidak bisa lagi mencapai prestasi). Pekerjaan merupakan identitas yang sangat penting. Tanpa pekerjaan, bagian penting dari identitas diri itu juga ikut hilang. Walaupun dalma masa pensiun tersebut individu melakukan aktivitas-aktivitas lain, tetap saja timbul perasaan frustasi dan kehilangan. Bagi individu, tidak ada yang bisa menggantikan pekerjaan dan akhirnya tidak bisa menerima pensiun dengan baik.

6. Gaya Hidup Setelah Pensiun

J.R Kelly (dalam Papalia,1998) mengemukakan gaya hidup setelah pensiun yang umum dijalani.

1. Family Focused Lifestyle

Gaya hidup ini terdiri dari aktivitas terjangkau dan berbiaya murah yang berkisar dikeluarga, rumah dan teman-teman. Aktivitas ini berbentuk


(41)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

percakapan, menonton televisi, mengunjungi teman dan keluarga, hiburan informal, pergi ke restoran murah, bermain kartu atau melakukan hal-hal yang terlintas di pikiran.

2. Balanced Investment

Gaya ini biasa ditemui pada individu yang lebih berpendidikan, yang mengalokasikan waktunya secara seimbang antara keluarga, pekerjaan dan hiburan.

3. Serious Leisure

Gaya ini didominasi oleh aktivitas yang menuntut ketrampilan, perhatian dan komitmen. Pensiunan yang mengikatkan diri pada aktivitas ini cendrung sangat puas dengan kehidupan.

7.Perubahan – Perubahan Akibat Pensiun

Menurut Turner dan Helms (1982), ada beberapa hal yang mengalami perubahan dan menuntut penyesuain diri yang baik ketika menghadapi masa pensiun

a. Masalah Keuangan

Pendapatan keluarga akan menurun drastis, hal ini akan mempengaruhi kegiatan rumah tangga. Masa ini akan lebih sulit jika masih ada anak – anak yang harus dibiayai. Hal ini akan menimbulkan stress tersendiri bagi seorang suami karena merasa bahwa peranannya sebagai kepala keluarga tertantang.


(42)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Bengston (1980) mengemukakan bahwa harga diri seorang pria dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari pekerjaan. Untuk mempertahankan harga dirinya, harus ada aktivitas pengganti untuk meraih kembali keberadaan dirinya. Dalam hal ini berkurangnya harga diri dipengaruhi berbagai factor seperti feeling of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan mampu), dan feeling of worthwhile (perasaan berharga). Ketiga hal yang disebutkan di atas sangat mempengaruhi harga diri seseorang dalam lingkungan pekerjaan.

c. Berkurangnya Kontak Sosial Berorientasi pada Pekerjaan.

Kontak dengan orang lain membuat pekerjaan semakin menarik. Bahkan pekerjaan itu sendiri dapat menjadi reward social bagi beberapa pekerja. Selain dari kontak sosial, orang juga membutuhkan dukungan dari orang lain berupa perasan ingin dinilai, dihargai, dan merasa penting. Sumber dukungan ini dapat diperoleh dari teman sejawat, atasan, bawahan, dan lain sebagainya. Tentunya ketika memasuki masa pensiun, waktu untuk bertemudengan rekan seprofesi semakin berkurang.

d. Hilangnya Makna Suatu Tugas.

Pekerjaan yang dikerjakan seseorang mungkin sangat berarti bagi dirinya. Dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat seseorang itu mukai memasuki masa pensiun.

e. Hilangnya Kelompok Referensi yang Bisa Mempengaruhi Self Image

Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok bisnis tertentu ketika ia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia menjadi pensiun, secara langsung


(43)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini akan mempengaruhi seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.

f. Hilangnya Rutinitas

Pada waktu bekerja, seseorang bekerja hamper 8 jam kerja. Tidak semua orang menikmati kerja yang panjang seperti ini tanpa disadari kegiatan panjang selama ini memberikan sense of purpose, memberikan rasa aman, dan pengertian bahwa kita ternyata berguna. Ketika megnhadapi amsa pensiun, waktu hilang, orang mulai merasakan diri tidak produktif.(Longhurst, Micahel,2001)

Bagi individu yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri, perubahan yang terjadi pada fase ini akan menimbulkan gangguan psikologis dan juga gangguan fisioloigis. Kondisi gangguan fisiologis bisa menyebabakan kematian yang lebih cepat (premature syndrome). Sedangkan gangguan fisiologis yang diakibatkan oleh masa pensiun biasanya stress, frustasi, depresi.

D. Kepuasan Perkawinan pada Pensiunan Pria

Kesuksesan perkawinan ditandai bukan hanya oleh berapa lama hubungan tersebut terjalin dan intensitas perasaan yang dialami dua orang yang menjalin relasi perkawinan. Bukan juga ditentukan oleh siapa di antara kedua pasangan perkawinan tersebut yang memenangkan dominasi. Sukses dalam perkawinan berlainan dengan definisi kesuksesan dalam pekerjaan yang bisa diukur dari berapa jauh seseorang mampu meraih jenjang tertinggi dari kariernya.(“Faktor Praperkawinan yang Berpengaruh pada Sukses Perkawinan”,2004). Kita dapat meletakkan sukses suatu perkawinan dari sejauh


(44)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

mana pasangan merasakan kepuasan hubungan perkawinan pada sebagian besar waktu yang dilalui dalam ikatan perkawinan. Sehingga tidak ada batasan waktu untuk melihat kepuasan perkawianan disebabakm perkawinan terus berproses selama umur perkawinan tersebut berlangsung.

Untuk melihat kepuasan perkawinan diperlukan adanya area-area dalam hubungan perkawinan, yaitu Communication ; area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangan. Apakah kedua pasangan mempunyai hubungan komunikasi yang baik, saling menghargai atau sebaliknya. Leisure activity ; area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilkakukan secara personal atau bersama, Religious orientation ;area ini yang dinilai adalah makna keyakinan beragam serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari, Conflict resolution ; fokus dalam area ini adalah untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya, Sexual orientation ; fokus dalam area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan, Family and friends ; perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalma area ini. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman-teman, Children and parenting ; area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orang tua, memiliki anak dan membesarkan anak, Personality issue ; area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan, Egalitarian role ; area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang


(45)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

beragam dalam kehidupan perkawinan dan yang terakhir ialah Financial management ; Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan.

Dengan melihat area-area yang menjadi ukuran dalam perkawinan maka dapat dilihat bagaimana kepuasan perkawinan itu berlangsung selama umur perkawinan. Kepuasan perkawinan bersifat dinamis sejalan dengan perkembangan perkawinan dari pasangan. Seiring dengan berjalannya perkawinan, ada beberapa hal yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, seperti harapan yang tidak realistis akan perkawinan, masalah yang berhubungan dengan anak. Anak yang tumbuh dewasa hingga akhirnya anak sudah mulai meninggalkan rumah, orangtua merasakan kehilangan yang dalam yang disebut dengan empty nest (masa/sarang kosong) (Hoyer dkk, 1999). Pada masa ini pula, biasanya suami telah memasuki pasa pensiun. Bagi sebagian pasangan, memasuki masa kosong ini dapat menjadikan mereka membuat hubungan baru. Kedua pasangan lebih menghargai waktu kosong mereka untuk menjadikan diri mereka lebih baik, melibatkan diri dengan pasangan lebih intim, dengan hobi dan komunitas mereka (Hoyer dkk,1999). Namun bagi pasangan lainnya masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap menghadapinya.

Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangkan identitas seseorang yang sudah melekat begitu lama ( Warr dalam Offord, 1992 ). Bagi pria, pekerjaan merupakan suatu kebanggan dan perannya dalam lingkungan sosialnya. Ketika pekerjaan harus


(46)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

berakhir dan ia harus memasuki masa pensiun disebabkan usia yang terus bertambah, maka muncullah gejala-gejala kejiwaan dan emosi yang tidak stabil hal inilah yang sedikit banyaknya dapat mempengaruhi kepuasan pensiunan dalam perkawinannya.

Bagi sebagian keluarga, dimana suami yang menjadi tulang punggung keluarga maka ketika masa pensiun tiba, pendapatan keluarga akan menurun dan hal ini menjadi permasalah bagi keluarga dan berpengaruh terhadap pola hidup mereka. Sedangkan bagi keluarga dimana sudah ada rencana persiapan yang cukup matang ketika suami memasuki masa pensiun dengan seiring berjalannya waktu dan pensiunan sudah mulai menyesuaikan dengan hidup yang baru maka akan mengalami kepuasan perkawinan yang meningkat.

Puas atau tidaknya pasangan terhadap pernikahan tersebut, dapat dipengaruhi pula bagaimana penyesuaian individu dalam memasuki masa pensiun. Hormstein dan Wapner (Hoyer,1999) mengemukakan empat model penyesuaian terhadap masa pensiun, yaitu: Transition to Old Age/Rest ; Individu dengan tipe ini menganggap pensiun sebagai masa santai dan merupakan akhir pra kerja yang penuh dengan tekanan dan dimulainya gaya hidup yang menyenangkan dan santai ketika memasuki masa tua, The New Begining ; Individu memandang pensiun sebagai kesempatan yang menyenangkan, peluang untuk hidup sesuai dengan keinginan dan mempunyai kebebasan menghabiskan waktu dan energi untuk diri sendiri. Pensiun ditandai dengan perasaan baru, kembali bervitalitas, antusias dan energi yang bertambah. Individu memandang masa depan dengan positif sebagai saat untuk meraih kendali atas tujuan dan kesenangan (hobi dan minat) jangka panjang. Bagi individu tipe ini, pensiun merupakan awal yang baru dan tidak terkait sama


(47)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

sekali dengan proses menua, Contimation ; pensiun tidak membawa dampak personal yang penting bagi individu. Walaupun telah pensiun, individu ini mampu untuk kembali bekerja. Mereka berganti karir dan mencurahkan lebih banyak waktu untuk ketrampilan, hobi dan minat khusus. Pra pensiun dan pensiun dibedakan bukan dari aktivitas melainkan pengurangan langkah dan intensitas peran kerja, Imposed Diruption Individu memandang pensiun sebagai hal yang negatif (hilangnya pekerjaan, tidak bisa lagi mencapai prestasi). Pekerjaan merupakan identitas yang sangat penting. Tanpa pekerjaan, bagian penting dari identitas diri itu juga ikut hilang. Walaupun dalma masa pensiun tersebut individu melakukan aktivitas-aktivitas lain, tetap saja timbul perasaan frustasi dan kehilangan. Bagi individu, tidak ada yang bisa menggantikan pekerjaan dan akhirnya tidak bisa menerima pensiun dengan baik.

Skema. 1 Paradigma Penelitian

Perkawinan

Kepuasan Perkawinan

Awal perkawinan : Perkenalan dan penyesuaian Memiliki dan membesarkan anak Anak meninggalkan rumah Masa pensiun Voluntary retirement Compulsory Retirement Perubahan Pensiun • Keuangan • Self-esteem • Hubungan sosial • Tugas

Self image • Rutinitas Kepuasan Perkawinan

• Komunikasi

• Aktivitas waktu luang

• Agama

• Resolusi terhadap konflik

• Keuangan

• Orientasi seksual

• Keluarga dan teman


(48)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subyek penelitian beserta konteksnya. Salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subyek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subyek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Masa Penyesuaian

Permasalahan Adapatasi

Kepuasan perkawinan

meningkat Kepuasan

perkawinan menurun


(49)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Pendekatan kualitatif pada penelitian ini digunakan untuk melihat kepuasan perkawinan pada pensiunan pria dengan dasar pemikiran bahwa kepuasan perkawinan merupakan hal yang sangat subyektif dari seseorang. Kepuasan perkawinan bersifat dinamis dan terus berkembang sepanjang perjalanan waktu. Maka oleh sebab itu dengan menggunakan penelitian kualitatif dapat digali bagaimana perasaan individu mengenai perkawinannya. Setiap perkawinan berjalan dan berkembang secara berbeda. Pendekatan kualitatif dapat melihat perbedaan tersebut, dikarenakan pendekatan ini dapat melihat manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subyektif.

Hal ini sejalan dengan pendapat Moleong (2000), bahwa penelitian kualitatif dapat dimanfaatkan oleh peneliti untuk meneliti sesuatu dari segi prosesnya.

B. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian a. Jenis kelamin pria

Dalam penelitian ini pria yang diangkat sebagai subyek penelitian disebabkan peran pria sebagai pencari nafkah untuk keluarga (Gershaw 2000).

b. Sudah memasuki masa pensiun berdasarkan peraturan

Berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen; Bab II, pasal 2 Batas usia Pensiun adalah 55 tahun

c. Sudah menikah dimana pasangan masih hidup dan tidak bercerai


(50)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah subyek penelitian, yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah subyek yang bisa memberikan sebanyak mungkin informasi yang ingin didapatkan. Waktu, biaya, kemampuan responden, ketertarikan responden dan faktor lain yang mempengaruhi banyaknya subyek menjadi hal yang harus diperhatikan dalam mengambil sampel penelitian (Gay dan Airasian, 2003).

Pada penelitian ini jumlah responden yang direncanakan sebanyak 3 orang.

3. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory based/ operasional construct sampling), yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan sampel, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan sekaligus menghemat biaya penelitian. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan dari responden penelitian agar responden merasa nyaman.


(51)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Hal ini sesuai dengan pendapat Padgett (1998) yang mengatakan bahwa ada tiga bentuk dasar metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu: (a) observasi, (b) wawancara dan (c) analisis dokumen. Dalam penelitian ini digunakan metode wawancara dan metode observasi sebagai penunjang yang menggambarkan setting alamiah disaat wawancara.

1. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai (Bungin, dalam Poerwandari, 2001). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan


(52)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

Untuk mendukung hasil wawancara yang baik, maka pada saat proses wawancara responden akan didukung dengan observasi. Tujuan dari observasi ini ialah dapat memungkinkan bagi peneliti untuk mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari reponden. Secara metodologis penggunaan observasi ini dapat mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tidak sadar dan sebagainya (Moleong, 2006)

D. Alat Bantu Pengambilan Data 1. Alat perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subyek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek. Selain itu


(53)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian:


(54)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

a. Mengumpulkan informasi mengenai kepuasan perkawinan dan informasi

mengenai pria yang sudah pensiun.

Peneliti mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dan selanjutnya peneliti menentukan karakterisktik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini.

b. Menyiapkan pedoman wawancara.

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.

c. Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden.

Setelah peneliti memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaanya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudia menyepakati wawancara bersama calon responden.

d. Melaksanakan rapport

Menurut Moleong (2002), rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subyek penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian, subyek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti.


(55)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden memahami tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap respon.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkip verbatim.

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan coding yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Coding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. (Poerwandari, 2001)


(56)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Bentuk transkip verbatim yang telah selesai, kemudian dibuatkan salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing membaca verbatim berulang-ulang untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Setelah itu, verbatim wawancara disortir untuk memperoleh hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan diberi kode.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian.

Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subyek peneliti sebelumnya. Dari hasil rekamana ini kemudian akan ditranskipkan secara verbatim untuk dianalisis. Transkip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara ke dalam ketikan di atas kertas.

F. Kreadibilitas dan Validitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah kreadibilitas yaitu istilah yang dipilih untuk menggantikan konsep validitas dalam penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitiatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau


(57)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).

Menurut Sarantoks (dalam Poerwandari, 2001) ada empat jenis validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu :

1. Validitas Kumulatif

Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa.

2. Validitas Komunikatif

Validitas komunikatif didapatkan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisa pada subyek penelitian. Data-data dan hasil analisa yang diperoleh akan dikonfirmasikan kembali pada sampel penelitian.

3. Validitas Argumentatif

Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik dan rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

4. Validitas Ekologis

Validitas ekologis menunjukkan pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari responden yang teliti, sehingga justru kondisi ”apa adanya” dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan beberapa cara untuk meningkatkan kredibilitas penelitian kualitatif antara lain :


(1)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Namun bisa saja hal ini disebabkan karena siswa itu sendiri yang memiliki sense of

humor yang rendah sehingga pemberian humor dikelas yang dilakukan oleh guru

dipersepsiakan negatif.

Dalam penelitian ini persepsi siswa terhadap sense of humor guru memberikan kontribusi sebesar 7% terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini memang sesuai dengan pendapat Elliot, dkk. (1996) yang menyatakan bahwa faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa di kelas seperti kecemasan, sikap, keingintahuan, locus of

control, learned helplesness, efikasi diri. Sedangkan persepsi terhadap sense of humor

guru berada pada faktor kecemasan siswa di kelas yang bisa ditimbulkan oleh guru, dengan kata lain pemberian humor di kelas membuat siswa tidak merasa cemas yang berlebihan ketika belajar di kelas.

C. Saran

1. Saran Metodologis

1. Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian sejenis hendaknya data mengenai persepsi siswa terhadap sense of humor guru dengan motivasi belajar di peroleh melalui penggunaan suatu teknik yang dapat menggali lebih dalam pada setiap aspek persepsi dan motivasi, seperti tehnik observasi langsung ke populasi subjek dan juga wawancara.

2. Peneliti tidak mengukur sense of humor siswa yang ikut dalam penelitian ini, sehingga peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya yang bertema sama agar memperhatikan sense of humor subjek yang mempersepsi sense of humor orang lain.


(2)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

2. Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini khususnya skala persepsi terhadap sense of humor guru dianggap kurang mampu mengungkap aspek-aspek dari variabel tersebut, karena jumlah aitem yang gugur pada saat uji coba skala tidak merata di semua aspeknya. Hal ini dikarenakan beberapa kalimat aitem skala yang kemungkinan kurang dimengerti subyek penelitian sehingga mempengaruhi respon subyek terhadap aitem tersebut. Untuk itu bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penenlitian sejenis hendaknya membuat aitem dengan kalimat yang mudah dimengerti subyek dan dengan jumlah aitem yang lebih banyak agar aitem-aitem skala tersebut dapat merepresentasikan aspek-aspek variabel yang hendak di ukur.

3. Peneliti selanjutnya harus juga memperhatikan face validity dari skala, sehingga skala yang di buat lebih menarik dan tidak membosankan.

4. Pada penelitian ini peneliti tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain selain persepsi siswa terhadap sense of humor guru sebagai hal-hal yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Karena itu disarankan bagi peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap motivasi belajar.

2. Saran Praktis

1. Guru

Berdasarkan hasil penelitian ini, kelas kelas 7 Internasional Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan baik kelas Einstein, Pascal, dan Celcius memiliki motivasi belajar Bahasa Mandarin yang relatif tinggi, walaupun sebagian besar siswa memiliki persepsi yang negatif terhadap sense of humor guru. Hendaknya ini dapat dijadikan perhatian bagi


(3)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

guru Bahasa Mandarin dan guru yang lainnya untuk memperhatikan penggunaan humor di kelas, meskipun memang penting humor diberikan kepada siswa di kelas, namun porsi pemberian humor tersebut di kelas harus tetap diperhatikan agar siswa tidak mempersepsikannya sebagai sesuatu yang negatif atau dapat mengganggu pelajaran. Selain itu guru juga harus memperhatikan faktor lain yang bisa memotivasi belajar siswa. 2. Pihak Sekolah

Pihak sekolah bisa mengadakan pelatihan yang berkaitan dengan interaksi yang baik antara guru dan siswa di kelas, termasuk bagaimana caranya memberikan humor kepada siswa pada saat proses belajar-mengajar di kelas, serta pelatihan-pelatihan lain yang bisa meningkatkan kemampuan interaksi guru di kelas guna memotivasi belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, F.L (1995). Hubungan antara komunikasi interpersonal, taraf relijiusitas dan

kepuasan perkawinan. Skripsi tidak diterbitkan.yogyakarta fakultas psikologi

ugm

Banister, P. (1994). Qualitative Methods in Psychology. A Research Guide. Buckingham: Open University Press.

Bhrem, S (1992). Intimate Relationship (2nd edition). New York : McGraw Hills Inc.

Belsky.J.K (1990). The Psychology of Aging Theory, Research & Intervention (2nd

edition). Pacific Grove. California.

Beroncal, L.P (2003). The Effectiveness of Marital Satisfaction Improvement for Millitary


(4)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Cavanaugh, J.C (2006). Human Development (3rd edition). USA : Wadsworth.

Christine.A.P (2003). Marriage After Retirement

April 2008)

Clyton.R (1975) The Family Marriage & Social Change. Canada : D.C Heat.Company Domikus, Y (1999). Perilaku Sosioemosional dalam Perkawinan Aplikasi Teori

Pertukaran Sosial dalam Mewujudkan Perkawinan yang Stabil dan Memuaskan.

Jurnal Psikologi Sosial : No.V. Jakarta : Fakultas Psikologi UI.

Eshleman. (1994). Marital Status and Happiness: A 17-Nation Study. Journal of

Marriage and Family. 60(2), 527-536.

Gay, R., & Airasian, P. (2003). Educational Research: Competencies for Analysis &

Application (7th edition). New Jersey: Merril Prentice Hall.

Harley,L.M (2006) Marital Adjusment and Its Prediction, New York: Doubleday and Company, Inc., Garden City.

Hendrick,S Hendrick. C (1992) Liking Loving & Relating (2nd edition). California

:brooks/cole.pub.co

Hurlock, B.E. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Perkembangan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hurlock, B.E (2004) Psikologi Perkembangan: Suatu Perkembangan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hughes.F.P (1985). Human Development Across The Life Span. West Publishing Company.


(5)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Jacinta (2001).

Pensiun dan Pengaruhnya.

http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia_detail.asp?id=191 (diaks

maret 2008)

KARNEY, B. R. & BRADBURY, T. N. (1995) The Longitudinal Course of Marital Quality

and Stability: A Review of Theory, Method, and Research." Psychological

Bulletin 118 (1995): 3–34.

Laswell (1991) Marriage and The Family. (2nd edition). California: Wadsworth

Publishing.

Laswell .M & Laswel .T (1978) Marriage & The Family. California : Pub.Company

Liem & Liem (1978) The Long-term Marriage: Perceptions of Stability and Satisfaction. International Journal of Aging and Human Development 31 (1990):189–195.

Moleong, L.J. Dr. MA. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet.13). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Offord, R.K (1992). Courtship Marriage & The Family (3rd edition). Harcourt Brace,

Jovanonich.

Osborne, D.H (1990). Marriage & Family in A Changing Society, New York : Mac Millan. Inc

Padgett, D.K. (1998). Qualitative Methods in Social Work Research Challenges and

Rewards. London: Sage Publications.

Papalia (1998) Adult Development and Aging (2nd edition). New York: McGraw-Hill.

Pujiastuti, E & Retnowaty, S (2004). Kepuasan Pernikahan dengan Depresi pada

Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja. Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol.1 No.2, 1-9. Yogyakarta : Universitas

Gadjah Mada

Peck J.C (1991) Wanita dan Keluarga : Pemenuhan Jati Diri dari Perkawinan dan


(6)

Rizki Fadilah Raz : Kepuasan Perkawinan Pada Pensiunan Pria, 2009. USU Repository © 2009

Poerwandari (2001) Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Rini, J.F. 2002 Wanita Bekerja (on line)

Sadli (1991). Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Ikhtiar Bari Van Hoeve

Sweeney.R (2002) Marital Relationships Encyclopedia of Aging.

Turner & Helms (1989) Sociology of Marriage & The Family, Gender, Love and

Property. Nelson Hall. Chicago

“Faktor Praperkawinan yang Berpengaruh pada Sukses Perkawinan”, (2004). www.unitedfool.com/violet/arsip/2004/04/000563print.index.html