merupakan suatu bukti atau simbol bahwa perempuan merasa dihargai dan pasti akan senang.
“Dengan adanya pemberian jinamee tinggi tadi pasti perempuan me
rasa dihargai dan pastilah senang.” Komunikasi Personal, 10 November 2014
Konatif Ibu Sarah ingin jinamee tinggi ini diterapkan dalam
keluarganya. Ibu Sarah akan menentang pemberian jinamee yang rendah terhadap perempuan. Ibu Sarah juga menganjurkan pihak
laki-laki untuk memberi jinamee tinggi kepada calon istrinya. “Kalau dalam keluarga saya, perempuan harus diberi
jinamee tinggi. Saya juga nentang anak gadis dalam keluarga saya yang dikasih jinamee nya dikit. Itu uda turun
menurun dari nenek dan Ibu saya.” Komunikasi Personal, 10 November 2014
2. Kesimpulan Interpretasi Data Hasil Wawancara Personal
Subjek 1 yaitu ND memiliki sikap yang negatif terhadap jinamee tinggi. Hal ini terlihat dari pendapat ND yang menyatakan bahwa jinamee
tinggi dapat menimbulkan dampak negatif seperti terhambatnya pernikahan, memberatkan pihak laki-laki sebagai syarat pernikahan,
sehingga banyak yang memilih berhutang atau kredit. ND juga menyatakan sesuai dengan anjuran agama, sebaiknya jumlah jinamee tidak
memberatkan pihak laki-laki dalam sebuah pernikahan.
ND tidak menyukai jinamee tinggi, dan kecewa terhadap fenomena jinamee tinggi. Menurutnya, sebagai kota Serambi Mekkah, seharusnya
masyarakat Aceh tidak mempermasalahkan jinamee tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. Pemikirannya tersebut juga sesuai dengan
ajaran agama, bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah yang maharnya ringan. ND juga menambahkan, masyarakat Aceh sebagai mayoritas umat
muslim hendaknya mengikuti yang dianjurkan oleh agama. Oleh karena itu, dampak negatif yang ditimbulkan seperti perzinahan, hamil diluar
nikah, bertambahnya laki-laki dan perempuan yang melajang dapat dikurangi.
ND tidak melarang pemberian jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Namun, beliau menghimbau dan menyarankan kepada masyarakat
Aceh agar menghindari penerapanjinamee yang terlalu tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. ND juga menambahkan, bahwa dengan
menghindari pemberian jinamee tinggi akan meringankan syarat sebuah pernikahan.
Subjek 2 memiliki sikap yang positif terhadap jinamee tinggi. Menurut pemahaman subjek 2 yaitu TR, jinamee tinggi itu memiliki
tujuan. Menurutnya, jinamee tinggi merupakan harga diri dari kedua belah pihak baik perempuan dan laki-laki. Apabila pihak laki-laki mampu
memberikan jinamee tinggi kepada calon istrinya, maka pihak laki-laki akan dipandang memiliki kemampuan secara materil. Hal tersebut secara
tidak langsung akan menaikkan harga diri pada pihak laki-laki. Begitu juga
halnya dengan pihak perempuan, apabila pihak perempuan diberikan jinamee tinggi, maka secara tidak langsung pihak perempuan dan
keluarganya merasa dihargai dan dimuliakan. TR juga menjelaskan bahwa dibalik pemberian jinamee tinggi, salah satu keutamaannya yaitu menantu
laki-laki diizinkan untuk tinggal satu atap dengan mertuanya. Sehingga pihak laki-laki tidak merasa dibebani dengan urusan tempat tinggal.
Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga dan yang bertanggung
jawab adalah mertua ayah perempuan. Selain itu jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan
akan memberikan peunulang pemberian setelah dipisahkan, yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan kemampuan
orang tua perempuan. Oleh karena itu, permintaan terhadap jinamee tinggi, merupakan hal yang wajar bagi masyarakat Aceh dan merupakan sebuah
adat yang sudah berlaku turun-temurun dilakukan. TR juga menambahkan bahwa tingginya jinamee juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,
status sosial, dan keadaan kondisi keluarga. Semakin baik latar belakang yang dimiliki oleh pihak perempuan, maka semakin tinggilah jinamee
yang akan diperoleh perempuan tersebut. Manfaat lain dari pemberian jinamee tinggi, yaitu dapat digunakan sewaktu-waktu apabila rumah
tangganya mengalami suatu masalah. Misalnya, jinamee tersebut dapat dijual atau digadaikan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun
menyelesaikan masalah di dalam keluarga.
TR merasa bangga dengan salah satu adat Aceh yang memberikan jinamee tinggi pada perempuan. Menurutnya, hal tersebut merupakan
sebuah kekhasan ataupun keunikan dari budaya Aceh. Selain itu, pemberian jinamee tinggi juga merupakan simbol ataupun sebagai tanda
untuk memuliakan seorang perempuan. Pemberian jinamee tinggi juga merupakan sebuah hadiah agar pihak perempuan dapat memulai hidup
barunya dengan lebih baik. Oleh karena itu dengan adanya jinamee tinggi, maka keluarga dari pihak perempuan tidak perlu merasa khawatir ketika
melepaskan anak perempuannya untuk menikah. TR juga menyarankan agar masyarakat Aceh tetap mengikuti
aturan adat yang berlaku di dalam masyarakat Aceh. Hal tersebut dikarenakan pemberiaan jinamee tinggi adalah sebuah keunikan budaya
Aceh yang membedakannya dari budaya lain. Meskipun anjuran agama tidak memerintahkan untuk memberikan mahar yang tinggi, namun
pemberian jinamee yang tinggi juga bukan merupakan hal yang melanggar dalam agama.
NS, subjek 3 memiliki sikap yang negatif terhadap jinamee tinggi. NS berpendapat jinamee tinggi mempersulit pernikahan. Untuk
mengumpulkan jinamee tinggi laki-laki harus bekerja keras, belum lagi memikirkan duit hantaran dan lain-lain. Selanjutnya NS menjelaskan
bahwa untuk jinamee tinggi tersebut laki-laki terpaksa menghabiskan tabungannya. Bahkan banyak laki-laki yang berhutang atau melakukan
kredit. Sehingga setelah menikah gaji terpaksa dipotong demi melunasi
hutang-hutang tersebut. NS menambahkan bahwa menurutnya jinamee itu tidak mesti tinggi, disesuaikan dengan kemampuan si laki-laki. Bila laki-
laki tersebut sanggup memenuhi maka tidak masalah, namun bila ada laki- laki yang merasa sulit sebaiknya disesuai dengan kemampuan si laki-laki
saja. NS merasa tidak senang dengan pemberian jinamee tinggi kepada wanita. Hal ini dikarenakan jinamee tinggi menyulitkan para laki-laki
untuk menikah. NS juga tidak ingin jinamee tinggi ini diterapkan dalam oleh masyarakat. NS menolak penerapan jinamee tinggi dan menganjurkan
jinamee disesuaikan dengan kemampuan laki-laki. Ibu Sarah, subjek 4 memiliki sikap yang positif terhadap jinamee
tinggi. Menurut pemahaman Ibu Sarah, jinamee tinggi itu menunjukkan harga diri seorang perempuan. Ibu sarah juga menjelaskan bahwa dengan
adanya patokan jinamee yang diberikan kepada pihak laki-laki maka laki- laki akan bekerja keras dan berjuang untuk mengumpulkan jinamee
tersebut, sehingga laki-laki yang akan kita nikahi adalah laki-laki yang pekerja keras dan bertanggung jawab. Ibu Sarah merasa dihargai dan
senang terhadap pemberian jinamee tinggi kepada wanita. Hal ini dikarenakan jinamee tinggi merupakan suatu bukti atau simbol bahwa
perempuan merasa dihargai dan pasti akan senang. Ibu Sarah ingin jinamee tinggi ini diterapkan dalam keluarganya. Ibu Sarah akan
menentang pemberian jinamee yang rendah terhadap perempuan. Ibu Sarah juga menganjurkan pihak laki-laki untuk memberi jinamee tinggi
kepada calon istrinya.
E. Pembahasan
Hasil penelitian pada 150 sampel masyarakat Aceh menunjukkan secara umum bahwa masyarakat Aceh memiliki kecenderungan sikap negatif
terhadap jinamee tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Sufi 2004 bahwa pengaruh Agama Islam yang kuat menyebabkan pola pikir, sikap, dan
perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari disesuaikan dengan kaidah-kaidah Islam. Syamsuddin 2004 juga menjelaskan bahwa pengaruh
Agama Islam lebih menonjol dalam segala bentuk pada masyarakat Aceh, walaupun pengaruh adat tidak hilang sama sekali. Hal ini sejalan dengan hasil
analisis penelitian ini yang menunjukan jumlah jinamee yang berlaku di Aceh sama dengan jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh, yaitu sekitar
26 sd 30 mayam emas.Ayu 2010 menjelaskan bahwa budaya yang masih dianut masyarakat Aceh masih dipengaruhi oleh perilaku mengikuti
masyarakat setempatnya. Sikap terhadap jinamee tinggi dalam penelitian ini juga ditinjau dari
karakteristik subjek penelitian, yaitu jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Berdasarkan jenis kelamin, hasil menunjukkan bahwa laki-laki memiliki
sikap yang lebih negatif daripada perempuan laki. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu 2010 mengenai makna jinamee dalam
penghargaan keluarga istri pada sistem pernikahan suku Aceh, menyatakan bahwa dalam praktiknya jumlah jinamee itu hanya ditentukan oleh pihak
keluarga perempuan, sehingga pihak keluarga laki-laki merasa berat.