Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perawat Terhadap Pencegahaan Risiko Tertular Heptitis B Di Ruangan Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERAWAT TERHADAP PENCEGAHAN RISIKO TERTULAR HEPATITIS B

DI RUANG RAWAT INAP PENYAKIT DALAM RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2008

SKRIPSI

Oleh :

WIDYA YULASTRI 051000074

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

(3)

(4)

Lembar Per sembahan

“S esungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang

lain, dan hanya kepada T uhanmulah hendaknya kamu berharap” (A l Insyirah 6-8)

“D an bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). K emudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang

paling sempurna” (A n N ajm 39-41)

”K embalilah kepada keduanya (orang tuamu). B uatlah keduanya tertawa sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis”

(H R. A bu D awud, dishahihkan oleh S yekh A l-A lbani)

Dengan cint a dan kasi h sayang kar ena A L L A H

Kuper sembahkan kar ya ini

unt uk M ama dan Papa


(5)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP H. Adam Malik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B karena perawat yang bertugas di ruangan tersebut berisiko tertular hepatitis B saat melakukan perawatan pada pasien.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh perawat yang bertugas di Ruang Rawat Inap Terpadu (Rindu) A penyakit dalam sebanyak 38 orang dan sampel yang diambil adalah total populasi.

Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B pertama dilakukan uji Kolmogorof Smirnov untuk melihat data berdistribusi normal atau tidak, kemudian digunakan uji Korelasi Spearman Rho pada taraf signifikansi (p) > 0,05. Hasil penelitian secara statistik diperoleh terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel ketersediaan fasilitas dan APD (p = 0,014), kebijakan rumah sakit (p = 0,041) terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B dan tidak ada pengaruh variabel pengetahuan (p = 0,448), sikap (p = 0,781), pelatihan (p = 0,757) terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B.

Pihak RSUP H. Adam Malik diharapkan mengupayakan ketersediaan fasilitas khususnya air mengalir serta APD khususnya sarung tangan, memastikan sosialisasi kebijakan pencegahan risiko tertular penyakit infeksi tular darah/cairan tubuh tersampaikan pada semua perawat, melakukan pemeriksaan kesehatan awal, berkala, dan khusus serta mengadakan pengawasan terhadap terlaksananya standar pencegahan infeksi tular darah/cairan tubuh di rumah sakit.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Widya Yulastri

Tempat / Tanggal lahir : Pekanbaru / 4 Juli 1987

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat : Jl. Pandan Sakti No.7 Labuh Baru Barat, Sigunggung, Pekanbaru, Riau

Riwayat Pendidikan :

1. 1993-1999 : SD Negeri 003 SKJ Pekanbaru 2. 1999-2002 : SMP Negeri 4 Pekanbaru 3. 2002-2005 : SMA Negeri 8 Pekanbaru


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perawat Terhadap Pencegahan Risiko Tertular Hepatitis B Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008”. Selama proses penyusunan skripsi ini, telah banyak do’a, dorongan, bantuan, nasehat dan bimbingan yang penulis terima demi kelancaran proses pendidikan di Fakultas Kesehatan Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya skripsi ini, perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M. Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Tarigan, Apt. MS, selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeritas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II dan sebagai Dosen Penguji I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis sehingga skripsi ini semakin sempurna.

3. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, M.KKK, selaku Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini dan sebagai Ketua Penguji yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.


(8)

4. Bapak dr. Mhd. Makmur Sinaga, MS selaku selaku Dosen Penguji II dalam sidang skripsi ini.

5. Ibu Ir. Kalsum, M.Kes selaku Dosen Penguji III dalam sidang skripsi ini. 6. Ibu Eka Mahyuni, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Para Dosen dan Staf Pegawai di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

8. Bapak Direktur dan Wakil Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, Bapak Kabag Litbag beserta staf, Bapak Kabag Instalasi Rindu A beserta semua perawat di Instalasi Rindu A yang telah memberikan izin dan bantuan bagi penulis dalam melaksanakan penelitian.

9. Kepada Papa tercinta H. Wilmar.D dan Mama Hj. Yasmarni, S.PdI atas semua do’a, dorongan, serta kasih sayang dan perhatian yang diberikan.

10.Kepada Abang dr. Hengki Ferdianto beserta keluarga, Adik Silvia Yuliani, Kak Leli yang telah memberikan semangat untuk berhasil serta memberikan contoh kepatuhan dan kesabaran kepada penulis.

11.Kepada sahabat spesial, Tex Way tersayang Tiwi, Eka, Xinta, Tilaya yang saling suport, kak Poppy pemacu semangat, By & Satria yang saling mendo’akan dan saling membantu.

12.Buat sahabat tempat belajar kesetiakawanan Eni, Dian, Gita, Liza, Marwa, Mia, Rani, Risti. Terimakasih atas suport dan kesetikawanan selama ini.

13.Buat teman-teman tempat belajar keistiqamahan Yuni A, Rahmi, Yuni B, Siska, dan serta adik junior dan kakak senior yang memberi perhatian.


(9)

14.Teman-teman di peminatan K3 Fani, Kak Cory, Noni, Evan, Erna, Nefa, Cici, Welly, Daniel, Ika, Gita, Natalia, Winda, Jeni

15.Buat teman-teman kos kak Rahni, Kak Vivi, Wina, Kak Else, Reni, dan adik-adik kos yang pada kompak di Sarmin 35 dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih banyak.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih belum sempurna, maka itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan bagi siapa saja yang membacanya, setidaknya bagi penulis sendiri dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Medan, Desember 2008


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan... i

Abstrak... ii

Riwayat Hidup Penulis ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Hepatitis B ... 7

2.1.1 Identifikasi Hepatitis B. ... 8

2.1.2 Masa Inkubasi…... 9

2.1.3 Kelompok Risiko Tinggi ... 9

2.1.4 Distribusi Penyakit HVB (Hepatitis B Virus)... 10

2.1.5 Cara Penularan HVB ... 11

2.1.6 Vaksinasi Hepatitis B ... 12

2.2 Siklus Penularan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan ... 13

2.3 Menurunkan Risiko Penularan di Tempat Kerja ... 14

2.4 Pencegahan dan Penanganan Infeksi pada Petugas Perawatan ... Kesehatan... 14

2.4.1 Pengendalian Praktik Kerja... 15

2.4.2 Pengendalian Enginering ... 15

2.4.3 Imunitas Pekerja Perawatan Kesehatan ... 16

2.4.4 Menangani Pajanan Signifikan Petugas Perawatan ... Kesehatan ... 16

2.4.5 Pertolongan Pertama... 17

2.4.6 Tindak Lanjut Setelah Pajanan... 17

2.5 Standard Patogen yang Ditularkan Melalui Darah dari OSHA ... 17

2.6 Kewaspadaan di Rumah Sakit ... 18

2.6.1 Kewaspadaan Standard/Kewaspadaan Baku ... 18

2.6.1.1 Komponen Utama Kewaspadaan ... Sandard/Kewaspadaan Baku ... 19

2.6.2 Kewaspadaan Berdasar Penularan... 19

2.7 Mencuci Tangan dan Penggunaan Sarung Tangan ... 20


(11)

2.7.2 Faktor Penghambat Petugas Tidak Mencuci Tangan ... 21

2.7.3 Penggunaan Sarung Tangan... 22

2.8 Keselamatan Mempergunakan Jarum Suntik dan Semprit... 23

2.9 Pemrosesan Alat... 24

2.10 Pelatihan Kerja... 24

2.11 Determinan Perilaku... 26

2.11.1 Pengetahuan ... 27

2.11.2 Sikap ... 28

2.12 Perawat ... 30

2.12.1 Fungsi perawat ... 31

2.12.2 Pelayanan Perawatan ... 32

2.12.3 Merawat di Bangsal Penyakit Dalam ... 33

2.13 Rumah Sakit... 34

2.13.1 Jenis Rumah Sakit ... 35

2.13.2 Kegiatan di Rumah Sakit ... 36

2.13.3 Potensi Bahaya di Rumah Sakit ... 37

2.14 Kerangka Konsep ... 38

2.15 Hipotesis Penelitian... 38

BAB III METODE PENELITIAN... 40

3.1 Jenis Penelitian... 40

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

3.3.1 Populasi Penelitian ... 40

3.3.2 Sampel Penelitian ... 40

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.4.1 Data Primer ... 41

3.4.2 Data Sekunder ... 41

3.5 Definisi Operasional... 41

3.6 Aspek Pengukuran ... 42

3.7 Teknik Analisa Data... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46

4.2 Analisis Univariat ... 47

4.3 Distribusi Faktor Pemudah ... 48

4.3.1 Pengetahuan ... 48

4.3.2 Sikap ... 49

4.4 Distribusi Faktor Pemungkin ... 49

4.4.1 Ketersediaan Fasilitas dan APD ... 49

4.4.2 Pelatihan... 50

4.5 Distribusi Faktor Penguat ... 50

4.5.1 Kebijakan Rumah Sakit ... 50

4.6 Distribusi Pencegahan Risiko Tertular Hepatitis B ... 51


(12)

4.8 Analisis Bivariat... 52

BAB V PEMBAHASAN ... 56

5.1 Pengaruh Pengetahuan terhadap Pencegahan Risiko Tertular ... Hepatitis B ... 56

5.2 Pengaruh Sikap terhadap Pencegahan Risiko Tertular Hepatitis B ... 58

5.3 Pengaruh Ketersediaan Fasilitas dan APD terhadap Pencegahan . Risiko Tertular Hepatitis B... 59

5.4 Pengaruh Pelatihan terhadap Pencegahan Risiko Tertular Hepatitis B ... 61

5.5 Pengaruh Kebijakan Rumah Sakit terhadap Pencegahan Risiko ... Tertular Hepatitis B... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

6.1 Kesimpulan ... 64

6.2 Saran ... 65 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner

Lampiran 2. Hasil Pengolahan Statistik

Lampiran 3. Surat keterangan telah selesai melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan,

Masa Kerja di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H.Adam

Malik Medan Tahun 2008... 47 Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Pencegahan

Risiko Tertular Hepatitis B di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam

RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008 ... 48 Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Pencegahan Risiko

Tertular Hepatitis B di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP

H.Adam Malik Medan Tahun 2008... 49 Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Fasilitas dan APD

di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008 ... 49 Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pelatihan di Ruang Rawat Inap

Penyakit Dalam RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008 ... 50 Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan Rumah Sakit di Ruang

Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H.Adam Malik Medan Tahun

2008 ... 50 Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Pencegahan Risiko Tertular

Hepatitis B di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H.Adam

Malik Medan Tahun 2008... 51 Tabel 4.8 Tabulasi Silang Pencegahan Risiko Tertular Hepatitis B Berdasarkan

Faktor yang Mempengaruhi di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam

RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008 ... 52 Tabel 4.9 Hasil Analisis Uji Bivariat antara Variabel Faktor yang Mempengaruhi


(14)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP H. Adam Malik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B karena perawat yang bertugas di ruangan tersebut berisiko tertular hepatitis B saat melakukan perawatan pada pasien.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh perawat yang bertugas di Ruang Rawat Inap Terpadu (Rindu) A penyakit dalam sebanyak 38 orang dan sampel yang diambil adalah total populasi.

Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B pertama dilakukan uji Kolmogorof Smirnov untuk melihat data berdistribusi normal atau tidak, kemudian digunakan uji Korelasi Spearman Rho pada taraf signifikansi (p) > 0,05. Hasil penelitian secara statistik diperoleh terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel ketersediaan fasilitas dan APD (p = 0,014), kebijakan rumah sakit (p = 0,041) terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B dan tidak ada pengaruh variabel pengetahuan (p = 0,448), sikap (p = 0,781), pelatihan (p = 0,757) terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B.

Pihak RSUP H. Adam Malik diharapkan mengupayakan ketersediaan fasilitas khususnya air mengalir serta APD khususnya sarung tangan, memastikan sosialisasi kebijakan pencegahan risiko tertular penyakit infeksi tular darah/cairan tubuh tersampaikan pada semua perawat, melakukan pemeriksaan kesehatan awal, berkala, dan khusus serta mengadakan pengawasan terhadap terlaksananya standar pencegahan infeksi tular darah/cairan tubuh di rumah sakit.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-undang Republik Indonesia tentang kesehatan No. 23 tahun 1992 pasal 10 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.1

Walaupun berbagai upaya kesehatan terus dikembangkan dan sarana diagnostik dan terapi terus mengalami kemajuan, namun angka kejadian infeksi masih terus merupakan tantangan bidang kesehatan. Bahkan kini, kita dihadapkan pula pada masalah infeksi virus Hepatitis dan AIDS yang membutuhkan penanganan khusus untuk menaggulanginya. Dengan makin bayaknya pusat pelayanan kesehatan dewasa ini, sebenarnya makin besarlah kemungkinan terjadinya penyebaran infeksi, bila upaya pencegahan infeksi tidak dikelola dengan baik.2

Sampai saat sekarang hepatitis B masih tetap merupakan permasalahan penting karena dapat menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis, mulai dari hepatitis akut, hepatitis fulminan, pengidap virus, hepatitis kronis yang dapat berkembang menjadi sirosis hati maupun kanker hati primer.3 Walaupun hanya sekitar 5 % orang yang terkena hepatitis B meninggal karena penyakit ini, akan tetapi persentase yang tinggi menjadi karir menahun atau cacat menyebabkan seseorang tidak dapat bekerja karena kerusakan permanen atas hati.4


(16)

Penyebaran infeksi virus hepatitis B dapat terjadi dari penderita ke petugas kesehatan, yang mana pemaparannya terjadi melalui darah atau cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Misalnya jarum suntik bekas penderita tersebut secara tidak sengaja tertusuk pada kulit, terjadi percikan cairan tubuh pada membran mukosa yang utuh (mata atau hidung), serta terjadi percikan darah yang masuk pada kulit yang tidak utuh (dermatitis, akne, luka yang belum sembuh, kulit tergores).2

Penularan hepatitis B pada petugas kesehatan yang paling sering terjadi adalah tertusuknya jari tangan saat memasang penutup jarum suntik yang habis dipakai.5 Seringnya terjadi kecelakaan petugas kesehatan yang tertusuk jarum suntik ini dapat diketahui dari beberapa penelitian. Menurut Rogers (1997) yang dikutip oleh Tietjen, di Amerika Serikat lebih dari 800.000 luka karena tertusuk jarum suntik pada petugas kesehatan terjadi setiap tahun walaupun telah dilakukan pendidikan berkelanjutan dan upaya pencegahan kecelakaan.5 Seterusnya, penelitian yang dilakukan Metha dkk pada rumah sakit di Mumbai menemukan sebanyak 380 petugas kesehatan mengalami kecelakaan tertusuk jarum suntik dalam jangka waktu 6 tahun (1998-2003).6 Di Indonesia, informasi yang diterbitkan oleh Sriwijaya Pos menyebutkan dari survei yang dilakukan di RSMH (Rumah Sakit Dr.Moh.Hoesin) Palembang mengenai kasus pengelolaan benda tajam, terdapat 17 % kecelakaan kerja karena tusukan benda tajam (jarum suntik), 70 % terjadi sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan, 13 % sesudah pembuangan, 40 % karena penyarungan jarum suntik.7

Kecelakaan tertusuk jarum suntik tersebut menjadi perhatian bila dikaitkan dengan penelitian di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa risiko tertular


(17)

penyakit setelah terpapar dengan hepatitis B dari luka tusukan jarum satu kali berkisar 27-37 % (Seef dkk, 1978), sedangkan risiko setelah satu kali tusukan jarum suntik untuk HIV lebih rendah yakni 0,2-0,4 % (Gerberding 1990, Gersham dkk 1995), dan 3-10 % untuk HCV (Lanphear, 1994).5

Salah satu kelompok yang berisiko tinggi untuk tertular hepatitis B adalah perawat.8 Hal ini diperkuat dengan berita yang dimuat pada harian seputar Indonesia menginformasikan dua perawat RSUD Dr. H. Soewondo, Kendal, tertular virus Hepatitis B yang diduga akibat bertugas di ruang perawatan.9 Selain itu hasil penelitian Nuraisah (2007) yang menganalisis HBsAg pada perawat yang bertugas di ruang internis RS Djoelham, Binjai menyimpulkan dua orang perawat positif Hepatitis B.10

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan merupakan Rumah Sakit Kelas A yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis sehingga memiliki banyak instalasi khusus salah satunya instalasi rawat inap penyakit dalam yakni ruang Rindu A1 dan A2 sebagai tempat perawatan pasien hepatitis B serta penyakit dalam lainnya termasuk HIV/AIDS.

Dari hasil survey pendahuluan pada bulan April 2008, semua perawat di ruang Rindu A1 dan A2 pernah merawat pasien hepatitis B (dengan berbagai manifestasi kliniknya). Hasil wawancara pada survei pendahuluan dengan beberapa orang perawat, ada yang terkesan lebih waspada dalam memberikan perawatan pasien HIV/AIDS dari pada pasien hepatitis B, dan sebaliknya. Padahal, menurut Tietjen (2004) tingkat transmisi HIV jauh lebih rendah dari pada VHB (Virus Hepatitis B) yang dimungkinkan karena konsentrasi virus dalam darah orang yang terinfeksi HIV


(18)

lebih rendah,5 sedangkan menurut Bond et al (1982) yang dikutip oleh Wisnuwardani (1994) mengemukakan bahwa efisiensi penyebaran hepatitis B tinggi yang terbukti dari penelitian bahwa melalui sedikit percikan darah terinfeksi pada dosis 10-8 ml yang masuk ke dalam mukosa mata dapat ditularkan virus hepatitis B pada orang yang rentan.2 Sehingga dapat dikatakan penularan hepatitis B sangat cepat sesuai dengan pernyataan Ketua Divisi Hepatologi FKUI-RSCM, Ali Sulaiman yakni penularan VHB 100 kali lebih cepat dari HIV/AIDS dalam ”Seminar Waspada Hepatitis B dalam Rangka Menuju Indonesia Bebas Hepatitis B” di Jakarta, Sabtu 25 September 2004.11

Pencegahan risiko tertular penyakit infeksi melalui darah/cairan tubuh seperti hepatitis B memang telah dilakukan perawat di ruang Rindu A1 dan A2. Akan tetapi menurut hasil wawancara dengan beberapa orang perawat, pencegahan berupa imunisasi hepatitis B belum ditanggung oleh pihak Rumah Sakit. Pencegahan juga terkadang dibatasi oleh ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) misalnya sarung tangan yang jumlahnya terbatas. Selain itu, salah seorang perawat mengeluhkan bahwa masih ada diantara temannya yang mengalami kecelakaan tertusuk jarum bekas pakai dikarenakan belum mendapat pelatihan yang berkaitan dengan pencegahan risiko tertular penyakit infeksi melalui darah/cairan tubuh seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C. Pelatihan hanya diberikan pada perawat tertentu atau dokter, dan hasil pelatihan tersebut hanya disosialisasikan kepada para perawat yang bekerja di ruang Rindu A1 dan A2. Akan tetapi, sosialisasi berupa poster ataupun prosedur tertulis seperti tata laksana pajanan, cara menutup jarum dengan satu tangan, penggunaan APD yang tepat, dan sebagainya tidak semua terpampang pada dinding


(19)

sekitar ruang Rindu A1 dan A2 saat observasi. Melihat keadaan yang demikian, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perawat terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B.

1.2 Perumusan Masalah

Belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi perawat terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B di RSUP H. Adam Malik.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perawat terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran pencegahan risiko tertular hepatitis B pada perawat di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008. 2. Mengetahui gambaran faktor pemudah (pengetahuan, sikap perawat)

pencegahan risiko tertular hepatitis B.

3. Mengetahui gambaran faktor pemungkin (ketersediaan fasilitas dan APD, pelatihan) pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

4. Mengetahui gambaran faktor penguat (kebijakan rumah sakit) pencegahan risiko tertular hepatitis B.

5. Mengetahui pengaruh pengetahuan perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.


(20)

6. Mengetahui pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

7. Mengetahui pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

8. Mengetahui pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

9. Mengetahui pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberi masukan kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan mengenai risiko perawat tertular hepatitis B.

2. Menambah pengetahuan penulis dalam penelitian lapangan dan dapat dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu khususnya bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatitis B

Menurut Ketua Divisi Hepatologi FKUI-RSCM Ali Sulaiman pada seminar “Waspada Hepatitis B dalam Rangka Menuju Indonesia Bebas Hepatitis B” mendefinisikan hepatitis B adalah penyakit infeksi pada hati (hepar/liver) yang berpotensi fatal yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui dan menular. Penularannya sangat cepat, 100 kali lebih cepat dari HIV/AIDS. 11

Hanya sedikit dari mereka yang terinfeksi hepatitis B (HBV) akut yang menunjukkan gejala.12 Tanda-tanda terinfeksi VHB jangka pendek (Hepatitis B Akut) adalah kelelahan dan sindroma ”flu like”, nafsu makan turun, panas, pusing, mual, muntah, sakit perut, diare, kulit dan mata, kuku dan seluruh tubuh berwarna kuning, kencing berwarna cokelat tua, tinja berwarna pucat.11 Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas.13 Sedangkan terinfeksi hepatitis B jangka panjang (Hepatitis B Kronis) adalah sama dengan yang akut disertai sakit otot dan persendian, serta lemas. Tahapannya adalah fibrosis, yaitu penumpukan serta akumulasi dari jaringan hati yang rusak. Kemudian pada tahap sirosis, yaitu kerusakan lanjut dari jaringan hati yang ditandai dengan permukaan hati yang berbenjol-benjol dan terbentuk jaringan ikat. Pada akhirnya berlanjut ke tahap kanker hati. Jangka waktu perjalanan penyakit adalah dari 30-50 tahun.11


(22)

Sulitnya mendeteksi gejala menjadikan penyakit ini masih menjadi penyebab kematian nomor 10 di dunia. Diperkirakan akibat infeksi hepatitis B mengakibatkan 500 ribu hingga 1,2 juta kematian per tahun akibat hepatitis kronik yang berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.15

2.1.1 Identifikasi Hepatitis B

Virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan 10% persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan carsinoma hepatoselluler (hepatoma). Risiko berkembang menjadi infeksi kronis HBV terjadi sekitar 90 % pada bayi yang terinfeksi pada waktu proses kelahiran, 0-50 % pada anak-anak yang terinfeksi pada usia 1-5 tahun dan sekitar 1%-10% pada anak-anak usia yang lebih tua dan dewasa. Diperkirakan 15%-25% orang dengan infeksi HBV kronis akan meninggal lebih awal dengan cirrhosis atau carcinoma hepatosellular dan HBV mungkin sebagai akibat sampai 80% dari semua kasus

carcinoma hepatosellular di dunia.13,14

Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya antigen dan atau antibodi spesifik pada serum. Ada tiga bentuk sistem antigen-antibodi yang sangat bermanfaat secara klinis yang ditemukan pada infeksi hepatitis B yaitu12 :

1) Antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs).

2) Antigen core hepatitis B (HBcAg) dan antibodi terhadap HBcAg (anti-HBc) 3) Antigen e hepatitis B (HBeAg) dan antibodi terhadap HBeAg (anti-HBe)


(23)

HBsAg muncul dalam serum selama infeksi akut dan tetap ditemukan selama infeksi kronis. Ditemukannya HBsAg dalam darah menunjukkan bahwa orang tersebut potensial untuk menularkan. Ditemukannya HBeAg artinya orang tersebut sangat menular.12

2.1.2 Masa Inkubasi

Masa inkubasi biasanya berlangsung 45-180 hari, rata-rata 60-90 hari. Paling sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa menentukan HBsAg dalam darah, dan jarang sekali sampai 6-9 bulan. Perbedaan masa inkubasi tersebut dikaitkan dengan berbagai faktor antara lain jumlah virus dalam inoculum, cara-cara penularan, dan faktor pejamu.12

2.1.3 Kelompok Risiko Tinggi

Dari data-data laporan penelitian HBV, maka dikenal kelompok risiko tinggi yang mudah tertular, yaitu3 :

1. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, apalagi disertai HBeAg positif, maka sudah pasti akan tertulari.

2. Lingkungan penderita/pengidap dengan HBsAg positif terutama anggota keluarga/mereka yang serumah yang selalu berhubungan langsung.

3. Tenaga medis, paramedis, petugas laboratorium, yang selalu kontak langsung dengan para penderita HBV

4. Calon penderita bedah, gigi, penerima tranfusi, pasien dialisa.

5. Mereka yang hidup di daerah endemis HBV dengan prevalensi tinggi, misalnya di Indonesia khususnya : Lombok, Bali, Kalimantan Barat, dan lainnya.


(24)

2.1.4 Distribusi Penyakit HBV (Hepatitis B Virus)

WHO memperkirakan lebih dari 2 milyar orang terinfeksi oleh HBV (termasuk 350 juta dengan infeksi kronis). Setiap tahun sekitar 1 juta orang meninggal akibat infeksi HBV dan lebih dari 4 juta kasus klinis terjadi. Di negara di mana HBV endemis tinggi (prevalensi HBsAg berkisar di atas 8 %), infeksi biasanya terjadi pada semua golongan umur, meskipun angka infeksi kronis tinggi terutama disebabkan karena terjadi penularan selama kehamilan dan pada masa bayi dan anak-anak. Di negara-negara dengan endemisitas yang rendah (prevalensi HBsAg kurang dari 2 %), sebagian besar infeksi terjadi pada dewasa muda, khususnya di antara orang yang diketahui kelompok risiko. Namun, walaupun di negara dengan endemisitas HBV rendah, proporsi infeksi kronis yang tinggi mungkin didapat selama masa anak-anak oleh karena perkembangan menjadi infeksi kronis sangat tergantung dengan umur.12

Di Indonesia kejadian hepatitis B satu diantara 12-14 orang, yang berlanjut menjadi hepatitis kronik, cirroshis hepatis dan hepatoma. Satu atau dua kasus meninggal akibat hepatoma. Menurut Sulaiman (1994) dalam Aguslina (2004), berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di Indonesia prevalensi Hepatitis B berkisar antara 2,50-36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25-45 % pengidap adalah karena infeksi perinatal.14 Dan menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD, KGEH, memperkirakan saat ini sekitar 11,6 juta penduduk Indonesia terinfeksi VHB.13


(25)

Menurut Prof.dr.Siti Nurdjanah, MKes, SpPD-KGEH dalam pidato pengukuhan guru besar Fakultas Kedokteran UGM, Senin 5 November 2007 mengatakan bahwa Indonesia memiliki endemisitas sedang sampai tinggi dan hepatitis B menempati urutan ke-3 Asia.15

2.1.5 Cara Penularan HBV

Penyakit HBV dapat mudah ditularkan kepada semua orang dan semua kelompok umur secara menyusup. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya penularan dari HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV diasosiasikan dengan tranfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HBV makin banyak laporan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari tubuh penderita, misalnya melalui : darah, air liur, air seni, keringat, air mani, air susu ibu, cairan vagina, air mata, dan lain-lain. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan dan non perkutan di samping itu juga dikenal penularan horizontal dan vertikal.3 1. Penularan horizontal

Cara penularan horizontal yang dikenal ialah : tranfusi darah yang terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu HBV dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan selaput lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral) atau luka benda tajam, menindik telinga, pembuatan tatoo, pengobatan tusuk jarum (akupuntur), penggunaan alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan jarum suntik yang kotor/kurang steril.3 Penggunaan alat-alat kedokteran dan


(26)

perawatan gigi yang sterilisasinya kurang sempurna/kurang memenuhi syarat akan dapat menularkan HBV. Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu busuk, parasit, dan lain-lain dapat juga menularkan HBV, walaupun belum ada laporan. Cara penularan tersebut disebut penularan perkutan. Sedangkan cara penularan non-kutan diantaranya ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak seksual (baik homoseks maupun heteroseks) dengan pengidap/penderita HVB, atau melalui saliva yang bercium-ciuman dengan penderita/pengidap, dapat juga dengan jalan tukar pakai sikat gigi, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan disebabkan karena selaput lendir tubuh yang melapisinya terjadi diskontinuitas, sehingga virus hepatitis B mudah menembusnya.3

2. Penularan vertikal

Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari seorang ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu menderita HBV akut pada perinatal yaitu pada trisemester ketiga kehamilan, maka bayi yang baru dilahirkan akan tertulari.3

2.1.6 Vaksinasi Hepatitis B

Menurut WHO bahwa pemberian vaksin hepatitis B tidak akan menyembuhkan pembawa kuman (carier) yang kronis, tetapi diyakini 95 % efektif mencegah berkembangnya penyakit menjadi carier.14

Dengan ditemukannya vaksin hepatitis B, maka program pencegahan infeksi terhadap HBV dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Vaksinasi dengan HBV dapat diberikan dengan 3 cara, yaitu3 :


(27)

 Imunisasi pasif, dengan menggunakan vaksin “Hepatitis B Immunoglobulin” (HBIG) yang mempunyai daya lindung pendek.

 Imunisasi aktif, dengan menggunakan vaksin hepatitis B yang mempunyai daya lindung lebih lama.

 Imunisasi gabungan antara pasif dan aktif, yaitu pemberian HBIG, kemudian dilanjutkan dengan vaksin hepatitis B.

2.2 Siklus Penularan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan

Sumber : Wisnuwardani S.D 1994, up-date ilmu penyakit infeksi 1994

Penyebaran infeksi virus hepatitis B dan virus AIDS yang dapat terjadi dari penderita ke tenaga kesehatan yang sehat (dokter bedah, perawat, dan petugas kebersihan) pemaparannya terjadi melalui darah atau cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Misalnya jarum suntik bekas penderita tersebut secara tidak sengaja tertusuk pada kulit yang sehat.2

Tubuh manusia

Darah, Sekret vagina, air mani, dsb Pejamu

(tenaga kesehatan)

Tusukan jarum, Kulit lecet/luka, Terpotong,

Percikan pada membaran mukosa


(28)

2.3 Menurunkan Risiko Penularan di Tempat Kerja

Menurunkan risiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan 16 :

 Memahami dan selalu menerapkan kewaspadaan universal setiap saat kepada semua pasien, di semua tempat pelayanan atau ruang perawatan tanpa memandang status infeksi pasiennya.

 Menghindari tranfusi, suntikan, jahitan, dan tindakan invasif lain yang tidak perlu.

 Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian infeksi secara standar, meskipun dalam keterbatasan sumber daya.

 Mematuhi kebijakan dan pedoman yang sesuai tentang penggunaan bahan dan alat secara baik dan benar, pedoman pendidikan dan pelatihan serta supervisi.

 Menilai dan menekan risiko melalui pengawasan yang teratur di sarana pelayanan kesehatan.

2.4 Pencegahan dan Penanganan Infeksi pada Petugas Perawatan Kesehatan Pada tahun 1991 dan 1994 Occupational Safety and Health Administration (OSHA) memberikan mandat untuk perlindungan penyakit pada Petugas Perawatan Kesehatan (PPK) menggunakan pedoman Center for Disease Control and Prevention (CDC). OSHA mengharuskan bahwa PPK mempunyai akses ke pengendalian enginering, pengendalian praktik kerja, dan imunisasi virus hepatitis B. OSHA juga mengharuskan bahwa PPK yang terpajan dengan darah atau cairan yang mengandung darah untuk diperiksa adanya infeksi yang ditularkan melalui darah, mendapat intervensi medik sesuai indikasi, dan mendapat konseling kemungkinan implikasi dari pajanan tersebut.17


(29)

2.4.1 Pengendalian Praktik Kerja

Pengendalian praktik kerja merupakan tanggung jawab majikan untuk menyediakan dan melaksanakan pengendalian. Tujuan dari pengendalian praktik kerja adalah untuk melindungi pekerja dari pajanan terhadap infeksi dan penyakit. Pengendalian praktik kerja harus mengetangahkan isu seperti mencuci tangan, dekontaminasi, desinfeksi, dan sterilisasi, jadwal membersihkan lingkungan kerja, penanganan benda tajam, pembuangan limbah biomedik, penggunaan pengendalian enginering dan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai.17

2.4.2 Pengendalian Enginering

Penggunaan pengendalian enginering seperti menempatkan tempat pembuangan jarum yang mudah dijangkau dan pengendalian praktik kerja seperti larangan menutup jarum kembali, dan penanganan jarum secara manual menghasilkan pengurangan cedera akibat tertusuk jarum, tetapi tidak menghilangkannya.17

Jarum merupakan alat yang diperlukan untuk menembus kulit pasien (misalnya digunakan untuk memulai infus intravena (IV) atau memberikan suntikan secara langsung). Namun, alat-alat telah dikembangkan untuk menghilangkan pemajanan jarum ketika penetrasi kulit tidak diperlukan (contoh konektor IV yang tidak berjarum). Alat-alat lain memungkinkan untuk melindungi tangan PPK dari jarum yang diperlukan (misalnya alat-alat dengan self sheating atau jarum dengan retractable dan alat-alat dengan jarum yang masuk ke dalam tutup pelindung).17

Pada standard patogen yang ditularkan melalui darah, OSHA menekankan pengendalian enginering dan pengendalian praktik kerja sebagai lini pertahanan


(30)

pertama terhadap cedera-cedera benda tajam yang terkontaminasi dan menyatakan bahwa “alat pelindung diri harus digunakan bila pajanan akibat kerja tetap ada setelah melakukan pengendalian ini”.17

2.4.3 Imunitas Pekerja Perawatan Kesehatan

Pada tahun 1991 OSHA menguatkan rekomendasi CDC dengan mengharuskan majikan memberikan vaksin HBV dalam 10 hari dari masa pekerjaan yang tidak dibayar pada PPK yang mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan darah atau bahan-bahan yang kemungkinan terinfeksi lainnya.17

Sesuai dengan peraturan nasional dan protokol imunisasi yang relevan, pengusaha harus menyediakan satu seri vaksinasi hepatitis B bagi semua pekerja sektor kesehatan yang mungkin terpajan terhadap darah dan cairan tubuh. Pengusaha harus menjaga agar mereka secara teratur mendapat informasi dari kemajuan dalam pengembangan dan ketersediaan vaksin baru.18

2.4.4 Menangani Pajanan Signifikan Petugas Perawatan Kesehatan

Meskipun jumlah pajanan kerja dapat dikurangi secara signifikan melalui penggunan kewaspadaan universal, pengendalian praktik kerja, dan pengendalian enginering, kemungkinan pajanan PPK terhadap patogen yang ditularkan melalui darah tidak dapat dieliminasi secara menyeluruh selama perdarahan pasien ditangani dengan jarum serta benda-benda tajam digunakan dalam memberikan perawatan. Infeksi dengan patogen yang ditularkan melalui darah telah dicatat sebagai akibat dari pajanan perkutaneus (tertusuk jarum/tergores) dan mukokutaneus (percikan/aerosol). 17


(31)

2.4.5 Pertolongan Pertama

Segera setelah pemajanan tempat yang terkena harus digosok dengan kuat dengan larutan desinfektan seperti povidine iodine 10 %. Membran mukosa yang terkontaminasi harus diirigasi selama 10 menit dengan saline normal atau air keran yang mengalir. Segera setelah menerima pertolongan pertama, PPK yang terpajan harus melaporkan pajanan tersebut ke penyelia atau ke pelayanan kedokteran kerja.17 2.4.6 Tindak Lanjut Setelah Pajanan

Menurut peraturan OSHA (1991), majikan harus mengatur evaluasi medik setelah pajanan dan tindak lanjut tanpa biaya kepada pegawai. Tindak lanjut dapat berupa pemeriksaan serologis dasar terhadap HBV dan HIV jika PPK mengizinkan, konseling, dan pengobatan.17

2.5 Standard Patogen yang Ditularkan Melalui Darah dari OSHA

Tinjauan tentang Bloodborne Phatogen Standard (Standard Patogen Darah) OSHA 1991 meliputi17 :

1. Cakupan dan Aplikasi

Standard tentang paparan okupasi terhadap patogen yang ditularkan melalui darah berlaku untuk semua pekerja dengan pekerjaan yang terpapar dengan darah atau bahan-bahan lain yang secara potensial infeksius/OPIM (Other Potentially Infectious Material).

2. Rencan Pengendalian Paparan

Setiap majikan yang mempunyai pekerja yang mungkin cukup beralasan untuk terpapar dengan patogen yang ditularakan melalui darah harus mempunyai rencana pengendalian paparan tertulis yang didisain untuk menghilangkan atau


(32)

meminimalkan paparan pekerja. Rencana tersebut harus berisi (1) determinasi paparan yang didokumentasikan, (2) jadwal dan metode untuk mengimplementasikan rencana pengendalian paparan, (3) prosedur untuk mengevaluasi insiden paparan.

3. Metode Komplians

Terdiri dari kewaspadaan universal, pengendalian engineering, pengendalian praktik kerja, alat pelindung diri, orientasi dan pelatihan, label dan tanda, pengaturan limbah, kebersihan tempat kerja, vaksinasi hepatitis B, rencana pasca paparan.

2.6 Kewaspadaan di Rumah Sakit

2.6.1 Kewaspadaan Standard/Kewaspadaan Baku

Kewaspadaan Standard/Kewasapadaan Baku mempersatukan keutamaan dari Universal Precaution (UP) dan Body Substance Isolation (BSI).17 Karena sebagian besar orang yang terinfeksi virus lewat darah seperti HIV dan VHB yang tidak menunjukkan gejala, kewaspadaan baku tersebut ditujukan untuk melindungi setiap orang (pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.4 Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, duh tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir, kulit dan membran mukosa yang tidak utuh.4,17 Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai, dan semprit) di dalam sistem pelayanan kesehatan.4


(33)

Menurut le Claire dkk (1987) yang dikutip Tietjen (2004), setelah bertahun-tahun, indikasi penggunaan praktik isolasi tertentu (misalnya sarung tangan tertentu lebih efektif dari pada baju pelindung dalam pencegahan kontminasi silang) telah dapat diatasi melalui penelitian. Betapapun juga ketidakmampuan petugas administrasi dan klinik di negara miskin untuk menyediakan perlengkapan pelindung, khususnya ketersedian sarung tangan baru, masih menjadi kendala. Sebagai tambahan, tantangan untuk menyediakan air bersih dan untuk mencapai standard yang dapat diterima seperti proses penggunaan instrumen medis dan pembuangan sampah masih menjadi persoalan di banyak negara.4

2.6.1.1 Komponen Utama Kewaspadaan Sandard/Kewaspadaan Baku

Penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi antara mikroorganisme dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien rawat inap merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi.4

Komponen utama kewaspadaan standard diantaranya adalah cuci tangan; sarung tangan; masker, pelindung mata, penutup wajah; gaun; peralatan perawatan pasien; linen; instrumen tajam; resusitasi pasien; penempatan pasien.

2.6.2 Kewaspadaan Berdasar Penularan

Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat dicurigai telah terinfeksi atau terkolonisasi oleh patogen yang ditularkan lewat4 :

 Udara (tuberkolosis, cacar air, campak)


(34)

 Kontak (hepatitis A atau E, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit atau mata)

Dalam keadaan di mana ada pertanyaan adanya proses infeksi pada pasien tanpa diketahui diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan, secara empirik harus dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat.

2.7 Mencuci Tangan dan Penggunaan Sarung Tangan

Dengan munculnya epidemi AIDS pada akhir tahun 1980-an, berbagai upaya untuk mencegah transmisi HIV dan virus lainnya yang terkait dengan darah dari pasien ke staf telah memberi dampak atas seluruh aspek pencegahan infeksi, tetapi yang paling dramatis adalah pada kesehatan dan kebersihan tangan, dan praktik penggunaan sarung tangan.4

Tujuan mencuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaaan kulit, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kuku, tangan, lengan dan mencegah penyebaran ke area tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga perawatan kesehatan, dan peralatan.4,17

Untuk mendorong cuci tangan, pengelola program harus melakukan segala upaya menyediakan sabun dan suplai air bersih terus menerus, baik dari kran atau ember dan lap pribadi.4

2.7.1 Indikasi Mencuci Tangan

Menurut Larson (1995) yang dikutip Tietjen (2004), indikasi kesehatan dan kebersihan tangan sudah dipahami dengan baik, tetapi pedoman praktik terbaik dalam hal ini terus berkembang. Misalnya, pilihan sabun biasa atau antiseptik atau penggunaan penggosok tangan berbasis alkohol bergantung pada besarnya risiko


(35)

kontak dengan pasien (misalnya tindakan medis rutin versus pembedahan) atau tersedianya bahan. 4

Diantara indikasi untuk mencuci tangan adalah4,17 :

1. Sebelum dan setelah kontak dengan pasien atau melakukan prosedur seperti mengganti balutan, menggunakan tempat sputum, sekresi, ekskresi dan drainase, atau darah.

2. Sebelum dan setelah memegang peralatan yang digunakan pasien contohnya, kateter IV (Intra Vena), kateter urin, kantung drainase urin, dan peralatan pernapasan.

3. Sebelum dan setelah mengambil spesimen

4. Sebelum memakai sarung tangan bedah steril atau DDT sebelum pembedahan, atau sarung tangan pemeriksaan untuk tindakan rutin

5. Sesudah melepas sarung tangan.

Menurut CDC (1989) yang dikutip Tietjen, kedua tangan harus dicuci dengan sabun dan air bersih (atau menggunakan penggosok antiseptik) sesudah melepas sarung tangan karena kemungkinan sarung tangan berlubang atau robek, sehingga bakteri dapat dengan mudah berkembang biak di lingkungan yang hangat dan basah di dalam sarung tangan.4

2.7.2 Faktor Penghambat Petugas Tidak Mencuci Tangan

 Kurangnya waktu

 Terbatasnya akses atas air mengalir dan wastapel


(36)

 Keyakinan bahwa memakai sarung tangan memberikan perlindungan menyeluruh keraguan berkenaan efektivitas cuci tangan untuk mencegah infeksi

 Persepsi bahwa teman sejawat dan penyelia tidak melakukan tindakan cuci tangan seperti yang dianjurkan.

 Selain itu, petugas kesehatan secara salah meyakini bahwa mereka mencuci kedua tangan lebih sering dari yang mereka lakukan sebenarnya.4

2.7.3 Penggunaan Sarung Tangan

Sampai sekitar 15 tahun lalu, petugas kesehatan menggunakan sarung tangan untuk tiga alasan, yaitu4 :

1. Mengurangi risiko petugas terkena infeksi bakterial dari pasien 2. Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien

3. Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain.

Selanjutnya, sarung tangan terutama dipakai hanya oleh petugas yang merawat pasien yang menderita infeksi patogen tertentu atau yang terpapar dengan pasien yang berisiko tinggi hepatitis B. Dewasa ini sarung tangan sekali pakai dan sarung tangan bedah menjadi perlengkapan pelindung yang paling banyak dipakai.4

Menurut Tenosis dkk (2001) yang dikutip Tietjen, walaupun sarung tangan telah berulang kali terbukti sangat efektif mencegah kontaminasi pada tangan petugas kesehatan, sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan. Sarung tangan lateks kualitas terbaik pun mungkin mempunyai kerusakan kecil yang tidak


(37)

tampak.4 Selain itu, sarung tangan menurut Bagg dkk (2001) juga dapat robek sehingga tangan dapat terkontaminasi sewaktu melepaskan sarung tangan.4

Tergantung situasi, sarung tangan pemeriksaan atau sarung tangan rumah tangga harus dipakai bilamana4 :

 Akan terjadi kontak tangan pemeriksa dengan darah atau duh tubuh lainnya, selaput lendir, atau kulit yang terluka

 Akan melakukan tindakan medik invasif (misalnya pemasangan alat-alat vaskular seperti intravena perifer)

 Akan membersihkan sampah terkontaminasi atau memegang permukaan yang terkontaminasi.

2.8 Keselamatan Mempergunakan Jarum Suntik dan Semprit (1) Mempergunakan tiap-tiap jarum dan semprit hanya sekali pakai.4 (2) Jangan melepas jarum dari semprit setelah digunakan.

(3) Jangan menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang. (4) Buanglah jarum dan semprit di wadah anti bocor.

Apabila jarum dan semprit sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu tangan” 4 :

 Pertama, tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian angkat tangan anda.

 Kemudian dengan satu tangan memegang semprit, gunakan jarum untuk menyekop tutup tersebut.


(38)

 Dengan penutup di ujung jarum, putar semprit tegak lurus sehingga jarum dan semprit mengarah ke atas.

 Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum sepenuhnya, peganglah semprit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (di mana jarum itu bersatu dengan semprit dengan satu tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk menyegel tutup itu dengan baik).4

2.9 Pemrosesan Alat

Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi adalah langkah pertama dalam memroses instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan tangan. Umpamanya merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh HBV dan HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani sewaktu pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain didekontaminasi, kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau didisinfeksi tingkat tinggi. Proses yang dipilih untuk pemrosesan akhir bergantung pada apakah instrumen ini akan bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang terkelupas atau jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.4

2.10 Pelatihan Kerja

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan keterampilan dan keahlian kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja.19


(39)

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 13 disebutkan bahwa pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya20:

a. Calon peserta pelatihan b. Tenaga kepelatihan c. Kurikulum

d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan

e. Sarana dan prasarana.

Kemudian pada pasal 9 disebutkan bahwa20 :

(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.

(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa20 :

(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.

(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan

Sesuai standard patogen yang ditularkan melalui darah dari OSHA pelatihan awal dan tahunan yang berhubungan dengan standard harus tersedia untuk setiap pekerja yang secara potensial terpapar selama jam-jam kerja, dan biaya tidak


(40)

dibebankan pada pekerja (pelatihan tahunan harus dilakukan dalam 12 bulan dari pelatihan awal). Catatan harus tetap dipertahankan untuk sesi-sesi pelatihan.17

2.11 Determinan Perilaku

Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan perkataan lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan.21 Menurut Green yang dikutip Notoadmodjo (2003), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni21 :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)

Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor)

Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut juga faktor-faktor pendukung. Misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya.


(41)

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor)

Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. 2.11.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.21

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.21

Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi21 :

a) Pengetahuan tentang sakit dan penyakit meliputi : 1. Penyebab penyakit

2. Gejala atau tanda-tanda penyakit

3. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan 4. Bagaimana cara penularannya


(42)

b) Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, meliputi : 1. Jenis-jenis makanan yang bergizi

2. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatan 3. Pentingnya olah raga bagi kesehatan

4. Penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya merokok, minum-minuman keras, dan sebagainya.

5. Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya bagi kesehatan c) Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

1. Manfaat air bersih

2. Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang sehat, dan sampah.

3. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat.

4. Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan sebagainya. 2.11.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.21

Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,


(43)

akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan suatu rekasi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu pengahayatan terhadap objek.21

Menurut WHO yang dikutip Notoadmodjo (2003), sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabakan beberapa alasan, antara lain21 :

1. Sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.

2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada pengalaman orang lain.

3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

4. Nilai (value), di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.

Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok.21

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional dan evaluasi terhadap suatu objek.


(44)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan

emosi memegang peranan penting.21

Indikator untuk tingkat sikap kesehatan sejalan dengan tingkat pengetahuan kesehatan seperti21 :

a) Sikap terhadap sakit dan penyakit

Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit, dan sebagainya.

b) Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat

Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan cara-cara (berperilaku) hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau penilaian terhadap makanan, minuman, olahraga, relaksasi (istirahat) atau istirahat cukup, dan sebagainya bagi kesehatannya.

c) Sikap terhadap kesehatan lingkungan

Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan.

2.12 Perawat

Menurut PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) perawat adalah seorang yang telah menempuh serta lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikanya telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.22


(45)

Perawat adalah tenaga profesional di bidang perawatan kesehatan yang terlibat dalam kegiatan perawatan. Perawat bertanggung jawab untuk perawatan, perlindungan, dan pemulihan orang yang luka atau pasien penderita penyakit akut atau kronis, pemeliharaan kesehatan orang sehat, dan penanganan keadaan darurat yang mengancam nyawa dalam berbagai jenis perawatan kesehatan. Perawat juga dapat terlibat dalam riset medis dan perawatan serta menjalankan beragam fungsi non-klinis yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi perawatan kesehatan.22 2.12.1 Fungsi Perawat

Dalam praktik keperawatan fungsi perawat terdiri dari tiga fungsi yaitu fungsi independen, interdependen, dan dependen.23

1. Fungsi independen

Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Contoh tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen adalah :

1. Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarga dan menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan.

2. Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan.

3. Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari, mendorong pasien untuk berperilaku wajar.

2. Fungsi interdependen

Tindakan perawat berdasar pada kerjasama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lain


(46)

berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka biasanya tergabung dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter.

3. Fungsi dependen

Dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medik. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntikan.

2.12.2 Pelayanan Perawatan

Pelayanan perawatan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pelayanan keperawatan adalah berupa bantuan yang diberikan kepada individu yang sedang sakit untuk dapat memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk hidup dan beradaptasi terhadap stres dengan menggunakan potensi yang tersedia pada individu itu sendiri.24

Lingkup pelayanan keperawatan adalah pemberian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia secara bio-psiko-sosio-spritual yang mencakup 13 komponen, yaitu24 :

1. Memenuhi kebutuhan oksigen

2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan keseimbangn cairan/elektrolit 3. Memenuhi kebutuhan eliminasi

4. Memenuhi kebutuhan keamanan

5. Memenuhi kebutuhan kebersihan dan kenyamanan 6. Memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur


(47)

8. Memenuhi kebutuhan spritual 9. Memenuhi kebutuhan komunikasi 10.Memenuhi kebutuhan emosional

11.Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologi tubuh

12.Memenuhi kebutuhan pengobatan dan proses penyembuhan 13.Memenuhi kebutuhan penyuluhan dan rehabilitasi

Pelayanan medis/perawatan dilakukan di unit rawat jalan, unit gawat darurat, unit rawat inap, unit perawatan intensif, unit bedah, kamar bersalin. Pelayanan ini akan prima bila sarana disiapkan sedemikian rupa hingga membuat suasana kerja yang nyaman dan memungkinkan kelancaran kerja.24

2.12.3 Merawat di Bangsal Penyakit Dalam

Pasien-pasien di bangsal penyakit dalam jarang menjalani operasi, walaupun kadang-kadang demikian, yang setelah pemeriksaan dilakukan, tindakan bedah ditetapkan. Perawatan medis tidak hanya menyangkut pemberian obat untuk menyembuhkan penyakit, akan tetapi pasien mungkin harus menjalani berbagai jenis tes dan kajian, yang beberapa dari ini akan mengikutsertakan perawat dalam pengumpulan spesimen atau sediaan pasien. Pengkajian sederhana mencakup spesimen darah, air kemih (pertengahan buang air kecil atau pengumpulan urin 24 jam), sputum, atau tinja (untuk darah samar atau penaksiran lemak).25

Ikhtisar ciri-ciri bangsal penyakit dalam25 :

1. Penderita sering sakit kronik dan oleh karena itu tidak sembuh dari penyakit mereka.


(48)

3. Sebagian besar penderita kurang persiapan untuk masuk rumah sakit karena mereka masuk dalam keadaan darurat.

4. Mereka sedang sakit atau sangat sakit ketika masuk.

5. Perawatan mencakup memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spritual penderita.

6. Penderita lazimnya berumur pertengahan atau tua. 2.13 Rumah Sakit

Menurut American Hospital Association (1974), rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Sedangkan Association of Hospital Care (1987) dalam Azwar (1996) menyatakan bahwa rumah sakit adalah pusat di mana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.26

Fungsi rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan spesialistik/medik sekunder dan pelayanan subspesialistik/medik tersier. Oleh karena itu, produk utama (core product) rumah sakit adalah pelayanan medik.27

Rumah sakit sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan juga melakukan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.27

Pengembangan rumah sakit menjadi suatu organisasi yang sehat melalui pemberian penyuluhan kesehatan kepada pasien, karyawan rumah sakit, dan masyarakat, telah menghasilkan reorientasi rumah sakit menjadi rumah sakit


(49)

promotor kesehatan (Health Promoting Hospital). Salah satu alasan mengapa rumah sakit dianggap perlu melaksanakan penyuluhan atau promosi kesehatan karena rumah sakit sebagai suatu organisasi yang memiliki relatif banyak karyawan dan sebagai pusat sumber daya untuk wilayahnya, maka rumah sakit mempunyai tanggung jawab moral untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan karyawannya.27

2.13.1 Jenis Rumah Sakit

Ditinjau dari kemampuan yang dimiliki, Rumah Sakit di Indonesia dibedakan atas lima macam yakni26 :

1. Rumah Sakit Kelas A

Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Oleh pemerintah, rumah sakit kelas A ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit Pusat.

2. Rumah Sakit Kelas B

Rumah Sakit Kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan dokter spesialis luas dan subspesialis terbatas. Direncanakan rumah sakit kelas B didirikan di setiap ibukota Propinsi (provincial hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit Kabupaten. Rumah Sakit pendidikan yang tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai Rumah Sakit kelas B.

3. Rumah Sakit Kelas C

Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada empat macam pelayanan spesialis ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan


(50)

kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah sakit kelas C ini akan didirikan di setiap ibu kota Kabupaten (regency hospital) yang manampung pelayanan rujukan dari Puskesmas.

4. Rumah Sakit kelas D

Rumah Sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada satu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit kelas D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sama halnya dengan Rumah Sakit kelas C, Rumah Sakit kelas D ini juga menampung pelayanan rujukan yang berasal dari Puskesmas.

5. Rumah Sakit kelas E

Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit khusus (special hospital) yang menyelenggarakan hanya satu pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak rumah sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah sakit ibu dan anak, dan lain sebagainya yang seperti ini.

2.13.2 Kegiatan di Rumah Sakit

Menurut depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah (2007) kegiatan rumah sakit terdiri dari10 :

1. Rawat jalan, seperti poliklinik, kesejahteraan ibu dan anak, keluarga berencana, pemeriksaan periodik (general check-up), gigi.

2. Rawat inap, seperti rawat inap interne, anak, mata, bedah, kebidanan, paru, jantung, kulit, kelamin, telinga hidung dan tenggorokan, neurologi, mulut, gigi, rawat intensif, dan lain-lain.


(51)

3. Unit gawat darurat.

4. Pelayanan medik, seperti ruang operasi, dan ruang bersalin.

5. Pelayanan penunjang non-medik, yakni ruang cuci, dapur, administrasi. 6. Pendidikan dan latihan.

2.13.3 Potensi Bahaya di Rumah Sakit

Menurut Depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah, sebagai sarana pelaksana kesehatan untuk umum, salah satu faktor yang menjadi penyebab potensi bahaya Penyakit Akibat Kerja (PAK) di rumah sakit yaitu faktor biologi. Sebagai pelaksanaan kesehatan untuk umum, rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat. Berbagai jenis penyakit terdapat di rumah sakit, salah satunya adalah penyakit infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, jamur, infeksi ini dapat menular dari satu orang ke orang lain termasuk kepada petugas kesehatan dan karyawan yang bekerja di rumah sakit. Di samping itu berbagai peralatan yang berasal dari penderita seperti darah, sputum, feces, dan peralatan medis yang tercemar oleh mikroorganisme, sanitasi lingkungan rumah sakit yang kurang memenuhi syarat, dan limbah rumah sakit dapat pula menjadi sumber penularan penyakit. Untuk menghindari terjadinya penularan tersebut, perlu dilakukan upaya pencegahan.10


(52)

2.14 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

2.15 Hipotesis Penelitian

Ho diterima : Tidak ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

H1

Faktor Pemudah (Predisposing Factor) - Pengetahuan

- Sikap

Pencegahan Risiko Tertular Hepatitis B Faktor Pemungkin

(Enabling Factor)

- Ketersediaan Fasilitas dan APD - Pelatihan

Faktor Penguat (Reinforcing Factor) - Kebijakan Rumah Sakit

Karakteristik perawat - Umur

- Jenis Kelamin - Pendidikan - Masa Kerja


(53)

Ho diterima : Tidak ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho diterima : Tidak ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho diterima : Tidak ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho diterima : Tidak ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B.

H2

H3

H4


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey yang bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan disain cross sectional.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan selama Juni 2008 sampai Desember 2008.

Adapun pertimbangan pelaksanaan penelitian di tempat tersebut adalah karena ruang rawat inap penyakit dalam merupakan tempat perawatan bagi pasien hepatitis B (dengan berbagai manifestasi kliniknya) sehingga perawat yang bertugas di ruangan ini berisiko tertular hepatitis B. Selain itu, RSUP H. Adam Malik memiliki pelayanan pengendalian infeksi, pelayanan K3RS (Keselamatan Kerja, Kebakaran Dan Kewaspadaan Bencana Rumah Sakit) yang memperhatikan keselamatan kerja karyawan rumah sakit.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh perawat pada ruang rawat inap terpadu A (Rindu A) penyakit dalam di RSUP H. Adam Malik Medan, yaitu sebanyak 40 orang. 3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah total populasi yakni seluruh perawat pada ruang rawat inap terpadu A (Rindu A) penyakit dalam dengan pertimbangan bahwa jumlah


(55)

populasinya relatif kecil. Terdiri dari Rindu A1 (penyakit dalam wanita) sebanyak 20 orang dan ruang Rindu A2 (penyakit dalam pria) sebanyak 20 orang. Namun, pada saat penelitian dilakukan, sebanyak 2 responden berjenis kelamin laki-laki telah dimutasi ke bagian kemoterapi karena dibutuhkannya tenaga di bagian tersebut. Sehingga total sampel yang diteliti sebanyak 38 orang.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari wawancara dengan memakai kuesioner yang dirancang dan dimodifikasi dari skripsi Restu Imanesa (2007).28

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari bagian keperawatan, bagian pelayanan pengendalian infeksi, bagian K3RS, arsip dan laporan tahunan RSUP H.Adam Malik Medan.

3.5 Definisi Operasional

1. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui perawat tentang pencegahan risiko tertular hepatitis B dalam memberikan perawatan pada pasien penderita.

2. Sikap adalah respon dari perawat untuk setuju, kurang setuju, atau tidak setuju terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B dalam memberikan perawatan pada pasien penderita.

3. Pelatihan adalah pembekalan, peningkatan, dan pengembangan keterampilan berkaitan dengan pencegahan risiko tertular hepatitis B (penyakit infeksi tular darah/cairan tubuh lainnya).


(56)

4. Ketersediaan fasilitas dan APD adalah ketersediaan sarana prasarana seperti air mengalir, sabun/larutan berbasis alkohol, lap tangan, wadah tahan tembus,

larutan klorin 0,5%, serta APD (Alat Pelindung Diri) berupa sarung tangan yang dapat dijangkau perawat di ruang perawatan untuk mencegah risiko tertular Hepatitis B (penyakit infeksi tular darah/cairan tubuh lainnya).

5. Kebijakan rumah sakit adalah konsep dasar yang ditetapkan untuk pedoman dalam melaksanakan tindakan pencegahan risiko tertular hepatitis B berupa sosialisasi, anjuran penggunaan sarung tangan, anjuran melaporkan pajanan, penawaran vaksinasi, dan poster/prosedur tertulis.

6. Pencegahan adalah upaya perawat melindungi diri dari kemungkinan risiko tertular hepatitis B yang terdiri dari imunisasi hepatitis B, pelaksanaan kewaspadaan universal, mencuci tangan, penggunaan sarung tangan, dekontaminasi alat, pengelolaan sampah tajam terkontaminasi, teknik menutup jarum suntik, serta tindakan bila terpajan.

3.6 Aspek Pengukuran

Pengukuran variabel pengetahuan, sikap, pelatihan, ketersediaan fasilitas dan APD, kebijakan rumah sakit, dan pencegahan risiko tertular hepatitis B menggunakan skala 3 kategori dengan skala pengukuran Hadi Pratomo (1986) yang terdiri dari baik, sedang, dan kurang dengan persentase :

1. Pengetahuan perawat terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B diukur dengan metode skoring terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan 13 buah, masing-masing pengetahuan dengan jawaban tepat diberi bobot 3, kurang tepat diberi bobot 2, dan jawaban salah diberi bobot 1. Skor


(57)

tertinggi adalah 39. Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh responden, maka pengetahuan dikategorikan menjadi 3, yaitu :

1. Baik, apabila jawaban responden benar >75 % dari total nilai (> 29) 2. Sedang, apabila jawaban responden benar 40-75% dari total nilai (16-29) 3. Kurang, apabila jawaban responden benar < 40 % dari total nilai (< 16)

2. Sikap perawat terhadap pencegahan risiko tertular hepatitis B diukur dengan metode skoring terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan 13 buah, masing-masing jawaban “setuju” diberi bobot 3, “kurang setuju” diberi bobot 2, dan “tidak setuju” diberi bobot 1. Skor tertinggi adalah 39. Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh responden, maka sikap dikategorikan menjadi 3, yaitu 1. Baik, apabila skor yang diperoleh responden > 75% dari total nilai (> 29) 2. Sedang, apabila skor yang diperoleh responden 40-75% dari total nilai (16-29) 3. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden < 40 % dari total nilai (< 16) 3. Pelatihan diukur dengan metode skoring terhadap kuesioner yang telah diberi

bobot. Jumlah pertanyaan 3 buah, masing-masing jawaban “ya” diberi bobot 1 dan “tidak” diberi bobot 0. Skor tertinggi adalah 3. Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh responden, maka pelatihan dikategorikan menjadi 3, yaitu:

1. Baik, apabila skor yang diperoleh responden > 75 % dari total nilai (> 2) 2. Sedang, apabila skor yang diperoleh responden 40-75 % dari total nilai (1-2) 3. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden < 40 % dari total nilai (< 1) 4. Ketersediaan Fasilitas dan APD diukur dengan metode skoring terhadap

kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan 8 buah, masing-masing jawaban “ya” diberi bobot 3, “kadang-kadang” diberi bobot 2, dan “tidak” diberi


(1)

kategori umur

7

18,4

18,4

18,4

4

10,5

10,5

28,9

8

21,1

21,1

50,0

6

15,8

15,8

65,8

12

31,6

31,6

97,4

1

2,6

2,6

100,0

38

100,0

100,0

25-28

29-32

33-36

37-40

41-44

45-47

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

jenis kelamin

38

100,0

100,0

100,0

perempuan

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

pendidikan

8

21,1

21,1

21,1

20

52,6

52,6

73,7

10

26,3

26,3

100,0

38

100,0

100,0

S1

Akper

SPK

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

kategori masakerja

6

15,8

15,8

15,8

4

10,5

10,5

26,3

3

7,9

7,9

34,2

12

31,6

31,6

65,8

12

31,6

31,6

97,4

1

2,6

2,6

100,0

38

100,0

100,0

1-3

4-6

7-9

10-12

13-15

16-18

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

pengetahuan

36

94,7

94,7

94,7

2

5,3

5,3

100,0

38

100,0

100,0

baik

sedang

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent


(2)

sikap

35

92,1

92,1

92,1

3

7,9

7,9

100,0

38

100,0

100,0

baik

sedang

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

pelatihan

9

23,7

23,7

23,7

29

76,3

76,3

100,0

38

100,0

100,0

sedang

kurang

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

ketersediaan fasilitas & APD

32

84,2

84,2

84,2

6

15,8

15,8

100,0

38

100,0

100,0

baik

sedang

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

kebijakan rumah sakit

31

81,6

81,6

81,6

7

18,4

18,4

100,0

38

100,0

100,0

sedang

kurang

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

pencegahan risiko tertular hepatitis B

28

73,7

73,7

73,7

10

26,3

26,3

100,0

38

100,0

100,0

baik

sedang

Total

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent


(3)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

38 38 38 38 38 38

36,3421 35,8947 ,4737 19,0789 3,4474 24,6316 2,88778 2,64871 ,86170 1,19417 ,95003 2,49779

,242 ,253 ,472 ,316 ,246 ,178

,179 ,121 ,472 ,263 ,201 ,152

-,242 -,253 -,291 -,316 -,246 -,178 1,494 1,558 2,909 1,946 1,516 1,096

,023 ,016 ,000 ,001 ,020 ,181

N

Mean Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

pengetahuan sikap pelatihan

ketersediaan fasilitas & APD kebijakan rumah sakit pencegahan risiko tertular hepatitis B

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.

pengetahuan * pencegahan risiko tertular hepatitis B

Crosstab

27 9 36

75,0% 25,0% 100,0%

96,4% 90,0% 94,7%

71,1% 23,7% 94,7%

1 1 2

50,0% 50,0% 100,0%

3,6% 10,0% 5,3%

2,6% 2,6% 5,3%

28 10 38

73,7% 26,3% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

73,7% 26,3% 100,0% Count

% within pengetahuan % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within pengetahuan % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within pengetahuan % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

baik sedang pengetahuan Total baik sedang pencegahan risiko tertular hepatitis B

Total

sikap * pencegahan risiko tertular hepatitis B

Crosstab

26 9 35

74,3% 25,7% 100,0%

92,9% 90,0% 92,1%

68,4% 23,7% 92,1%

2 1 3

66,7% 33,3% 100,0%

7,1% 10,0% 7,9%

5,3% 2,6% 7,9%

28 10 38

73,7% 26,3% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 73,7% 26,3% 100,0% Count

% within sikap % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count % within sikap % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count % within sikap % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

baik sedang sikap Total baik sedang pencegahan risiko tertular hepatitis B


(4)

pelatihan * pencegahan risiko tertular hepatitis B

Crosstab

7 2 9

77,8% 22,2% 100,0%

25,0% 20,0% 23,7%

18,4% 5,3% 23,7%

21 8 29

72,4% 27,6% 100,0%

75,0% 80,0% 76,3%

55,3% 21,1% 76,3%

28 10 38

73,7% 26,3% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

73,7% 26,3% 100,0%

Count

% within pelatihan % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within pelatihan % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within pelatihan % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

sedang

kurang pelatihan

Total

baik sedang

pencegahan risiko tertular hepatitis B

Total

ketersediaan fasilitas & APD * pencegahan risiko tertular hepatitis B

Crosstab

26 6 32

81,3% 18,8% 100,0%

92,9% 60,0% 84,2%

68,4% 15,8% 84,2%

2 4 6

33,3% 66,7% 100,0%

7,1% 40,0% 15,8%

5,3% 10,5% 15,8%

28 10 38

73,7% 26,3% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0% 73,7% 26,3% 100,0% Count

% within ketersediaan fasilitas & APD % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within ketersediaan fasilitas & APD % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within ketersediaan fasilitas & APD % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

baik

sedang ketersediaan fasilitas

& APD

Total

baik sedang pencegahan risiko tertular hepatitis B


(5)

kebijakan rumah sakit * pencegahan risiko tertular hepatitis B

Crosstab

25 6 31

80,6% 19,4% 100,0% 89,3% 60,0% 81,6% 65,8% 15,8% 81,6%

3 4 7

42,9% 57,1% 100,0% 10,7% 40,0% 18,4%

7,9% 10,5% 18,4%

28 10 38

73,7% 26,3% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 73,7% 26,3% 100,0% Count

% within kebijakan rumah sakit % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within kebijakan rumah sakit % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

Count

% within kebijakan rumah sakit % within pencegahan risiko tertular hepatitis B % of Total

sedang

kurang kebijakan rumah

sakit

Total

baik sedang pencegahan risiko tertular hepatitis B

Total

Correlations

1,000 ,368* ,131 ,221 -,112 ,127

. ,023 ,432 ,182 ,503 ,448

38 38 38 38 38 38

,368* 1,000 ,163 ,141 ,113 ,047

,023 . ,328 ,399 ,501 ,781

38 38 38 38 38 38

,131 ,163 1,000 -,098 ,265 ,052

,432 ,328 . ,557 ,108 ,757

38 38 38 38 38 38

,221 ,141 -,098 1,000 -,020 ,397*

,182 ,399 ,557 . ,907 ,014

38 38 38 38 38 38

-,112 ,113 ,265 -,020 1,000 ,333*

,503 ,501 ,108 ,907 . ,041

38 38 38 38 38 38

,127 ,047 ,052 ,397* ,333* 1,000

,448 ,781 ,757 ,014 ,041 .

38 38 38 38 38 38

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N

pengetahuan sikap pelatihan

ketersediaan fasilitas & APD

kebijakan rumah sakit pencegahan risiko tertular hepatitis B Spearman's rho

pengetahuan sikap pelatihan

ketersediaan fasilitas &

APD

kebijakan rumah sakit

pencegahan risiko tertular hepatitis B

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.


(6)