BIBLIOGRAFI TEKS DAN ANALISIS TEKSTUAL PENUTUP

Penyingkapan tidak meninggalkan apa- apa selain “jejak”. Yang tersisa adalah jejak yang terus menunda kehadiran. Namun pada saat yang sama juga menunda penyingkapan sang ada dengan kelupaan-kelupaan yang baru. Sejarah ontologi dan metafisika, dengan demikian, adalah sejarah pergulatan tanpa henti untuk menyingkapkan ada dan melupakannya. Dalam membangun konsep tersebut Heidegger menggunakan metode fenomenologi yang pada akhirnya menyebabkan dia mengalami kebuntuan dalam penyingkapan sang ada. Derrida, yang melihat ikhtiar Heidegger yang hendak membongkar struktur dasar metafisika barat, melakukan penyempurnaan atas konsep destruksi. Derrida memberikan sentuhan radikalnya yang membuat konsep buatannya tidak hanya selesai pada tahap pembongkaran metafisika saja, melainkan melangkah lebih jauh hingga tataran penggugatan ontologi itu sendiri. Bersama dekonstruksi, Derrida tidak hanya berhenti pada mengkritik, tetapi merombak dan mencari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam bangunan metafisika lalu membiarkannya centang-perenang dan tidak memungkinkannya untuk dibangun kembali. 12 Lebih lanjut dekonstruksi merelatifkan bahkan menihilkan segala unsur penting yang membentuk pandangan-dunia, seperti diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, metafisika. Namun yang harus digarisbawahi adalah Derrida tidak menuju nihilisme, yang ia lakukan adalah melakukan pembelaan terhadap bahasa lain dalam teks. 13 Dengan mempersoalkan struktur metafisika yang membangun sebuah wacana, dekonstruksi mengambil porsi teoritiknya sebagai sebuah kritik atas 12 Ibid., h. 21. 13 Ibid., h. 15. metafisika. Mengacu kepada pengertian yang diberikan Derrida, metafisika adalah segala bentuk pemikiran yang memahami realitas berdasarkan pengandaian sang Ada sebagai kehadiran being as presence. Derrida melihat di dalam metafisika tradisional terkandung makna asal-usul archia dan tujuan telos, yang keduanya ditolak olehnya dalam rangka membendung logosentrisme yang senantiasa melihat sejarah secara linear, seolah-olah semuanya terjadi secara alamiah. Archia diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya. Sedangkan telos, digambarkan sebagai titik akhir dari segala proses pencapaian. Menurut Derrida, pengandaian yang coba dihadirkan metafisika terlihat jelas dalam sejarah pemikiran Barat, yang sedari awal berkeinginan untuk mendapatkan kebenaran yang tunggal, pasti, dan tak terbantahkan. Dalam metafisika Barat, watak realitas dimaknai sebagai kehadiran dalam substansi, esensi, eksistensi, kesadaran, subjek, manusia, roh, Tuhan, yang dinilai berkaitan dengan logos. Dengan mendekonstruksi kedua konsep tersebut, Derrida menolak adanya realitas onto-teologis yang mendasari seluruh bangunan epistemologis filsafatmetafisika barat. Derrida, yang menjadikan dekonstruksi sebagai alat untuk melucuti logosentrisme, menciptakan sebuah teknik guna membendung laju logosenterisme barat. Teknik yang menjadikan filsafat sebagai tulisan. Derrida melakukan ini dengan semangat untuk meniadakan struktur dasar logosentrisme. Logosentrisme memiliki kecenderungan metafisis untuk mengukuhkan kebenaran absolut dalam bahasa atau fenomena. Ini merupakan inti dari proyek dekonstruksi, sebab dengan