Deskripsi Bibliografis Teks Dekonstruksi Wacana Censorship Pada Teks Antologi Kepustakawanan Indonesia

memiliki visi kepustakawanan yang ulung. BS berkeyakinan bahwa Indonesia harus memiliki konsep kepustakawanannya sendiri. Tak heran, disetiap kesempatan, penulis sering membawakan materi tentang kepustakawanan versi Indonesia. Sehingga kerabat di sekeliling BS yang kagum dengan kapasitasnya berusaha mendorong upaya penerbitan naskah-naskah tertulis yang ia buat dan pendapat lisan dalam bentuk buku. Upaya ini dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan literatur dunia perpustakaan yang pada saat itu masih minim jumlahnya. Teks AKI diterbitkan melalui kerjasama penerbit Sagung Seto dan organisasi profesi Ikatan Pustakawan Indonesia. Sebuah organisasi tempat penulis berkumpul dengan teman sejawat untuk bertukar pikiran. Melalui organisasi ini juga penulis berusaha mengimplementasikan konsep-konsep keindonesiaan dalam bidang perpustakaan. B. Analisis Tekstual Fenomena Censorship Gagasan censorship yang dibangun oleh teks AKI menggunakan instrumen teoritis berupa Intellectual Capital IC atau Modal Intelektual MI. MI , menurut Roos 2007 dalam Blasius Sudarsono, adalah “aset yang berguna yang dimiliki sumberdaya manusia dalam mengelola perusahaan atau organisasi.” 30 Teks AKI menjabarkan posisi MI sebagai aset tersembunyi yang terpenting berfungsi menjaga kelangsungan hidup perusahaan atau organisasi. Aset ini tersembunyi karena tidak pernah muncul dalam lembar neraca perusahaan. 31 Teks AKI mengkorelasikan konsep “MI” sebagai sebuah modal yang mengandung nilai “pengetahuan” didalamnya. 32 Peneliti berasumsi, korelasi yang tercipta di dalam teks AKI merupakan salah satu bentuk modal dalam menjalankan kehidupan seorang individu. MI adalah sebuah konsep yang biasa diterapkan dalam dunia ekonomi manajemen. Konsep ini dipergunakan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki seorang individu. MI dianggap sebagai sumber daya berupa pengetahuan dengan nilai yang potensial dan dapat ditransformasikan menjadi sesuatu yang bernilai bagi perusahaan. Individu dalam perusahaan harus mendapat manfaat dari ketersediaan sarana untuk mampu mengembangkan komunikasi dan hubungan yang berguna bagi penerapan 30 Blasius Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia Jakarta: Ikatan Pustakawan Indonesia, 2006, h. 391. 31 Ibid. 32 Ibid., h. 392. pengetahuannya. Perusahaan yang berhasil mendongkrak pengetahuan yang dimiliki karyawan pada akhirnya akan mampu menaikkan aset perusahaan, karena didalam MI tidak hanya mencakup pengetahuan, namun juga keterampilan, hubungan dengan konsumen, dan proses lainnya. Dengan demikian, sintesa dari MI yang dapat diambil adalah modal berbasis pengetahuan yang terdapat pada setiap diri individu yang digunakan untuk meningkatkan taraf hidup individu tersebut. Representasi dari asumsi tersebut dapat dianalogikan sebagai berikut, sebuah perusahaan start-up yang bergerak di bidang penjualan barang online sedang membutuhkan dana segar untuk pengembangan usaha. Perusahaan ini memiliki karyawan dengan kualifikasi penguasaan pengetahuan teknologi informasi yang mumpuni sehingga grafik penjualan perusahaan cenderung meningkat setiap bulannya. Selain personal skill karyawan yang dimiliki cukup bagus, perusahaan tersebut juga menyediakan beberapa fasilitas penunjang kerja di kantor mereka. Fasilitas yang disediakan memungkinkan karyawan untuk dapat mengembangkan inovasi, kreatifitas, dan keterampilan sehingga terwujud harmonisasi suasana kerja yang kondusif. Dengan segala sarana dan aset yang dimiliki perusahaan tersebut investor cenderung akan memilih perusahaan yang memiliki sumber daya dan MI yang lebih mapan dibanding dengan perusahaan yang pencapaian sumber daya rendah. Harga yang dibayar oleh investor tersebut mencerminkan nilai perusahaan. Sehingga bisa diambil kesimpulan modal intelektual memiliki pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup suatu entitas, dalam hal ini perusahaan. Asumsi peneliti tentang peranan MI terhadap kelangsungan hidup sebuah entitas bukan sekedar gambaran imajiner belaka. Peneliti mendapatkan temuan yang mengungkapkan fakta bahwa MI memiliki pengaruh signifikan terhadap terhadap kinerja suatu perusahaan. 33 Korelasi yang dapat dibangun kemudian adalah, ketika kelangsungan hidup perusahaan berhasil dijamin maka dengan sendirinya kelangsungan hidup dari sumber daya manusia yang terlibat dalam perusahaan tersebut juga akan terangkat, hal ini merupakan implikasi langsung dari kondisi keuangan perusahaan yang masuk dalam tren positif. Manusia sebagai sebuah entitas pada dasarnya, secara teoritis, memiliki Modal Intelektual. Realitas ini berdasarkan pengalaman- pengalaman empiris yang ia dapatkan selama hidupnya. MI ini pula yang kemudian digunakan sebagai sumber daya untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Salah satu sumber manusia untuk mendapatkan MI ialah dari perpustakaan. Perpustakaan adalah institusi yang menyimpan dan menyebarluaskan informasi. Sementara informasi itu sendiri adalah modal yang dibutuhkan manusia, namun sifat alamiah dari informasi membuatnya menjadi statis jika tidak mendapat sentuhan dari manusia. Diperlukan campur tangan manusia untuk bisa menggerakkan informasi sehingga 33 Niswah Baroroh, “Analisis Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur di Indonesia”, Jurnal Dinamika Akuntansi, Vol. 5, No. 2, September 2013: h. 172-182. bertransformasi menjadi sebuah modal. Dengan kata lain, informasi adalah MI yang masih berbentuk pasif. Informasi pasif tersebut yang kemudian menjadi suber daya untuk mengisi MI setiap individu. Informasi sebagai sumber daya bagi MI merupakan satu kesatuan objek yang tak dapat dipisahkan. Dengan kedekatan yang dimiliki keduanya membuka peluang untuk menjadikan perpustakaan sebagai sumber beredarnya MI. Asumsi dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan kerangka logika tersebut adalah informasi sebagai entitas yang dibutuhkan oleh individu merupakan objek simpan dari perpustakaan. Selain itu gagasan teoritis dari perpustakaan mengacu pada akselerasi pembaharuan bahan informasi yang dimilikinya setiap saat. Dengan aspek fungsionalnya tersebut ketersediaan informasi pasif di perpustakaan adalah sebuah keniscayaan. Sehingga kemungkinan besar perpustakaan akan menjadi destinasi intelektual bagi individu yang hendak memenuhi MI mereka. Asumsi ini diperkuat dengan sebuah premis yang menyatakan bahwa manusia selalu memiliki kecenderungan untuk memutakhirkan materi informasi yang ia miliki. Gagasan filosofis yang dikandung oleh MI memberikan presensi yang kuat kepada “informasi” untuk dapat dijadikan sebagai “modal” bagi individu. Dengan demikian, informasi merupakan entitas yang krusial dalam rangka pemenuhan aset intelektual bagi seorang individu. Aset ini yang kemudian digunakan untuk mengembangkan diri individu. MI, pada prinsipnya, telah menjadi keniscayaan untuk bisa diperoleh dengan berbagai cara dalam setiap kehidupan individu. Momen pencarian MI bagi setiap individu dapat ditemukan pada institusi seperti perpustakaan, dimana landasan teoritis keberadaan perpustakaan itu sendiri merupakan organisasi yang menyuplai kebutuhan informasi masyarakat. Melalui tugas tersebut beragam informasi menjadi objek simpan perpustakaan untuk bisa dimanfaatkan manakala informasi dibutuhkan. Dalam menjalankan perannya tersebut, perpustakaan menempatkan pustakawan sebagai regulator. Pustakawan memiliki andil besar terhadap ketersediaan informasi bagi pemustaka. Dalam sudut pandang ilmu perpustakaan, dikenal kaidah-kaidah yang mengatur urusan penyimpanan informasi. Kaidah ini mengatur proporsisi setiap bahan pustaka harus dilakukan sensor karena alasan keuangan dan faktor nilai. Legitimasi censorship atas dasar pendanaan tertuang dalam teks AKI sebagai berikut, “pemikiran ini muncul karena keadaan yang memaksa untuk tetap menjaga kelangsungan hidup, karena begitu terbatasnya dana untuk pengadaan informasi pada wakt u sekarang.” 34 Sementara faktor nilai yang menjadi elemen sensor tercermin melalui kebenaran umum dan isu yang berkembang di tataran ilmu perpustakaan. Stigmatisasi ini yang kemudian membentuk jiwa censorship pustakawan karena sampai sekarang belum ada pembaharuan keilmuan yang mampu memberikan jawaban atas tantangan censorship ini. Stigma tersebut terus berjalan dalam ranah 34 Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia, h. 396. keilmuan yang telah tertanam selama bertahun-tahun dan menjadi sebuah dogma. Sehingga pada akhirnya, dogma tersebut membentuk sikap ortodoks pustakawan yang tidak merasa bersalah secara psikologis dalam fenomena censorship. Dalam kesehariannya, perpustakaan menjadi institusi penyedia informasi bagi masyarakat. Beragam informasi yang menjadi kebutuhan masyarakat merupakan kewajiban untuk disediakan kepada pengunjung perpustakaan. Tugas penyediaan informasi di perpustakaan berada di bagian akuisisi atau pengadaan. Melalui kegiatan akuisisi, perpustakaan berusaha menghadirkan berbagai jenis informasi untuk dikonsumsi para pemustaka. Selain itu pelaksanaan pengembangan koleksi bahan pustaka collection development juga menjadi tanggung jawab pustakawan akuisisi. Peneliti berasumsi pada fase seleksi bahan pustaka – yang menjadi bagian tugas dari pengembangan koleksi – pustakawan mendapatkan kuasa berlebih terhadap penentuan kualitas suatu informasi untuk dibeli dan diadakan sebagai koleksi. Pada tahap inilah peneliti menduga telah terjadi kegiatan censorship yang dilakukan pustakawan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Karena pada tahap seleksi ini pustakawan tidak pernah memiliki indikator yang mengatakan bahwa suatu bahan informasi berkualitas atau tidak. Namun sisi paradoksnya adalah, pustakawan mengaplikasikan paradigma yang menyatakan bahwa pustakawan memiliki wewenang untuk mengambil pilihan terhadap bahan informasi mana yang pantas untuk dijadikan koleksi. Sehingga, pada fase ini telah terjadi pembatasan kebebasan informasi di perpustakaan. Pembatasan ini berasal dari keberpihakan pustakawan terhadap bahan informasi yang menurutnya bagus atau menarik untuk dijadikan koleksi. Pada tataran ini instrumen yang bermain adalah subjektifitas pustakawan, hal tersebut terjadi karena manusia memiliki nurani untuk menentukan pilihan berdasarkan yang ia rasa sesuai dengan pengalaman empiris yang ia dapatkan selama hidupnya. Persoalan pandangan ideologis, pandangan keyakinan, pandangan sosial, adalah segelintir aspek yang kemungkinan besar menjadi pengaruh bagi pustakawan dalam menyeleksi informasi pasif. Sifat humanistik tersebut yang kemudian menjadi pemicu timbulnya censorship yang bias di perpustakaan. Ketika permasalahan subjektifitas pustakawan dilihat sebagai gejala naluriah dari perjalanan empiris seseorang, Sigmund Freud menjelaskan pandangannya tentang psikoanalisis sebagai berikut: “psikoanalisis merupakan suatu pandangan baru tentang manusia, dimana ketidaksadaran memainkan peran sentral. Pandangan ini mempunyai relevansi praktis, karena dapat digunakan dalam mengobati pasien-pasien yang mengalami gangguan psikis”. 35 Dengan menggunakan gagasan Sigmund Freud dapat memperkuat dugaan peneliti dalam usaha menyatakan telah terjadi aktivitas censorship di lembaga informasi perpustakaan. Karena terdapat kata “ketidaksadaran” 35 K. Bertens, ed., Psikoanalisis Sigmund Freud Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, h. 3. yang bisa menjadi penentu tingkah laku seseorang. Dalam perspektif Freud manusia mempunyai kehidupan psikis yang telah ditentukan, dalam arti tidak ada suatu kejadian pun yang terjadi secara kebetulan dan sembarang. Susunan hidup psikis manusia berlandaskan pada ingatan, proses-proses intelektual. 36 Hasil sintesa perspektif Freud mengenai psikoanalisis dapat disimpulkan bahwa subjektifitas pustakawan menjadi pendorong terjadinya censorship di perpustakaan. Gejala ini terjadi lantaran pengalaman humanis seseorang memiliki sifat yang pasif karena beroperasi di alam bawah sadar manusia. Dengan kata lain, sisi psikis bawah sadar pustakawan yang dipengaruhi oleh memori masa lampau telah menjadi penggerak kualitas MI seseorang. Menurut Freud yang menjadi kunci atas sebuah peristiwa adalah fungsi ingatan manusia yang dikuasai oleh prinsip realitas, seperti yang tampak dalam pemikiran objektif. Sebagai gambaran praksis, peneliti akan memberikan cuplikan dari aktivitas seleksi bahan pustaka. Seorang pustakawan yang menganut ajaran Islam bekerja di sebuah perpustakaan. Suatu saat ia hendak melakukan kegiatan pengadaan bahan pustaka. Ketika pustakawan ditugaskan untuk menentukan bahan informasi mana yang akan di akuisisi, pustakawan yang seorang muslim tadi menemukan pilihan yang sedemikian beragam untuk tema-tema informasi yang hendak dibelinya. Atas dasar keyakinan yang ia percaya selama ini dan rasa kesukaannya terhadap topik bacaan yang sesuai dengan kepercayaannya, pustakawaan 36 Ibid., h. 35. muslim tersebut akan memiliki kecenderungan untuk memilih bahan informasi yang isinya membahas tentang topik-topik islami. Paling tidak ia akan memilih penulis yang juga seorang muslim. Karena dari kacamata pustakawan tersebut, bahan informasi islami terlihat lebih bagus dan memiliki nilai-nilai yang lebih baik untuk dibaca pemustaka dibanding bahan informasi non islami. Tendensi pustakawan tersebut akan mengarahkan komposisi koleksi perpustakaan ke arah yang monoton bagi pemustaka. Pada akhirnya sumber informasi yang berada di perpustakaan akan mengerucut pada tema-tema yang pustakawan akuisisi tadi inginkan. Usaha yang peneliti refleksikan di atas terjadi di lingkungan perpustakaan dengan klasifikasi jenis perpustakaan khusus. Dalam kasus ini peneliti memberikan perhatian khusus pada fungsi perpustakaan masjid. Secara filosofis masjid yang merupakan tempat beribadah, secara kultural bisa dijadikan pusat berkegiatan umat muslim. Mulai dari kajian islami, dakwah, hingga kegiatan seni islami. Sehingga masjid umumnya juga menjadi pilihan bagi ummat untuk berinteraksi dengan sesamanya. Untuk menunjang berbagai kegiatan tersebut maka dibutuhkan perpustakaan guna memenuhi kebutuhan informasi ummat yang sedang berkegiatan di masjid. Keberadaan perpustakaan ini mungkin juga menjadi tujuan individu yang tidak bermaksud berkegiatan di masjid, dalam artian individu tersebut memang bermaksud untuk datang ke perpustakaan masjid. Secara esensial perpustakaan masjid memang bertugas memenuhi kebutuhan informasi jama’ah di masjid tempat ia bernaung. Peneliti berasumsi, dengan keberadaan perpustakaan di tengah komunitas pemeluk agama Islam, varietas bahan pustaka yang tersedia pun akan terarah pada koleksi yang membahas Islam saja. Adapun bahan informasi yang berisi tentang ajaran kepercayaan lain akan mengalami censor. Namun, gagasan teoritis perpustakaan sebagai lembaga penyimpan informasi membuka peluang bagi pengunjung perpustakaan masjid untuk mencari bahan informasi diluar agama Islam. Hal ini sangat mungkin terjadi seandainya ada seorang pemustaka yang beragama Islam sedang datang ke masjid untuk melakukan suatu kegiatan, kemudian ia hendak mencari informasi tentang agama-agama lain. Karena tidak menutup kemungkinan juga bahwa akan ada pemustaka yang hendak melakukan studi komparatif antara Islam terhadap kepercayaan-kepercayaan lainnya. Fenomena censorship ini sejatinya hanya akan menjadi bayang- bayang dalam diri pustakawan, karena pada fenomena ini pustakawan tidak bisa membuktikan bahwa apa yang ia lakukan bukanlah sebuah bentuk censorship – pada contoh kasus pustakawan muslim di atas. Dalam diri pustakawan akan memandang apa yang ia lakukan sebagai sebuah aktivitas yang memang merupakan Standard Operational Procedure SOP di instansi perpustakaan. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Georg Simmel ditemukan fakta bahwa manusia pasti melakukan kebohongan. Simmel menjelaskan fakta tersebut dalam konsep “kerahasiaan” yang ia kembangkan. Dasar pemikiran tentang kerahasiaan berawal dari pemikiran tentang interaksi sosial karena anggapan Simmel, untuk dapat berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti harus tahu sesuatu tentang orang lain tersebut agar bisa berinteraksi. Akan tetapi pengetahuan tentang objek dari orang lain tersebut bisa saja berbeda karena orang lain dapat memilih untuk berbohong, yaitu menyembunyikan kebenaran tentang mereka. 37 Dalam fenomena censorship, konteks kebohongan bisa terjadi ketika pustakawan dikonfrontasikan tentang kemungkinan terjadinya censorship pada proses penyeleksian dengan sikap subjektif yang dilakukannya ketika fase penyeleksian seperti yang sudah peneliti gambarkan sebelumnya. Dalam kesimpulannya, Simmel mengatakan “dalam kondisi modern, dusta menjadi sesuatu yang jauh lebih merusak daripada sebelumnya, sesuatu yang akan mengguncang la ndasan kehidupan kita.” 38 Fenomena yang terjadi pada momen censorship merefleksikan kerancuan yang terjadi di tubuh perpustakaan. Dengan menggunakan asumsi yang sudah peneliti bangun – perpustakaan menyimpan informasi atau “modal” dalam bentuk pasif – sebagai landasan berpikir, maka akan memungkinkan untuk ditarik hipotesis lainnya yaitu perpustakaan memiliki potensi untuk mendikte kualitas MI seseorang. Hal ini diperkuat dengan fenomena censorship aktif yang secara sengaja dilakukan pustakawan. Pada contoh kasus Perpustakaan Nasional Republik Indonesia terdapat jenis koleksi yang dikhususkan. Koleksi tersebut merupakan koleksi yang secara 37 Sapto Aji Nugroho, “Novel L’Assommoir Karya Emile Zola: Sebuah Kajian Sosiologi Mikro Georg Simmel ”, Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2013, h. 29. 38 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial PostModern Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010, h. 200. khusus disimpan perpustakaan namun akses atas koleksi tersebut dibatasi. Koleksi khusus tetap menjadi objek simpan perpustakaan, namun pemustaka yang bisa mengaksesnya hanya pemustaka yang mempunyai kepentingan penelitian dan pendidikan. Kategorisasi atas koleksi ini adalah informasi yang dilarang peredarannya berdasarkan acuan hukum yang berlaku. Dengan penerapan konsep koleksi khusus yang demikian, maka pemustaka yang sedang tidak memiliki kepentingan penelitian dan pendidikan tidak bisa mengakses informasi pasif tersebut. Pembatasan akses semacam ini akan mempersempit ruang eksplorasi individu yang hendak memenuhi kebutuhan MI mereka di perpustakaan.

C. Analisis Dekonstruktif Terhadap Fenomena Censorship Menurut Teks

AKI Gagasan pertama censorship dan pembatasan akses dalam perspektif teks AKI dapat ditemukan dalam bab tujuh belas: “Fenomena ini perlu diketengahkan, karena pola publikasi elektronik memungkinkan meledaknya informasi di internet. Apabila kebijakan akusisi bahan pustaka dilakukan secara benar, kontrol kualitas informasi terhadap terbitan elektronis yang tersedia di internet, tidak perlu menjadi kendala bagi pengembangan koleksi perpustakaan”. 39 Definisi yang dikemukakan oleh teks AKI di atas menjadikan fenomena publikasi elektronik sebagai pembenaran bahwa untuk pengembangan koleksi perpustakaan yang baik diperlukan kegiatan penyeleksian yang ketat. “Fenomena yang perlu diketengahkan” yang 39 Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia, h. 89. dimaksudkan oleh teks adalah terbitan elektronik yang beredar di dunia maya. Berdasarkan penalaran teks AKI, terbitan elektronik akan memiliki ekses “meledaknya informasi”. Dengan demikian hasil interpretasi dari logika teks AKI adalah, ledakan informasi merupakan gejala sosial yang membutuhkan penanganan serius guna pengembangan koleksi perpustakaan yang lebih baik. Sehingga logika teks memberikan konsentrasi pemaknaan pada terbitan elektronik sebagai langkah untuk menaikkan peluang pustakawan untuk melakukan usaha censorship melalui aktivitas kontrol kualitas. Usaha pembatasan ini semakin kuat ketika teks menjamin penyeleksian memiliki pengaruh terhadap kualitas informasi pasif. Di dalam perspektif dekonstruksi dikenal konsep differance yang berarti penundaan. Dalam menghadapi susunan logika teks AKI, peneliti akan mencoba mempraktikkan konsep differance. Teks AKI mencoba membentuk sebuah persepsi bahwa praktik censorship di perpustakaan bisa dilakukan ketika keberadaan terbitan elektronik di internet menjadi kian tak terbendung. Praktik censorship terhadap terbitan elektronik tersebut dilaksanakan melalui mekanisme kontrol kualitas. Tawaran mekanisme ini muncul ketika ada fenomena yang menjadi konsekuensinya. Pada kasus ini, teks AKI mencoba mengetengahkan fenomena ledakan informasi sebagai landasan argumentasi. Teks AKI menganggap ledakan informasi adalah fenomena yang harus segera ditanggulangi keadaannya. Hal demikian memberikan kesan kepada pembaca bahwa peredaran informasi yang variatif adalah sebuah keadaan yang tidak menguntungkan bagi umat manusia. Teks AKI memberikan sebuah logika konstrukstif yang mengatakan bahwa “publikasi elektronik adalah kemungkinan penyebab terjadinya ledakan informasi di internet.” 40 Logika tersebut merupakan hasil interpretasi peneliti terhadap argumentasi yang disusun oleh teks. Terdapat tiga frasa yang menjadi perhatian peneliti; pertama yaitu “publikasi elektronik” sebagai subjek dari peristiwa tekstual. Kedua, “ledakan informasi” sebagai peristiwa yang menjadi sorotan. Dan ketiga adalah “internet” sebagai media terjadinya peristiwa. Publikasi elektronik dalam sudut pandang ilmu perpustakaan merupakan sumber informasi yang tidak tercetak. Sehingga ketika seseorang ingin menyerap kandungan informasi dari publikasi elektronik dibutuhkan bantuan perkakas elektronik semisal komputer. Sedangkan ledakan informasi secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana jumlah informasi yang beredar sudah melebihi kapasitas yang seharusnya. 41 Kondisi tersebut secara kuantitas dianggap sudah tidak bisa lagi ditampung oleh pikiran manusia dan ruang sosialnya. Sementara itu pengetahuan umum atas internet adalah sebuah tempat peredaran informasi yang sangat luas dan tak mengenal batas. Ada banyak informasi yang bisa dihimpun ketika kita membuka internet. 40 Ibid., h. 89. 41 Ardoni, “Teknologi Informasi: Kesiapan Pustakawan memanfaatkannya”, Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan Informasi, Vol. 1, No. 2, Desember 2005: h. 32. Akan tetapi ketika dibuka standar pemaknaan yang lebih luas dan lebih radikal dari yang ditawarkan oleh teks AKI, maka akan ditemukan penafsiran lain dari logika yang dikonstruksikan oleh teks AKI. Pertama, publikasi elektronik adalah sumber informasi yang tidak berwujud atau yang sering disebut soft file. Dikarenakan wujudnya yang tidak terlihat, maka publikasi elektronik bisa ditafsirkan sebagai postingan facebook seseorang. Atau bisa juga sebagai sinyal radio yang berisi percakapan dari penyiar stasiun radio. Hal tersebut dikarenakan postingan facebook dan sinyal radio adalah dua hal yang sama-sama disebarluaskan publikasi, sehingga orang lain dapat mengetahui kandungan informasinya melalui alat bantu elektronik. Hasil penafsiran dari refleksi publikasi elektronik adalah bagaimana mungkin kumpulan sinyal radio bisa menyebabkan ledakan informasi. Kedua, ledakan informasi dalam hemat peneliti merupakan fenomena yang memiliki makna ganda. Kata “ledakan” dalam teks AKI merupakan fenomena sosial yang memiliki sifat jamak. Ledakan bisa bersifat menghancurkan dan meningkatkan. Ketika standar pemaknaan yang digunakan adalah “menghancurkan”, maka secara esensi ledakan informasi akan berdampak langsung kepada kehancuran masyarakat. Fenomena tersebut berlandaskan pada fakta empiris bahwasannya setiap manusia pasti mengkonsumsi informasi untuk menjalankan sendi-sendi kehidupannya MI. Sehingga ketika dilakukan penafsiran ulang atas logika yang dibangun oleh teks, maka makna yang muncul adalah “publikasi eletronik akan