menyingkap sang Ada dan membuka dirinya terhadap dunia.
18
Dengan kata lain, menafsirkan adalah sebuah upaya yang semata-mata bukan dilakukan
melalui daya pikiran, melainkan juga melalui fase tuturan. Tetapi Heidegger juga menuntut kita untuk mengerahkan kesadaran penuh yang kita miliki
untuk bergerak dengan mengikutsertakan segenap eksistensi. Sedangkan Derrida lebih radikal lagi dalam menafsirkan Sans Savoir.
Derrida berargumentasi bahwa epistemologis dari sang Ada telah sampai pada batasnya. Dengan demikian, pemaknaan atas sebuah teks menjadi
sedemikian luasnya. Pada titik ini, penafsir dibawa ke lorong gelap berisi perbedaan yang terus menunda untuk menemukan akhir dari tafsirannya itu.
Dalam rangkaian proses yang tak berbatas ini, penafsiran selalu berupa penghampiran terus-menerus atas kebenaran yang tidak pernah sampai pada
totalitasnya. Sans voir – tidak melihat – konsep yang berikut ini
menggambarkan keterbatasan indera yang kita miliki dalam melihat kebenaran. Dari sana, ada hasrat yang muncul untuk menghormati
perbedaan dan yang lain agar tetap terjaga dari sinisnya pandangan individu-individu. Kemudian muncullah sikap segan akan differance dan
sebuah sikap yang membiarkan wajah yang lain menatap kita. Pada ketegangan ini penglihatan kita seakan lumpuh dan pada akhirnya membuat
kita terpental ke jurang yang tak memliki dasar. Akibatnya, seorang penafsir tidak mungkin membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang
18
Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju ‘Sein und Zeit’
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, h. 73.
rigor. Penafsiran pun membiak dan mereproduksi teks-teks baru yang tidak akan usai.
Sans avoir – tidak memiliki – adalah pemberhentian terakhir atas skema pembacaan dekonstruksi. Pada tahap ini, kebenaran terdegradasi dari
singgasananya. Sehingga menjadikan kebenaran itu sendiri tak lagi menjadi milik penafsir seorang, melainkan berlarian ke penafsiran-penafsiran lain
yang berbeda. Gugurnya penguasa teks yang pada awalnya dipegang oleh pengarang adalah fenomena yang terjadi pada konsep ini. Peristiwa
monumental yang terjadi pada fase ini adalah meleburnya garis demarkasi antara pengarang dan teksnya. Teks tidak lagi dibentuk oleh pengarang,
melainkan memiliki otonominya sendiri. Kemandirian teks berjalan seiring dengan perubahan penafsir dan pembaca. Tak ada lagi kepengarangan
authorship, yang ada hanyalah pengarang yang mati dan bunuh diri, atau bermetamorfosa menjadi penafsir.
Seperti yang dikemukakan Derrida bahwa dekonstruksi lebih merupakan strategi pembacaan daripada sebuah metode yang memiliki fondasi yang jelas dan
sistematis. Hal tersebut terlihat dari kata ecriture writing yang menunjuk pada proses yang tak berkesudahan dan selalu dalam keadaan menjadi serta bergerak
dinamis.
C. Rumusan Perspektif Dekonstruksi
1. Differance
Differance adalah sebuah kata dalam bahasa Prancis yang bila diucapkan, pelafalannya akan sama persis dengan kata difference. Ia berasal
dari kata differer, y ang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan”.
19
Padanan kata ini dibentuk sendiri oleh Derrida yang bermaksud melawan dominasi tuturan dalam metafisika.
Perbedaan antara “Differance” dan “Difference” hanya dapat diketahui melalui tulisan. Disinilah letak
keunggulan kata ini yang sekaligus membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang tuturan, sebagaimana yang diyakini Derrida. Diferrance
adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan- perbedaan, penjarakan spacing yang dengan cara tersebut unsur-unsur
dikaitkan satu sama lain. Konsep differance digunakan untuk melihat tanda-tanda, dalam artian
setiap tanda dimungkinan memliki makna yang ada pada tanda lainnya dalam semesta tanda. Melalui differance, Derrida hendak menunjukkan
ketidakmungkinan bagi upaya-upaya metafisis yang ingin menjadikan bahasa sebagai medan transparan yang dapat menghadirkan kembali realitas
secara utuh. Dengan kata lain, petanda selalu berfungsi sebagai sebuah penanda dalam sistem bahasa yang diproduksi secara bersamaan oleh
perbedaan antar-tanda yang bersifat pasif serta aktifitas penjarakan deffering yang berlangsung terus-menerus. Pun demikian dengan
differance, dekonstruksi hendak menggagalkan segala upaya metafisis untuk
19
Christopper Norris, Deconstruction: Teory and Practice. Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir Jogjakarta: AR-RUZZ, 2003, h. 11.
mengembalikan perbedaan-perbedaan dalam realitas yang pada akhirnya akan membuat teks kehilangan stabilitas yang dimilikinya.
Derrida berpandangan kata atau tanda saat ini tidak bisa lagi menghadirkan makna yang terkandung dalam teks secara seenaknya. Makna
harus ditelusuri melalui serangkaian tanda lain yang terhimpun dalam semesta tanda. Penelusuran ini akan membutuhkan waktu, karena itu proses
pemaknaan akan tertunda menunggu konteks lain yang perlu diciptakan. Untuk memahami differance maka harus ada dua elemen, dua anggota
dari suatu sistem tanda-tanda. Maria Hobson menggambarkan “Difference
is a term which, without being logical operation, acts as a ne gative”.
20
Penalaran selama ini tidak mampu menerima dua kebenaran sekaligus, oleh karena itu Maria Hobson memandang konsep dekonstruksi berada di luar
ruang lingkup penalaran yang selama ini berlaku untuk mencari kebenaran. Kebenaran adalah sebuah hubungan antara dua aspek yang dinilai saling
bertentangan. Sehingga dalam perspektif Maria Hobson, differance berlaku sebagai variabel yang memposisikan diri sebagai negatif untuk mengurangi
keabsolutan kebenaran tunggal. Sehingga dalam pemaparannya, differance menyajikan gagasan yang berfungsi sebagai oposisi dari gagasan yang
dikemukakan teks. Sehingga nantinya akan ditemukan dua gagasan yang saling melengkapi atau tanda yang sama namun dipindahkan dalam konsep
yang berbeda.
20
Marian Hobson, Jacques Derrida: Opening Lines London: Routledge, 1998, h. 9.
Istilah differance diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen- elemen pertandaan tak bermaksud non-intent yang merujuk pada wilayah
rasa sense tanpa melewati alam kesadaran. Logika Derrida sebenarnya sederhana saja, tapi punya daya rusak yang luar biasa. Kerusakan yang
Derrida ciptakan berada pada tataran konseptual yang mampu menggoyahkan kestabilan pemaknaan awal dari sebuah teks. Kekuatan
tersebut bersumber dari permainan bahasa yang Derrida sematkan kepada setiap teks yang menjadi objek kajiannya. Bahasa dapat memenuhi syarat-
syarat kehadiran makna, kalau dia bisa menyediakan akses total dan langsung ke dalam pikiran yang telah memberi kesempatan bagi bahasa agar
bisa dituturkan.
21
Dengan demikian, kemungkinan pemaknaan baru akan muncul dalam setiap strategi pembacaan dekonstruksi.
Derrida menolak memberikan pengertian, arti, dan definisi kepada differance. Karena differance bukanlah sesuatu yang merujuk pada isi,
content, atau referens tertentu. Differance adalah sebuah strategi permainan yang tidak direncanakan, ia hadir dengan tujuan untuk mengusik kestabilan
yang dimiliki teks kemudian memblejeti pengertian tunggal yang terbentuk karena hirarki oposisional di dalam teks. Differance adalah kehadiran
presence, tapi di sisi lain juga menjadi ketiadaan absence. Differance menjadi bayang-bayang bagi teks dengan kejutan-kejutan yang siap
ditawarkannya, posisinya berhasil membuat cemas karena telah membuat kita berpikir bahwa kita telah kehilangan makna. Selama ini kita berpikir
21
Norris, Deconstruction, h. 103.