Dekonstruksi Dekonstruksi Wacana Censorship Pada Teks Antologi Kepustakawanan Indonesia

metafisika. Mengacu kepada pengertian yang diberikan Derrida, metafisika adalah segala bentuk pemikiran yang memahami realitas berdasarkan pengandaian sang Ada sebagai kehadiran being as presence. Derrida melihat di dalam metafisika tradisional terkandung makna asal-usul archia dan tujuan telos, yang keduanya ditolak olehnya dalam rangka membendung logosentrisme yang senantiasa melihat sejarah secara linear, seolah-olah semuanya terjadi secara alamiah. Archia diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya. Sedangkan telos, digambarkan sebagai titik akhir dari segala proses pencapaian. Menurut Derrida, pengandaian yang coba dihadirkan metafisika terlihat jelas dalam sejarah pemikiran Barat, yang sedari awal berkeinginan untuk mendapatkan kebenaran yang tunggal, pasti, dan tak terbantahkan. Dalam metafisika Barat, watak realitas dimaknai sebagai kehadiran dalam substansi, esensi, eksistensi, kesadaran, subjek, manusia, roh, Tuhan, yang dinilai berkaitan dengan logos. Dengan mendekonstruksi kedua konsep tersebut, Derrida menolak adanya realitas onto-teologis yang mendasari seluruh bangunan epistemologis filsafatmetafisika barat. Derrida, yang menjadikan dekonstruksi sebagai alat untuk melucuti logosentrisme, menciptakan sebuah teknik guna membendung laju logosenterisme barat. Teknik yang menjadikan filsafat sebagai tulisan. Derrida melakukan ini dengan semangat untuk meniadakan struktur dasar logosentrisme. Logosentrisme memiliki kecenderungan metafisis untuk mengukuhkan kebenaran absolut dalam bahasa atau fenomena. Ini merupakan inti dari proyek dekonstruksi, sebab dengan meletakkan filsafat dalam kapasitasnya sebagai “tulisan”, konsep-konsep khas metafisika kehadiran, seperti subjek, pengarang, atau pusat, dengan sendirinya akan tiada. “Tulisan” yang dimaksudkan Derrida adalah teks yang tidak lagi memiliki referensi yang menjadi pusat dari struktur yang memiliki kemungkinan tak berhingga untuk dibaca dan ditafsirkan. Derrida membayangkan stabilitas dan koherensi makna ditunda dengan membuka celah bagi munculnya pemaknaan yang berbeda dari keinginan pengarang. 14 Derrida meyakini ketika “suatu kenyataan”, metafor dari tulisan, bisa saling bertautan dan bekerja tanpa dimediasi oleh subjek maka suatu teks akan mampu terurai dan otonom di dalam medan pemaknaan yang tak berbatas. Tulisan-tulisan Derrida tidak bisa diklasifikasikan menurut asumsi-asumsi yang selama ini dipandang dapat menentukan wacana akademis modern. Tulisan- tulisan tersebut dapat dikatakan sebagai “tulisan filsafat” selama ia memuat persoalan pemikiran, bahasa dan identitas serta tema-tema lainnya yang telah lama menjadi perdebatan filosofis. Teks-teks Derrida sangat berbeda dengan tulisan- tulisan filsafat modern pada umumnya, ia berusaha menantang seluruh tradisi dan pemahaman disiplin filsafat. Derrida menolak sebuah pendapat lama yang mengkonsepsikan filsafat sebagai “dirijen rasio” yang paling berkuasa. Selama ini para filosof bisa meneriakkan berbagai sistem pemikiran hanya dengan cara mengabaikan, merepresi dampak-dampak bahasa yang dirasa mengganggu. Oleh sebab itu, tujuan utama Derrida adalah untuk memperlihatkan dampak-dampak ini dengan cara melakukan pembacaan kritis yang akan memahami, dan sedapat 14 Ibid., h. 28. mungkin menggali, elemen-elemen metafor dan hal-hal figuratif lain yang terdapat di dalam teks-teks filosofis. Disinilah kemudian dekonstruksi menetukan posisinya. Ia bekerja sebagai bentuk sisa dari cara-cara dimana bahasa membelokkan atau mempersulit angan-angan para filosof. Bagi Derrida, tugas dekonstruksi adalah untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika barat. Sebuah ide yang mengatakan rasio bisa lepas bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. Pandangan dunia Derrida mempertunjukkan pertentangan modernisme yang muncul melalui sistem metafisika. Pertama, dia membaca teks-teks filsafat yang ditulis oleh para filsuf barat sejak era Pencerahan. Dari telaahnya Derrida berkesimpulan bahwa tradisi filsafat barat sepenuhnya didasarkan pada “logosentrisme” atau “metafisika kehadiran”. Secara ringkas Logosentrisme adalah sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transedental dibalik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal. 15 Dari telaahnya tadi Derrida kemudian menyuguhkan hasil perbandingannya atas pembacaan dan penafsiran teks-teks fislafat yang pada akh irnya menemukan “kontradiksi internal” yang bersembunyi di balik logika atau tuturan teks tersebut. Dalam teks-teks filsafat, logos direpresentasikan dengan “pengarang” author sebagai subjek yang memiliki kuasa atas makna yang hendak disampaikannya. Ini lah sebuah konsep pembacaan dekonstruktif yang diusung Derrida. 15 Ibid., h.16. Modernisme dalam sejarah perkembangannya mencoba membuat suatu rumusan yang tetap dan baku mengenai apa yang ada di dunia ini. Dalam perumusan yang jelas dan tepat mengenai apa yang ada di dunia ini. Rumusan ini harus steril dari hal-hal yang bersifat kabur, object oriented. Dalam istilah filsafat tindakan sterilisasi ini dikenal dengan proses abstraksi. Tujuan abstraksi adalah untuk mendapatkan gagasan yang benar-benar jelas dan dapat diverifikasi secara rasional dan logis. Alasan utama rasionalisasi menjadi landasan utama verifikasi kebenaran adalah karena rasionalisasi merupakan “denyut nadi” logosentrisme. Proses abstraksi tersebut bertujuan untuk membuat sebuah gagasan tunggal mengenai kebenaran yang bersifat universal. Konsep dasar dekonstruksi berbasiskan pada intertekstualitas yang mengusik kestabilan teks dengan membubuhinya dengan catatan kaki. Efek yang dihasilkan dari cara pembacaan ini adalah teks kehilangan otoritasnya sebagai sebuah karya tunggal, dan membuatnya koheren bersama karya-karya lain yang ikut dikomentarinya. Sehingga gaya pembacaan seperti ini menghasilkan penafsiran yang multitafsir dan menjadi sulit untuk didefinisikan. Bagi Derrida kebenaran itu bersifat relatif dan tidak bisa dikekang dalam penjara teks. Dekonstruksi memberikan kebebasan kepada pembaca untuk menafsirkan kebenaran terhadap teks. Karena kegemarannya dalam membaca teks secara dekonstruktivis, gaya berfilsafat Derrida terbilang unik lain dari pada yang lain. Tulisan-tulisannya bagaikan “benalu” karena menunggangi teks untuk mencari kelemahan yang tersamar di dalamnya. Nada sumbang ini muncul dari para aktor intelektual modernis yang beranggapan bahwa sebuah kebenaran bernilai absolut. Sementara itu dalam dekonstruksi diyakini bahwa teks memiliki pemaknaan yang teramat luas. Keyakinan ini lahir karena sifat dekonstruksi yang menyerahkan pemaknaan atas teks ke tangan pembaca. Chris Barker merumuskan dekonstruksi sebagai salah satu pilar postmodern yang menekankan pada kekhususan sosio-historis dan linguistik dari kebenaran. 16 Sehingga, pada tataran penafsiran atas sebuah permasalahan atau gagasan, seseorang berhak untuk menilai dan mendefinisikan permasalahan sesuai dengan kemampuannya dalam menginterpretasikan permasalahan sosial berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Melalui cara pembacaan dekonstruktivis, menjadikan medan makna dari teks akan selalu mengalami pergesaran dalam setiap lorong waktu dan konteks yang berbeda. Dalam kacamata dekonstruksi sebuah makna tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh pembaca. Daya tangkap pembaca terhadap teks tergantung dari penalaran si pembaca. Menurut Derrida kemanunggalan makna merupakan roh dari peradaban metafisika yang berdasarkan pada logosentrisme. Dalam pandangan Derrida, peradaban metafisika adalah peradaban buku-buku yang memuja totalitas pemaknaan tunggal dengan meniadakan perbedaan-perbedaan. Sejarahnya juga dibangun berdasarkan prinsip menyeleksi, menormalisasi dan menstabilkan penyimpangan-penyimpangan yang dinilai berbahaya dan mengancam keutuhan dan integritas wacana. Menurut Derrida, kehadiran metafisika digunakan sebagai pelindung teks dari oposisi biner yang terdapat dalam teks. 16 Chris Barker, Cultural Studies: Studi dan Praktek Yogyakarta: Bentang Perkasa, 2005, h. 174. Derrida menerapkan strategi-strategi tekstual dalam menganalisa oposisi biner yang terdapat di dalam teks dengan tujuan menjauhkan diri dari pemaknaan tunggal atas sebuah teks. Analisa atas oposisi biner dilakukan Derrida untuk memberikan pandangan luas terhadap gagasan teks yang bersifat otoritatif sehingga otoritas atas teks akan hilang. Logika yang bermain atas pembacaan dekonstruksi menunjukkan bahwa sebuah teks dapat saja menyangkal sesuatu yang lain. Ambigu tekstualitas ini yang kemudian hendak dijadikan landasan oleh dekonstruksi dalam mencari pemaknaan yang tersembunyi di dalam teks. Sekaligus dengan analisa tersebut, sebuah teks bisa terhindar dari pemaknaan tunggal yang otoriter. Pembacaan dekonstruktif tidak memiliki pengandaian metafisik yang berkeinginan mendapat kebenaran tunggal.

B. Pemaknaan Teks dalam Perspektif Dekonstruksi

Derrida melucuti metode tradisional yang berusaha menginterpretasikan objeknya dari sudut tertentu dengan mengabaikan bagian-bagian yang dianggap tidak relevan bagi kepentingan suatu penelitian terhadap objeknya. Dalam dunia Derrida objek penelitian diwujudkan dalam bentuk teks, dan subjek sebagai pengarang. Dekonstruksi secara alamiah bermaksud mendekati objeknya dari posisi objek itu sendiri, dan bukan berdasarkan pada pengandaian tertentu untuk menentukan bagaimana objek itu menyingkapkan dirinya. Dengan menggunakan seperangkat metode itu dan pengandaian tertentu, membuat seolah ada jarak yang memisahkan anatara pengarang dan teks. Derrida hendak menghapuskan garis demarkasi antara pengarang dan teks. Dan tak hanya itu, bahkan pembaca pun akan diberikan kesempatan sedekat mungkin dengan suatu teks. Karakter dasar dari dekonstruksi ialah perhatiannya terhadap teks, sistem konseptual, dan linguistik dengan terus mempertautkan antara interioritas dan eksterioritas. Teks tidaklah bersifat eksternal terhadap pembaca, dalam proses pemahaman diandaikan terjadi internalisasi diri, untuk menjadikan teks sebagai miliknya. Derrida menyatakan bahwa “tidak ada apa-apa diluar” il n’y a pas de hors-texte. 17 Dengan kata lain, kita tidak mungkin memegang suatu asumsi kebenaran yang murni dari pengaruh tanda, karena kita hidup di dalam lingkungan sosial yang dipenuhi oleh tanda-tanda, bahkan kesadaran kita dibentuk melalui intensionalitas tanda-tanda yang mengepung diri kita dari segala penjuru arah. Dengan demikian, strategi pembacaan dekonstruksi tidak berikhtiar untuk menemukan makna tertentu atau ide utama sebuah teks, tetapi menelisik bagaimana teks melahirkan beragam makna yang mungkin bertentangan satu sama lain. Dalam konteks pembacaan ini pula, dekonstruksi berseberangan dengan Hermeneutika. Hermeneutika berupaya merekonstruksi makna yang dimaksud oleh pengarang, menyempurnakan teks dengan bertumpu pada konteks yang membetuk teks, bukan untuk memperlihatkan kontradiksi internal yang selalu menandai teks, sebagaimana strategi dekonstruksi. Sebaliknya, dekonstruksi menghindari upaya melengkapi, mengklarifikasi, atau mendamaikan kontradiksi di dalam teks dalam rangka menemukan titik tolak dan ruang bagi munculnya interpretasi baru. 17 Al-fayyadl, Derrida, h. 77. Strategi pembacaan dekonstruksi hanya memusatkan perhatiannya pada teks itu sendiri. Pada tataran konflik dan ambiguitas yang dikandung oleh teks, dekonstruksi tidak berminat untuk mengungkapkan maksud pengarang. Sebaliknya, dekonstruksi berupaya mengungkapkan apa yang tidak dimaksudkan, disembunyikan, disingkirkan, atau direpresi oleh pengarang. Berbeda dengan hermeneutika yang masih berupaya mengungkapkan makna yang dimaksudkan oleh teks dan pengarang. Hermeneutika dan dekonstruksi dibedakan oleh konsepsi keduanya atas bahasa. Hermeneutika berupaya merengkuh makna transedental yang berada di seberang bahasa dan masih meyakini bahwa ada sentrum makna yang mengikat keseluruhan teks. Sebaliknya, dekonstruksi mempersoalkan eksistensi petanda transedental dan berkonsentrasi pada konflik dan ambiguitas teks. Apa yang dilakukan oleh Derrida sesungguhnya jauh dari pengertian tertentu atas makna dan bahasa, bukan tanpa pengandaian dan kepentingan diri. Derrida menjabarkan sebuah skema pembacaan yang digunakan untuk mendekonstruksi sebuah teks. Skema tersebut diciptakan sebagai cara pandang pembaca memaknai teks yang sedang dibaca. Derrida meringkasnya kedalam tiga kalimat berikut: sans savoir, sans voir, sans avoir. Ketiga kata tersebut adalah skema yang dipergunakan untuk melakukan pembacaan dekonstruksi.  Sans savoir – tidak mengetahui – konsep ini mengisyaratkan tidak melulu dapat ditangkap oleh penafsir dalam totalitasnya. Dengan demikian, diperlukan sikap legowo untuk mengakui bahwa penafsir tidak memliki wewenang ilmiah atas tafsirannya. Heidegger pernah mengatakan bahwa “menafsirkan” Auslegung merupakan sifat eksistensial individu dalam menyingkap sang Ada dan membuka dirinya terhadap dunia. 18 Dengan kata lain, menafsirkan adalah sebuah upaya yang semata-mata bukan dilakukan melalui daya pikiran, melainkan juga melalui fase tuturan. Tetapi Heidegger juga menuntut kita untuk mengerahkan kesadaran penuh yang kita miliki untuk bergerak dengan mengikutsertakan segenap eksistensi. Sedangkan Derrida lebih radikal lagi dalam menafsirkan Sans Savoir. Derrida berargumentasi bahwa epistemologis dari sang Ada telah sampai pada batasnya. Dengan demikian, pemaknaan atas sebuah teks menjadi sedemikian luasnya. Pada titik ini, penafsir dibawa ke lorong gelap berisi perbedaan yang terus menunda untuk menemukan akhir dari tafsirannya itu. Dalam rangkaian proses yang tak berbatas ini, penafsiran selalu berupa penghampiran terus-menerus atas kebenaran yang tidak pernah sampai pada totalitasnya.  Sans voir – tidak melihat – konsep yang berikut ini menggambarkan keterbatasan indera yang kita miliki dalam melihat kebenaran. Dari sana, ada hasrat yang muncul untuk menghormati perbedaan dan yang lain agar tetap terjaga dari sinisnya pandangan individu-individu. Kemudian muncullah sikap segan akan differance dan sebuah sikap yang membiarkan wajah yang lain menatap kita. Pada ketegangan ini penglihatan kita seakan lumpuh dan pada akhirnya membuat kita terpental ke jurang yang tak memliki dasar. Akibatnya, seorang penafsir tidak mungkin membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang 18 Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju ‘Sein und Zeit’ Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, h. 73.