Definisi Istilah Dekonstruksi Wacana Censorship Pada Teks Antologi Kepustakawanan Indonesia

11

BAB II TINJAUAN LITERATUR

A. Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah Derrida dan Derrida adalah dekonstruksi. Istilah tersebut menggambarkan sebuah keterikatan yang Shahih. Derrida memang pembuat teori Dekonstruksi. Namun jika ditelusuri, yang Derrida lakukan adalah menyempurnakan sebuah konsep yang sudah ada dan kemudian ia radikalkan. Jacques Derrida adalah filsuf Prancis kontemporer yang melontarkan pandangan provokatif melalui kritik radikal atas tradisi metafisika Barat, 8 logosentrisme, 9 dan fonosentrisme. 10 Namun cikal-bakal Dekonstruksi bermula dari Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, yang mempersoalkan status Ontologi dalam filsafatmetafisika barat. Ia berpandangan bahwa selama ini metafisi ka barat telah melupakan makna “ada”. Hal ini terlihat dari upaya pemisahan hubungan antara ada dengan waktu. Konsep ini yang kemudian dikenal sebagai destruksi. Ontologi memiliki arti sebagai ilmu tentang ada. Ontologi adalah sumber dari eksistensi segala sesuatu di dunia fenomenal yang diberi istilah sebagai 8 Cara melihat pusat-pusat yang bersifat metafisik hadir untuk menjadi jaminan dan fondasi bagi setiap tanda. Lihat, Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya Matinya Makna, ed. 4 Bandung: Matahari, 2012, h. 237. 9 Kecenderungan untuk menyandarkan tanda dan makna pada fondasi atau pusat dalam sistem bahasa yang menjadikan kebenaran bersifat final. Ibid., h. 368. 10 Sebuah keterpusatan Bahasa pada bunyi, citra akustik, dan meyakini aksara tidak memliki peran dalam aktivitas linguistik sehari-hari pada individu. Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida Yogyakarta: LKIS, 2011, h. 43-48. mengada atau adaan beings. 11 Guna mempreteli pandangan filsafatmetafisika Barat atas makna Ada, Heidegger menciptakan sebuah konsep yang dikenal sebagai “destruksi”. Dengan istilah ini Heidegger berhasil menunjukkan bahwa ontos ada telah dipersoalkan bahkan pada periode filsafat Yunani Kuno. Ke-ada- an yang secara diam-diam dilupakan memberikan pengaruh pada tradisi filsafat setelahnya. Heidegger mencontohkan dalam filsafat Descartes yang memiliki istilah “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir maka aku ada”. Terlihat bahwa ke- ada-an manusia selalu ditentukan oleh pikirannya. Metafisika Barat cenderung berangkat dari cogito atau pikiran, ketimbang bertolak dengan mempertanyakan sum atau ada. Ekses dari keterpisahan ada dengan waktu telah menjadikan metafisika cenderung meletakkan pikiran sebagai pusat dari eksistensi. Dengan demikian, pikiran menjadi tolok ukur bagi keberadaan seluruh fenomena yang eksternal. Konsep destruksi yang dibawa Heidegger digunakan untuk mengkritik sebuah bangunan epsitemologis, yang dalam hal ini berupa tradisi metafisika barat, namun tetap membuka peluang lebar untuk membangunnya kembali dan merekonstruksinya. Bersama dengan destruksi-nya, Heidegger hendak menghancurkan logosentrisme yang bersemayam di dalam filsafat tradisional. Namun ia masih mengalami kesulitan untuk keluar dari tradisi logosentrisme yang telah mengakar itu. Adapun konsep heidegger yang cukup terasa nuansa logosentris-nya terdapat di konsep aletheia, yaitu menyingkap sang ada. 11 Ibid., h. 18.