Analisis Dekonstruktif Terhadap Fenomena Censorship Menurut Teks
Akan tetapi ketika dibuka standar pemaknaan yang lebih luas dan lebih radikal dari yang ditawarkan oleh teks AKI, maka akan ditemukan
penafsiran lain dari logika yang dikonstruksikan oleh teks AKI. Pertama, publikasi elektronik adalah sumber informasi yang tidak berwujud atau yang
sering disebut soft file. Dikarenakan wujudnya yang tidak terlihat, maka publikasi elektronik bisa ditafsirkan sebagai postingan facebook seseorang.
Atau bisa juga sebagai sinyal radio yang berisi percakapan dari penyiar stasiun radio. Hal tersebut dikarenakan postingan facebook dan sinyal radio
adalah dua hal yang sama-sama disebarluaskan publikasi, sehingga orang lain dapat mengetahui kandungan informasinya melalui alat bantu
elektronik. Hasil penafsiran dari refleksi publikasi elektronik adalah bagaimana mungkin kumpulan sinyal radio bisa menyebabkan ledakan
informasi. Kedua, ledakan informasi dalam hemat peneliti merupakan fenomena
yang memiliki makna ganda. Kata “ledakan” dalam teks AKI merupakan fenomena sosial yang memiliki sifat jamak. Ledakan bisa bersifat
menghancurkan dan meningkatkan. Ketika standar pemaknaan yang digunakan adalah “menghancurkan”, maka secara esensi ledakan informasi
akan berdampak langsung kepada kehancuran masyarakat. Fenomena tersebut berlandaskan pada fakta empiris bahwasannya setiap manusia pasti
mengkonsumsi informasi untuk menjalankan sendi-sendi kehidupannya MI. Sehingga ketika dilakukan penafsiran ulang atas logika yang dibangun
oleh teks, maka makna yang muncul adalah “publikasi eletronik akan
menyebabka n terjadinya kehancuran informasi” dalam tataran sosio
kultural. Namun ketika peneliti berpijak pada sifat ledakan yang bisa “meningkatkan”, maka secara kontekstual ledakan informasi akan
membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Logika rasional yang bisa diketengahkan adalah argumentasi yang peneliti kemukakan
tentang MI pada pembahasan sebelumnya. Dengan demikian ledakan informasi memiliki sisi yang menguntungkan, yaitu terciptanya efek domino
yang positif. Karena dengan terjadinya peningkatan informasi maka akan meningkatkan MI individu sehingga akan menaikkan taraf hidup seorang
individu. Dan yang ketiga adalah internet, sebuah media yang memberikan
kesempatan kepada seluruh manusia untuk menuangkan segala macam informasi yang ada dibenaknya. Namun karena kebebasannya tersebut,
secara konseptual internet dinilai sebagai tempat informasi sampah. Hal tersebut karena internet merupakan tempat menaruh semua informasi dari
seluruh penjuru dunia. Ketika pemaknaan radikal dari peneliti dikembalikan kepada konteks censorship, maka akan ditemukan penalaran yang rapuh dari
logika yang dikonstruksikan oleh teks AKI. Karena terbukti, secara empiris ekses dari ledakan informasi tidak bisa ditemukan di perpustakaan, sebab
internet sebagai media di perpustakaan yang dimaksudkan oleh teks akan terjadi ledakan, tidak lain adalah sebuah tempat yang dinilai sebagai tempat
beredarnya informasi sampah.
Selanjutnya, peneliti berusaha melakukan representasi terhadap fenomena tekstual yang tertuang pada teks AKI. Teks berusaha menegaskan
porsi ledakan informasi yang terjadi di dunia digital internet tanpa kemungkinan lain selain dari jenis terbitan elektronik. Namun, dengan
berorientasi pada konsep realitas kekinian dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, fenomena ledakan informasi mungkin juga bisa terjadi pada
bahan informasi non-elektronik. Hal ini senada dengan pernyataan teks yaitu “meledaknya pertumbuhan informasi ilmiah selaras dengan
perkembangan ilmu pengetahuan”.
42
Refleksi ini bersifat terbuka karena merupakan gejala sosial kultural, dimana manusia sebagai subjek pencipta
ilmu pengetahuan membutuhkan media untuk menuangkan karya ilmiahnya. Media yang digunakan pun berbentuk tercetak non-elektronik dan tidak
tercetak elektronik. Dengan menggunakan asumsi filosofis yang peneliti paparkan dan intertekstualitas berdasarkan logika konstruktif teks AKI,
maka informasi pasif non-elektronik pun kemungkinan akan mendapat pembatasan seperti halnya informasi pasif yang berbentuk elektronik
berdasarkan konteks logika censorship pada teks AKI. Logika real yang bisa diketengahkan adalah fenomena buku digital dan buku tercetak. Ketika
hari ini telah banyak beredar buku digital e-book dengan perangkat elektronik sebagai media pembacaannya, buku tercetak masih menjadi
pilihan utama manusia untuk dijadikan sumber bacaan. Hal ini dibuktikan
42
Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia, h. 85.
dengan masih berdirinya penerbit yang menerbitkan buku-buku konvensional yang tercetak.
Dengan terbukanya peluang ledakan informasi pada bahan informasi non elektronik, maka secara kontekstual akan memperlebar kesempatan
perpustakaan melakukan usaha pembatasan informasi. Konsep pembatasan informasi juga dipertegas oleh teks AKI pada kalimat “kontrol kualitas
informasi”. Terdapat variabel kata yang menjadi pengikat secara tekstual. Kata tersebut adalah “kontrol”. Kata kontrol secara maknawi memiliki sifat
mengatur danatau mengekang. Pemaknaan lain ini merupakan hasil penggunaan perspektif dekonstruksi. Ketika kontrol dimaknai sebagai
sebuah usaha pengekangan, di dalamnya akan memuat sekat-sekat terhadap variabel kata selanjutnya. Sehingga ketika dilakukan penafsiran ulang teks
AKI berupaya mengekang kualitas informasi terhadap suatu bahan pustaka. Disamping itu peneliti melihat kerapuhan konseptual yang ditawarkan
oleh teks AKI pada argumentasi fenomena ledakan informasi. Bangunan epistemologi dari teks AKI patut dipertanyakan kembali, sebab fenomena
ledakan informasi yang diketengahkan oleh teks pada dasarnya bersifat utopis. Pada pembahasan sebelumnya peneliti mengajukan tesis bahwa
postingan facebook dapat dianggap sebagai terbitan elektronik yang berdasarkan logika teks merupakan penyebab terjadinya ledakan informasi.
Namun pada kenyataannya saat ini data jumlah postingan facebook per hari dari setiap manusia di seluruh dunia bisa dihitung dengan bantuan aplikasi
khusus. Dengan berpijak pada sudut pandang ilmu teknologi informasi TI,
ledakan informasi yang disangkakan teks bisa ditanggulangi. Karena terbukti, jumlah peredaran informasi saat ini tidaklah mencemaskan dan
secara kuantitas bisa dilakukan penganalan. Dengan demikian, sudut pandang TI merupakan paradigma yang bisa
diterapkan guna menanggulangi ledakan informasi. Sehingga ketika perpustakaan
menerapkan paradigma
TI di
dalam sendi-sendi
kesehariannya, maka ledakan informasi menjadi gugur secara tekstual. Ketika ledakan informasi sudah ternegasikan, maka dengan sendirinya
aktivitas censorship tidak diperlukan lagi di lembaga informasi perpustakaan. Dan secara tekstual fenomena censorship di perpustakaan pun
menjadi gugur keberadaannya. Argumentasi peneliti tentang ruang pemanfaatan paradigma TI di lembaga informasi perpustakaan juga
dibenarkan oleh teks AKI. Kalimat yang mengafirmasi argumentasi peneliti tertulis di halaman 271 paragraf terakhir sebagai berikut :
“Perpustakaan dalam perjalanan hidupnya sering sangat menggantungkan pada teknologi. Bahkan ilmu perpustakaan
berkembang dengan pendekatan teknologi. Teknik mengelola perpustakaan pernah menjadi inti pendidikan dan pelatihan
kepustakawanan. Bahkan tidak jarang ada perpustakaan yang selalu mengejar teknologi layaknya mengejar mode. Keadaan demikian
berpengaruh pada perkembangan perpustakaan di Indonesia. Tidak dapat disangkal, bahwa masa depan perpustakaan adalah pemanfaatan
teknologi, khususnya teknologi informasi”
43
Melalui pemaparan ini, pada dasarnya teks telah memahami perihal
potensi yang dapat dimanfaatkan guna menanggulangi fenomena ledakan informasi. Potensi tersebut adalah pemberian ruang eksistensial terhadap
43
Ibid., h. 271.
paradigma TI di dalam perpustakaan. Namun karena teks tidak membangun korelasi lebih lanjut, maka konklusi yang diambil teks pun menjadi sebatas
alibi atas aktivitas censorship di perpustakaan. Sehingga dalam usaha penentuan basis epistemologi teks menimbulkan kerancuan.
Dampak yang dihasilkan lebih lanjut membuat tataran konseptual teks menjadi absurd. Karena pada teks selanjutnya, di halaman 271 ditemukan
kata “mode”. Kata mode dalam perspektif ruang sosial merupakan representasi dari “gaya hidup”. Dan manusia sebagai makhluk sosial
menganggap gaya hidup sebagai persoalan kebutuhan. Hasil interpretasi ulang peneliti terhadap argumentasi yang diajukan teks adalah terdapat
perpustakaan yang menjadikan TI sebagai gaya hidupnya. Ketika perpustakaan bersanding dengan konsep TI maka persoalan yang berbasis
teknologi pun mampu diatasi. Dan ternyata berdasarkan penalaran teks AKI, ada perpustakaan yang menjadikan TI sebagai kebutuhan. Realitas tersebut
tercermin pada kalimat “perpustakaan dalam perjalanan hidupnya sering sangat menggantungkan pada teknologi. Bahkan ilmu perpustakaan
berkembang dengan pendekatan teknologi”.
44
Namun karena kelemahan teks yang tidak melakukan upaya korelasional lebih lanjut maka relasi
keilmuan antara ilmu perpustakaan dan paradigma TI tidak terbentuk di dalam teks AKI. Sehingga pada akhirnya teks menjadikan fenomena
censorship sebagai tameng atas ledakan informasi, ketimbang melakukan upaya penelitian korelasional dengan bidang ilmu lain.
44
Ibid.
Berdasarkan fenomena censorship yang sudah peneliti paparkan, peneliti melihat kemungkinan terjadinya penyempitan jangkauan informasi
di perpustakaan. Ketika varietas informasi pasif di dalam perpustakaan sudah dikendalikan, maka dengan demikian, MI setiap individu yang
berinteraksi dengan perpustakaan juga telah diatur sedemikian rupa agar tercipta keseragaman intelektual. Proses seleksi yang dialami entitas
informasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan MI individu yang memiliki kepentingan di perpustakaan. Sebab, bagi
pemustaka yang hendak memenuhi kebutuhan MI-nya akan terbatas dalam memilih sumber informasi karena mungkin saja informasi yang ia butuhkan
sudah terkena censor pada tahap seleksi. Dengan menyeleksi, sejatinya pustakawan telah mengarahkan
intelektualitas pemustaka ke arah yang tidak fleksibel dan mengekang. Dalam perspektif pembacaan dekonstruksi dikenal konsep intertekstual
yaitu pemaknaan atas teks yang saling berkaitan dengan teks lainnya dan tidak akan pernah mengenal kata usai. Maka ketika variasi informasi di
perpustakaan telah dibatasi dengan subjek-subjek pilihan pustakawan, pemustaka akan menemukan hambatan dalam usaha pengembangan MI
miliknya, karena kekurangan literatur untuk mengaitkan makna yang hendak dicarinya. Hambatan tersebut terjadi lantaran teks-teks yang tersedia
di perpustakaan tidak variatif. Dengan demikian tahap seleksi tersebut adalah salah satu bentuk censorship yang mungkin bisa digunakan sebagai
alat untuk pengendalian ideologi seseorang.
Ketika censorship itu sudah terjadi, maka akan tercipta sebuah fenomena dimana perpustakaan bisa menjadi media politik untuk mengatur
MI dari pemustakanya. Sebab menurut Emile Durkheim, manusia memiliki sebuah faktor moril yang dinamakan kesadaran altruistik. Adapun yang
dimaksud dengan kesadaran altruistik adalah sebuah faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan ditengah
keberadaannya pada kelompok sosial tempat ia bernaung. Konsep altruistik ini dikembangkan Durkheim untuk meneliti seberapa besar “pengaruh
lingkungan sosial seseorang yang menentukan orang dalam melakukan bunuh
diri.”
45
Penelitian tentang bunuh diri mulai dikembangkan pada tahun 1893 dalam bukunya berjudul The Divison Of Labor In Society yang
mengkritik klaim utilitarianisme bahwa semakin tinggi pembagian kerja seseorang akan berbanding lurus dengan kemajuan ekonomi yang
dihasilkannya sehingga berimplikasi terhadap “kebahagiaan” yang akan diperolehnya.
46
Namun Durkheim menemukan fakta lain bahwa kemajuan ekonomi negara industri maju justru diikuti oleh tingkat bunuh diri yang semakin
besar. Di kemudian hari Durkheim melakukan studi khusus yang membahas tentang gejala bunuh diri yang dilakukan individu-individu pada era tersebut
sebagai usaha untuk membuktikan hipotesisnya. Hasil studinya tersebut
45
Anthony Giddens, dkk., Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008, h. 46.
46
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat Jakarta: Erlangga, 1991, h. lv.
selanjutnya diterbitkan dengan judul Suicide 1897. Dalam konsep altruistik yang dikembangkan Durkheim dijelaskan:
“Dalam tipe ini kepentingan kolektivitas begitu kuat sehingga sering ada kecenderungan untuk menempatkan kepentingan pribadi dibawah
kepentingan kolektivitas, sampai pada tingkat pengorbanan jiwa, meskipun tidak terdapat suatu keadaan darurat yang menuntut
pengorbanan semacam itu.”
47
Argumentasi yang dapat dibangun dari konsep tersebut terhadap
penelitian ini adalah ketika kohesi sosial sebuah kelompok sudah tercipta sedemikian kuatnya, maka akan membentuk pola kesadaran yang sama tiap
individu didalamnya melalui usaha untuk mendahulukan kepentingan kelompok. Sebagai implikasi, individu di dalam kelompok sosial
dihadapkan pada realitas yang membuat dirinya rela untuk meninggalkan kepentingan individualnya. Dengan demikian, kesadaran moril tiap individu
akan terikat satu sama lain. Peneliti berusaha mengejawantahkan konsep altruistik dalam konteks
perpustakaan sebagai faktor terjadinya censorship. Pengejawantahan tersebut sebagai berikut, Anto adalah seorang mahasiswa jurusan ilmu
perpustakaan yang baru belajar pada bidang keilmuan perpustakaan. Anto diajarkan berbagai norma yang seharusnya ditegakkan di dalam
perpustakaan. Norma-norma tersebut adalah pegangan dalam berkehidupan di dunia perpustakaan kelak. Salah satu norma yang diajarkan ketika proses
kuliah yaitu kebutuhan informasi pemustaka. Selama ini dalam keilmuan diyakini bahwa setiap informasi yang dicari pemustaka harus bisa
47
Ibid., h. lvii.
disediakan oleh perpustakaan, hal ini dikarenakan berkaitan dengan output yang diharapkan yaitu kepuasan pemustaka.
Berbagai pengetahuan yang didapat dari proses transfer keilmuan tadi direkam dengan baik dan tertanam hingga saatnya akan diuji dalam praktek
real dunia perpustakaan. Ketika akan menerapkan gagasan keilmuan yang telah diajarkan di bangku pendidikan, Anto menemui hambatan. Hambatan
tersebut bersifat instruktif dan tidak bisa dibantah karena merupakan sebuah peraturan yang mengikat di perpustakaan tempat ia bekerja. Peraturan
tersebut mempersempit peluang Anto untuk melakukan usaha pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka. Salah satu faktor yang menjadi
penyebabnya adalah terbatasnya sumber dana untuk melakukan pengadaan informasi yang selengkap-lengkapnya sebagaimana ilmu yang ia dapatkan
pada saat proses pembelajaran. Karena integrasi yang sudah tertanam kuat dalam kelompok sosial, dalam hal ini pustakawan, Anto pada akhirnya
harus mengalah atas ilmu pengetahuan yang selama ini ia pelajari dan kemudian merelakan apa yang ia yakini ketika proses pendidikan.
Proses merelakan keinginan individual yang dilakukan Anto secara esensial adalah manifestasi dari bunuh diri altruistik yang Durkheim
maksudkan. Pada kasus tersebut Anto tidak mempunyai kuasa yang lebih untuk melawan arus dominasi dari kelompok sosialnya. Sehingga pada
akhirnya secara sukarela ia melepaskan kepentingan individualnya dan memutuskan untuk melakukan
“bunuh diri”. Sebab, sebagaimana Durkheim kemukakan dalam karyanya yang berjudul Suicide:
“There are no suicides with a more definitely altruistic character. We actually see the individual in all these cases seek to strip himself of his
personal being in order to be engulfed in something which he regards as his true essence. The name he gives it is unimportant; he feels that
he exists in it and in it alone, and strives so violently to blend himself with it in order to have being. He must therefore consider that he has
no life of his own. Impersonality is here carried to its highest pitch; altruism is acute.”
48
Korelasi yang dapat dibangun antara konsep moral altruistik dengan
proses censorship adalah, ketika pemustaka sebagai individu membutuhkan informasi pasif kemudian datang ke perpustakaan yang integrasi kelompok
sosialnya sudah menjadi padu – praktek pembatasan informasi yang
dilakukan pustakawan sudah menjadi hal yang dominan dan lumrah dengan berbagai alasannya
– akan berakibat pada terkontrolnya MI pemustaka karena informasi pasif yang ia inginkan sudah terkena proses censorship.
Hal ini merupakan hasil refleksi kesadaran altruistik pemustaka yang pada akhirnya menerima realitas bahwa informasi yang dicarinya tidak tersedia di
perpustakaan. Dan sebagai gantinya pemustaka harus menerima informasi yang sesungguhnya bukan informasi yang ia butuhkan garbage
information. Fenomena ini merupakan hasil kolaborasi antara kesadaran altruistik pemustaka dengan tingkat subjektivitas pustakawan yang tidak
dikendalikan dengan baik – pustakawan akuisisi terus melakukan pengadaan
informasi hanya berdasarkan nalurinya dan itu dilakukan secara masif, sedangkan pemustaka hanya mendapatkan bahan bacaan di perpustakaan
yang informasi pasifnya merupakan hasil subjektifitas pustakawan akusisi –
48
Emile Durkheim, Suicide: A Study in Sociology London: Routledge, 2005, h. 183.
sehingga efek domino yang dihasilkan adalah perpustakaan akan berubah menjadi sebuah alat politik.
Sebuah “alat” yang berkemampuan untuk menentukan ideologi seseorang. Fenomena tersebut merupakan hasil
refleksi perpustakaan yang menyimpan informasi pasif yang dibutuhkan manusia guna memenuhi kebutuhan MI-nya. Ketika perpustakaan sudah
menjadi alat politik, maka citra negatif secara moral akan melekat pada institusi perpustakaan.
Peneliti menemukan cakupan yang mendukung hipotesis peneliti tentang pendiktean kualitas MI seseorang pada teks AKI, yang menafsirkan
istilah censorship sepadan dengan kata “navigator”.
49
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI kata navigator memiliki arti “orang yang
melakukan navigasi”.
50
Sedangkan kegiatan navigasi itu sendiri memiliki pengertian sebagai “tindakan menempatkan haluan kapal atau arah terbang”.
Navigasi adalah sebuah kegiatan yang berkaitan dengan dunia transportasi udara maupun laut. Kegiatan ini bertujuan untuk menunjukkan arah tujuan
dari suatu moda transportasi yang biasanya diperbantukan dengan sebuah radar. Jika aktivitas ini diterapkan dalam dunia perpustakaan, ia akan
memiliki makna sebagai upaya pengarahan opini yang berhaluan ke sebuah informasi yang diinginkan. Kemudian, jika aktivitas navigasi ini dikaitkan
dengan kegiatan pengembangan koleksi perpustakaan maka akan membuktikan adanya upaya pengarahan terhadap varietas bahan informasi.
49
Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia, h. 120.
50
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 4.
Karena seperti yang sudah peneliti paparkan sebelumnya, akan selalu ada tendensi yang muncul guna memihak kepada informasi pasif tertentu.
Selama ini, pustakawan yakin dan percaya bahwa setiap kegiatan yang dilakukannya jauh dari kegiatan censorship, selalu berpihak kepada
kebutuhan pemustaka, dan objektif dalam memilih informasi. Namun pada praktiknya ada hal-hal yang tidak terelakkan dan itu cenderung berjalan
tanpa disadari pustakawan. Kerangka logika teks – yang menjadikan
ledakan informasi sebagai pembenaran – pada dasarnya telah memberikan
representasi bahwa aktivitas censorship memang menjadi bagian kegiatan di perpustakaan. Dengan demikian paradigma anti-bias yang selama ini
menjadi pegangan pustakawan telah terbantahkan oleh gagasan teoritis yang diberikan oleh teks. Kemudian fenomena ambiguitas yang hadir sebagai
bentuk kritik teks, karena di dalam teks tidak dijelaskan indikator yang harus dipenuhi mengenai kualitas suatu informasi. Selama ini yang
pustakawan lakukan adala h melestarikan “narasi-narasi besar” grand
naratives
51
dalam term censorship. Narasi-narasi tersebut kemudian menjadi hegemoni dari siklus hidup informasi pasif di perpustakaan.
Kerancuan pada term censorship tidak berhenti sampai disitu. Masih ada fenomena lain yang menjadi penyebab terjadinya kerancuan. Variabel
tersebut bersifat multidimensional sebagai keberadaannya dalam ranah
51
Sebuah strategi intelektual yang mengklaim bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran, kesejahteraan, makna kehidupan, dan moral yang bersifat universal. Narasi-narasi besar ini kini di
era postmodern telah usang dan tidak relevan lagi, karena ternyata ditemukan bahwa intelektualitas kita tentang dunia tidak seluruhnya bersifat objektif sebagaimana yang diduga, melainkan lahir
dari pengalaman yang sering kali ambigu, eksistensial, dan dramatik. Lihat, Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, h. 102.
pengembangan koleksi bahan pustaka. Perpustakaan mengenal aktivitas kerjasama dengan dosen dalam melakukan pengadaan literatur kuliah.
Aktivitas ini meliputi permintaan dosen kepada pustakawan untuk membeli suatu bahan bacaan yang diinginkan dosen sebagai penunjang kegiatan
perkuliahan bagi mahasiswanya. Sepintas tidak ada yang salah dengan aktivitas ini, namun jika ditelaah
lebih dalam, aktivitas ini akan terlihat memiliki nuansa “kekerasan” yang cukup kental dalam dimensi intelektual. Dikatakan keras karena dalam
sudut pandang mahasiswa, mereka akan terbatas dalam memilih bahan informasi untuk kebutuhan kuliahnya. Sementara, sebagai makhluk sosial
mahasiswa berhak untuk mendapatkan informasi dari berbagai sudut pandang. Secara esensial aktivitas ini telah memberikan dampak yang
negatif sehingga tema-tema lain yang tidak disarankan oleh dosen tidak akan dibeli oleh pustakawan. Selain itu bahan bacaan yang diarahkan oleh
dosen secara substansial merupakan bentuk “paksaan” terhadap mahasiswa, karena mahasiswa akan diposisikan untuk bisa memahami apa konteks yang
terkandung dan paradigma apa yang ada pada bahan bacaan yang diberikan dosen tadi. Model aktivitas ini dibahas oleh Pierre Bourdieu dalam teori
kekerasan simbolik. Dalam teori Pierre Bourdieu membahas perilaku seseorang yang
mencerminkan kekerasan na mun bentuk “kekerasan” itu sendiri tak kasat
mata dalam wujud yang lebih lunak. Dalam teori kekerasan simbolik, yang terjadi bukan benturan fisik melainkan simbol sebagai mekanisme
representasi terhadap tekstual, visual, warna, dan lain sebagainya. Pierre Bourdieu menjelaskan:
“Tindakan tak langsung yang umumnya melalui mekanisme kultural dan berbeda dari bentuk-bentuk kontrol yang lebih langsung yang
sering menjadi sasaran perhatian sosiologi.”
52
Pada teori kekerasan simbolik terdapat dua buah objek substansial,
yang pertama adalah entitas yang dominan dan yang kedua adalah entitas yang terdominasi. Dalam penelitian yang peneliti angkat, elemen yang
menjadi objek kajian dapat diklasifikan peranannya. Entitas dominan dalam objek teoritis penelitian adalah dosen dan pustakawan, sedangkan entitas
terdominasi adalah mahasiswa. Penempatan dosen dan pustakawan sebagai entitas dominan akibat dari legitimasi yang melekat pada diri dosen dan
pustakawan. Legitimasi tersebut oleh Bourdieu disebut sebagai modal simbolik. Sedangkan mahasiswa sebagai entitas terdominasi berdasarkan
penalaran posisi kelas yang tidak memiliki apa-apa. Keseluruhan interaksi ini terjadi pada arena perguruan tinggi.
Argumentasi penempatan dosen dan pustakawan sebagai entitas dominan adalah hasil representasi modal yang melekat pada diri mereka
yang berbentuk simbol. Substansi dosen dan pustakawan sebagai entitas dominan ditemukan dalam jabatan yang diembannya. Modal Simbolik
dalam sudut pandang sosiologi dapat direfleksikan sebagai modal yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang.
53
Pada tataran praksis,
52
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, ed. 6 Jakarta: Kencana, 2011, h. 526.
53
Ibid., h. 521.
modal simbolik divisualisasikan melalui sebuah posisi atau jabatan pada struktur tertentu. Untuk bisa meraih modal simbolik tertentu, seorang
individu harus mendapatkan syarat yang harus dipenuhi yang oleh Bourdieu diistilahkan dengan modal kultural. Modal kultural meliputi berbagai
pengetahuan yang sah yang dilegitimasi sebuah ijazah.
54
Seorang individu yang memiliki modal kultural berupa ijazah bisa meraih suatu modal
simbolik tertentu. Sehingga, seorang dosen yang telah menyelesaikan studinya dan berhasil meraih gelar akademik berhak mendapat simbolnya
sebagai tenaga pengajar. Sementara bagi pustakawan ia harus menyandang gelar pendidikan dalam dunia ilmu perpustakaan untuk bisa mendapatkan
simbol sebagai individu yang menjalankan fungsi perpustakaan. Sedangkan penempatan mahasiswa sebagai entitas terdominasi
merupakan hasil dari penalaran fakta empiris bahwa modal kultural yang dimiliki mahasiswa tidak sebanding dengan dosen dan pustakawan sehingga
secara hierarkis menempatkan mahasiswa pada posisi yang lebih rendah. Meskipun pada dasarnya sebutan “mahasiswa” itu sendiri adalah “simbol”
karena individu yang telah menjadi mahasiswa sudah mendapatkan legitimasi oleh perguruan tinggi. Namun dalam hierarki akademis,
legitimasi tersebut masih berada dibawah dosen dan pustakawan. Pada praktek kekerasan simbolik, masing-masing entitas memainkan
peranannya dalam arena perguruan tinggi. Aktivitas ini terjadi pada perpustakaan X. Perpustakaan X adalah sebuah perpustakaan perguruan
54
Ibid.
tinggi di Jakarta. Fungsi dari perpsutakaan perguruan tinggi adalah memenuhi kebutuhan informasi civitas akademika guna menunjang proses
transformasi keilmuan di tubuh perguruan tinggi. Periodisasi pengadaan bahan informasi pada perpustakaan X dilakukan setiap dua kali dalam satu
tahun kalender akademik. Proses pengadaan ini berada di bagian Acquisition Cataloging Librarian pustakawan katalogisasi dan akuisisiPKA.
Perpustakaan X memberikan kesempatan kepada dosen untuk meminta buku yang dinginkannya. Akan tetapi proses request tersebut dapat terus
dikabulkan selama anggaran perpustakaan masih tersedia, artinya aktivitas tersebut tidak dibatasi oleh jangka waktu periodik tertentu. Dengan
hilangnya batas periodikal, jumlah informasi pasif yang terdapat pada perpustakan X akan terdominasi oleh bahan pustaka yang di minta oleh
dosen. Hal ini merupakan hasil akumulasi bahan pustaka yang di minta setiap tahunnya, terlebih lagi dosen yang melakukan permintaan juga tidak
sedikit jumlahnya.
55
Argumentasi yang dapat diketengahkan atas fenomena di atas adalah mahasiswa sebagai entitas yang menempati hirarki paling bawah dalam
arena perguruan tinggi harus menerima fakta bahwa usaha mereka untuk mendapatkan informasi di perpustakaan terhalangi oleh entitas yang lebih
dominan. Entitas dominan lebih memilih jalan kekerasan yang tak kasatmata untuk mengekang usaha mahasiswa dalam usaha memperkaya
modal intelektualnya. Hal ini diperkuat dengan paradigma yang meyakini
55
Wawancara pribadi dengan pustakawan PKA pada perpustakaan perguruan tinggi X, Jakarta, 8 Februari 2016.
bahwa perpustakaan adalah destinasi ideal bagi individu yang hendak menambah intelektualitasnya. Sehingga asumsi peneliti sebelumnya
– perpustakan merupakan alat pengendali ideologi seseorang
– telah dibenarkan melalui fenomena yang peneliti paparkan.
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori- kategori pemikiran dan persepsi terhadap entitas terdominasi, yang
kemudian menganggap tatanan sosial sebagai sesuatu yang adil. Kekerasan simbolik sangat erat kaitannya dengan modal simbolik, karena kekerasan
simbolik hanya dapat dilakukan oleh individu yang memiliki modal simbolik.
56
Kekerasan simbolik dalam dimensi intelektual memiliki ekses yang jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu
melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial. Sikap represif tersebut
mungkin bisa
menjadi penghambat
perkembangan intelektualitas
mahasiswa. Karena pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dengan diberikan hak untuk menentukan informasi mana yang ingin ia konsumsi,
mengembangkannya, dan kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dimensi perpustakaan, aktivitas kerjasama dosen dengan pustakawan yang melakukan pengadaan literatur kuliah, telah mengarahkan
mahasiswa ke bahan bacaan tertentu saja. Karena bahan bacaan di
56
M. Chairul Basrun Umanailo, “Mengurai Kekerasan Simbolik di Sekolah”, artikel
diakses pada
8 Februari
2016 dari
http:www.academia.edu6898549KEKERASAN_SIMBOLIK_DI_SEKOLAH
perpustakaan telah terpolarisasi oleh kekerasan simbolik dalam wujud kerjasama antara dosen dan pustakawan.
Sementara itu, fenomena kekerasan simbolik dalam hemat peneliti merupakan representasi dari upaya navigasi yang dimaksudkan dalam teks
AKI. Pustakawan sebagai cerminan dari institusi perpustakaan, yang sekaligus bertindak sebagai entitas dominan, adalah pelaku dari aktivitas
pengarahan opini seseorang – dalam hal ini mahasiswa. Selain itu,
pustakawan telah memainkan peranannya sebagai navigator yang menjadi penentu arah perkembangan koleksi di perpustakaan. Dengan kata lain
bentuk kerjasama model ini memiliki nuansa penyensoran yang abu-abu grey censorship. Hal ini dikarenakan entitas dominan menjadikan kegiatan
akademis sebagai pembenaran terhadap kekerasan yang tak kasatmata terhadap entitas yang terdominasi, sehingga secara kontekstual aktivitas
tersebut tidak terlihat seperti upaya pengarahan intelektualitas mahasiswa.