Istilah differance diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen- elemen pertandaan tak bermaksud non-intent yang merujuk pada wilayah
rasa sense tanpa melewati alam kesadaran. Logika Derrida sebenarnya sederhana saja, tapi punya daya rusak yang luar biasa. Kerusakan yang
Derrida ciptakan berada pada tataran konseptual yang mampu menggoyahkan kestabilan pemaknaan awal dari sebuah teks. Kekuatan
tersebut bersumber dari permainan bahasa yang Derrida sematkan kepada setiap teks yang menjadi objek kajiannya. Bahasa dapat memenuhi syarat-
syarat kehadiran makna, kalau dia bisa menyediakan akses total dan langsung ke dalam pikiran yang telah memberi kesempatan bagi bahasa agar
bisa dituturkan.
21
Dengan demikian, kemungkinan pemaknaan baru akan muncul dalam setiap strategi pembacaan dekonstruksi.
Derrida menolak memberikan pengertian, arti, dan definisi kepada differance. Karena differance bukanlah sesuatu yang merujuk pada isi,
content, atau referens tertentu. Differance adalah sebuah strategi permainan yang tidak direncanakan, ia hadir dengan tujuan untuk mengusik kestabilan
yang dimiliki teks kemudian memblejeti pengertian tunggal yang terbentuk karena hirarki oposisional di dalam teks. Differance adalah kehadiran
presence, tapi di sisi lain juga menjadi ketiadaan absence. Differance menjadi bayang-bayang bagi teks dengan kejutan-kejutan yang siap
ditawarkannya, posisinya berhasil membuat cemas karena telah membuat kita berpikir bahwa kita telah kehilangan makna. Selama ini kita berpikir
21
Norris, Deconstruction, h. 103.
bahwa suatu kata hanya merujuk pada satu pemaknaan tunggal saja, namun melalui differance Derrida memperlihatkan bahwa setiap kata memiliki
untaian makna yang sedemikian luas.
2. Hirarki Oposisi Biner
Dalam dunia linguistik, sistem bahasa tercipta karena adanya perbedaan system of difference tanda yang hadir di dalamnya. Dalam
pandangan Saussure, tanda terdiri dari dua komponen. Pertama adalah citra akustik yang disebut penanda signifier. Kedua adalah konsep atau citraan
mental yang disebut tinanda signified. Penanda merupakan kesan bunyi yang dapat kita imajinasikan dari mulut penutur. Sedangkan tinanda adalah
konsep yang ditunjuk oleh penanda, tetapi gambarannya hanya bisa dirasakan secara transenden di dalam pikiran penutur.
22
Inti dari sistem pertentangan ini ialah Oposisi Biner. Oposisi antara penandapetanda, subjekobjek, tuturantulisan. Dalam tradisi metafisika
barat, istilah-istilah yang pertama lebih superior dari yang kedua. Sedangkan istilah-istilah yang kedua adalah representasi palsu dari yang pertama dan
bersifat inferior. Bagi Derrida istilah-istilah tersebut adalah milik logos. Tradisi logosentrisme inilah yang dipergunakan Derrida untuk menerangkan
asumsi adanya hak istimewa yang disandang istilah pertama, dan pelecehan terhadap istilah kedua.
Di dalam konteks yang berbeda, Derrida menggambarkan dekonstruksi sebagai gerakan ganda double gesture, tulisan ganda double-
22
Al-Fayyadl, Derrida, h. 37.
writing, dan pengetahuan ganda double-science. Tulisan ganda digunakan Derrida untuk menunjukkan strategi dekonstruksi terhadap apa yang ia sebut
sebagai hirarki oposisi biner yang menjadi karakteristik dari metafisika barat. Melalui hirarki oposisi biner ini hendak ditunjukkan bahwa pasangan-
pasangan konseptual tidak pernah berdiri sejajar satu sama lain, melainkan menegaskan bahwa yang pertama lebih bernilai dan fundamental dibanding
yang kedua atau lawannya. Di sisi lain, dekonstruksi sebagai gerakan ganda merujuk pada ikhtiar untuk memutarbalikkan dan melangkahi hirarki
oposisi biner yang menjadi dasar pemikiran barat dengan membongkar pasangan-pasangan konseptual yang berlawanan dengan memasukkan
konsep baru; sebuah konsep yang tidak lagi dapat dimasukkan ke dalam konsep sebelumnya. Konsep baru ini, disebut Derrida sebagai
“ketidakmungkinan untuk di pustukan” undecideables. Konsep baru ini tidak lagi dapat dimasukkan dalam skema hierarki oposisi biner meskipun
konsep tersebut mendiami, meresistensi. Dekonstruksi atas hirarki oposisi biner konsep filsafat tradisional ini
bersifat keniscayaan. Filsafat tradisional telah melakukan pensejajaran konseptual, seperti kesadarantubuh, alambudaya, penandapetanda,
tuturantulisan. Pensejajaran ini bukanlah suatu upaya damai oposisi konseptual, tetapi hirarki kekerasan karena salah satunya mendominasi dan
mensubordinasikan yang lain. Dekonstruksi berupaya membalikkan oposisi biner untuk menemukan perspektif baru dalam mengkaji relasi konseptual
yang saling dilawankan itu. Perspektif baru tidak mungkin diraih apabila
oposisi biner dipertahankan, bahkan hanya akan terjebak di dalam persejajaran dualistis tersebut.
Dekonstruksi memperkenalkan
cara baru
dalam memahami
pertentangan konseptual dalam filsafat, yaitu dengan mengubah hirariki oposisi biner yang saling berlawanan
. Dengan istilah “ketidakmungkinan untuk diputuskan”, Derrida menegaskan kemungkinan untuk tidak terjebak
dalam oposisi dan sistem yang dibentuk oleh hirarki oposisi biner. Atensi yang dekonstruksi inginkan adalah memperlihatkan ketidakmungkinan
untuk diputuskannya suatu pengertian konseptual karena dilawankan dengan yang lain. Hugh J. Silverman menyatakan bahwa dekonstruksi telah
memberi ruang bagi perbedaan di dalam teks, mengangkat apa yang terlupakan di dalam teks, sesuatu yang diangkat itu memang sudah
mendiami teks dan bukan diluar teks.
23
Menurut Derrida, pembalikan hirarki tidak boleh diartikan sebagai sekadar pertukaran prioritas yang pada mulanya tersubordinasi sehingga
mengatasi unsur lawannya. Pembalikan hirarki ditujukan untuk memperlihatkan unsur-unsur yang tersubordinasi dengan berdasarkan
mekanisme internal yang digunakan oleh metafisika itu sendiri, memiliki alasan yang sah untuk mengambil alih posisi unsur-unsur yang sebelumnya
berada di atas. Simon Critchley, memperkenalkan
istilah “pembacaan ganda” dalam dimensi dekonstruksi. Menurutnya, pembacaan dengan menggunakan
23
Hugh J. Silverman, Textualities: Between Hermeneutics and Deconstruction New York: Routedge, 1994, h. 44-46.
strategi dekonstruksi berbeda dengan jenis pembacaan lainnya. Pembacaan ganda ini dilakukan dengan dua langkah berikut; pertama, pembacaan dan
interpretasi atas teks sesuai dengan apa yang diungkapkan teks secara jelas dan terang benderang. Kedua, menyadari konflik yang terdapat di dalam
teks agar pengertian yang kita temukan terbuka terhadap yang lain. Dengan demikian, pembacaan ganda merupakan sebuah pembacaan yang
berkelindan paling tidak dalam dua motif atau lapisan. Di sisi lain, pembacaan ini bermaksud menampilkan kembali apa yang oleh Derrida
disebut sebagai “tafsir dominan” atas sebuah teks, pembacaan ini berbentuk semacam komentar; di sisi lain, pembacaan ini meninggalkan tatanan
komentar, memperlihatkan titik lemah dan kontradiksi dalam tafsiran dominan tersebut, lalu meyajikan pembacaan yang berbeda.
24
3. Teleologis
Beberapa mimpi mengenai tujuan akhir dari sebuah kehidupan yang terus
berkelanjutan. Derrida
mengkritisi kaum
modernis yang
memperlakukan teks secara geometris, melihat teks sebagai sesuatu yang bisa diperkirakan dan diprediksi bentuk akhirnya. Baginya, teks tidak lagi
ditempatkan sesuai dengan rancang-bangun yang dinginkan pengarang dan menghasilkan makna yang dinginkan oleh pengarang. Modernisme telah
memberikan jeruji batas dan kerangka kerja yang konstan constant framework sehingga mengekang teks dan tidak bisa keluar dari struktur
yang telah membangunnya. Dengan cara ini, membuat teks yang kita hadapi
24
Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida Levinas Oxford and Cambridge: Blackwell Publishers, 1992, h. 23.
tidak lagi berkembang dan terpenjara dalam kungkungan struktur dan keinginan telelologis pengarang.
25
Derrida berpandangan bahwa teks adalah sebuah proses yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Teks tidak bisa dihentikan, karena kekuatan
teks berada di ruang multidimensional yang di dalamnya terdapat kombinasi dari tulisan-tulisan yang diambil dari berbagai kebudayaan, dan memasuki
ruang tertentu, yang didalamnya berinteraksi dalam bentuk dialog, parodi, kontes. Ruang inilah yang merupakan representasi dari pembaca. Pada
dasarnya sebuah teks memiliki sifat intertekstual yang saling berkaitan dan tidak pernah selesai berproses. Dari proses tanpa akhir dan tanpa tujuan ini,
teleologis tidak dipahami sebagai akhir dari sebuah kinerja teks, melainkan telos yang menuju masa depan yang tak terbatas dan tak mungkin di
realisasikan sepenuhnya untuk saat ini. Teleologi teks yang intertekstual merupakan bentuk lain dari ke-takberhinggaan yang tidak mengenal kata
akhir. Ia menjadi kemungkinan yang sulit untuk direduksi. Oleh karena itu Derrida menyarankan kita untuk mengabaikan konsep
telos yang diandaikan sebagai titik akhir dari seluruh proses argumentasi filosofis. Konsep telos
sering bersinggungan dengan gagasan “kasua final” yang dalam paradigma Aristotelian dianggap sebagai tujuan akhir dari
sebuah hirarki kausalitas.
26
25
Ibid., h. 68.
26
Ibid., h. 26.
D.
Penelitian Terdahulu
Hasil dari proses penelitian atau analisis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun
tidak langsung dengan pemasalahan yang dibahas oleh seorang peneliti. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna
menopang penelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya.
Sejauh yang peneliti telusuri, belum ada seseorang yang meneliti persoalan
“Censorship Bahan Pustaka di Perpustakan Indonesia”. Dalam penelitian ini, peneliti memaparkan bagaimana fenomena penyensoran
menjadi pilihan utama terhadap keberagaman wacana di Indonesia. Selama ini yang menjadi tindaklanjut atas literatur yang memiliki wacana alternatif
adalah pelarangan beredar dan penghancuran atas keberadaannya. Ironisnya dalam institusi perpustakaan, bahan pustaka dengan variasi tersebut juga
mendapat perlakuan yang sama. Bentuk-bentuk penyensoran yang kerapkali dilakukan adalah dengan dilakukan penyaringan terhadap bahan pustaka,
sehingga pemustaka tidak dapat mengaksesnya. Padahal di satu sisi perpustakaan memiliki fungsi dan tugas untuk melestarikan dan
menyebarkan informasi kepada pemustaka. Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini
dapat dibandingkan dengan skripsi yang berjudul: 1.
“Dekonstruksi Religiositas: Telaah Atas Pemikiran Jacques Derrida” yang disusun oleh Nanang Sunandar, mahasiswa Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta tahun 2007. Penelitian membahas tentang perspektif dekonstruksi terhadap nilai religiositas
keagamaan. 2.
Selain itu, skripsi berjudul “Dekonstruksi Teks Pengantar Ilmu Perpustakaan: Menggunakan Filsafat Dekonstruksi Jacques Derrida
” yang ditulis oleh Al Muhdil Karim, mahasiswa fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta. Skripsi ini membahas tentang evaluasi ulang gagasan filosofis keilmuan di bidang
perpustakaan menggunakan perspektif dekonstruksi. Al memilih untuk membongkar gagasan yang terdapat pada teks Pengantar Ilmu
Perpustakaan. Adapun gagasan yang menurut Al harus dikaji ulang adalah mengenai definisi perpustakaan, dikotomi ilmu perpustakaan
dan ilmu dokumentasi, dikotomi ilmu perpustakaan dan ilmu informasi, serta teori perkembangan perpustakaan. Al berpandangan
bahwasannya seiring berjalannya waktu, gagasan keilmuan yang ditawarkan pada teks sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan
ilmu perpustakaan hari ini.
34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kepustakaan library research dengan menggunakan skema pembacaan
dan penelitian berdasarkan perspektif dekonsrtuksi. Peneliti mencoba untuk menggali susunan logosentrisme yang selama ini terkandung dalam
gagasan censorship di perpustakaan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia
karya Blasius Sudarsono, MLS. Dalam penelitian, teks Antologi Kepustakawanan Indonesia akan peneliti singkat menjadi AKI.
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Esensi dari penelitian kualitatif adalah untuk
memahami. Memahami yang dimaksud adalah memahami sesuatu yang dapat berarti banyak hal, memahami pola pikir dan sudut pandang dari
sebuah teks, memahami suatu fenomena central phenomenon. Memahami disini adalah benar-benar memahami dari sudut pandang
fenomena , dan fungsi peneliti hanya sebagai orang yang “mengemas” apa
yang diperlihatkan oleh fenomena.
27
27
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial Jakarta: Salemba Humanika, 2012, h. 5.
B. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia karya Blasius Sudarsono karena
buku tersebut memuat konsep-konsep censorship yang perlu dilakukan perpustakaan. Bentuk analisis penelitian yang akan dipaparkan adalah
dengan menganalisa gagasan-gagasan yang mendukung censorship yang tersedia di dalam teks. Selanjutnya peneliti akan melakukan kritik teks
menggunakan perspektif pembacaan dekonstruksi. Konsekuensi logis dari metode ini adalah peneliti harus terlepas dari pemaknaan tunggal. Selain
itu kebenaran teks yang dinginkan oleh penulis juga harus peneliti kesampingkan yang notabenenya adalah praktisi Perpustakaan di
Indonesia. Sehingga dalam penelitian ini akan ditemukan kebenaran jamak dan tidak lagi tunggal terhadap fenomena pelarangan buku.
C. Observasi Teks
Dalam temuan awal peneliti, buku Antologi Kepustakawanan Indonesia memuat gagasan yang merepresentasikan proses censorship di
perpustakaan. Pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia, kebebasan informasi sebagai sebuah nilai mendapatkan distorsi sehingga peranannya
dalam tataran pengembangan dunia perpustakaan menjadi terganggu. Kondisi kekinian memaparkan fakta empiris bahwa pustakawan memiliki
peranan penting dalam melestarikan budaya censorship di perpustakaan.
Censorship sebagai unsur yang lain dipengaruhi oleh sikap pustakawan sebagai penentu atas peredaran bahan informasi di
perpustakaan. Berdasarkan teori dekonstruksi, kebenaran atas teks tidak bisa dipegang oleh satu unsur saja, melainkan kebenaran harus berada
dikedua unsur yang terlibat dalam pertentangan nilai – dalam hal ini
censorship dan kebebasan informasi. Sehingga pada akhirnya tercapai kebenaran yang jamak. Dengan membuka kemungkinan-kemungkinan lain
yang selama ini direpresi oleh censorship, diharapkan akan tercipta keterbukaan dalam gagasan terbarukan.
D. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.
28
Dalam penelitian kali ini, peneliti melakukan penyajian data dalam bentuk deksriptif analitik. Menurut Nyoman Kutha Ratna, metode desktiptif
analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
29
Setelah melakukan
identifikasi gagasan
pada susunan
logosentrisme yang disajikan dalam buku Antologi Kepustakawanan Indonesia, peneliti akan melakukan analisis ulang terhadap kerangka
logosentrisme tersebut dengan menemukan dan menyusun asumsi yang
28
Ibid., h. 339.
29
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, h. 53.
bisa diposisikan sebagai oposisi dari logika gagasan yang ditemukan pada fenomena censorship. Setelah itu peneliti akan melakukan pembalikan
hirarki dari gagasan tersebut dengan argumen filosofis yang dikolaborasikan dengan pengetahuan perspektif peneliti, sehingga akan
menghasilkan kebenaran yang relatif. Dengan demikian setelah gagasan diungkapkan maka peneliti akan
memaparkan logosentrisme dalam bentuk oposisi biner dan mulai dilakukan pembalikan hirarkis kerangka logosentrisme yang terdapat di
dalam teks. Pembalikan hirarkis akan menimbulkan keraguan terhadap kebenaran tunggal yang selama ini terkandung dalam fenomena
censorship. Dengan pemaparan tersebut maka akan timbul otokritik dari pembaca sesuai dengan daya pengetahuan yang dimilikinya sehingga
diharapkan akan terbuka peluang pengembangan ilmu pengetahuan dalam
bidang perpustakaan.
E. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat yang akan digunakan dala penelitian ini tidak terikat pada satu tempat, karena objek yang dikaji berupa teks ilmu pengetahuan yang
ditulis oleh praktisi ilmu perpustakaan. Adapun waktu penelitian dimulai bulan September 2015 sampai Oktober 2015.