Dekonstruksi Wacana Censorship Pada Teks Antologi Kepustakawanan Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Perpustakaan (S.IP)

oleh :

MUHAMMAD HAIKAL NIM : 109025000024

PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

JAKARTA 1437 H / 2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Mukmin Suprayogi, M.Si. Jakarta: Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. 82 hal.

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan ilmu filsafat sebagai landasan berpikir. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan perspektif dekonstruksi sebagai pisau analisa. Dengan menggunakan perspektif dekonstruksi peneliti ingin memaparkan oposisi biner dari gagasan censorship yang terdapat pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia. Teori opsional yang digunakan terhadap gagasan censorship tidak dilihat sebagai suatu konsepsi absolut, namun lebih kepada sebuah hasil analisis reflektif dari peneliti. Peneliti akan memaparkan hasil penelitian dengan menggunakan metode deskriptif dengan penyajian hasil dan penyusunan penelitian berdasarkan perspektif dekonstruksi. Adapun hasil dari penelitian ditemukan bahwa wacana censorship memiliki manifestasi ganda, selain sebagai pemberi batasan peredaran informasi,

censorship juga berfungsi sebagai pembentuk moral suatu bangsa. Kata kunci:


(6)

ii

karena melalui rahmat dan nikmat-Nya penelitian ini dapat menemukan jalannya untuk bisa hadir sebagai sebuah karya. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW., revolusioner sejati, pembawa kedamaian, dan penyebar ilmu. Semoga amal kebaikan, dan kasih sayang yang beliau tanamkan akan tersebar hingga alam semesta.

Peneliti pada dasarnya menganggap penelitian ini bukan sebagai sebuah laporan hasil penelitian semata, namun lebih kepada sebuah karya seni, tujuannya agar penelitian ini bisa dinikmati sebagai sebuah karya yang mempunyai nilai-nilai estetika dibalik nilai-nilai-nilai-nilai intelektualitas. Selama melakukan penelitian, peneliti menyadari banyak pihak yang telah membantu peneliti dalam melaksanakan penelitian baik materil maupun moril. Terima kasih peneliti ucapkan kepada seluruh entitas yang telah berperan dalam penelitian ini. Baik dalam bentuk ide dan materi, sehingga peneliti mampu menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Pada kesempatan kali ini peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih secara khusus kepada:

1. Ayahanda peneliti, Iri Mudiadji, yang telah mengajarkan nilai-nilai kehidupan semenjak peneliti masih di umur belia. Memberikan bekal kepada penelti berupa cara berfikir analitis melalui diskusi ringan, dan tidak pernah ragu dengan kapasitas peneliti. Karena beliaulah peneliti berani mengambil pilihan-pilihan yang insya Allah akan berguna bagi


(7)

beliau di dalam golongan orang-orang yang mulia.

Ibunda peneliti, Sri Marlina, yang tak pernah lelah mengingatkan peneliti bahwa Islam adalah pegangan hidup yang hakiki. Beliau tak pernah berhenti mengajarkan norma-norma kehidupan yang teramat berharga bagi kehidupan peneliti kelak. Semoga Allah menjadikan beliau penghuni surga firdaus.

2. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Pungki Purnomo, MLIS dan Bapak Mukmin Suprayogi, M.Si. selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Ilmu Perpustakaan.

4. Bapak Mukmin Suprayogi selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah mengajarkan peneliti tentang cara berpikir sistematis dan membantu peneliti menulis karya ilmiah pertamanya

5. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Adab dan Humaniora, terlebih Ibu dan Bapak dosen jurusan Ilmu Perpustakaan yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang senantiasa menjadi pegangan peneliti dalam berargumentasi.

6. Kawan-kawan seperjuangan Gerakan Mahasiswa Indonesia (GM-I) yang telah berjasa bagi peneliti untuk melupakan bagaimana caranya untuk menyerah, yang telah mengajarkan bagaimana caranya radikal dalam bertindak dan kritis dalam berpikir, yang selalu mengajarkan bahwa menghargai sebuah proses itu lebih penting ketimbang mendewakan sebuah hasil. Karena teori kami bukanlah dogma, tapi pedoman untuk bergerak, jangan hanya bergumam tapi melawan lah!


(8)

menamakan dirinya Libnation 09. Bersama mereka, peneliti belajar bagaimana cara menghargai teman, bagaimana melewati berbagai momen baik suka maupu duka. Terima kasih untuk kebersamaannya. Tak ada yang dapat menukar bahkan membayar harga kebersamaan kita. Singkat, namun berarti.

8. Al Muhdil Karim, Aditya Permana, Pantden Mhd. Noor, Surya Vandiantara, Helendra Bohal, dan Trio Ryo yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi mengenai penelitian ini. Karena sodoran ide mereka, penelitian ini akhirnya bisa dirampungkan.

9. Adik-adik terkasih, Dina, Bela, Rayhan yang selalu memberikan warna dalam kehidupan peneliti selama ini dan selalu berhasil menjadi

moodbooster tatkala peneliti pulang ke rumah.

Pada akhirnya peneliti merasa perlu menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh entitas yang telah memberikan jalan bagi peneliti baik secara langsung maupun tak langsung. Tanpa menyebutkan satu persatu, namun sama sekali tidak berpretensi mengurangi rasa terima kasih peneliti. Atas itu semua, peneliti ucapkan terima kasih. Akhir kata, peneliti berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi peneliti ataupun pihak yang membacanya.

Ciputat, 12 Mei 2016


(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...………....………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...………... 7

D. Definisi Istilah ...………..………... 8

E. Sistematika Penulisan ...………..…...………... 9

BAB II TINJAUAN LITERATUR A. Dekonstruksi ………...…………... 11

B. Pemaknaan Teks dalam Perspektif Dekonstruksi …….…...……... 19

C. Rumusan Perspektif Dekonstruksi ……….………....…. 23

1. Differance ...………..……...…..… 23

2. Hirarki Oposisi Biner ………... 27

3. Teleologis ... 30

D. Penelitian Terdahulu ...………..……..… 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ....………...……..…... 34


(10)

B. Fokus Penelitian ...………..………..…….. 35

C. Observasi Teks ...…………....………... 35

D. Teknik Analisis Data ... 36

E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

BAB IV BIBLIOGRAFI TEKS DAN ANALISIS TEKSTUAL A. Deskripsi Bibliografi Teks ...……….…. 38

1. Biografi Pengarang ... 38

2. Bibliografis Teks ... . 40

B. Analisis Tekstual Fenomena Censorship ...…...………... 42

C. Analisis Dekonstruktif Terhadap Fenomena Censorship.... 53

D. Censorship sebagai Wacana Penyeimbang ... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....………...…... 78

B. Saran ………...……….……. 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN


(11)

1

A.

Latar Belakang

Dewasa ini, setiap manusia membutuhkan informasi. Pentingnya keberadaan informasi berperan aktif terhadap hajat hidup orang banyak. Semakin mudah seseorang mendapatkan informasi, niscaya ia akan semakin terhindar dari kesulitan. Dan sebaliknya, ketika akses informasi semakin sulit untuk didapatkan maka tingkat kesejahteraannya pun akan semakin rendah. Keterkaitan ini berdasarkan bahwa informasi memiliki

value berupa ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan adalah alat yang digunakan untuk meningkatkan taraf hidup manusia.

Perpustakaan adalah institusi yang menyimpan beragam informasi dalam berbagai bentuk. Di kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan informasi untuk saling berinteraksi. Informasi dibutuhkan manusia untuk melakukan hubungan sosial dengan berkomunikasi satu sama lain. Salah satu sumber manusia mendapatkan informasi ialah dengan mendapatkannya di perpustakaan. Selama ini perpustakaan dikenal sebagai institusi penyimpan khazanah hasil pikiran manusia.1 Khazanah pikiran manusia ini yang kemudian bertransformasi menjadi informasi-informasi yang tersebar luas bagi manusia lainnya.

1

Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 4.


(12)

Dengan kebutuhan akan informasi ini posisi perpustakaan sebagai institusi yang melestarikan bahan informasi menjadi krusial. Keberadaan perpustakaan diharapkan mampu mewujudkan relasi sosial antar umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan informasinya. Hal ini menjadi semacam penegasan bahwasannya keberadaan perpustakaan tidak bisa dilepaskan dari siklus informasi. Sebab informasi adalah manifestasi peradaban manusia yang memiliki nilai kultural. Selain itu, melalui informasi lah ilmu pengetahuan akan tercipta, yang secara substansial mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sosial seorang individu.

Namun, ada sebuah fenomena unik yang terjadi di perpustakaan dan bersifat paradoksal. Sebuah kondisi paradoks yang menciptakan ironi dalam konteks upaya pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di Indonesia. Kondisi ideal yang bertentangan secara empiris dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks mengandung premis-premis yang diakui kebenarannya namun memiliki hasil berupa fakta yang berlawanan satu sama lain.2

Fenomena tersebut berupa peniadaan terhadap bahan informasi yang dianggap tidak layak untuk dijadikan koleksi di perpustakaan atau dikenal dengan istilah censorship. Rebecca Knuth memperkenalkan sebuah terminologi dalam konteks censorship, ia menggunakan istilah “Libricide” atau dalam bahasa indonesia disebut “Librisida”. Librisida adalah sebuah

2

Iwan Awaluddin Yusuf, dkk., Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator Media, 2010), h. v.


(13)

praktik yang sistematis dari suatu rezim terhadap buku yang dilakukan demi pencapaian tujuan-tujuan ideologi jangka pendek maupun jangka panjang. Librisida juga mengindikasikan adanya kelompok di dalam masyarakat yang hendak mendominasi negara dan memiliki gagasan ekstrem mengenai masyarakat.3

Censorship adalah sebuah paradoks ditengah kobaran semangat pengembangan intelektualitas suatu bangsa. Censorship menjadi pembatas terhadap bahan informasi tertentu yang secara mendasar merupakan elemen pengaya suatu ilmu pengetahuan. Charles Busha memberikan definisi yang cukup lugas perihal censorship :

the rejection by library authority of a book (or other material) which the librarian, the library board or some person bringing pressure on them holds to be obscene, dangerously radical, subversive, or too critical of the existing mores.”4

Pada dasarnya censorship sudah menjadi persoalan dilematis seiring dengan ditemukannya perpustakaan. Karena terdapat perbedaan mendasar yang menyelimuti pustakawan ketika menghadapi censorship secara konsepsional, mau pun ketika menanganinya pada tataran praksis. Pada umumnya, pustakawan memiliki potensi dalam membatasi laju gerak dari

censorship karena pustakawan merupakan regulator yang memiliki kontrol penuh di perpustakaan. Namun satu hal yang disayangkan adalah ketiadaan aturan dan guidelines yang mampu menjadi barometer atas apa

3

Rebecca Knuth, Libricide: The regime-sponsored destruction of books and libraries in the twentieth century (Westport, Conn.: Preager, 2003).

4

G. Edward Evans, Developing Library and Information Center Collection (Colorado: Libraries Unlimited, 1987), h. 395.


(14)

yang disebut sebagai sebuah keberhasilan terhadap penangkalan censorship di perpustakaan.

Apa yang menjadi penyebab terjadinya sensor akan selalu relatif dan tak pernah mudah untuk dijawab. Itu semua berawal dari sifat dasar manusia yang dipengaruhi oleh kondisi psikis pustakawan yang selalu akan bisa berubah sewaktu-waktu. Censorship dan kebebasan informasi merepresentasikan oposisional pada institusi masyarakat.5 Beberapa pihak memandang tak perlu ada pembatasan dan aturan-aturan tertentu. Namun, golongan lain juga berpandangan bahwa perlindungan dan kontrol merupakan garda terdepan dalam membentuk karakter seseorang. Maka dari itu, pustakawan sebagai individu yang selalu terlibat di dalam dua wacana tersebut mencoba untuk menggapai keseimbangan yang tepat.

Memang, manfaat sebuah bahan informasi tidak selalu bisa langsung diterima, karena bisa saja sebuah informasi yang hari ini tidak berguna namun suatu saat nanti bisa menjadi sangat berguna bagi individu lainnya. Sebab ketika ditelusuri lebih dalam, setiap informasi memiliki nilai kultural yang berguna bagi individu yang memiliki keterkaitan dengan informasi tersebut. Berangkat dari fenomena tersebut membuat peneliti tertarik melakukan sebuah usaha dekonstruksi atas wacana censorship di perpustakaan. Peneliti akan melakukan kritik atas gagasan censorship yang selama ini terjadi di perpustakaan. Peneliti akan memilih kajian filosofis dengan alat bantu filsafat. Filsafat adalah ilmu yang digunakan untuk

5


(15)

menemukan ide-ide. Adapun filsafat menurut Bertrand Russel adalah:

“sesuatu yang berada di tengah-tengah antara sains dan teologi. Sebagai teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah pengetahuan definitif tentangnya, sampai begitu jauh, tidak bisa dipastikan. Namun seperti sains, filsafat berisikan lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi ataupun otoritas wahyu. Semua pengetahuan definitif – saya menyebutnya demikian – termasuk ke dalam sains; semua dogma, yang melampaui pengetahuan definitif, termasuk ke dalam teologi. Tetapi, diantara teologi dan sains terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusiapun, yang tidak terlindungi dari serangan kedua sisinya; wilayah yang tidak bertuan ini adalah filsafat. Hampir semua persoalan yang sangat menarik bagi pikiran-pikiran spekulatif tidak bisa dijawab oleh sains, dan jawaban-jawaban meyakinkan dari para teolog tidak lagi terlihat begitu meyakinkan sebagaimana abad-abad sebelumnya. Sehingga dengan ruang yang bersifat spekulatif maka filsafat dapat digunakan sebagai alat refleksi dalam memandang sebuah

gagasan, tidak hanya gagasan sains namun gagasan yang bersifat teologi”6 Berangkat dari definisi di atas menjadikan filsafat memiliki fungsi untuk mengungkapkan konsep-konsep yang belum pernah dicapai oleh manusia sebelumnya. Dalam penelitian ini peneliti memilih perspektif dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida. Dekonstruksi adalah satu aliran filsafat era postmodern yang digunakan untuk

6

Bertrand Russel, Sejarah Fislafat Barat: dan Kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. xiv.


(16)

mengkritisi teks. Peneliti beranggapan dengan menggunakan dekonstruksi, gagasan keilmuan dalam fenomena censorship yang selama ini dogmatis akan memperlihatkan sisi kelemahannya dalam ranah pengembangan intelektual. Selain itu, melalui usaha dekonstruksi diharapkan akan membuka peluang untuk dilakukan pengembangan gagasan filosofis ilmu perpustakaan.

Peneliti menjadikan kajian filosofis sebagai upaya pengembangan keilmuan dengan harapan mampu membuka peluang seluas mungkin untuk dijadikan sebagai variasi baru dalam dunia ilmu perpustakaan. Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan khazanah multidispliner keilmuan sehingga mampu mengembangkan diskursus ilmu perpustakaan ke arah yang lebih inovatif.

Peneliti berasumsi perlu diadakannya pembaharuan gagasan terhadap kerangka filosofis dalam teks yang dijadikan sebagai pembenaran dalam fenomena censorship. Teks yang peneliti angkat adalah teks yang menuangkan gagasan censorship dalam praktik dunia perpustakaan. Oleh sebab itu, peneliti memilih penelitian yang berjudul “Dekonstruksi Wacana Censorship pada Teks Antologi Kepustakawanan Indonesia”

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang peneliti paparkan, maka permasalahan yang hendak peneliti hadirkan adalah mengenai gagasan


(17)

karangan Blasius Sudarsono. Kritik teks akan peneliti lakukan menggunakan perspektif dekonstruksi. Dengan demikian, maka konsentrasi pada penelitian ini adalah: “Gagasan Censorship dalam teks

Antologi Kepustakawanan Indonesia”

Sedangkan perumusan masalah yang ditetapkan untuk penelitian ini adalah: “Bagaimana perspektif dekonstruksi terhadap fenomena

censorship yang terdapat didalam teks Antologi Kepustakawanan

Indonesia?”

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan oposisi biner dari gagasan censorship yang selama ini tersembunyi dalam penalaran teks. Melalui pemaparan ini diharapkan dapat memunculkan penalaran-penalaran baru yang selama ini tidak tampak dalam bangunan tekstual. Peneliti merasa tertarik untuk melakukan refleksi terhadap bangunan epistemologi gagasan censorship pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, bagi peneliti, adalah sebagai proses pembelajaran dalam memahami lebih jauh fenomena censorship


(18)

sedikit banyak mendapat pengetahuan akan konsepsi ontologis di dunia perpustakaan yang selama ini belum peneliti sadari.

Sedangkan bagi bidang keilmuan perpustakaan, diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam mengkaji fenomena censorship yang selama ini peneliti rasa masih kurang menjadi suatu pokok bahasan. Dengan pemahaman terhadap kebebasan informasi yang bersifat kontekstual, diharapkan kedepannya akan tumbuh praktisi perpustakaan yang tidak kaku terhadap pekembangan isu dan memliki inovasi keilmuan sehingga terhindar dari ambisi memutlakkan ilmu pengetahuan.7

D.

Definisi Istilah

Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang menurut hemat peneliti perlu diberikan definisi singkat. Pertama, dekonstruksi dapat diartikan sebagai sebuah cara membaca kritis. Melalui pembacaan kritis, setiap pembaca akan melihat jelas kekuatan teks yang tak terkatakan. Sebuah kekuatan yang hanya berbentuk siratan makna namun mampu mengubah tatanan konsepsi teks secara keseluruhan.

Definisi kedua adalah censorship. Censorship merupakan sebuah fenomena yang berkaitan dengan siklus informasi yang tersedia di perpustakaan. Fenomena yang menganggap bahan informasi tertentu tidak perlu dijadikan koleksi di perpustakaan karena pembenaran-pembenaran tertentu. Dalam penelitian, konteks censorship yang peneliti angkat

7

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), h. 173.


(19)

merupakan fenomena censorship yang tertuang secara kontekstual pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia.

Definisi selanjutnya adalah teks. Teks dinilai sebagai sebuah entitas yang memiliki tujuan untuk mengkonstruksi pemaknaan tertentu. Pada penelitian, teks yang akan dilakukan analisis adalah teks Antologi Kepustakawanan Indonesia karangan Blasisus Sudarsono.

E.

Sistematika Penulisan

Agar bahasan bab demi bab terjalin secara sistematis, maka penulis membaginya dalam lima bab, adapun urutannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini dikemukakan latar belakang penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II TINJAUAN LITERATUR

Bab ini memuat teori yang digunakan dalam penelitian. Pada bab ini peneliti membahas tentang Latar Belakang Dekonstruksi, Pemaknaan Teks dalam Teori Dekonstruksi, Perspektif Rumusan Dekonstruksi.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjabarkan tentang jenis dan pendekatan penelitian, fokus penelitian, observasi teks, dan teknik analisis data.


(20)

BAB IV BIBLIOGRAFI TEKS DAN ANALISIS TEKSTUAL

Bab ini memuat pemaparan deskripsi bibliografis teks dan hasil analisis terhadap objek kajian yang peneliti tentukan dalam permusan masalah dengan menggunakan perspektif dekonstruksi. Pada bab ini peneliti akan membagi dua bagian; bagian pertama membahas deskripsi bibliografis teks dan bagian kedua adalah analisis dekonstruktif terhadap teks.

BAB V PENUTUP


(21)

11

A.

Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah Derrida dan Derrida adalah dekonstruksi. Istilah tersebut menggambarkan sebuah keterikatan yang Shahih. Derrida memang pembuat teori Dekonstruksi. Namun jika ditelusuri, yang Derrida lakukan adalah menyempurnakan sebuah konsep yang sudah ada dan kemudian ia radikalkan. Jacques Derrida adalah filsuf Prancis kontemporer yang melontarkan pandangan provokatif melalui kritik radikal atas tradisi metafisika Barat,

8

logosentrisme,9 dan fonosentrisme.10 Namun cikal-bakal Dekonstruksi bermula dari Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, yang mempersoalkan status Ontologi dalam filsafat/metafisika barat. Ia berpandangan bahwa selama ini metafisika barat telah melupakan makna “ada”. Hal ini terlihat dari upaya pemisahan hubungan antara ada dengan waktu. Konsep ini yang kemudian dikenal sebagai destruksi.

Ontologi memiliki arti sebagai ilmu tentang ada. Ontologi adalah sumber dari eksistensi segala sesuatu di dunia fenomenal yang diberi istilah sebagai

8

Cara melihat pusat-pusat yang bersifat metafisik hadir untuk menjadi jaminan dan fondasi bagi setiap tanda. Lihat, Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya & Matinya Makna, ed. 4 (Bandung: Matahari, 2012), h. 237.

9

Kecenderungan untuk menyandarkan tanda dan makna pada fondasi atau pusat dalam sistem bahasa yang menjadikan kebenaran bersifat final. Ibid., h. 368.

10

Sebuah keterpusatan Bahasa pada bunyi, citra akustik, dan meyakini aksara tidak memliki peran dalam aktivitas linguistik sehari-hari pada individu. Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta: LKIS, 2011), h. 43-48.


(22)

mengada atau adaan (beings).11 Guna mempreteli pandangan filsafat/metafisika Barat atas makna Ada, Heidegger menciptakan sebuah konsep yang dikenal

sebagai “destruksi”. Dengan istilah ini Heidegger berhasil menunjukkan bahwa

ontos (ada) telah dipersoalkan bahkan pada periode filsafat Yunani Kuno. Ke-ada-an yKe-ada-ang secara diam-diam dilupakKe-ada-an memberikKe-ada-an pengaruh pada tradisi filsafat setelahnya.

Heidegger mencontohkan dalam filsafat Descartes yang memiliki istilah

“cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir maka aku ada”. Terlihat bahwa ke -ada-an manusia selalu ditentukan oleh pikirannya. Metafisika Barat cenderung berangkat dari cogito atau pikiran, ketimbang bertolak dengan mempertanyakan

sum atau ada. Ekses dari keterpisahan ada dengan waktu telah menjadikan metafisika cenderung meletakkan pikiran sebagai pusat dari eksistensi. Dengan demikian, pikiran menjadi tolok ukur bagi keberadaan seluruh fenomena yang eksternal.

Konsep destruksi yang dibawa Heidegger digunakan untuk mengkritik sebuah bangunan epsitemologis, yang dalam hal ini berupa tradisi metafisika barat, namun tetap membuka peluang lebar untuk membangunnya kembali dan merekonstruksinya. Bersama dengan destruksi-nya, Heidegger hendak menghancurkan logosentrisme yang bersemayam di dalam filsafat tradisional. Namun ia masih mengalami kesulitan untuk keluar dari tradisi logosentrisme yang telah mengakar itu. Adapun konsep heidegger yang cukup terasa nuansa logosentris-nya terdapat di konsep aletheia, yaitu menyingkap sang ada.

11


(23)

Penyingkapan tidak meninggalkan apa-apa selain “jejak”. Yang tersisa adalah jejak yang terus menunda kehadiran. Namun pada saat yang sama juga menunda penyingkapan sang ada dengan kelupaan-kelupaan yang baru. Sejarah ontologi dan metafisika, dengan demikian, adalah sejarah pergulatan tanpa henti untuk menyingkapkan ada dan melupakannya. Dalam membangun konsep tersebut Heidegger menggunakan metode fenomenologi yang pada akhirnya menyebabkan dia mengalami kebuntuan dalam penyingkapan sang ada.

Derrida, yang melihat ikhtiar Heidegger yang hendak membongkar struktur dasar metafisika barat, melakukan penyempurnaan atas konsep destruksi. Derrida memberikan sentuhan radikalnya yang membuat konsep buatannya tidak hanya selesai pada tahap pembongkaran metafisika saja, melainkan melangkah lebih jauh hingga tataran penggugatan ontologi itu sendiri. Bersama dekonstruksi, Derrida tidak hanya berhenti pada mengkritik, tetapi merombak dan mencari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam bangunan metafisika lalu membiarkannya centang-perenang dan tidak memungkinkannya untuk dibangun kembali.12 Lebih lanjut dekonstruksi merelatifkan bahkan menihilkan segala unsur penting yang membentuk pandangan-dunia, seperti diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, metafisika. Namun yang harus digarisbawahi adalah Derrida tidak menuju nihilisme, yang ia lakukan adalah melakukan pembelaan terhadap bahasa lain dalam teks.13

Dengan mempersoalkan struktur metafisika yang membangun sebuah wacana, dekonstruksi mengambil porsi teoritiknya sebagai sebuah kritik atas

12

Ibid., h. 21. 13


(24)

metafisika. Mengacu kepada pengertian yang diberikan Derrida, metafisika adalah segala bentuk pemikiran yang memahami realitas berdasarkan pengandaian sang Ada sebagai kehadiran (being as presence). Derrida melihat di dalam metafisika tradisional terkandung makna asal-usul (archia) dan tujuan (telos), yang keduanya ditolak olehnya dalam rangka membendung logosentrisme yang senantiasa melihat sejarah secara linear, seolah-olah semuanya terjadi secara alamiah. Archia

diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya. Sedangkan telos, digambarkan sebagai titik akhir dari segala proses pencapaian.

Menurut Derrida, pengandaian yang coba dihadirkan metafisika terlihat jelas dalam sejarah pemikiran Barat, yang sedari awal berkeinginan untuk mendapatkan kebenaran yang tunggal, pasti, dan tak terbantahkan. Dalam metafisika Barat, watak realitas dimaknai sebagai kehadiran dalam substansi, esensi, eksistensi, kesadaran, subjek, manusia, roh, Tuhan, yang dinilai berkaitan dengan logos. Dengan mendekonstruksi kedua konsep tersebut, Derrida menolak adanya realitas onto-teologis yang mendasari seluruh bangunan epistemologis filsafat/metafisika barat.

Derrida, yang menjadikan dekonstruksi sebagai alat untuk melucuti logosentrisme, menciptakan sebuah teknik guna membendung laju logosenterisme barat. Teknik yang menjadikan filsafat sebagai tulisan. Derrida melakukan ini dengan semangat untuk meniadakan struktur dasar logosentrisme. Logosentrisme memiliki kecenderungan metafisis untuk mengukuhkan kebenaran absolut dalam bahasa atau fenomena. Ini merupakan inti dari proyek dekonstruksi, sebab dengan


(25)

meletakkan filsafat dalam kapasitasnya sebagai “tulisan”, konsep-konsep khas metafisika kehadiran, seperti subjek, pengarang, atau pusat, dengan sendirinya akan tiada. “Tulisan” yang dimaksudkan Derrida adalah teks yang tidak lagi memiliki referensi yang menjadi pusat dari struktur yang memiliki kemungkinan tak berhingga untuk dibaca dan ditafsirkan. Derrida membayangkan stabilitas dan koherensi makna ditunda dengan membuka celah bagi munculnya pemaknaan yang berbeda dari keinginan pengarang.14 Derrida meyakini ketika “suatu

kenyataan”, metafor dari tulisan, bisa saling bertautan dan bekerja tanpa dimediasi

oleh subjek maka suatu teks akan mampu terurai dan otonom di dalam medan pemaknaan yang tak berbatas.

Tulisan-tulisan Derrida tidak bisa diklasifikasikan menurut asumsi-asumsi yang selama ini dipandang dapat menentukan wacana akademis modern.

Tulisan-tulisan tersebut dapat dikatakan sebagai “Tulisan-tulisan filsafat” selama ia memuat persoalan pemikiran, bahasa dan identitas serta tema-tema lainnya yang telah lama menjadi perdebatan filosofis. Teks-teks Derrida sangat berbeda dengan tulisan-tulisan filsafat modern pada umumnya, ia berusaha menantang seluruh tradisi dan pemahaman disiplin filsafat. Derrida menolak sebuah pendapat lama yang

mengkonsepsikan filsafat sebagai “dirijen rasio” yang paling berkuasa. Selama ini para filosof bisa meneriakkan berbagai sistem pemikiran hanya dengan cara mengabaikan, merepresi dampak-dampak bahasa yang dirasa mengganggu. Oleh sebab itu, tujuan utama Derrida adalah untuk memperlihatkan dampak-dampak ini dengan cara melakukan pembacaan kritis yang akan memahami, dan sedapat

14


(26)

mungkin menggali, elemen-elemen metafor dan hal-hal figuratif lain yang terdapat di dalam teks-teks filosofis. Disinilah kemudian dekonstruksi menetukan posisinya. Ia bekerja sebagai bentuk sisa dari cara-cara dimana bahasa membelokkan atau mempersulit angan-angan para filosof. Bagi Derrida, tugas dekonstruksi adalah untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika barat. Sebuah ide yang mengatakan rasio bisa lepas bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain.

Pandangan dunia Derrida mempertunjukkan pertentangan modernisme yang muncul melalui sistem metafisika. Pertama, dia membaca teks-teks filsafat yang ditulis oleh para filsuf barat sejak era Pencerahan. Dari telaahnya Derrida berkesimpulan bahwa tradisi filsafat barat sepenuhnya didasarkan pada

“logosentrisme” atau “metafisika kehadiran”. Secara ringkas Logosentrisme adalah sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transedental dibalik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal.15 Dari telaahnya tadi Derrida kemudian menyuguhkan hasil perbandingannya atas pembacaan dan penafsiran teks-teks fislafat yang pada akhirnya menemukan “kontradiksi internal” yang bersembunyi di balik logika atau tuturan teks tersebut. Dalam teks-teks filsafat, logos direpresentasikan

dengan “pengarang” (author) sebagai subjek yang memiliki kuasa atas makna yang hendak disampaikannya. Ini lah sebuah konsep pembacaan dekonstruktif yang diusung Derrida.

15


(27)

Modernisme dalam sejarah perkembangannya mencoba membuat suatu rumusan yang tetap dan baku mengenai apa yang ada di dunia ini. Dalam perumusan yang jelas dan tepat mengenai apa yang ada di dunia ini. Rumusan ini harus steril dari hal-hal yang bersifat kabur, object oriented. Dalam istilah filsafat tindakan sterilisasi ini dikenal dengan proses abstraksi. Tujuan abstraksi adalah untuk mendapatkan gagasan yang benar-benar jelas dan dapat diverifikasi secara rasional dan logis. Alasan utama rasionalisasi menjadi landasan utama verifikasi

kebenaran adalah karena rasionalisasi merupakan “denyut nadi” logosentrisme. Proses abstraksi tersebut bertujuan untuk membuat sebuah gagasan tunggal mengenai kebenaran yang bersifat universal.

Konsep dasar dekonstruksi berbasiskan pada intertekstualitas yang mengusik kestabilan teks dengan membubuhinya dengan catatan kaki. Efek yang dihasilkan dari cara pembacaan ini adalah teks kehilangan otoritasnya sebagai sebuah karya tunggal, dan membuatnya koheren bersama karya-karya lain yang ikut dikomentarinya. Sehingga gaya pembacaan seperti ini menghasilkan penafsiran yang multitafsir dan menjadi sulit untuk didefinisikan. Bagi Derrida kebenaran itu bersifat relatif dan tidak bisa dikekang dalam penjara teks. Dekonstruksi memberikan kebebasan kepada pembaca untuk menafsirkan kebenaran terhadap teks. Karena kegemarannya dalam membaca teks secara dekonstruktivis, gaya berfilsafat Derrida terbilang unik lain dari pada yang lain. Tulisan-tulisannya bagaikan “benalu” karena menunggangi teks untuk mencari kelemahan yang tersamar di dalamnya. Nada sumbang ini muncul dari para aktor intelektual modernis yang beranggapan bahwa sebuah kebenaran bernilai absolut.


(28)

Sementara itu dalam dekonstruksi diyakini bahwa teks memiliki pemaknaan yang teramat luas. Keyakinan ini lahir karena sifat dekonstruksi yang menyerahkan pemaknaan atas teks ke tangan pembaca. Chris Barker merumuskan dekonstruksi sebagai salah satu pilar postmodern yang menekankan pada kekhususan sosio-historis dan linguistik dari kebenaran.16 Sehingga, pada tataran penafsiran atas sebuah permasalahan atau gagasan, seseorang berhak untuk menilai dan mendefinisikan permasalahan sesuai dengan kemampuannya dalam menginterpretasikan permasalahan sosial berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Melalui cara pembacaan dekonstruktivis, menjadikan medan makna dari teks akan selalu mengalami pergesaran dalam setiap lorong waktu dan konteks yang berbeda. Dalam kacamata dekonstruksi sebuah makna tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh pembaca. Daya tangkap pembaca terhadap teks tergantung dari penalaran si pembaca. Menurut Derrida kemanunggalan makna merupakan roh dari peradaban metafisika yang berdasarkan pada logosentrisme. Dalam pandangan Derrida, peradaban metafisika adalah peradaban buku-buku yang memuja totalitas pemaknaan tunggal dengan meniadakan perbedaan-perbedaan. Sejarahnya juga dibangun berdasarkan prinsip menyeleksi, menormalisasi dan menstabilkan penyimpangan-penyimpangan yang dinilai berbahaya dan mengancam keutuhan dan integritas wacana. Menurut Derrida, kehadiran metafisika digunakan sebagai pelindung teks dari oposisi biner yang terdapat dalam teks.

16

Chris Barker, Cultural Studies: Studi dan Praktek (Yogyakarta: Bentang Perkasa, 2005), h. 174.


(29)

Derrida menerapkan strategi-strategi tekstual dalam menganalisa oposisi biner yang terdapat di dalam teks dengan tujuan menjauhkan diri dari pemaknaan tunggal atas sebuah teks. Analisa atas oposisi biner dilakukan Derrida untuk memberikan pandangan luas terhadap gagasan teks yang bersifat otoritatif sehingga otoritas atas teks akan hilang. Logika yang bermain atas pembacaan dekonstruksi menunjukkan bahwa sebuah teks dapat saja menyangkal sesuatu yang lain. Ambigu tekstualitas ini yang kemudian hendak dijadikan landasan oleh dekonstruksi dalam mencari pemaknaan yang tersembunyi di dalam teks. Sekaligus dengan analisa tersebut, sebuah teks bisa terhindar dari pemaknaan tunggal yang otoriter. Pembacaan dekonstruktif tidak memiliki pengandaian metafisik yang berkeinginan mendapat kebenaran tunggal.

B.

Pemaknaan Teks dalam Perspektif Dekonstruksi

Derrida melucuti metode tradisional yang berusaha menginterpretasikan objeknya dari sudut tertentu dengan mengabaikan bagian-bagian yang dianggap tidak relevan bagi kepentingan suatu penelitian terhadap objeknya. Dalam dunia Derrida objek penelitian diwujudkan dalam bentuk teks, dan subjek sebagai pengarang. Dekonstruksi secara alamiah bermaksud mendekati objeknya dari posisi objek itu sendiri, dan bukan berdasarkan pada pengandaian tertentu untuk menentukan bagaimana objek itu menyingkapkan dirinya. Dengan menggunakan seperangkat metode itu dan pengandaian tertentu, membuat seolah ada jarak yang memisahkan anatara pengarang dan teks. Derrida hendak menghapuskan garis


(30)

demarkasi antara pengarang dan teks. Dan tak hanya itu, bahkan pembaca pun akan diberikan kesempatan sedekat mungkin dengan suatu teks.

Karakter dasar dari dekonstruksi ialah perhatiannya terhadap teks, sistem konseptual, dan linguistik dengan terus mempertautkan antara interioritas dan eksterioritas. Teks tidaklah bersifat eksternal terhadap pembaca, dalam proses pemahaman diandaikan terjadi internalisasi diri, untuk menjadikan teks sebagai miliknya. Derrida menyatakan bahwa “tidak ada apa-apa diluar” (il n’y a pas de

hors-texte).17 Dengan kata lain, kita tidak mungkin memegang suatu asumsi kebenaran yang murni dari pengaruh tanda, karena kita hidup di dalam lingkungan sosial yang dipenuhi oleh tanda-tanda, bahkan kesadaran kita dibentuk melalui intensionalitas tanda-tanda yang mengepung diri kita dari segala penjuru arah.

Dengan demikian, strategi pembacaan dekonstruksi tidak berikhtiar untuk menemukan makna tertentu atau ide utama sebuah teks, tetapi menelisik bagaimana teks melahirkan beragam makna yang mungkin bertentangan satu sama lain. Dalam konteks pembacaan ini pula, dekonstruksi berseberangan dengan Hermeneutika. Hermeneutika berupaya merekonstruksi makna yang dimaksud oleh pengarang, menyempurnakan teks dengan bertumpu pada konteks yang membetuk teks, bukan untuk memperlihatkan kontradiksi internal yang selalu menandai teks, sebagaimana strategi dekonstruksi. Sebaliknya, dekonstruksi menghindari upaya melengkapi, mengklarifikasi, atau mendamaikan kontradiksi di dalam teks dalam rangka menemukan titik tolak dan ruang bagi munculnya interpretasi baru.

17


(31)

Strategi pembacaan dekonstruksi hanya memusatkan perhatiannya pada teks itu sendiri. Pada tataran konflik dan ambiguitas yang dikandung oleh teks, dekonstruksi tidak berminat untuk mengungkapkan maksud pengarang. Sebaliknya, dekonstruksi berupaya mengungkapkan apa yang tidak dimaksudkan, disembunyikan, disingkirkan, atau direpresi oleh pengarang. Berbeda dengan hermeneutika yang masih berupaya mengungkapkan makna yang dimaksudkan oleh teks dan pengarang. Hermeneutika dan dekonstruksi dibedakan oleh konsepsi keduanya atas bahasa. Hermeneutika berupaya merengkuh makna transedental yang berada di seberang bahasa dan masih meyakini bahwa ada sentrum makna yang mengikat keseluruhan teks. Sebaliknya, dekonstruksi mempersoalkan eksistensi petanda transedental dan berkonsentrasi pada konflik dan ambiguitas teks. Apa yang dilakukan oleh Derrida sesungguhnya jauh dari pengertian tertentu atas makna dan bahasa, bukan tanpa pengandaian dan kepentingan diri.

Derrida menjabarkan sebuah skema pembacaan yang digunakan untuk mendekonstruksi sebuah teks. Skema tersebut diciptakan sebagai cara pandang pembaca memaknai teks yang sedang dibaca. Derrida meringkasnya kedalam tiga kalimat berikut: sans savoir, sans voir, sans avoir. Ketiga kata tersebut adalah skema yang dipergunakan untuk melakukan pembacaan dekonstruksi.

Sans savoir– tidak mengetahui – konsep ini mengisyaratkan tidak melulu dapat ditangkap oleh penafsir dalam totalitasnya. Dengan demikian, diperlukan sikap legowo untuk mengakui bahwa penafsir tidak memliki wewenang ilmiah atas tafsirannya. Heidegger pernah mengatakan bahwa


(32)

menyingkap sang Ada dan membuka dirinya terhadap dunia.18 Dengan kata lain, menafsirkan adalah sebuah upaya yang semata-mata bukan dilakukan melalui daya pikiran, melainkan juga melalui fase tuturan. Tetapi Heidegger juga menuntut kita untuk mengerahkan kesadaran penuh yang kita miliki untuk bergerak dengan mengikutsertakan segenap eksistensi.

Sedangkan Derrida lebih radikal lagi dalam menafsirkan Sans Savoir. Derrida berargumentasi bahwa epistemologis dari sang Ada telah sampai pada batasnya. Dengan demikian, pemaknaan atas sebuah teks menjadi sedemikian luasnya. Pada titik ini, penafsir dibawa ke lorong gelap berisi perbedaan yang terus menunda untuk menemukan akhir dari tafsirannya itu. Dalam rangkaian proses yang tak berbatas ini, penafsiran selalu berupa penghampiran terus-menerus atas kebenaran yang tidak pernah sampai pada totalitasnya.

Sans voir – tidak melihat – konsep yang berikut ini menggambarkan keterbatasan indera yang kita miliki dalam melihat kebenaran. Dari sana, ada hasrat yang muncul untuk menghormati perbedaan dan yang lain agar tetap terjaga dari sinisnya pandangan individu-individu. Kemudian muncullah sikap segan akan differance dan sebuah sikap yang membiarkan wajah yang lain menatap kita. Pada ketegangan ini penglihatan kita seakan lumpuh dan pada akhirnya membuat kita terpental ke jurang yang tak memliki dasar. Akibatnya, seorang penafsir tidak mungkin membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang

18

Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju ‘Sein und Zeit’ (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), h. 73.


(33)

rigor. Penafsiran pun membiak dan mereproduksi teks-teks baru yang tidak akan usai.

Sans avoir – tidak memiliki – adalah pemberhentian terakhir atas skema pembacaan dekonstruksi. Pada tahap ini, kebenaran terdegradasi dari singgasananya. Sehingga menjadikan kebenaran itu sendiri tak lagi menjadi milik penafsir seorang, melainkan berlarian ke penafsiran-penafsiran lain yang berbeda. Gugurnya penguasa teks yang pada awalnya dipegang oleh pengarang adalah fenomena yang terjadi pada konsep ini. Peristiwa monumental yang terjadi pada fase ini adalah meleburnya garis demarkasi antara pengarang dan teksnya. Teks tidak lagi dibentuk oleh pengarang, melainkan memiliki otonominya sendiri. Kemandirian teks berjalan seiring dengan perubahan penafsir dan pembaca. Tak ada lagi kepengarangan (authorship), yang ada hanyalah pengarang yang mati dan bunuh diri, atau bermetamorfosa menjadi penafsir.

Seperti yang dikemukakan Derrida bahwa dekonstruksi lebih merupakan strategi pembacaan daripada sebuah metode yang memiliki fondasi yang jelas dan sistematis. Hal tersebut terlihat dari kata ecriture (writing) yang menunjuk pada proses yang tak berkesudahan dan selalu dalam keadaan menjadi serta bergerak dinamis.

C.

Rumusan Perspektif Dekonstruksi

1. Differance


(34)

Differance adalah sebuah kata dalam bahasa Prancis yang bila diucapkan, pelafalannya akan sama persis dengan kata difference. Ia berasal dari kata differer, yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan”.19 Padanan kata ini dibentuk sendiri oleh Derrida yang bermaksud melawan dominasi tuturan dalam metafisika. Perbedaan antara “Differance” dan

“Difference” hanya dapat diketahui melalui tulisan. Disinilah letak keunggulan kata ini yang sekaligus membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang tuturan, sebagaimana yang diyakini Derrida. Diferrance

adalah permainan perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan-perbedaan, penjarakan (spacing) yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain.

Konsep differance digunakan untuk melihat tanda-tanda, dalam artian setiap tanda dimungkinan memliki makna yang ada pada tanda lainnya dalam semesta tanda. Melalui differance, Derrida hendak menunjukkan ketidakmungkinan bagi upaya-upaya metafisis yang ingin menjadikan bahasa sebagai medan transparan yang dapat menghadirkan kembali realitas secara utuh. Dengan kata lain, petanda selalu berfungsi sebagai sebuah penanda dalam sistem bahasa yang diproduksi secara bersamaan oleh perbedaan antar-tanda yang bersifat pasif serta aktifitas penjarakan (deffering) yang berlangsung terus-menerus. Pun demikian dengan

differance, dekonstruksi hendak menggagalkan segala upaya metafisis untuk

19

Christopper Norris, Deconstruction: Teory and Practice. Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2003), h. 11.


(35)

mengembalikan perbedaan-perbedaan dalam realitas yang pada akhirnya akan membuat teks kehilangan stabilitas yang dimilikinya.

Derrida berpandangan kata atau tanda saat ini tidak bisa lagi menghadirkan makna yang terkandung dalam teks secara seenaknya. Makna harus ditelusuri melalui serangkaian tanda lain yang terhimpun dalam semesta tanda. Penelusuran ini akan membutuhkan waktu, karena itu proses pemaknaan akan tertunda menunggu konteks lain yang perlu diciptakan.

Untuk memahami differance maka harus ada dua elemen, dua anggota dari suatu sistem tanda-tanda. Maria Hobson menggambarkan “Difference

is a term which, without being logical operation, acts as a negative”.20

Penalaran selama ini tidak mampu menerima dua kebenaran sekaligus, oleh karena itu Maria Hobson memandang konsep dekonstruksi berada di luar ruang lingkup penalaran yang selama ini berlaku untuk mencari kebenaran. Kebenaran adalah sebuah hubungan antara dua aspek yang dinilai saling bertentangan. Sehingga dalam perspektif Maria Hobson, differance berlaku sebagai variabel yang memposisikan diri sebagai negatif untuk mengurangi keabsolutan kebenaran tunggal. Sehingga dalam pemaparannya, differance menyajikan gagasan yang berfungsi sebagai oposisi dari gagasan yang dikemukakan teks. Sehingga nantinya akan ditemukan dua gagasan yang saling melengkapi atau tanda yang sama namun dipindahkan dalam konsep yang berbeda.

20


(36)

Istilah differance diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen-elemen pertandaan tak bermaksud (non-intent) yang merujuk pada wilayah rasa (sense) tanpa melewati alam kesadaran. Logika Derrida sebenarnya sederhana saja, tapi punya daya rusak yang luar biasa. Kerusakan yang Derrida ciptakan berada pada tataran konseptual yang mampu menggoyahkan kestabilan pemaknaan awal dari sebuah teks. Kekuatan tersebut bersumber dari permainan bahasa yang Derrida sematkan kepada setiap teks yang menjadi objek kajiannya. Bahasa dapat memenuhi syarat-syarat kehadiran makna, kalau dia bisa menyediakan akses total dan langsung ke dalam pikiran yang telah memberi kesempatan bagi bahasa agar bisa dituturkan.21 Dengan demikian, kemungkinan pemaknaan baru akan muncul dalam setiap strategi pembacaan dekonstruksi.

Derrida menolak memberikan pengertian, arti, dan definisi kepada

differance. Karena differance bukanlah sesuatu yang merujuk pada isi,

content, atau referens tertentu. Differance adalah sebuah strategi permainan yang tidak direncanakan, ia hadir dengan tujuan untuk mengusik kestabilan yang dimiliki teks kemudian memblejeti pengertian tunggal yang terbentuk karena hirarki oposisional di dalam teks. Differance adalah kehadiran (presence), tapi di sisi lain juga menjadi ketiadaan (absence). Differance

menjadi bayang-bayang bagi teks dengan kejutan-kejutan yang siap ditawarkannya, posisinya berhasil membuat cemas karena telah membuat kita berpikir bahwa kita telah kehilangan makna. Selama ini kita berpikir

21


(37)

bahwa suatu kata hanya merujuk pada satu pemaknaan tunggal saja, namun melalui differance Derrida memperlihatkan bahwa setiap kata memiliki untaian makna yang sedemikian luas.

2. Hirarki Oposisi Biner

Dalam dunia linguistik, sistem bahasa tercipta karena adanya perbedaan (system of difference) tanda yang hadir di dalamnya. Dalam pandangan Saussure, tanda terdiri dari dua komponen. Pertama adalah citra akustik yang disebut penanda (signifier). Kedua adalah konsep atau citraan mental yang disebut tinanda (signified). Penanda merupakan kesan bunyi yang dapat kita imajinasikan dari mulut penutur. Sedangkan tinanda adalah konsep yang ditunjuk oleh penanda, tetapi gambarannya hanya bisa dirasakan secara transenden di dalam pikiran penutur.22

Inti dari sistem pertentangan ini ialah Oposisi Biner. Oposisi antara penanda/petanda, subjek/objek, tuturan/tulisan. Dalam tradisi metafisika barat, istilah-istilah yang pertama lebih superior dari yang kedua. Sedangkan istilah-istilah yang kedua adalah representasi palsu dari yang pertama dan bersifat inferior. Bagi Derrida istilah-istilah tersebut adalah milik logos. Tradisi logosentrisme inilah yang dipergunakan Derrida untuk menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang istilah pertama, dan pelecehan terhadap istilah kedua.

Di dalam konteks yang berbeda, Derrida menggambarkan dekonstruksi sebagai gerakan ganda (double gesture), tulisan ganda (

22


(38)

writing), dan pengetahuan ganda (double-science). Tulisan ganda digunakan Derrida untuk menunjukkan strategi dekonstruksi terhadap apa yang ia sebut sebagai hirarki oposisi biner yang menjadi karakteristik dari metafisika barat. Melalui hirarki oposisi biner ini hendak ditunjukkan bahwa pasangan-pasangan konseptual tidak pernah berdiri sejajar satu sama lain, melainkan menegaskan bahwa yang pertama lebih bernilai dan fundamental dibanding yang kedua atau lawannya. Di sisi lain, dekonstruksi sebagai gerakan ganda merujuk pada ikhtiar untuk memutarbalikkan dan melangkahi hirarki oposisi biner yang menjadi dasar pemikiran barat dengan membongkar pasangan-pasangan konseptual yang berlawanan dengan memasukkan konsep baru; sebuah konsep yang tidak lagi dapat dimasukkan ke dalam konsep sebelumnya. Konsep baru ini, disebut Derrida sebagai

“ketidakmungkinan untuk di pustukan” (undecideables). Konsep baru ini tidak lagi dapat dimasukkan dalam skema hierarki oposisi biner meskipun konsep tersebut mendiami, meresistensi.

Dekonstruksi atas hirarki oposisi biner konsep filsafat tradisional ini bersifat keniscayaan. Filsafat tradisional telah melakukan pensejajaran konseptual, seperti kesadaran/tubuh, alam/budaya, penanda/petanda, tuturan/tulisan. Pensejajaran ini bukanlah suatu upaya damai oposisi konseptual, tetapi hirarki kekerasan karena salah satunya mendominasi dan mensubordinasikan yang lain. Dekonstruksi berupaya membalikkan oposisi biner untuk menemukan perspektif baru dalam mengkaji relasi konseptual yang saling dilawankan itu. Perspektif baru tidak mungkin diraih apabila


(39)

oposisi biner dipertahankan, bahkan hanya akan terjebak di dalam persejajaran dualistis tersebut.

Dekonstruksi memperkenalkan cara baru dalam memahami pertentangan konseptual dalam filsafat, yaitu dengan mengubah hirariki oposisi biner yang saling berlawanan. Dengan istilah “ketidakmungkinan

untuk diputuskan”, Derrida menegaskan kemungkinan untuk tidak terjebak

dalam oposisi dan sistem yang dibentuk oleh hirarki oposisi biner. Atensi yang dekonstruksi inginkan adalah memperlihatkan ketidakmungkinan untuk diputuskannya suatu pengertian konseptual karena dilawankan dengan yang lain. Hugh J. Silverman menyatakan bahwa dekonstruksi telah memberi ruang bagi perbedaan di dalam teks, mengangkat apa yang terlupakan di dalam teks, sesuatu yang diangkat itu memang sudah mendiami teks dan bukan diluar teks.23

Menurut Derrida, pembalikan hirarki tidak boleh diartikan sebagai sekadar pertukaran prioritas yang pada mulanya tersubordinasi sehingga mengatasi unsur lawannya. Pembalikan hirarki ditujukan untuk memperlihatkan unsur-unsur yang tersubordinasi dengan berdasarkan mekanisme internal yang digunakan oleh metafisika itu sendiri, memiliki alasan yang sah untuk mengambil alih posisi unsur-unsur yang sebelumnya berada di atas.

Simon Critchley, memperkenalkan istilah “pembacaan ganda” dalam dimensi dekonstruksi. Menurutnya, pembacaan dengan menggunakan

23

Hugh J. Silverman, Textualities: Between Hermeneutics and Deconstruction (New York: Routedge, 1994), h. 44-46.


(40)

strategi dekonstruksi berbeda dengan jenis pembacaan lainnya. Pembacaan ganda ini dilakukan dengan dua langkah berikut; pertama, pembacaan dan interpretasi atas teks sesuai dengan apa yang diungkapkan teks secara jelas dan terang benderang. Kedua, menyadari konflik yang terdapat di dalam teks agar pengertian yang kita temukan terbuka terhadap yang lain. Dengan demikian, pembacaan ganda merupakan sebuah pembacaan yang berkelindan paling tidak dalam dua motif atau lapisan. Di sisi lain, pembacaan ini bermaksud menampilkan kembali apa yang oleh Derrida

disebut sebagai “tafsir dominan” atas sebuah teks, pembacaan ini berbentuk

semacam komentar; di sisi lain, pembacaan ini meninggalkan tatanan komentar, memperlihatkan titik lemah dan kontradiksi dalam tafsiran dominan tersebut, lalu meyajikan pembacaan yang berbeda.24

3. Teleologis

Beberapa mimpi mengenai tujuan akhir dari sebuah kehidupan yang terus berkelanjutan. Derrida mengkritisi kaum modernis yang memperlakukan teks secara geometris, melihat teks sebagai sesuatu yang bisa diperkirakan dan diprediksi bentuk akhirnya. Baginya, teks tidak lagi ditempatkan sesuai dengan rancang-bangun yang dinginkan pengarang dan menghasilkan makna yang dinginkan oleh pengarang. Modernisme telah memberikan jeruji batas dan kerangka kerja yang konstan (constant framework) sehingga mengekang teks dan tidak bisa keluar dari struktur yang telah membangunnya. Dengan cara ini, membuat teks yang kita hadapi

24

Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida & Levinas (Oxford and Cambridge: Blackwell Publishers, 1992), h. 23.


(41)

tidak lagi berkembang dan terpenjara dalam kungkungan struktur dan keinginan (telelologis) pengarang.25

Derrida berpandangan bahwa teks adalah sebuah proses yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Teks tidak bisa dihentikan, karena kekuatan teks berada di ruang multidimensional yang di dalamnya terdapat kombinasi dari tulisan-tulisan yang diambil dari berbagai kebudayaan, dan memasuki ruang tertentu, yang didalamnya berinteraksi dalam bentuk dialog, parodi, kontes. Ruang inilah yang merupakan representasi dari pembaca. Pada dasarnya sebuah teks memiliki sifat intertekstual yang saling berkaitan dan tidak pernah selesai berproses. Dari proses tanpa akhir dan tanpa tujuan ini, teleologis tidak dipahami sebagai akhir dari sebuah kinerja teks, melainkan

telos yang menuju masa depan yang tak terbatas dan tak mungkin di realisasikan sepenuhnya untuk saat ini. Teleologi teks yang intertekstual merupakan bentuk lain dari ke-takberhinggaan yang tidak mengenal kata akhir. Ia menjadi kemungkinan yang sulit untuk direduksi.

Oleh karena itu Derrida menyarankan kita untuk mengabaikan konsep

telos yang diandaikan sebagai titik akhir dari seluruh proses argumentasi filosofis. Konsep telos sering bersinggungan dengan gagasan “kasua final”

yang dalam paradigma Aristotelian dianggap sebagai tujuan akhir dari sebuah hirarki kausalitas.26

25

Ibid., h. 68.

26


(42)

D.

Penelitian Terdahulu

Hasil dari proses penelitian atau analisis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pemasalahan yang dibahas oleh seorang peneliti. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna menopang penelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya.

Sejauh yang peneliti telusuri, belum ada seseorang yang meneliti persoalan “Censorship Bahan Pustaka di Perpustakan Indonesia”. Dalam penelitian ini, peneliti memaparkan bagaimana fenomena penyensoran menjadi pilihan utama terhadap keberagaman wacana di Indonesia. Selama ini yang menjadi tindaklanjut atas literatur yang memiliki wacana alternatif adalah pelarangan beredar dan penghancuran atas keberadaannya. Ironisnya dalam institusi perpustakaan, bahan pustaka dengan variasi tersebut juga mendapat perlakuan yang sama. Bentuk-bentuk penyensoran yang kerapkali dilakukan adalah dengan dilakukan penyaringan terhadap bahan pustaka, sehingga pemustaka tidak dapat mengaksesnya. Padahal di satu sisi perpustakaan memiliki fungsi dan tugas untuk melestarikan dan menyebarkan informasi kepada pemustaka.

Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini dapat dibandingkan dengan skripsi yang berjudul:

1. “Dekonstruksi Religiositas: Telaah Atas Pemikiran Jacques Derrida” yang disusun oleh Nanang Sunandar, mahasiswa Fakultas Ushuluddin


(43)

dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta tahun 2007. Penelitian membahas tentang perspektif dekonstruksi terhadap nilai religiositas keagamaan.

2. Selain itu, skripsi berjudul “Dekonstruksi Teks Pengantar Ilmu Perpustakaan: Menggunakan Filsafat Dekonstruksi Jacques Derrida” yang ditulis oleh Al Muhdil Karim, mahasiswa fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta. Skripsi ini membahas tentang evaluasi ulang gagasan filosofis keilmuan di bidang perpustakaan menggunakan perspektif dekonstruksi. Al memilih untuk membongkar gagasan yang terdapat pada teks Pengantar Ilmu Perpustakaan. Adapun gagasan yang menurut Al harus dikaji ulang adalah mengenai definisi perpustakaan, dikotomi ilmu perpustakaan dan ilmu dokumentasi, dikotomi ilmu perpustakaan dan ilmu informasi, serta teori perkembangan perpustakaan. Al berpandangan bahwasannya seiring berjalannya waktu, gagasan keilmuan yang ditawarkan pada teks sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu perpustakaan hari ini.


(44)

34

A.

Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan skema pembacaan dan penelitian berdasarkan perspektif dekonsrtuksi. Peneliti mencoba untuk menggali susunan logosentrisme yang selama ini terkandung dalam gagasan censorship di perpustakaan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia karya Blasius Sudarsono, MLS. Dalam penelitian, teks Antologi Kepustakawanan Indonesia akan peneliti singkat menjadi AKI.

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Esensi dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami. Memahami yang dimaksud adalah memahami sesuatu yang dapat berarti banyak hal, memahami pola pikir dan sudut pandang dari sebuah teks, memahami suatu fenomena (central phenomenon). Memahami disini adalah benar-benar memahami dari sudut pandang fenomena, dan fungsi peneliti hanya sebagai orang yang “mengemas” apa yang diperlihatkan oleh fenomena.27

27

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 5.


(45)

B.

Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia karya Blasius Sudarsono karena buku tersebut memuat konsep-konsep censorship yang perlu dilakukan perpustakaan. Bentuk analisis penelitian yang akan dipaparkan adalah dengan menganalisa gagasan-gagasan yang mendukung censorship yang tersedia di dalam teks. Selanjutnya peneliti akan melakukan kritik teks menggunakan perspektif pembacaan dekonstruksi. Konsekuensi logis dari metode ini adalah peneliti harus terlepas dari pemaknaan tunggal. Selain itu kebenaran teks yang dinginkan oleh penulis juga harus peneliti kesampingkan yang notabenenya adalah praktisi Perpustakaan di Indonesia. Sehingga dalam penelitian ini akan ditemukan kebenaran jamak dan tidak lagi tunggal terhadap fenomena pelarangan buku.

C.

Observasi Teks

Dalam temuan awal peneliti, buku Antologi Kepustakawanan Indonesia memuat gagasan yang merepresentasikan proses censorship di perpustakaan. Pada teks Antologi Kepustakawanan Indonesia, kebebasan informasi sebagai sebuah nilai mendapatkan distorsi sehingga peranannya dalam tataran pengembangan dunia perpustakaan menjadi terganggu. Kondisi kekinian memaparkan fakta empiris bahwa pustakawan memiliki peranan penting dalam melestarikan budaya censorship di perpustakaan.


(46)

Censorship sebagai unsur yang lain dipengaruhi oleh sikap pustakawan sebagai penentu atas peredaran bahan informasi di perpustakaan. Berdasarkan teori dekonstruksi, kebenaran atas teks tidak bisa dipegang oleh satu unsur saja, melainkan kebenaran harus berada dikedua unsur yang terlibat dalam pertentangan nilai – dalam hal ini censorship dan kebebasan informasi. Sehingga pada akhirnya tercapai kebenaran yang jamak. Dengan membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang selama ini direpresi oleh censorship, diharapkan akan tercipta keterbukaan dalam gagasan terbarukan.

D.

Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.28 Dalam penelitian kali ini, peneliti melakukan penyajian data dalam bentuk deksriptif analitik. Menurut Nyoman Kutha Ratna, metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.29

Setelah melakukan identifikasi gagasan pada susunan logosentrisme yang disajikan dalam buku Antologi Kepustakawanan Indonesia, peneliti akan melakukan analisis ulang terhadap kerangka logosentrisme tersebut dengan menemukan dan menyusun asumsi yang

28

Ibid., h. 339. 29

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), h. 53.


(47)

bisa diposisikan sebagai oposisi dari logika gagasan yang ditemukan pada fenomena censorship. Setelah itu peneliti akan melakukan pembalikan hirarki dari gagasan tersebut dengan argumen filosofis yang dikolaborasikan dengan pengetahuan perspektif peneliti, sehingga akan menghasilkan kebenaran yang relatif.

Dengan demikian setelah gagasan diungkapkan maka peneliti akan memaparkan logosentrisme dalam bentuk oposisi biner dan mulai dilakukan pembalikan hirarkis kerangka logosentrisme yang terdapat di dalam teks. Pembalikan hirarkis akan menimbulkan keraguan terhadap kebenaran tunggal yang selama ini terkandung dalam fenomena censorship. Dengan pemaparan tersebut maka akan timbul otokritik dari pembaca sesuai dengan daya pengetahuan yang dimilikinya sehingga diharapkan akan terbuka peluang pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang perpustakaan.

E.

Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat yang akan digunakan dala penelitian ini tidak terikat pada satu tempat, karena objek yang dikaji berupa teks ilmu pengetahuan yang ditulis oleh praktisi ilmu perpustakaan. Adapun waktu penelitian dimulai bulan September 2015 sampai Oktober 2015.


(48)

38

A.

Deskripsi Bibliografis Teks

1. Biografi Pengarang

Penulis Antologi Kepustakawanan Indonesia ialah Blasius Sudarsono (BS). Ia lahir di Solo pada tahun 1948. BS menyelesaikan pendidikan tingkat dasar dan menengah di kota yang sama. Selanjutnya BS melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Gajah Mada dengan mengambil Ilmu Fisika dan berhasil meraih gelar Sarjana Muda Fisika pada tahun 1973. Awal karir kepustakawanan-nya bermula ketika beliau menjadi Staf Urusan Servis Teknis di Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN) – sekarang PDII-LIPI. Berangkat dari persinggungannya dengan dunia dokumentasi, ketertarikannya dengan dunia perpustakaan pun dimulai. Guna melengkapi wacana keilmuannya, Blasius Sudarsono melanjutkan studinya ke Universitas Hawaii, Amerika Serikat, dan mendapat gelar Master of Library Science (MLS) pada tahun 1979.

Pasca menyelesaikan studi magisternya, perjalanan hidup BS mulai terfokus dalam bidang perpustakaan. Beliau menduduki berbagai macam jabatan di lembaga pusat dokumentasi indonesia, diantaranya menjadi Kepala Urusan Servis Teknis PDIN (1979), kemudian Kepala Pusat Perpustakaan PDIN (1980), Kepala Bidang


(49)

Sarana Teknis PDII-LIPI (1987), dan menjadi Kepala PDII-LIPI (1990). Selepasnya dari jabatan kepala PDII-LIPI, BS mendapatkan kepercayaan untuk menjadi Pustakawan Madya PDII-LIPI (2001), dan menjadi Pustakawan Utama PDII-LIPI (2005). Hingga akhirnya pada tahun 2014 beliau pensiun dari jabatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Selain sebagai praktisi, beliau juga turut menyebarkan ilmunya dengan mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dari tahun 1980 hingga sekarang, dan di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran dari 2002 hingga sekarang. Reputasi BS yang sangat dikenal di dunia perpustakaan menjadikan dirinya seringkali diundang dalam acara seminar dan lokakarya tingkat nasional yang membahas tentang isu perkembangan perpustakaan. Beberapa tulisan yang beliau lahirkan diantaranya adalah Empat Windu Perjalanan Pemikiran Tentang PDII-LIPI yang dipublikasikan di majalah BACA. Sedangkan karya beliau yang pernah diterbitkan antara lain

Pustakawan, Cinta dan Teknologi (2009), Perpustakaan untuk Rakyat: Dialog Anak dan Bapak (2012), dan Menyongsong Fajar Baru Merancang Masa Depan (2007). Dan pidato yang berjudul

Memaknai Dokumentasi adalah pidato kepustakawanan yang BS berikan sewaktu diadakannya kuliah umum di PDII-LIPI dalam rangkaian acara menjelang purnatugasnya.


(50)

Atas segala dedikasi dan sumbangan yang telah BS berikan, penghargaan Lifetime Achievement pun diberikan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2013. Hingga kini, BS belum berhenti mewarnai kanvas dunia perpustakaan. Beliau masih aktif menghidupi kelompok studi kepustakawanan yang dinamakannya Kappa Sigma Kappa Indonesia.

2. Bibliografis Teks

Antologi Kepustakawanan Indonesia adalah teks yang akan dibedah berdasarkan perspektif pembacaan dekonstruksi. Buku ini terbit pada tahun 2006 dan ditulis oleh Blasius Sudarsono, MLS. Ia pernah menjabat sebagai Pustakawan Utama di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI).

Teks AKI berisi kumpulan materi seminar, makalah ilmiah, serta tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan dan dipresentasikan dalam kegiatan ilmiah lainnya oleh BS. Teks ini terbagi menjadi 3 bagian, namun tidak semua bagian akan diteliti. Peneliti memilih wacana yang terdapat pada bagian kedua sebagai objek penelitian. Bab ini dipilih karena memuat konsep censorship di dalam perpustakaan.

Semangat yang diusung dalam penyusunan teks AKI adalah keinginan untuk berbagi ilmu dan pengalaman yang selama ini didapatkan BS. Beliau dikenal sebagai praktisi perpustakaan yang


(51)

memiliki visi kepustakawanan yang ulung. BS berkeyakinan bahwa Indonesia harus memiliki konsep kepustakawanannya sendiri. Tak heran, disetiap kesempatan, penulis sering membawakan materi tentang kepustakawanan versi Indonesia. Sehingga kerabat di sekeliling BS yang kagum dengan kapasitasnya berusaha mendorong upaya penerbitan naskah-naskah tertulis yang ia buat dan pendapat lisan dalam bentuk buku. Upaya ini dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan literatur dunia perpustakaan yang pada saat itu masih minim jumlahnya.

Teks AKI diterbitkan melalui kerjasama penerbit Sagung Seto dan organisasi profesi Ikatan Pustakawan Indonesia. Sebuah organisasi tempat penulis berkumpul dengan teman sejawat untuk bertukar pikiran. Melalui organisasi ini juga penulis berusaha mengimplementasikan konsep-konsep keindonesiaan dalam bidang perpustakaan.


(52)

B.

Analisis Tekstual Fenomena Censorship

Gagasan censorship yang dibangun oleh teks AKI menggunakan instrumen teoritis berupa Intellectual Capital (IC) atau Modal Intelektual (MI). MI, menurut Roos (2007) dalam Blasius Sudarsono, adalah “aset yang berguna yang dimiliki sumberdaya manusia dalam mengelola perusahaan

atau organisasi.”30

Teks AKI menjabarkan posisi MI sebagai aset tersembunyi yang terpenting berfungsi menjaga kelangsungan hidup perusahaan atau organisasi. Aset ini tersembunyi karena tidak pernah muncul dalam lembar neraca perusahaan.31 Teks AKI mengkorelasikan

konsep “MI” sebagai sebuah modal yang mengandung nilai “pengetahuan” didalamnya.32 Peneliti berasumsi, korelasi yang tercipta di dalam teks AKI merupakan salah satu bentuk modal dalam menjalankan kehidupan seorang individu.

MI adalah sebuah konsep yang biasa diterapkan dalam dunia ekonomi manajemen. Konsep ini dipergunakan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki seorang individu. MI dianggap sebagai sumber daya berupa pengetahuan dengan nilai yang potensial dan dapat ditransformasikan menjadi sesuatu yang bernilai bagi perusahaan. Individu dalam perusahaan harus mendapat manfaat dari ketersediaan sarana untuk mampu mengembangkan komunikasi dan hubungan yang berguna bagi penerapan

30

Blasius Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia (Jakarta: Ikatan Pustakawan Indonesia, 2006), h. 391.

31 Ibid. 32


(53)

pengetahuannya. Perusahaan yang berhasil mendongkrak pengetahuan yang dimiliki karyawan pada akhirnya akan mampu menaikkan aset perusahaan, karena didalam MI tidak hanya mencakup pengetahuan, namun juga keterampilan, hubungan dengan konsumen, dan proses lainnya. Dengan demikian, sintesa dari MI yang dapat diambil adalah modal berbasis pengetahuan yang terdapat pada setiap diri individu yang digunakan untuk meningkatkan taraf hidup individu tersebut.

Representasi dari asumsi tersebut dapat dianalogikan sebagai berikut, sebuah perusahaan start-up yang bergerak di bidang penjualan barang

online sedang membutuhkan dana segar untuk pengembangan usaha. Perusahaan ini memiliki karyawan dengan kualifikasi penguasaan pengetahuan teknologi informasi yang mumpuni sehingga grafik penjualan perusahaan cenderung meningkat setiap bulannya. Selain personal skill

karyawan yang dimiliki cukup bagus, perusahaan tersebut juga menyediakan beberapa fasilitas penunjang kerja di kantor mereka. Fasilitas yang disediakan memungkinkan karyawan untuk dapat mengembangkan inovasi, kreatifitas, dan keterampilan sehingga terwujud harmonisasi suasana kerja yang kondusif. Dengan segala sarana dan aset yang dimiliki perusahaan tersebut investor cenderung akan memilih perusahaan yang memiliki sumber daya dan MI yang lebih mapan dibanding dengan perusahaan yang pencapaian sumber daya rendah. Harga yang dibayar oleh investor tersebut mencerminkan nilai perusahaan. Sehingga bisa diambil


(54)

kesimpulan modal intelektual memiliki pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup suatu entitas, dalam hal ini perusahaan.

Asumsi peneliti tentang peranan MI terhadap kelangsungan hidup sebuah entitas bukan sekedar gambaran imajiner belaka. Peneliti mendapatkan temuan yang mengungkapkan fakta bahwa MI memiliki pengaruh signifikan terhadap terhadap kinerja suatu perusahaan.33 Korelasi yang dapat dibangun kemudian adalah, ketika kelangsungan hidup perusahaan berhasil dijamin maka dengan sendirinya kelangsungan hidup dari sumber daya manusia yang terlibat dalam perusahaan tersebut juga akan terangkat, hal ini merupakan implikasi langsung dari kondisi keuangan perusahaan yang masuk dalam tren positif.

Manusia sebagai sebuah entitas pada dasarnya, secara teoritis, memiliki Modal Intelektual. Realitas ini berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris yang ia dapatkan selama hidupnya. MI ini pula yang kemudian digunakan sebagai sumber daya untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Salah satu sumber manusia untuk mendapatkan MI ialah dari perpustakaan. Perpustakaan adalah institusi yang menyimpan dan menyebarluaskan informasi. Sementara informasi itu sendiri adalah modal yang dibutuhkan manusia, namun sifat alamiah dari informasi membuatnya menjadi statis jika tidak mendapat sentuhan dari manusia. Diperlukan campur tangan manusia untuk bisa menggerakkan informasi sehingga

33

Niswah Baroroh, “Analisis Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan

Perusahaan Manufaktur di Indonesia”, Jurnal Dinamika Akuntansi, Vol. 5, No. 2, (September 2013): h. 172-182.


(55)

bertransformasi menjadi sebuah modal. Dengan kata lain, informasi adalah MI yang masih berbentuk pasif. Informasi pasif tersebut yang kemudian menjadi suber daya untuk mengisi MI setiap individu.

Informasi sebagai sumber daya bagi MI merupakan satu kesatuan objek yang tak dapat dipisahkan. Dengan kedekatan yang dimiliki keduanya membuka peluang untuk menjadikan perpustakaan sebagai sumber beredarnya MI. Asumsi dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan kerangka logika tersebut adalah informasi sebagai entitas yang dibutuhkan oleh individu merupakan objek simpan dari perpustakaan. Selain itu gagasan teoritis dari perpustakaan mengacu pada akselerasi pembaharuan bahan informasi yang dimilikinya setiap saat. Dengan aspek fungsionalnya tersebut ketersediaan informasi pasif di perpustakaan adalah sebuah keniscayaan. Sehingga kemungkinan besar perpustakaan akan menjadi destinasi intelektual bagi individu yang hendak memenuhi MI mereka. Asumsi ini diperkuat dengan sebuah premis yang menyatakan bahwa manusia selalu memiliki kecenderungan untuk memutakhirkan materi informasi yang ia miliki.

Gagasan filosofis yang dikandung oleh MI memberikan presensi yang

kuat kepada “informasi” untuk dapat dijadikan sebagai “modal” bagi individu. Dengan demikian, informasi merupakan entitas yang krusial dalam rangka pemenuhan aset intelektual bagi seorang individu. Aset ini yang kemudian digunakan untuk mengembangkan diri individu. MI, pada


(56)

prinsipnya, telah menjadi keniscayaan untuk bisa diperoleh dengan berbagai cara dalam setiap kehidupan individu.

Momen pencarian MI bagi setiap individu dapat ditemukan pada institusi seperti perpustakaan, dimana landasan teoritis keberadaan perpustakaan itu sendiri merupakan organisasi yang menyuplai kebutuhan informasi masyarakat. Melalui tugas tersebut beragam informasi menjadi objek simpan perpustakaan untuk bisa dimanfaatkan manakala informasi dibutuhkan. Dalam menjalankan perannya tersebut, perpustakaan menempatkan pustakawan sebagai regulator. Pustakawan memiliki andil besar terhadap ketersediaan informasi bagi pemustaka.

Dalam sudut pandang ilmu perpustakaan, dikenal kaidah-kaidah yang mengatur urusan penyimpanan informasi. Kaidah ini mengatur proporsisi setiap bahan pustaka harus dilakukan sensor karena alasan keuangan dan faktor nilai. Legitimasi censorship atas dasar pendanaan tertuang dalam teks

AKI sebagai berikut, “pemikiran ini muncul karena keadaan yang memaksa

untuk tetap menjaga kelangsungan hidup, karena begitu terbatasnya dana untuk pengadaan informasi pada waktu sekarang.”34 Sementara faktor nilai yang menjadi elemen sensor tercermin melalui kebenaran umum dan isu yang berkembang di tataran ilmu perpustakaan. Stigmatisasi ini yang kemudian membentuk jiwa censorship pustakawan karena sampai sekarang belum ada pembaharuan keilmuan yang mampu memberikan jawaban atas tantangan censorship ini. Stigma tersebut terus berjalan dalam ranah

34


(57)

keilmuan yang telah tertanam selama bertahun-tahun dan menjadi sebuah dogma. Sehingga pada akhirnya, dogma tersebut membentuk sikap ortodoks pustakawan yang tidak merasa bersalah secara psikologis dalam fenomena

censorship.

Dalam kesehariannya, perpustakaan menjadi institusi penyedia informasi bagi masyarakat. Beragam informasi yang menjadi kebutuhan masyarakat merupakan kewajiban untuk disediakan kepada pengunjung perpustakaan. Tugas penyediaan informasi di perpustakaan berada di bagian akuisisi atau pengadaan. Melalui kegiatan akuisisi, perpustakaan berusaha menghadirkan berbagai jenis informasi untuk dikonsumsi para pemustaka. Selain itu pelaksanaan pengembangan koleksi bahan pustaka (collection development) juga menjadi tanggung jawab pustakawan akuisisi. Peneliti berasumsi pada fase seleksi bahan pustaka – yang menjadi bagian tugas dari pengembangan koleksi – pustakawan mendapatkan kuasa berlebih terhadap penentuan kualitas suatu informasi untuk dibeli dan diadakan sebagai koleksi. Pada tahap inilah peneliti menduga telah terjadi kegiatan censorship

yang dilakukan pustakawan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Karena pada tahap seleksi ini pustakawan tidak pernah memiliki indikator yang mengatakan bahwa suatu bahan informasi berkualitas atau tidak. Namun sisi paradoksnya adalah, pustakawan mengaplikasikan paradigma yang menyatakan bahwa pustakawan memiliki wewenang untuk mengambil pilihan terhadap bahan informasi mana yang pantas untuk dijadikan koleksi.


(58)

Sehingga, pada fase ini telah terjadi pembatasan kebebasan informasi di perpustakaan. Pembatasan ini berasal dari keberpihakan pustakawan terhadap bahan informasi yang menurutnya bagus atau menarik untuk dijadikan koleksi. Pada tataran ini instrumen yang bermain adalah subjektifitas pustakawan, hal tersebut terjadi karena manusia memiliki nurani untuk menentukan pilihan berdasarkan yang ia rasa sesuai dengan pengalaman empiris yang ia dapatkan selama hidupnya. Persoalan pandangan ideologis, pandangan keyakinan, pandangan sosial, adalah segelintir aspek yang kemungkinan besar menjadi pengaruh bagi pustakawan dalam menyeleksi informasi pasif. Sifat humanistik tersebut yang kemudian menjadi pemicu timbulnya censorship yang bias di perpustakaan.

Ketika permasalahan subjektifitas pustakawan dilihat sebagai gejala naluriah dari perjalanan empiris seseorang, Sigmund Freud menjelaskan

pandangannya tentang psikoanalisis sebagai berikut: “psikoanalisis

merupakan suatu pandangan baru tentang manusia, dimana ketidaksadaran memainkan peran sentral. Pandangan ini mempunyai relevansi praktis, karena dapat digunakan dalam mengobati pasien-pasien yang mengalami

gangguan psikis”.35

Dengan menggunakan gagasan Sigmund Freud dapat memperkuat dugaan peneliti dalam usaha menyatakan telah terjadi aktivitas censorship di lembaga informasi perpustakaan. Karena terdapat kata “ketidaksadaran”

35

K. Bertens, ed., Psikoanalisis Sigmund Freud (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 3.


(59)

yang bisa menjadi penentu tingkah laku seseorang. Dalam perspektif Freud manusia mempunyai kehidupan psikis yang telah ditentukan, dalam arti tidak ada suatu kejadian pun yang terjadi secara kebetulan dan sembarang. Susunan hidup psikis manusia berlandaskan pada ingatan, proses-proses intelektual.36 Hasil sintesa perspektif Freud mengenai psikoanalisis dapat disimpulkan bahwa subjektifitas pustakawan menjadi pendorong terjadinya

censorship di perpustakaan. Gejala ini terjadi lantaran pengalaman humanis seseorang memiliki sifat yang pasif karena beroperasi di alam bawah sadar manusia. Dengan kata lain, sisi psikis bawah sadar pustakawan yang dipengaruhi oleh memori masa lampau telah menjadi penggerak kualitas MI seseorang.

Menurut Freud yang menjadi kunci atas sebuah peristiwa adalah fungsi ingatan manusia yang dikuasai oleh prinsip realitas, seperti yang tampak dalam pemikiran objektif. Sebagai gambaran praksis, peneliti akan memberikan cuplikan dari aktivitas seleksi bahan pustaka. Seorang pustakawan yang menganut ajaran Islam bekerja di sebuah perpustakaan. Suatu saat ia hendak melakukan kegiatan pengadaan bahan pustaka. Ketika pustakawan ditugaskan untuk menentukan bahan informasi mana yang akan di akuisisi, pustakawan yang seorang muslim tadi menemukan pilihan yang sedemikian beragam untuk tema-tema informasi yang hendak dibelinya. Atas dasar keyakinan yang ia percaya selama ini dan rasa kesukaannya terhadap topik bacaan yang sesuai dengan kepercayaannya, pustakawaan

36


(1)

80

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. Cultural Studies: Studi dan Praktek. Yogyakarta: Bentang Perkasa, 2005.

Baroroh, Niswah. “Analisis Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur di Indonesia”. Jurnal Dinamika Akuntansi, Vol. 5, No. 2, September 2013.

Baez, Fernando. Pengahancuran Buku dari Masa ke Masa. Jakarta: Marjin Kiri, 2013.

Bertens, K., ed. Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Blasius Sudarsono. Antologi Kepustakawanan Indonesia, Jakarta: Ikatan Pustakawan Indonesia, 2006.

Borradori, Giovanna. Filsafat dalam Masa Teror: Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida. Jakarta: Kompas, 2005.

Critchley, Simon. The Ethics of Deconstruction: Derrida & Levinas. Oxford and Cambridge: Blackwell Publishers, 1992.

Durkheim, Emile. Sosiologi dan Filsafat. Jakarta: Erlangga, 1991.

Durkheim, Emile. Suicide: A Study in Sociology. London: Routledge, 2005. Evans, G. Edward. Developing Library and Information Center Collection.

Colorado: Libraries Unlimited, 1987.

Giddens, Anthony. Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju ‘Sein und Zeit’. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003.

Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, 2012.

Hobson, Marian. Jacques Derrida: Opening Lines. London: Routledge, 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan:


(2)

81

Knuth, Rebecca. Libricide: The regime-sponsored destruction of books and libraries in the twentieth century. Westport, Conn.: Preager, 2003.

Moh. Nazir. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Muhammad Al-Fayyadl. Derrida. Yogyakarta: Lkis, 2011.

Norris, Christopper. Deconstruction: Teory and Practice. Jogjakarta: Ar-ruzz, 2003.

Nugroho, Sapto Aji. “Novel L’Assommoir Karya Emile Zola: Sebuah Kajian Sosiologi Mikro Georg Simmel”. Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2013.

Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya & Matinya Makna. Bandung: Matahari, 2012.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial PostModern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, ed. 6. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011.

Russel, Bertrand. Sejarah Fislafat Barat: dan Kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Silverman, Hugh J. Textualities: Between Hermeneutics and Deconstruction. New York: Routedge, 1994.

Sulistyo Basuki. Pengantar ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia, 1993.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2011.

Yusuf, Iwan Awaluddin. dkk. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator Media, 2010.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.


(3)

82

Artikel Elektronik

IFLA. Committee on Freedom of Access to Information and Freedom of Expression (FAIFE) Mission. Artikel diakses pada 6 Juni 2015 dari http://www.ifla.org/faife

Umanailo, M. Chairul Basrun. Mengurai Kekerasan Simbolik di Sekolah. Artikel

diakses pada 8 Februari 2016 dari

http://www.academia.edu/6898549/KEKERASAN_SIMBOLIK_DI_SEKO LAH


(4)

(5)

(6)

BIODATA PENELITI

MUHAMMAD HAIKAL. Lahir di Jakarta 30 Agustus 1991, mengawali pendidikannya dari TK pada tahun 1995, SD pada tahun 1997, dan SMP pada tahun 2003 di yayasan Masjid Panglima Besar Jenderal Soedirman. Selanjutnya peneliti melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 104 Jakarta pada tahun 2006. Kemudia tahun 2009, peneliti mulai melanjutkan pendidikan S1 Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti pernah melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapangan di perpustakaan Pusat Informasi Agribisnis Kementerian Pertanian pada januari-februari 2012. Selain itu, peneliti juga melaksanakan program pengabdian masyarakat dengan terjun langsung ke desa Kuta, Mega Mendung, Kabupaten Bogor, melalui kegiatan KKN di bulan Juli 2012. Peneliti juga pernah mencari pengalaman di bagian Arsip Digital Pusat Informasi Kompas tahun 2014 Selama masa studinya, peneliti ikut aktif dalam berbagai kegiatan keorganisasian baik intra maupun ekstra kampus. Dalam kegiatan intra kampus, peneliti ikut berperan mewarnai khazanah intelektual kampus melalui aktivitas diskusi dan berbagai macam konsolidasi organsiasi intra. Sedangkan kegiatan ekstra kampus, peneliti beberapa kali memimpin advokasi bagi warga masyarakat yang membutuhkan. Melalui aktvitasnya tersebut peneliti mendapat banyak pelajaran berharga yang belum pernah peneliti temui sebelumnya. Sehingga pada dasarnya peneliti menjadikan waktu masa studinya sebagai bagian dari proses pengembangan diri yang sejatinya tak akan pernah usai.