Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

pengeluaran minimum untuk pemenuhan kebutuhan bukan makanan itulah yang disebut Garis Kemiskinan.

2.2 Penelitian Terdahulu

De Vos 1991 dengan mengunakan konsep Expended Linier Expenditure System dimana jumlah anak dianggap sebagai faktor pembeda differentiating factor terhadap pengeluaran subsisten. Hasil estimasi i semuanya bernilai positif dan konsisten dengan konsep pengeluaran subsisten. Total pengeluaran subsisten Γi dari berbagai jenis pengeluaran makanan, pakaian, perumahan, pengeluaran lain yang bersifat tetap, pembangunan rekreasi. Dengan bertambahnya jumlah anak. Total pengeluaran subsisten Γi atau garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok anggota keluarga, yaitu kelompok dengan 1 hingga 6 anggota keluarga AK ternyata cukup bervariasi yaitu masing-masing 12.355, 16.489, 24.355, 28.476, 32.184, dan 33.912. Demikian pula koefisien dari masing-masing pengeluaran semuanya bertanda positif sejalan dengan teori konsumsi Keynes dan t hitung lebih besar dari t tabel. Darlina 1994 mengemukakan bahwa pendapatan yang diperoleh oleh dosen yang mengajar saja dan dosen yang berpendapatan selain mengajar digunakan sebagian besar untuk konsumsi bukan makanan. Secara keseluruhan konsumsi yang dilakukan dosen yang berpenghasilan hanya dari mengajar lebih besar daripada konsumsi yang dilakukan dosen yang berpendapatan selain mengajar. Hasil penelitiannya ditunjukkan dengan elastisitas antara kedua kelompok objek. Dosen yang hanya berpenghasilan dari mengajar memiliki elastisitas sebesar 0,5628 KHAIRIL ANWAR : ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN ACEH UTARA, 2008. USU e-Repository © 2008 sedangkan dosen yang berpendapatan selain mengajar memiliki elastisitas sebesar 0,5383. Keban 1995 mencoba menggambarkan profil kemiskinan di Nusa Tenggara Timur dengan menganalisis rumah tangga berdasarkan data Susenas 1983. Di dalam analisisnya dinyatakan bahwa suatu keluarga tergolong miskin kalau ratio pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran melebihi 75 persen. Keban juga mengatakan bahwa criteria ini sifatnya multivariate yang disebut “ Logit Regression” atau Logit. Temuannya tentang penyebab kemiskinan adalah perbedaan letak kabupaten, letak di kota dan didesa, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan jumlah anggota keluarga. Sementara Masbar 1996 mengukur garis kemiskinan di Kodya Banda Aceh dengan menggunakan konsep Extended Linier Expenditure System dimana jumlah anak dianggap sebagai faktor pembeda terhadap pengeluaran subsisten. Total pengeluaran subsisten Γ i atau garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok anggota keluarga dengan 1 hingga 6 orang anak ternyata cukup bervariasi. Garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok anggota keluarga itu adalah Rp. 102.977,78, Rp. 101.112,13, Rp. 166.950,68, Rp.164.803,69, Rp. 158.271,11 dan Rp. 210.239,39. Dengan demikian semakin banyak anggota keluarga itu semakin besar pula garis kemiskinannya. Namun demikian tingkat kemiskinan per kapita menjadi lebih rendah karena pendapatan relatif kecil itu dibagi dengan anggota yang lebih banyak. BPS Daerah Istimewa Aceh 1999, Peta Konsumsi Pangan di Indonesia” menyatakan, secara Nasional diakui bahwa penduduk Aceh menduduki rangking teratas dalam mengkonsumsi karbohidrat dan protein hewani dan sebaliknya untuk KHAIRIL ANWAR : ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN ACEH UTARA, 2008. USU e-Repository © 2008 konsumsi protein nabati masih rendah. Disini berarti belum adanya penganekaragaman konsumsi pangan, hal ini sudah terpola sejak dahulu. Susanti 2000 mengemukakan bahwa perkembangan rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga di Provinsi Aceh periode 1986-1998 sebesar 5,2 persen per tahun. Pertumbuhan PDRB membawa pengaruh yang positif terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga masyarakat di Provinsi Aceh. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil regresi yang didapat C = 409,160 +0,61897PDRB. Sehingga membuktikan bahwa setiap perubahan dari pendapatan memberi efek pada konsumsi. Anwar 2001 yang meneliti tentang dampak krisis moneter terhadap konsumsi masyarakat Provinsi Aceh menyimpulkan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dan inflasi sebesar 98,5. Namun koefisien inflasi secara parsial berhubungan dengan inflasi dengan koefisien -0,00256. Untuk memperlihatkan dampak krisis digunakan variabel dummy, karena penelitiannya dimasukkan variabel inflasi, maka data yang digunakan merupakan data atas harga berlaku. Isnawati 2001 yang meneliti tentang dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi dan tabungan masyarakat Provinsi Aceh menyimpulkan bahwa dampak dari krisis ekonomi terhadap konsumsi sebesar 78,05. Sedangkan dampak krisis terhadap tabungan mencapai 97,6. Suparta 2003 penelitiannya juga menggunakan konsep Extended Linear Expenditure System di desa IDT pada Kabupaten Aceh Besar dengan jumlah tanggungan keluarga sebagai faktor pembeda. Hasil penelitian ini juga disebutkan bahwa keluarga dengan tanggungan lebih sedikit adalah lebih sejahtera dari pada keluarga dengan tanggungan lebih besar. Hasil estimasi menunjukkan bahwa KHAIRIL ANWAR : ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN ACEH UTARA, 2008. USU e-Repository © 2008 variabel pendapatan, tanggungan keluarga, pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan variabel pekerjaan berpengaruh nyata terhadap pengeluaran jenis makanan masyarakat miskin. Darma 2003 Hasil estimasi pada masing-masing kelompok pengeluaran yang mengikut sertakan variabel sosial dan ekonomi rumah tangga, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari variabel aktivitas ekonomi kepala rumah tangga, jenis mata pencaharian kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan tempat tinggal rumah tangga terhadap nilai garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan berdasarkan aktivitas ekonomi rendah J1 Rp. 70986,635 dan aktifitas ekonomi tinggi J3 Rp. 103531,874. Nilai garis kemiskinan berdasarkan jenis mata pencaharian petani M1 Rp. 138309,885, jenis mata pencaharian buruh tani M2 Rp. 167377,727, jenis mata pencaharian pedagang kaki lima M3 Rp. 211600,798, jenis mata pencaharian nelayann tradisional M4 Rp. 162701,942. Nilai garis kemiskinan berdasarkan tingkat pendidikan tinggi S3 Rp. 89164,591. Nilai garis kemiskinan berdasarkan jumlah anggota keluarga 3 A3 Rp. 255304, berdasarkan jumlah anggota 4 A4 Rp.451203,108, berdasarkan jumlah anggota keluarga 5 A5 Rp. 384799,917 dan berdasarkan jumlah anggota keluarga 6 A6 Rp. 387410,846. Nilai garis kemiskinan berdasarkan tempat tinggal dikota Kabupaten T1 Rp.95548,486 dan berdasarkan tempat tinggal didesa T3 Rp. 50132,737. Insya 2003 menyebutkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan mencapai Rp. 1.674.737 atau 79,26 persen sisanya 438.249,- atau 20,74 persen untuk kebutuhan non pangan. Sementara pola pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk keperluan makanan sebesar Rp. 1.674.754,- atau mencapai 79,26 persen dari total pengeluaran pertahun. Sedangkan untuk pengeluaran non KHAIRIL ANWAR : ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN ACEH UTARA, 2008. USU e-Repository © 2008 pangan terkonsentrasi pada kelompok perumahan, bahan bakar penerangan dan air sebesar 6,29 persen. Kemudian disusul untuk sandang sebesar 5,29 persen serta aneka barang dan jasa 4,5 persen. Pengeluaran untuk keperluan lainnya sebesar 3,05 persen. Sementara pengeluaran rumah tangga rata-rata perkapita perbulan mencapai Rp. 32.248,- terdiri dari pengeluaran untuk kebutuhan pangan sebesar 79,25 persen dan sisanya untuk non pangan. Ini berarti pendapatan rata-rata rumah tangga berada di atas garis kemiskinan. Arifin 2005 menyimpulkan bahwa dampak tsunami terhadap perekonomian Nanggroe Aceh Darussalam sangat besar tidak hanya pada sektor riel tetapi juga pada sektor moneter. Akibat dari tsunami diperkirakan jumlah pengangguran akan meningkat drastis karena rusaknya lahan pertanian serta industri kecil dan rumah tangga. Di sektor pertanian diperkirakan sekitar 300.000 orang akan kehilangan pekerjaan akibat rusak dan hilangnya lahan, di sektor Usaha Kecil Menengah UKM diperkirakan 170.000 orang kehilangan pekerjaan, ditambah lagi sektor perikanan sekitar 130.000 orang. Akibat dari meningkatnya jumlah pengangguran maka jumlah penduduk miskin akan bertambah mencapai ± 2 juta orang. BRR NAD Nias 2005 bencana gempa dan tsunami selain merenggut korban jiwa dalam jumlah yang sangat besar, juga menyebabkan kerusakan di berbagai sektor kehidupan. Dalam aspek sosial dan kemasyarakatan kerusakan terjadi pada bidang pendidikan dimana diperkirakan 1.168 rumah sekolah rusak atau setara dengan 16,1 dari populasi sekolah yang ada di NAD, total keseluruhan kerugian di bidang pendidikan ditaksir mencapai satu trilyun rupiah. Dalam bidang perekonomian, bencana gempa dan tsunami menyebabkan kerusakan pada bidang KHAIRIL ANWAR : ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN ACEH UTARA, 2008. USU e-Repository © 2008 perindustrian dan perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pertanian dan kehutanan, perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan. Ilhamuddin 2006 pada tahun 2004 pengeluaran per kapita penduduk Provinsi NAD Rp. 182.465, dimana sebagian besar digunakan untuk keperluan makanan 64,89 persen dan sekitar sepertiganya35,11 persen untuk pengeluaran bukan makanan. Pengeluaran penduduk kota relatif lebih besar Rp. 257.569 daripada penduduk desa Rp. 154.832. Sementara pengeluaran penduduk pedesaan untuk kebutuhan makanan 10 persen lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Hasil estimasi model regresi logistik menyimpulkan bahwa jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, sektor pekerjaan, status perkawinan, usia, jumlah jam kerja, dan jenis kelamin mempengaruhi kecenderungan tingkat pendapatan per kapita.

2.3 Kerangka Konseptual