Penatalaksanaan Management dan Pencegahan koinfeksi TB-HIV

lainnya, dan harus dilakukan pada semua odha setelah KTS Konseling Post Test dan secara berkala selama pelayanan HIV termasuk sebelum memulai ART, atau selama pemberian ART Permitasari D.A, 2012. Pendekatan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan non ODHA. Penderita yang diduga TB berdasarkan keluhan dan pemeriksaan fisik harus diperiksa sediaan sputum 3x di bawah mikroskop. Pemeriksaan 3x ini karena kemungkinan menemukan BTA lebih besar dibandingkan jika hanya 2 atau 1x. Hasil lebih baik jika diambil pada pagi dini hari. Ada 2 pemeriksaan pokok untuk menentukan TB yaitu BTA Kulturbiakan sputum. Kultur bakteri memerlukan waktu yang lama 3-4 minggu untuk menumbuhkan koloni dengan media tradisional lowenstein jensen. Harun M et.al., 2014.

2.4.6 Penatalaksanaan

Terapi yang efektif dan pengendalian TB merupakan prioritas utama pengobatan penderita dengan koinfeksi HIV-TB. Tatalaksana koinfeksi HIV TB begitu rumit oleh karena obat ARV Anti Retro Viral menghasilkan interaksi yang tidak diinginkan dengan obat TB dan atau meningkatkan toksisitas OAT. Universitas Sumatera Utara Jumlah CD4 Regimen Terapi CD4 ,200mm³ Mulai dengan terapi TB. Pemberian ART secepat mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi. Regimen yang mengandung EFZ CD4 antara 200-350mm³ Mulai dengan terapi TB. Pemberian ART dimulai setelah 8 minggu. Regimen yang mengandung EFZ atau regimen yang mengandung NVP pada saat fase bebas rifampisin CD4 350mm³ Mulai dengan terapi TB. Menunda ART jika tidak ada gejala non-TB stadium III atau IV yang muncul. Evaluasi kembali pasien pada minggu ke-8 dan pada saat akhir terapi TB termasuk CD4 CD4 tidak tersedia Mulai terapi ART antara 2 minggu-2 bulan Tabel 2.2 Pemilihan terapi ART pada pasien yang baru terdiagnosis koinfeksi TB Sumber : Permitasari D.A, 2012 1. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors NNRTI: Rifampicin tidak dapat digunakan bersama NVP tetapi dapat dikombinasikan dengan EFZ. Rifabutin dapat dikombinasikan dengan NVP. Jika pasien sedang mendapat terapi NVP saat terdiagnosis TB, maka apabila rifabutin tersedia, pasien diberi 2HZERifabutin 4 HRifabutin, atau apabila rifabutin tidak tersedia maka NVP diganti dengan EFV 600 mg. Jika terapi TB telah tuntas maka NVP dapat dilanjutkan. Universitas Sumatera Utara 2. Nucleoside reverse transcriptase inhibitors NRTI: Rifampicin dapat dikombinasikan dengan NRTI. 3. Protease Inhibitors PI: Apabila diberikan pada pasien, maka serum PI akan turun di bawah jendela terapi, sedangkan serum rifampicin akan meningkat mencapai efek toksik. Rifabutin merupakan obat yang kurang menginduksi enzim hepar dibandingkan dengan rifampicin, sehingga dapat digunakan apabila tersedia Permitasari D.A, 2012.

2.4.7 Management dan Pencegahan koinfeksi TB-HIV

TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV dan AIDS ODHA. Kolaborasi TB-HIV adalah upaya pengendalian kedua penyakit dengan mengintegrasikan kegiatan kedua program secara fungsional, baik pada aspek menajemen kegiatan program maupun penyediaan pelayanan bagi pasien USAID, 2013-2014. Tujuan kolaborasi ini untuk mengurangi beban kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien melalui pembentukan mekanisme kolaborasi program TB dan HIVAIDS, menurunkan beban TB pada ODHA IPT, intensifikasi penemuan kasus TB dan pengobatan, PPI TB di layanan kesehatan, dan menurunkan beban HIV pada pasien TB menyediakan tes HIV; pencegahan HIV; pengobatan preventif dengan kotrimoksasol; dan Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV USAID, 2013-2014. Kebijakan nasional kolaborasi TBHIV telah dikembangkan dan survei seroprevalensi TBHIV sudah dilaksanakan di beberapa provinsi. Demikian pula penguatan kolaborasi dan aktivitas koordinasi pada semua tingkatan telah dikembangkan. Advokasi terus dilakukan ke seluruh pihak yang berkepentingan, untuk memperoleh komitmen yang lebih tinggi dalam menjamin pelayanan Universitas Sumatera Utara TBHIV yang optimal, terutama bagi masyarakat berisiko tinggi Most at Risk Populations atau MARPs.Guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia di kelompok kerja TBHIV di semua tingkatan, ketersediaan tim pelatih nasional yang kompeten dan terlatih dengan standar internasional merupakan kebutuhan yang mendesak Kementerian Kesehatan Repuplik Indonesia, 2011. Di samping itu, standarisasi dan penggunaan format pencatatan dan pelaporan dilakukan untuk memperkuat sistem monitoring dan evaluasi TBHIV. Pelayanan TBHIV yang terintegrasi difokuskan kepada masyarakat berisiko tinggi di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk di LapasRutan untuk meningkatkan kepatuhan berobat dan kunjungan pasien, skrining TB secara aktif bagi ODHA dan memperluas tes HIV bagi suspek TB serta segera memberikan ART bagi pasien dengan ko-infeksi TB-HIV. Dalam hal ini, keterlibatan LSM, organisasi berbasis keagamaan dan masyarakat umum dengan jejaringnya untuk mendukung LapasRutan dan Puskesmas yang menyediakan pelayanan DOTS bagi masyarakat berisiko tinggi perlu ditingkatkan. Selain active-case finding dan pengendalian infeksi TB, ujicoba Pengobatan preventif INH IPT akan dilaksanakan sebagai bagian integral dari intervensi TB-HIV dengan fokus utama pada kelompok risiko tinggi Kementerian Kesehatan Repuplik Indonesia, 2011. Universitas Sumatera Utara Karakteristik Penderita • Usia • Jenis Kelamin • Status Pekerjaan • Faktor Penularan • Tahap Pendidikan • Keluhan Utama TB-HIV BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Komorbiditas pada Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010- Juni 2012

1 38 76

Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Yang Berobat Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2000

1 32 73

Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

5 58 111

Pengaruh Karakteristik Dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Kepatuhan Berobat Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2009

0 57 106

Karakteristik Penderita TB Paru Relapse Yang Berobat Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (Bp4) Medan Tahun 2000-2007

0 35 117

STUDI KUALITATIF FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI DROP OUT PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU PARU (BP4) TEGAL

2 10 158

IDENTIFIKASI EFEK SAMPING PADA PENATALAKSANAAN PASIEN TUBERKULOSIS DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERIODE 1 MEI- 22 JUNI 2013

0 6 63

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV 2.1.1 Epidemiologi 1.Situasi Global - Profil Pasien Hiv Dengan Tuberkulosis Yang Berobat Ke Balai Pengobatan Paru Provinsi (Bp4), Medan Dari Juli 2011 Hingga Juni 2013

0 0 36

Profil Pasien Hiv Dengan Tuberkulosis Yang Berobat Ke Balai Pengobatan Paru Provinsi (Bp4), Medan Dari Juli 2011 Hingga Juni 2013

0 0 14

Evaluasi pengobatan pada pasien tuberkulosis paru yang gagal konversi di balai pengobatan penyakit paru-paru (Bp4) Yogyakarta tahun 2006-2008 - USD Repository

0 0 96