Restrukturisasi Utang Untuk Mencegah Kepailitan

(1)

RESTRUKTURISASI UTANG

UNTUK MENCEGAH KEPAILITAN

TESIS

Oleh

LINDIA HALIM

057011049/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

RESTRUKTURISASI UTANG UNTUK MENCEGAH KEPAILITAN BISMAR NASUTION*

MUHAMMAD YAMIN* T. KEIZEIRINA DEVI AZWAR**

LINDIA HALIM*** Intisari

Putusan pernyataan pailit oleh pengadilan terhadap debitur yang tidak membayar utangnya akan menimbulkan dampak merugikan yang sangat luas tidak hanya bagi debitur, namun juga bagi negara maupun masyarakat, karena dapat mempengaruhi jumlah pendapatan negara berupa pajak, hingga menimbulkan putusnya hubungan kerja bagi pegawai dan buruh yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Ada kalanya debitur yang dipailitkan oleh minoritas kreditur sesungguhnya masih memiliki prospek usaha yang baik dan dapat kembali menjadi perusahaan yang sehat apabila diberikan beberapa keringanan terhadap utang-utangnya melalui langkah restrukturisasi. Restrukturisasi utang dilakukan sepanjang utang-utang Debitor layak untuk direstrukturisasi karena Perseroan Debitor masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang dan akan menjadi Perseroan yang sehat untuk dapat melanjutkan kegiatan usahanya apabila diberi penundaan jangka waktu pelunasan dalam jangka waktu yang wajar, baik dengan atau tanpa diberi keringanan terhadap persyaratan utangnya baik restrukturisasi utang itu dilakukan dengan atau tanpa disertai upaya untuk menyehatkan Perseroan yang bersangkutan. Namun mengenai restrukturisasi utang tidak cukup diatur dalam Undang-Undang Kepailitan pada bagian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sehingga debitur tidak mempunyai pegangan yang jelas atas upaya restrukturisasi yang dapat ditempuhnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tesis ini berupaya menelaah dan menelusuri lebih jauh perihal restrukturisasi utang sebagai upaya debitur untuk mencegah kepailitan, bagaimana pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bagaimana konsep restrukturisasi dalam kepailitan dan bagaimana pelaksanaannya dalam praktek.

Dalam penulisan tesis ini digunakan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari yurisprudensi, buku-buku ilmiah, undang-undang, jurnal hukum, situs internet dan lain-lain. Setelah itu digunakan metode deskriptif analisis, dimana skripsi ini diawali dengan pemaparan data dan kemudian dilanjutkan dengan analisa data berdasarkan kerangka acuan yang telah ditetapkan.


(3)

Setelah menggunakan metode yang ada, ditunjang dengan data-data yang konkret, maka dari penulisan tesis ini maka dapat diketahui bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Restrukturisasi Utang Perseroan telah cukup jelas mengatur tentang Restrukturisasi Utang. Restrukturisasi utang merupakan upaya yang dapat ditempuh debitur untuk menghindarkan dirinya dari kepailitan, yang mana dengan restrukturisasi utang yang tertuang dalam suatu perjanjian perdamaian, debitur diberikan kelonggaran-kelonggaran tertentu dalam melunasi kewajibannya yaitu antara lain berupa penjadwalan kembali utang (rescheduling), pemberian masa tenggang (grace period), persyaratan kembali perjanjian utang (reconditioning), pengurangan jumlah utang pokok (hair cut), pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, dan biaya-biaya lain, pemberian utang baru, konversi utang menjadi modal Perseroan (debt for equity conversion), penjualan aset yang tidak produktif, pertukaran utang dengan aset Debitor (debt to asset swap)

Kata Kunci :

1. Restrukturisasi Utang. 2. Kepailitan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan kacaunya peta bisnis Indoensia. Utang swasta maupun nasional melonjak akibat melonjaknya nilai tukar mata uang Dolar Amerika Serikat terhadap mata uang Rupiah. Dilikuidasinya sejumlah bank swasta menyebabkan rush di masyarakat. Masyarakat pun mengalihkan simpanannya ke luar negeri, hal mana memperburuk perekonomian nasional.

Instrumen kepailitan merupakan salah satu upaya pemerintah di samping pelbagai kebijakan lainnya yang harus diperhitungkan ketika membicarakan upaya


(4)

pemulihan ekonomi nasional. Perusahaan-perusahaan yang tidak berhasil direstrukturisasi maka akan berakhir di Pengadilan Niaga dengan kasus kepailitan.

Peraturan Kepailitan di Indonesia pertama kali dikenal dalam Buku \ketiga

Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) yang berjudul van de Voorzieningen in geval van anvermogen van kooplieden (Peraturan tentang

Ketidakmampuan Pedagang) yang diumumkan dalam Lembaran Negara Staatsblad 1847 Nomor 52 juncto Staatsblad 1849 Nomor 63, yang merupakan peraturan kepailitan untuk bukan pedagang. Kemudian kedua peraturan kepailitan ini dicabut berdasarkan Verordening Op het Faillissement en de Surceance van Betaling voor de

European in Nederlands Indie (selanjutnya disebut dengan

(Faillissementsverordening) yang termuat dalam Staatsblad tahun 1905 Nomor 207 juncto Staatsblad tahun 1908 Nomor 348.1 Di dalam praktek,

Faillissementsverordening amat jarang digunakan karena prosesnya yang panjang dan

berbelit-belit, jangka waktunya yang tidak jelas dan lemahnya kedudukan kreditur dalam epraturan tersebut.

Faillissementsverordening kemudian diubah dan ditambah dengan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang kemudian telah diterima dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Kemudian Undang-Undang-Undang-Undang tentang Kepailitan ini terus disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat dengan UUK).

Lembaga kepailitan2 merupakan sarana penyelesaian utang piutang yang ditujukan untuk mengatur dan melindungi keseimbangan kedua belah pihak. Karena

1

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta : Grafiti, 2002), hal. 25-26

2

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”(Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Agar permohonan pernyataan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga dapat dikabulkan, maka permohonan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang dikaitkan dengan Pasal 8 ayat (4) UUK.

Pasal 2 ayat (1) UUK menentukan : ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Kemudian Pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan : ”Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Dari kedua pasal tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa prasyarat dikabulkannya suatu permohonan pailit adalah sebagai berikut :

1. adanya (minimal) dua kreditur.

2. adanya (minimal) satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. 3. kedua hal di atas dapat dibuktikan secara sederhana.


(5)

dirumuskan dalam waktu yang mendesak, UUK sarat akan kelemahan. Salah satunya adalah tidak terdapatnya pengaturan mengenai restrukturisasi utang.

Jiwa Undang-Undang Kepailitan pada hakekatnya adalah untuk melakukan tindakan pemberesan terhadap perusahaan yang insolven, yang benar-benar telah tidak mampu dalam membayar utangnya, sehingga jalan kepailitan dimaksudkan sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang. Namun, ada kalanya debitur yang tidak mampu itu, (karena melonjaknya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat) masih memiliki prospek atau masa depan usaha yang menjanjikan, yang di kemudian hari dapat pulih kembali, apabila diberikan beberapa keringanan dalam pelunasan utangnya.

Seperti halnya pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan Nomor 024/PK/N/1999 dalam perkara antara PT. Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Ssangyong Engineering & Costruction Co. Ltd, yang dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali mengemukakan sebagai berikut :3

“Potensi dan prospek dari usaha debitur harus pula dipertimbangkan secara baik. Jika debitur masih mempunyai potensi dan prospek, sehingga merupakan tunas-tunas yang masih dapat berkembang seharusnya masih diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum

remidium.”

Lebih lanjut Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam menolak putusan pernyataan pailit dalam perkara tersebut mengemukakan alasan penolakannya : 4

“... dan bahkan terhadap hutang Debitur/Termohon Pailit telah diadakan restrukturisasi yang menunjukkan bahwa usaha debitur masih mempunyai potensi dan prospek untuk berkembang dan selanjutnya dapat memenuhi kewajibannya kepada seluruh kreditur di kemudian hari dan oleh karena itu Debitur/Termohon Pailit bukan merupakan a Debtor is hopelessly in debt.”

Dengan kata lain, Majelis Hakim dalam Peninjauan Kembali perkara tersebut berpendirian bahwa adalah tidak dibenarkan untuk mengabulkan suatu permohonan pernyataan pailit terhadap Debitur yang masih memiliki potensi dan prospek usaha untuk berkembang sehingga di kemudian hari akan dapat melunasi utang-utang kepada para krediturnya.5

Undang-undang Kepailitan pada asasnya tidaklah semata-mata ditujukan untuk mempailitkan Debitur yang tidak membayar utangnya. Undang-undang Kepailitan memberi alternatif lain selain kepailitan yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya tapi masih memiliki prospek usaha yang baik serta kooperatif dengan para kreditur untuk melunasi utang-utangnya, untuk direstrukturisasi utang-utangnya dan disehatkan perusahaannya. Restrukturisasi utang dan perusahaan (debt and corporate

restructuring) akan memungkinkan perusahaan Debitur kembali berada dalam

3

Putusan Majelis Hakim Peninjauan Kembali pada perkara Nomor 24/PK/N/1999/, Yurisprudensi Kepailitan 1998-1999, Jakarta : Tatanusa

4

Ibid.

5

Sutan Remy Sjahdeini, HUKUM KEPAILITAN MEMAHAMI FAILLISSEMENTSVERORDENING JUNCTO UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1998, (Jakarta : Grafiti, 2002), hal. 59


(6)

keadaan mampu membayar utang-utangnya. Tindakan inilah yang seyogyanya terlebih dahulu ditempuh sebelum diajukan permohonan pailit. Dengan kata lain, kepailitan seyogyanya hanya merupakan ultimum remidium.6

Pendirian lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang7 (selanjutnya disingkat dengan PKPU) dalam UUK sejalan dengan konsep Reorganization yang diatur dalam Chapter 11 U.S. Bankruptcy Act. 8PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh hakim niaga kepada debitor dan kreditor untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitor, baik sebagian maupun seluruhnya, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utang tersebut.9

Permohonan PKPU diajukan dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian utang atau seluruh utang kepada kreditor.10 Rencana Perdamaian ini merupakan proposal akan tindakan-tindakan yang akan diambil Debitor dalam rangka penyehatan kembali perusahaannya. Salah satu tindakan yang ditempuh debitor dalam rangka menyelesaikan utang-utangnya tersebut adalah dengan cara melakukan pengajuan restrukturisasi atas utang nya.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan restrukturisasi utang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?

2. Bagaimana pengaturan restrukturisasi utang dalam konteks kepailitan?

3. Bagaimana pelaksanaan Restrukturisasi Utang dalam perbankan dan dunia usaha di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah tersusun, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan restrukturisasi utang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Untuk mengetahui pengaturan restrukturisasi utang dalam konteks kepailitan 3. Untuk mengetahui pelaksanaan restrukturisasi utang dalam perbankan dan

dunia usaha

6

Ibid. hal. 58-59

7

Pasal 222 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

8

Sutan Remy Sjahdeini, Loc. Cit.

9

Tim Kerja Pimpinan Syamsudin Manan Sinaga, ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TENTANG RESTRUKTURISASI UTANG PADA PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2000), hal. 2.

10


(7)

D. MANFAAT PENULISAN

Dari penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Secara akademis-teoritis, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai tindakan restrukturisasi utang yang ditempuh dalam rangka mencegah terjadinya kepailitan.

2. Secara sosial-praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap mahasiswa-mahasiswa atau praktisi-praktisi hukum dalam mengetahui tentang restrukturisasi utang dan bagaimana pengaturannya.

E. KEASLIAN PENULISAN

Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada tulisan yang mengangkat mengenai Restrukturisasi Utang Untuk Mencegah Kepailitan. Penulisan ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan restrukturisasi utang, lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah yang juga ditujukan untuk penyelesaian masalah utang piutang maupun lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Hukum Kepailitan. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. KERANGKA TEORI DAN KONSEPSI.

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu. 11 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau pemasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,12 yang akan dijadikan sebagai landasar pemikiran dalam penulisan tesis ini.

Setiap orang yang berutang wajib melunasi seluruh utang-utangnya. Utang diberikan oleh kreditur kepada debitur dengan pemberian jaminan dari debitur kepada kreditur untuk menjamin akan pelunasan utang debitur. Dalam hal debitur wanprestasi atau gagal memenuhi kewajibannya, maka akan diadakan tindakan eksekusi terhadap aset-aset debitur yang dijadikan sebagai jaminan/agunan.

UUK lahir guna mengatur mengenai cara menentukan eksistensi suatu utang debitur kepada kreditur, berapa jumlahnya yang pasti termasuk mengupayakan perdamaian yang dapat ditempuh oleh debitur kepada para kreditur nya. 13

Kemudian tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) juga sebagai berikut :14 1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di

antara para krediturnya

2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan debitur

11

J.J.H. Bruggink, “REFLEKSI TENTANG HUKUM” (Alih bahasa : Arief Sidharta), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2.

12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80.

13

Ibid., hal. 13

14


(8)

3. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad tidak baik dari para krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang

Sehingga beberapa asas dalam hukum kepailitan yang penting dalam penulisan tesis ini antara lain :

1. Asas Keseimbangan

UUK memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan debitur. Di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan tersebut oleh kreditur yang beritikad tidak baik.15

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam UUK, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektip tetap dilangsungkan.16 UUK tidak semata-mata bermuara pada kepailitan dan tindakan eksekusi aset debitur, terdapat alternatif lain yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya namun masih memiliki prospek usaha yang baik dan pengurusnya beritikad baik serta kooperatif untuk melunasi utang-utangnya, maka dapat diupayakan restrukturisasi atas utang-utangnya dan penyehatan kembali perusahannya, sehingga kepailitan merupakan ultimum remidium.17

3. Asas Keadilan

Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditur yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya tanpa memperhatikan kepentingan kreditur lainnya dan kepentingan debitur, misalnya dengan penagihan yang sewenang-wenang, bagaimana kelangsungan usaha debitur dan bagaimana pelunasan terhadap kreditur yang lain.

4. Asas putusan yang didasarkan pada persetujuan Kreditur Mayoritas.

Permohonan pernyataan pailit yang hanya diajukan oleh kreditur minoritas dan tidak disetujui oleh kreditur mayoritas, tidak akan dikabulkan oleh Majelis Hakim. Sebab pengabulannya akan membawa kerugian bagi kreditur mayoritas. Demikian pula rencana perdamaian dalam PKPU hanya akan dikabulkan apabila disetujui oleh lebih dari ½ jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui yang hadir pada rapat kreditur yang jumlah tagihannya mewakili paling sedikit 2/3 dari seluruh jumlah tagihan dari kreditur yang hadir pada rapat.

Restrukturisasi merupakan langkah strategi yang universal. Tindakan restrukturisasi menjadi jalan keluar yang berlaku dalam lingkup internasional, dimana pun dan kapan pun setiap kali unit-unit usaha (termasuk perbankan dan lain-lain) menghadapi finansial yang berat. Debitur yang mengalami kesulitan keuangan dapat mengajukan permohonan keringanan pada para krediturnya.18 Bila restrukturisasi ini berhasil dilaksanakan, sehingga akhirnya debitur berhasil melunasi seluruh utang-utangnya, maka tindakan ini jauh lebih menguntungkan dibanding tindakan kepailitan yang mematikan usaha debitur.

15

Ibid.

16

Ibid.

17

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 58-59.

18


(9)

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep

dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.19 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional. 20 Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut :

Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang

Debitur adalah orang atau badan usaha yang memiliki utang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau Undang-Undang

Insolven adalah keadaan tidak mampu membayar utang

Utang adalah segala macam bentuk dan jenis kewajiban Debitor untuk membayar sejumlah dana kepada Kreditor yang timbul dari suatu perjanjian kredit, surat utang, putusan pengadilan, putusan dewan/badan arbitrase, atau perikatan lain yang menjadi dasar hukum bagi timbulnya kewajiban tersebut, termasuk bunga dan biaya-biaya yang wajib dibayar oleh Debitor.

Utang yang telah jatuh tempo adalah utang yang pelunasannya, baik sebagian atau seluruhnya, telah jatuh tempo sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian Kredit, surat utang, putusan pengadilan, putusan dewan/badan arbitrase, atau perikatan lain yang menjadi dasar hukum bagi timbulnya utang itu, termasuk bunga dan biaya-biaya yang wajib dibayar oleh Debitor.

Utang yang telah dapat ditagih adalah utang, baik sebagian atau seluruhnya, yang jangka waktu pelunasannya telah sampai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit atau surat utang atau perikatan lain yang menjadi dasar timbulnya utang itu, atau apabila terjadi salah satu atau lebih peristiwa yang dimaksudkan dalam klausul events of default dari perjanjian kredit, surat utang, atau perikatan lain tersebut.

Restrukturisasi adalah restrukturisasi utang kepada para kreditur dengan atau tanpa penyehatan perusahaan.

Restrukturisasi Utang adalah langkah-langkah untuk mengupayakan agar debitur dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya pada bank melalui pemberian kelonggaran-kelonggaran tertentu, yaitu :a. Penurunan suku bunga kredit ; b. Pengurangan tunggakan bunga kredit ; c.Pengurangan tunggakan pokok kredit ; d.Perpanjangan jangka waktu kredit ; e.Penambahan fasilitas kredit ; f.Pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku ; g.Konversi kredit melalui penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur.

Penyehatan perusahaan adalah upaya untuk melakukan pembenahan terhadap perusahaan baik yang menyangkut manjemen, visi, misi, strategi, struktur organisasi teknologi yang digunakan oleh perusahaan, budaya perusahaan, sistem, prosedur, kualitas, jumlah, sumber daya manusia dan aspek-aspek lain yang bertujuan menyehatkan perusahaan agar restrukturisasi utang lebih terjamin keberhasilannya.

19

Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei¸(Jakarta : LP3ES, 1989), hal. 34.

20


(10)

Lembaga kepailitan merupakan sarana penyelesaian utang piutang yang ditujukan untuk mengatur dan melindungi keseimbangan kedua belah pihak

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh hakim niaga kepada debitor dan kreditor untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitor, baik sebagian maupun seluruhnya, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utang tersebut dengan mengajukan Rencana Perdamaian yang disetujui oleh (para) kreditur.

Rencana Perdamaian merupakan proposal akan tindakan-tindakan yang akan diambil Debitor dalam rangka penyehatan kembali perusahaannya.

Bankcuptcy Act merupakan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan21 dengan langkah-langkah yang sistematis.

Metode Ilmiah juga merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran, sedangkan berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.22

1. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah bersifat Deskriptif analitis dengan sumber kepustakaan untuk menjawab permasalahan dan menggunakan logika berpikir yang ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif dan sistematis dalam penguraiannya.23 Penelitian tesis ini akan menggambarkan kemudian mengorganisasikan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai restrukturisasi perusahaan dalam mencegah kepailitan, kemudian dengan peraturan yang ada, bagaimana pelaksanaan restrukturisasi tersebut dilaksanakan yang kemduian peraturan yang telah ada tersebut disempurnakan dalam suatu Rancangan Undang-Undang tentang Resturukturisasi Utang Perseroan. Penggambaran tersebut kemudian dianalisi dengan menggunakan metode kualitatif.

2. Pendekatan Penelitian

Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yaitu meneliti terhadap bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian ini meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, perturan perundangan, putusan pengadilan,

21

Koentjaraningrat, METODE-METODE PENELITIAN MASYARAKAT, (Jakarta : Gramedia, 1977), hal. 16

22

Jujun S. Suriasumantri, FILSAFAT ILMU: SEBUAH PENGANTAR POPULER, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 119,

23

Runtung Sitepu, DIKTAT PERKULIAHAN METEDOLOGI PENELITIAN HUKUM, (Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, 2004), hal. 20


(11)

buku-buku, dan literatur lain mengenai restrukuturisasi utang, mengkaji aspek hukum yang ada, dan dengan peraturan yang ada, bagaimana pelaksanaannya di masyarakat, apakah peraturan tersebut cukup menaungi fenomena yang ada atau diperlukan suatu peraturan yang lebih kompleks.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum berupa data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan.24

Bahan hukum primer yang dipakai dalam penelitian tesis ini adalah Undang-Undang Kepailitan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan berbagai Surat Edaran Bank Indonesia, putusan-putusan pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung perihal restrukturisasi utang. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku maupun hasil penelitian atau karya ilmiah, majalah, jurnal ilmiah, data internet seputar permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. Kemudian digunakan kamus, ensiklopedia, dan lainnya sebagai bahan hukum tertier guna memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder tersebut.

4. Analisa Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.25 Analisa akan dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode induktif. Analisa ini diawali dengan kegiatan penelitian dan penelaahan peraturan-peraturan tentang kepailitan dan PKPU, menganalisa putusan-putusan Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung. Dengan mendasarkan pada bahan kepustakaan yang ada, kegiatan ini diharapkan dapat memudahkan dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan akhirnya menarik kesimpulan

24

Bahan Kepustakaan ini mencakup : 1. bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, peraturan perundang-undangan dan peraturan setaraf (dan berjenjang ke bawah), maupun bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat dan yurisprudensi ; 2. bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian dan lain-lain ; 3. bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lainnya. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hal. 23).

25

Lexy Moleong, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal, 103


(12)

BAB II

PENGATURAN RESTRUKTURISASI UTANG DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang A.1. Pengertian PKPU.

Ada dua cara yang disediakan oleh UUK agar Debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya dalam hal debitur diputus pailit. Cara yang pertama ialah dengan mengajukan PKPU, dan cara yang kedua adalah mengadakan perdamaian antara Debitur dengan para Krediturnya setelah Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan.26

PKPU atau Surseance van Betaling atau Suspension of Payment merupakan kesempatan yang diberikan oleh Undang-Undang Kepailitan. PKPU dalam UUK diatur dalam Bab III, Pasal 222 sampai dengan Pasal 294. Lain halnya dengan Kepailitan, dalam PKPU, Debitur tidak kehilangan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum atas hartanya, namun ia harus mendapat persetujuan dari Hakim Pengawas.

Permohonan PKPU dapat diajukan baik oleh kreditur maupun oleh debitur sendiri.27 Permohonan PKPU diajukan oleh debitur sendiri dalam hal debitur tersebut tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, ataupun diajukan oleh kreditur terhadap debitur yang demikian tersebut ke Pengadilan Niaga.

PKPU adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan undang-undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut, dengan demikian PKPU merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.28

Pada hakikatnya, PKPU diajukan untuk mengajukan rencana perdamaian yang berisi ringkasan kondisi perusahaan debitur, ringkasan para pemegang saham, rincian para kreditur separatis dan kreditur konkuren, rincian jumlah yang terutang dan rencana untuk menyelesaikannya dan hal lainnya yang merupakan rencana debitur dalam melakukan restrukturisasi baik restrukturisasi terhadap utangnya maupun restrukturisasi terhadap organ perusahaannya. Rencana perdamaian ini merupakan tawaran dari debitur atas pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada para kreditur.

PKPU bertujuan menjaga jangan sampai seorang debitur, yang karena suatu keadaan misalnya keadaan likuid dan sulit memperoleh kredit dinyatakan pailit, padahal debitur tersebut apabila diberi waktu dan kesempatan kepada debitur,

26

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, Hal. 321.

27

Pasal 222 ayat (1) UUK.

28

Munir Fuady, PENGANTAR HUKUM BISNIS, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal.82


(13)

diharapkan bahwa debitur melalui reorganisasi usahanya dan.atau restrukturisasi utang-utangnya, dapat dapat melanjutkan usahanya dan dengan demikian membayar kunas utang-utangnya.29

A.2. Macam-Macam PKPU

Dalam UUK dikenal adanya dua jenis PKPU yaitu PKPU sementera dan PKPU tetap.

(a) PKPU sementara

Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) UUK menyebutkan bahwa apabila debitur mengajukan permohonan PKPU 30, sejauh syarat-syarat administrasi telah dipenuhi, dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak didaftarkannya surat permohonan tersebut, Hakim Pengadilan Niaga harus segera mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dan mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus. Sedangkan untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditur, maka dalam waktu paling lambat 20 hari, sejak didaftarkannya surat permohonan,hakim Pengadilan Niaga harus mengabulkan PKPU sementara serta mengangkat Hakim Pengawas dan pengurus.

Segera setelah putusan PKPU sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Pada hari sidang tersebut akan dilakukan pemeriksaan dengan cara mendengar kedua belah pihak (debitur dan kreditur) untuk didengar secara seimbang (Audi et alterem Partem).31 Dalam hal Debitur tidak hadir dalam sidang tersebut, maka PKPU sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitur pailit pada sidang yang sama.32

Putusan PKPU sementera wajib segera diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan kepada para kreditur untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan antara para kreditur dengan debitur33 dan rencana perdamaian (apabila telah ada). Kemudian pada sidang tersebut, dilakukan pemungutan suara tentang rencana perdamaian akan dilakukan,

29

Fred B. G. Tumbuan, POKOK-POKOK UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN SEBAGAIMANA DIUBAH OLEH PERPU NO. 1/1998, dalam Rudhy A. Lontoh, dkk, Ibid., hal, 131-132

30

Dalam permohonan PKPU yang diajukan juga menyertakan daftar aktiva dan pasiva debitur, dan harus menyampaikan nama-nama dan alamat-alamat para kreditur, termasuk juga jumlah besarnya tagihan dari masing-masing kreditur. Dapat juga disertakan konsep rencana perdamaian jika sudah ada. (Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004), hal. 192). Apabila pada saat itu Rencana Perdamaian belum diajukan, maka Rencana Perdamaian dapat diajukan pada saat berikutnya dalam jangka waktu sebelum 45 (empat puluh lima) hari yaitu sebelum diadakannya sidang pertama PKPU. (Pasal 226 ayat (1) UUK).

31

Hermansyah, PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DEBITUR SWASTA MELALUI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT, (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional : 2002), hal. 21-22.

32

Pasal 225 ayat (5) UUK.

33


(14)

apakah para kreditur menyetujui atau menolak rencana perdamaian tersebut. Apabila para kreditur menyetujuinya, maka PKPU sementara akan menjadi PKPU tetap dengan jangka waktu beserta perpanjangannya yang tidak boleh melebihi dari 270 hari sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Dan apabila para kreditur menolak rencana perdamaian tersebut, maka Debitur dinyatakan pailit.34

(b) PKPU Tetap

Paling lambat pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak tanggal ditetapkannya putusan PKPU sementara, Pengadilan Niaga melalui pengurus wajib memanggil debitur yang yang dikenal untuk menghadap dalam rapat kreditur untuk kemudian menentukan apakah dapat diberikan PKPU tetap

Apabila disepakati, maka Pengadilan Niaga akan menetapkan PKPU tetap untuk jangka waktu tidak lebih dari 270 hari terhitung sejak putusan PKPU sementara ditetapkan.35

Menurut Pasal 229 ayat (1) UUK, PKPU tetap berikut perpanjangannya ditetapkan Pengadilan berdasarkan :

(a) persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut ; dan

(b) persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan kreditur atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

3. Akibat Hukum PKPU

(1) Selama PKPU debitur tidak kehilangan penguasaan dan hak (beheer en

beschikking) atas kekayaannya, namun debitur dalam PKPU kehilangan

kebebasannya dalam menguasai kekayaannya. Debitur tanpa persetujuan

pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.

(2) Keadaan Diam

Pasal 242 ayat (1) UUK menentukan bahwa selama berlangsungnya PKPU debitur tidak dapat dipaksa membayar utangnya, kecuali apabila pembayaran dilakukan kepada semua kreditur, menurut perimbangan besarnya piutang

34

Pasal 228 UUK

35

Total 270 hari termasuk di dalamnya 45 hari PKPU sementara. (Aria Suyudi, dkk, Op. Cit, hal.193). Jangka waktu 270 hari adalah jangka waktu bagi debitur dan para kreditur konkurennya untuk merundingkan perdamaian di antara mereka. Sebagai hasil perdamaian, yang harus dicapai dalam jangka waktu 270 hari itu, mungkin saja dihasilkan perdamaian untuk memberikan reschedulling bagi utang debitur untuk jangka waktu yang panjang, misalnya 5 atau 8 tahun. Dengan demikian, masa PKPU yang berjangka waktu tidak lebih dari 270 hari itu adalah jangka waktu bagi tercapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atas Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitur. Kalau ternyata Rencana Perdamaian yang dicapai adalah kreditur memberikan masa reschedulling misalnya selama 8 tahun, maka arinya masa pelunasan utang-utang debitur pada para kreditur adalah selama 8 tahun, bukan 270 hari. (Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 241).


(15)

masing-masing, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan.36

4. Pengakhiran PKPU

Menurut Pasal 255 ayat (1) UUK, PKPU dapat diakhiri atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih kreditur, atau prakarsa Pengadilan Niaga dalam hal :

a. Debitur, selama waktu PKPU bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya ;

b. Debitur telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditur nya ;

c. Debitur melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan dari Pengurus ;

d. Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh Pengadilan Niaga pada saat atau setelah PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tidnakan yang diisyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta debitur ;

e. Selama waktu PKU, keadaan harta debitur ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU ; atau

f. Keadaan debitur tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditur pada waktunya.

Dalam hal keadaan yang disebut pada huruf a dan huruf e, maka pengurus wajib mengajukan permohonan pengakhiran PKPU.37 Permohonan pengakhiran PKPU ini harus selesai diperiksa dalam jangka waktu 10 hari setelah permohonan pengakhiran diajukan dan putusan Pengadilan harus diucapkan dalam jangka waktu 10 hari setelah pemeriksaan selesai dilakukan.38 Putusan mana harus memuat alasan yang menjadi dasar putusan tersebut.39 Jika PKPU yang diberikan kepada debitur diakhiri, maka debitur harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama.40

B. Rencana Perdamaian dalam Rangka PKPU 1. Pengajuan Rencana Perdamaian

Rencana Perdamaian dalam rangka PKPU dapat diajukan pada saat-saat sebagai berikut :41

a. bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU 42

b. sesudah permohonan PKPU diajukan, namun rencana itu harus diajukan sebelum tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 UUK.43

36

Keadaan ini disebut Sutan Remy Sjahdeini sebagai keadaan diam atau standstill/stay, yang berlangsung baik selama PKPU sementara maupun selama PKPU tetap. (Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit¸hal, 344.)

37

Pasal 255 ayat (2) UUK

38

Pasal 255 ayat (4) UUK

39

Pasal 255 ayat (5) UUK.

40

Pasal 255 ayat (6) UUK

41

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 363.

42

Lihat Pasal 224 ayat (5) UUK

43

Yaitu sidang pertama yang diadakan setelah putusan PKPU Sementara ditetapkan, yang dihadiri oleh debitur, para kreditur dan pengurus, sidang ini merupakan rapat permusyawaratan dalam rangka penentuan apakah akan ditetapkan PKPU tetap atau tidak.


(16)

c. setelah sidang dimaksud dalam Pasal 226 UUK, namun sebelum hari ke-45, setelah putusan PKPU ditetapkan diucapkan atau sebelum hari ke-270 setelah PKPU sementara ditetapkan.44

Apabila Rencana Perdamaian telah diajukan, maka Rencana Perdamaian harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga yang bersangkutan agar dapat dilihat oleh setiap orang secara cuma-cuma dan Pasal 268 UUK menentukan bahwa Hakim Pengawas harus menentukan :

a. hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus ;

b. tanggal dan waktu Rencana Perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam Rapat kreditur yang dipimpin oleh Hakim Pengawas. Tenggang waktu antara hari penyampaian tagihan dan hari diadakannya Rapat kreditur itu adalah paling singkat 14 hari.

Meskipun PKPU dalam UUK dapat diajukan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, namun Rencana Perdamaian dalam PKPU hanya dapat diajukan oleh debitur.45

2. Kelayakan Rencana Perdamaian

Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitur hendaknya harus disusun sedemikian rupa sehingga para kreditur dapat menerima Rencana Perdamaian tersebut. Hanya Rencana Perdamaian yang dinilai layak atau feasible dan menguntungkan bagi para kreditur yang akan diterima oleh para kreditur.46

Sebagian besar keputusan kreditur untuk menerima atau menolak rencana bergantung kepada empat pertanyaan sebagai berikut :47

1. Apakah rencana feasible?

2. Seberapa besar nilai (kalau ada) yang diberikan rencana tersebut kepada kreditur?

3. Apakah kreditur menerima bagiannya secara adil dari pembagian nilai yang tersedia?

4. Apakah bentuk pemberian nilai tersebut dapat diterima?

Rencana Perdamaian bertujuan untuk melakukan restrukturisasi terhadap perusahaan debitur. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, utang debitur yang dianggap layak untuk direstrukturisasi apabila :48

a. Perusahaan debitur masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang atau utang-utang tersebut apabila perusahaan debitur diberi penundaan pelunasan utang atau utang-uang tersebut dalam jangka waktu tidak melebihi jangka waktu tertentu, baik dengan atau tanpa diberi

44

Ellyana S., Proses/Cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian pada Penundaan Kewajiban Pembayaran, sebagaimana dimuat dalam Rudhy A. Lontoh dkk, Op. Cit, hal. 272.

45

Lihat Pasal 222 ayat (2) dan ayat (3) UUK.

46

Sutan Remy Sjahedini, Ibid, hal. 366-37.

47

Mark S. Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton dan Steve H.Nickles, BUSINNESS REORGANIZATION IN BANKRUPTCY, (St. Paul, Minnesota : West Publishing Co, 1996), hal. 789, sebagaimana dikutip dalam Bismar Nasution dan Sunarmi, Ibid

48


(17)

keringanan persyaratan dan atau diberi tambahan utang baru. Prakarsa Jakarta menentukan jangka waktu itu tidak lebih dari 8 tahun.

b. Selain hal tersebut, utang debitur dianggap layak untuk direstrukturisasi apabila para kreditur memperoleh pelunasan utang-utang mereka yang jumlahnya lebih besar melalui restrukturisasi daripada apabila perusahaan debitur dinyatakan pailit.

c. Apabila syarat-syarat utang berdasarkan kesepakatan restrukturisasi menjadi lebih menguntungkan bagi para kreditur daripada apabila tidak dilakukan restrukturisasi.

Sehingga sebelum dilakukannya restrukturisasi pada suatu perusahaan (debitur), terlebih dahulu harus dilakukan studi kelayakan yang bertujuan menyimpulkan apakah utang debitur layak atau tidak direstrukturisasi. Haruslah diyakini bahwa di akhir masa implementasi restrukturisasi itu, diperkirakan perusahaan debitur yang semula insolven dapat menjadi solven kembali. Sehingga dengan demikian, restrukturisasi dilaksanakan tidak hanya menguntungkan bagi para kreditur namun juga bagi debitur.49

3. Isi Rencana Perdamaian

Inti dari PKPU adalah diajukannya Rencana Perdamaian oleh debitur untuk memperoleh persetujuan dari para kreditur. Apabila para kreditur menyetujui isi Rencana Perdamaian yang diajukan debitur, maka PKPU tetap akan berakhir dan tercapai perdamaian dalam masalah utang piutang antara debitur dengan kreditur.

Restrukturisasi Utang merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh debitur dalam Rencana Perdamaian. UUK tidak mengatur rincian apa saja yang diatur dalam suatu rencana perdamaian. Rencana perdamaian ini diajukan dengan maksud untuk memperoleh persetujuan dari para kreditur agar debitur dapat merestrukturisasi seluruh utang maupun kewajibannya dan pada saat yang sama juga memungkinkan bagi debitur untuk melanjutkan kegiatan usahanya.

Rencana Perdamaian ini yang membuat PKPU berbeda dengan kepailitan. Yang mana dalam rencana perdamaian debitur dapat mengupayakan kesempatan untuk melakukan restrukturisasi perusahaannya maupun restrukturisasi terhadap utang-utangnya sehingga debitur dapat tetap eksis sebelum dinyatakan pailit oleh hakim. 50

4. Pemungutan Suara dan Pengesahan Terhadap Rencana Perdamaian.

Rencana Perdamaian diterima apabila disetujui oleh lebih dari setengah jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang

49

Ibid, hal. 367-368.

50

Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil

Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System)”, hal. 21, http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-sunarmi5.pdf, terakhir kali diakses pada tanggal 19 Mei 2007


(18)

sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat pemungutan suara.51

Selanjutnya apabila Rencana Perdamaian telah diterima, Hakim Pengawas pada tanggal yang telah ditentukan, wajib menyampaikan laporan kepada Pengadilan guna keperluan pengesahan perdamaian. Pada tanggal tersebut, kreditur dapat menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menghendaki pengesahan atau penolakan perdamaian, dan debitur juga dapat menyampaikan pembelaannya apabila kreditur mengemukakan penolakan terhadap Rencana Perdamaian yang diajukannya.52

Apabila Rencana Perdamaian ditolak, maka Hakim Pengawas wajib segera memberitahukan penolakan itu kepada Pengadilan dengan cara menyerahkan salinan Rencana Perdamaian dan salinan Berita Acara Rapat kepada Pengadilan dan Pengadilan setelah menrima laporan penolakan tersebut harus menyatakan debitur pailit53.

51

Lihat Pasal 281 ayat (1) UUK.

52

Lihat Pasal 287 UUK.

53


(19)

BAB III

BENTUK-BENTUK RESTRUKTURISASI UTANG DALAM

PERBANKAN DAN DUNIA USAHA DALAM MENCEGAH KEPAILITAN A. Pengertian Restrukturisasi Utang

Perusahaan-perusahaan yang terjebak dalam kesulitan ekonomi menempuh jalan restrukturisasi baik restrukturisasi aset (finansial) dan restrukturisasi atau penyehatan perusahaan.54

Suad Husnan dalam buku ke-2 Manajemen Keuangan-Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Pendek), menyatakan bahwa restrukturisasi merupakan kegiatan untuk merubah struktur perusahaan. Restrukturisasi dapat berarti memperbesar atau memperkecil struktur perusahaan.55

Restrukturisasi utang merupakan suatu proses untuk merestruktur utang bermasalah56 dengan tujuan untuk memperbaiki posisi keuangan debitur.

Restrukturisasi utang adalah pembayaran utang dengan syarat yang lebih lunak atau lebih ringan dibandingkan dengan syarat pembayaran utang sebelum dilakukannya proses restrukturisasi utang, karena adanya konsesi khusus yang diberikan kreditur kepada debitur. Konsesi semacam ini tidaklah diberikan kepada debitur apabila debitur tersebut tidak dalam keadaan kesulitan keuangan.

Kesulitan keuangan yang dihadapi oleh perusahaan bisa bervariasi antara kesulitan likuiditas (technical insolency), di mana perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan sementara waktu, sampai kesulitan solvabilitaas (bangkrut), di mana kewajiban keuangan perusahaan sudah melebihi kekayaannya. 57

Kebanyakan kesulitan keuangan disebabkan oleh kesalahan manajemen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak terjadi serangkaian keputusan yang salah menyebabkan kondisi perusahaan memburuk. Penyebab pokok kebangkrutan perusahaan adalah inkompetensi manajerial.58

Restrukturisasi utang merupakan suatu tindakan yang perlu diambil sebab perusahaan tidak lagi memiliki kemampuan atau kekuatan untuk memenuhi

commitment-nya kepada kreditur. Commitment yang dimaksud adalah dimana debitur

tidak dapat lagi memenuhi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dengan kreditur, sehingga mengakibatkan gagal bayar. Dan apabila perusahaan tidak

54

Agnes Sawir, KEBIJAKAN PENDANAAN DAN RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal 236

55

Gunadi, RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN DALAM BERBAGAI BENTUK & PEMAJAKANNYA, (Jakarta : Salemba Empat, 2001), hal. 11.

56

Ada tiga macam kategori Utang bermasalah menurut Dardmaji , antara lain :

a. Kredit kurang lancar, merupakan pinjaman yang masih dikembalikan tetapi pengembalian tersebut sifatnya tidaklah rutin atau tepat pada saat jatuh tempo pembayaran.

b. Pinjaman yang diragukan, merupakan utang yang tidak lagi sekedar tidak lancar, tetapi kemampuannya untuk melakukan pembayaran diragukan oleh kreditur.

c. Pinjaman yang benar-benar macet, merupakan pinjaman yang sudah benar-benar tidak dapat lagi dikembalikan.

57

Agnes Sawir, loc. Cit., hal. 235.

58


(20)

melakukan restrukturisasi utangnya, maka akan timbul wanprestasi atau cacat yang dapat mengakibatkan masalah besar bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan. Dampak yang akan timbul tersebut, antara lain :

1. Pihak debitur akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dana di masa yang akan datang

2. Nilai saham yang dimiliki oleh pihak debitur akan mengalami penurunan, disamping itu nilai usaha yang dimilikinya pun juga akan mengalami penurunan nilai.

3. Pihak kreditur dapat mengumumkan bahwa pihak debitur yang bermasalah tersebut sudah palilit atau bangkrut.

4. Beban dan biaya yang dikeluarkan oleh pihak debitur akan dapat membengkak atau lebih besar daripada biasanya di dalam memperoleh dana di masa yang akan datang.

5. Pihak debitur akan mempunyai reputasi yang jelek di dalam dunia usaha.

B. Peristiwa yang menyebabkan perlunya restrukturisasi

Restrukturisasi utang debitur hanya dapat dilakukan bila terjadi peristiwa sebagai berikut :59

1. Perseroan sudah berada dalam keadaan tidak mampu membayar bunga dan/atau utang pokoknya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,

2. Perseoran dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mendatang berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya

3. Perseroan berdasarkan putusan pengadilan atau suatu badan arbitrase yang telah berkekuatan hukum tetap diwajibkan membayar utang atau ganti kerugian kepada pihak lain dan apabila perseroan memenuhi putusan pengadilan atau badan arbitrase tersebut, maka besarnya biaya pembayaran kewajiban itu dapat mengakibatkan perseroan kehilangan sekurang-kurangnya 50% dari modalnya. 4. Perseroan sudah mengalami kerugian yang besarnya kerugian itu mengakibatkan

perseroan kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% dari modalnya.

5. Pada waktu tutup buku akhir tahun mendatang, perseroan diperkirakan akan mengalami kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% dari modalnya.

6. Perseroan memiliki utang bermasalah yang besarnya setelah diperhitungkan dengan cadangan, masih akan mengakibatkan perseroan kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% dari modalnya.

7. Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya berjumlah melebihi 500% dibandingkan besarnya modal perseroan.

8. Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya berjumlah melebihi 200% dibandingkan dengan nilai jumlah harta kekayaan perseroan seandainya perseroan dilikuidasi karena dinyatakan pailit.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum menyebutkan bahwa Bank hanya

59


(21)

dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut :60

a. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit ; dan

b. debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi

Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya restrukturisasi, adalah apabila debitur tersebut :

b. bersedia bekerja sama (kooperatif) dan mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan utang

c. kredit yang diperoleh telah diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan kebijakan serta prosedur perkreditan pada bank.61

Restrukturisasi utang dilarang dilakukan untuk tujuan tertentu yang merugikan para kreditur misalnya hanya untuk mengulur-ulur waktu pengembalian kredit, atau untuk menghindari penurunan penggolongan kualitas kredit. Restrukturisasi utang hanya dilakukan apabila terhadap debitur terdapat alasan-alasan utama sebagai berikut:62

a. Debitur merupakan aset nasional atau terlalu banyak kepentingan publik di dalamnya sehingga harus dipertahankan

b. Penyelesaian utang Debitur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari skema penyelesaian utang negara dan swasta Indonesia yang disepakati oleh negara dan lembaga donor atau Kreditur

c. Kelangsungan usaha (business sustainability) Debitur masih bisa menjanjiakan pengembalian utang di masa mendatang

d. Tingkat pengembalian (recovery rate) dengan usaha restrukturisasi masih lebih baik dibandingkan dengan eksekusi jaminan atau proses kepailitan

e. Dalam hal terdapat banyak Kreditur dengan berbagai macam fasilitas pinjaman, terdapat kesepakatan mayoritas Kreditur untuk menyamakan persepsi dalam merestrukturisasi utang Debitur

f. Kreditur ikut berkontribusi dalam masalah-masalah yang dihadapi oleh Debitur atau turut serta menjadikannya tidak mampu untuk mengembalikan utang

g. Dokumentasi transaksi pembiayaan mengandung banyak kelemahan sehingga sulit untuk menjamin tingkat pengembalian (recovery rate) yang wajar

h. Diperolehnya komitmen dari pemegang saham pengendali dan manajemen Debitur untuk melakukan restrukturisasi utang yang bisa diterima oleh Kreditur

i. Dukungan pemerintah Indonesia

j. Litigasi atau penyelesaian sengketa tidak menjamin tingkat pengembalian yang tinggi dan proses yang cepat.

60

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Pasal 51

61

Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah.

62


(22)

C. Restrukturisasi atau penyehatan perusahaan debitur

Dalam hal keberhasilan restrukturisasi utang, perlu pula dilakukan upaya-upaya penyehatan terhadap perusahaan Debitur, yang dapat dilakukan dengan salah satu atau lebih bentuk-bentuk berikut :63

a. perubahan strategi perusahaan b. perubahan visi perusahaan

c. perubahan struktur organisasi perusahaan

d. perubahan budaya kerja perusahaan (corporate culture) e. alih teknologi

f. penggantian anggota Direksi dan Komisaris perusahaan

g. perubahan dan/atau penambahan ketentuan-ketentuan baru dalam anggaran dasar perusahaan

h. pembuatan atau perubahan sistem dan prosedur perusahaan i. melakukan penggabungan (merger) dengan perusahaan lain

j. melakukan perjanjian akuisi saham Debitur (acquisition of stock) oleh pihak lain

k. melakukan peleburan (konsolidasi) dengan perseroan lain.

D. Bentuk-Bentuk Restrukturisasi Utang

Restrukturisasi Kredit adalah langkah-langkah untuk mengupayakan agar debitur dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya pada bank melalui pemberian kelonggaran-kelonggaran tertentu, yaitu :64

a. Penurunan suku bunga kredit

b. Pengurangan tunggakan bunga kredit c. Pengurangan tunggakan pokok kredit d. Perpanjangan jangka waktu kredit e. Penambahan fasilitas kredit

f. Pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku

g. Konversi kredit melalui penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur.

Dalam praktek perbankan, restrukturisasi utang dapat mengambil salah satu atau lebih bentuk-bentuk sebagai berikut :65

63

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 368-369

64

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR Tanggal 12 Nopember 1998 tentang Restrukturisasi Kredit.

65

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 368. Langkah lain yang dapat dilakukan dalam rangka penyehatan Bank antara lain :

- Pemantauan Kredit

- Peninjauan ulang, pengubahan, pembatalan, pengakhiran dan atau penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan

- Penagihan piutang

- Penyertaan modal pada Debitur

- Memberikan jaminan atau penanggungan - Pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan


(23)

a. Penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling), termasuk pemberian masa tenggang (grace period) yang baru atau pemberian moratorium kepada Debitur

b. Persyaratan kembali perjanjian utang (reconditioning) c. Pengurangan jumlah utang pokok (haircut)

d. Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda dan biaya-biaya lain

e. Penurunan tingkat suku bunga f. Pemberian utang baru

g. Konversi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau disebut juga debt equity swap)

h. Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk kegiatan usaha perusahaan Debitur untuk melunasi utang

i. Bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Pelaksanaan Restrukturisasi Utang dalam Kasus-Kasus di Indonesia 1. Restrukturisasi utang PT. ASTRA INTERNATIONAL, Tbk.

PT. Astra International, Tbk (untuk selanjutnya cukup disebut dengan Astra) melakukan restrukturisasi utang pada tahun 1999 yang disebut dengan Astra I dimana Astra menggabungkan seluruh utang nya dalam berbagai bentuk yaitu yang meliputi obligasi Rupiah yang dicatatkan di bursa efek di Indonesia, sejumlah pinjaman dalam mata uang Rupiah dan dolar Amerika dari berbagai bank dalam negeri, sejumlah pinjaman dari para pemasok, sejumlah pinjaman dari pihak terasosiasi, dan sejumlah pinjaman dari berbagai bank asing dalam mata uang Dolar Amerika, serta sejumlah obligasi dalam mata uang asing di luar negeri yang dikeluarkan oleh anak perusahaan yang dimiliki seluruh sahamnya oleh Astra dan pembayaran pokok dan kuponnya dijamin oleh Astra, kesemuanya dalam satu utang yang terdiri dari 3 seri utang yang berbeda yaitu : Seri 1 (untuk bank), Seri 2 (untuk supplier) dan pemegang saham dan Seri 3 (untuk pemegang bond) sesuai dengan prioritas pengembalian yang disepakati bersama. Kemudian jangka waktu pembayaran diperpanjang dengan bunga yang lebih rendah. Seluruh aset Astra dikumpulkan dan dijaminkan kepada semua kreditur secara proporsional melalui suatu agen penjaminan yang ditunjuk sebagai kuasa dari para kreditur untuk mengelola jaminan. Astra juga mengeluarkan rights yang melekat pada saham Astra yang dicatatkan di bursa. Setelah beberapa lama rights dapat ditukar menjadi saham dan dapat diperjualbelikan di pasar. Aset Astra banyak dijual dan dipergunakan untuk percepatan pembayaran kepada kreditur. 66

2. Restrukturisasi utang PT. ANEKA KIMIA RAYA, Tbk.

- Penghapusbukukan piutang

(Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional)

66


(24)

PT. Aneka Kimia Raya, Tbk, (selanjutnya cukup disebut PT. Aneka) merupakan perusahaan terbuka yang bergerak di bidang perdagangan atau distributor bahan kimia seperti caustic soda, PVC resin, sorbitol, soda ash dan sodium sulfate. Pada saat terjadi krisis moneter, keadaan keuangan PT. Aneka mengalami keterpurukan karena ia memiliki jumlah utang yang terlalu banyak dan semuanya dalam mata uang asing. Selain itu, PT. Aneka melakukan transaksi derivatif yang memperparah keadaan keuangan perusahaan, dimana pada saat krisis ia ingin mengambil keuntungan yang lebih dengan menjual dolar di level Rp. 3000 sampai Rp.4000 yang menurutnya pada saat itu Rupiah akan tetap stabil, namun ternyata Rupiah terus melemah hingga ke level Rp.16.200, sehingga utang PT. Aneka terus bertambah sehingga jumlah utang PT. Aneka pada saat itu mencapai USD 200 ribu.67

Bentuk restrukturisasi utang yang diambil oleh PT. Aneka pada saat itu terhadap kreditur nya yang sebagian besar adalah kreditur asing (seperti Citibank, N.A) adalah terhadap sebagian besar kewajibannya diberikan potongan pokok oleh kreditur. Dilakukan pembelian utang kembali secara perlahan-lahan oleh kreditur. Tindakan negosiasi berlangsung cukup lama yaitu sekitar 4 tahun, namun memiliki

cash flow yang positif karena tidak dilakukan debt equity to swap. Restrukturisasi

utang selesai secara sempurna pada tahun 2002 dimana kewajiban perusahaan tinggal berjumlah sekitar Rp.82 miliar,-68

3. Restrukturisasi utang Perusahaan Semen Cibinong

Perusahaan semen Cibinong merupakan perusahaan semen dan perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sebelum direstrukturisasi , pemegang saham kendalinya adalah keluarga Hasyim Djojohadikusumo. Utang yang dimiliki perusahaan tersebut cukup besar yaitu USD 1,2 miliar dalam bentuk yang beragam yaitu pinjaman dalam bentuk sindikasi dan obligasi terutama dalam bentuk mata uang Dolar Amerika Serikat. Kreditur nya berjumlah lebih dari 30 kreditur, sehingga untuk mempermudah negosiasi, para kreditur membentuk steering committee.69

Restrukturisasi Perusahaan Semen Cibinong ini tidak hanya melibatkan para kreditur namun juga investor asing yang ingin memasukkan modal ke Semen Cibinong namun hanya apabila utang semen Cibinong sudah beres. Pada saat itu, Semen Cibinong diperkirakan hanya mampu membayar sekitar 50% dari total utangnya sehingga tahapan restrukturisasi yang terjadi pada saat itu adalah :70

(1) Debt to equity swap = 34 %

Investor asing yaitu Holchim membeli utang Semen Cibinong dengan nilai USD. 450 juta atau sekitar 34 % dari total perusahaan dari para kreditur. Utang yang dibeli ini kemudian dikonversi menjadi saham, sehingga otomatis sahamnya berkurang.

(2) Write Off = 16 %

67

Samuel Tobing, “Restrukturisasi dalam Praktek/Studi Kasus”, dalam Emmy Yuhassarie, (Tim editor), hal.232.

68

Ibid, hal. 248.

69

Ibid,, hal. 232.

70


(25)

Kemudian Holchim juga membeli semua saham dari pemegang sahan (keluarga Hasyim Djojohadikusumo), sehingga negosiasi antara kreditur dengan pemegang saham baru menjadi lebih mudah dan kemudian dapat direstrukturisasi

(3) Reschedulling = 50 %

Dengan telah dibeli nya utang hingga 50% dari total utang, maka utang Semen Cibinong hanya tinggal 50%, terhadap utang ini, maka dilakukan penjadwalan kembali, dengan tingkat pelunasan utang yang lebih besar dari semula hanya 50% dapat meningkat hingga 100%.

4. Restrukturisasi utang PT. BAKRIE & BROTHERS, Tbk.

PT. Bakrie & Brothers, Tbk (selanjutnya cukup disebut Bakrie) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan umum, industri terutama produksi pipa baja, bahan bangunan dan bahan konstruksi lainnya, perangkat dan sistem komunikasi, barang elektronik dan elektrik, serta penyertaan modal dan investasi dalam perusahaan lain.71

Restrukturisasi utang Bakrie72 dimulai pada bulan Nopember 1997, dimana akibat krisis nilai tukar yang terjadi pada pertengahan 1997, utang Bakrie melonjak hingga 6 kali lipat. Hal ini dikarenakan pada saat Bakrie meminjam uang dari luar negeri, kurs Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah hanya sebesar Rp.2.300 dan pada saat puncak krisis kurs Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah mencapai Rp.16.200. Sehingga bunga yang harus dibayar pada saat itu adalah USD. 10 juta per bulannya sedangkan pendapatan Bakrie pada saat itu hanya mencapai USD 14-15 juta per bulannya.73

Pada tanggal 9 Mei 2000, Bakrie telah menyampaikan usulan restrukturisasi utang (Debt Reorganization Term Sheet) atau “Debt Term Sheet” kepada para kreditur Bakrie. Melalui pemungutan suara secara tertulis (Ballot Voting), Debt Term

Sheet tersebut telah disetujui pada tanggal 13 Juni 2000 oleh mayoritas kreditur

Bakrie dan Anak perusahaan Bakrie sebanyak 114 peserta yang mewakili tujuh puluh enam persen (76%) dari nilai jumlah hutang Bakrie dan Anak perusahaan per tanggal 31 Desember 1997.74

Pada tanggal 27 Juli 2000, usulan restrukturisasi utang Bakrie di atas disetujui oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Selanjutnya, pada tanggal 30 September 2000, Bakrie dan BPPN menandatangani “Memorandum of

Understanding” (MOU) mengenai penyelesaian hutang Perusahaan sesuai dengan

Rencana Perdamaian (Debt Composition Plan).75

71

“Laporan Keuangan Konsolidasi Untuk Tiga Bulan Yang Berakhir Pada Tanggal-Tanggal 31 Maert 2002 dan 2001 PT. BAKRIE & BROTHERS, Tbk dan Subisidiaries”, terakhir diakses pada tanggal 15 Agustus 2006.

72

Negosiasi antara Bakrie dengan lebih dari 150 kreditur nya di luar negeri menggunakan media Prakarsa Jakarta dalam waktu selama 1 tahun dan menghasilkan skema restrukturisasi yaitu dengan cara pengkonversian utang kreditur menjadi saham (debt to equity swap).

73

Irwan Sjarkawi, “Restrukturisasi dalam Praktek/Studi Kasus”, dalam Emmy Yuhassarie, (Tim editor), hal.227.

74

“Laporan Keuangan Konsolidasi Untuk Tiga Bulan Yang Berakhir Pada Tanggal-Tanggal 31 Maert 2002 dan 2001 PT. BAKRIE & BROTHERS, Tbk dan Subisidiaries”, Op. Cit..

75


(26)

Dalam rangka melakukan restrukturisasi utang, Bakrie menyampaikan permohonan PKPU kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah dikabulkan dengan surat No. 05/PKPU/2000/PN Niaga Jkt. Pst tanggal 30 Oktober 2000. Selanjutnya Bakrie menyampaikan Rencana Perdamaian Pengaturan Kembali Hutang (Debt Reorganization Composition Plan), selanjutnya disebut “Rencana Perdamaian” kepada para kreditur. Pada tanggal 28 Nopember 2000, di hadapan hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dilakukan pemungutan suara untuk menyetujui atau menolak Rencana Perdamaian tersebut dimana mayoritas kreditur menyetujuinya.76 Oleh karena itu, pada tanggal 29 November 2000, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengesahkan Rencana Perdamaian menjadi Perjanjian Perdamaian yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat Bakrie dan para kreditur. Perjanjian Perdamaian tersebut menjadi efektif apabila Bakrie telah memenuhi segala prasyarat (condition

precedent) paling lambat satu tahun sejak ditetapkan. Pada tanggal 26 Oktober 2001,

konsultan hukum para kreditur (Baker & Mckenzie, Wong & Leow Singapore), menyatakan bahwa Bakrie telah memenuhi dan mematuhi semua persyaratan di dalam Perjanjian Perdamaian.77

Atas dasar pernyataan tersebut, Bakrie mengirimkan dokumen Rencana Perdamaian yang terdiri dari: Pengaturan Kembali Hutang (Debt Reorganization

Composition Plan), Persyaratan Restrukturisasi (condition precedent) dan Distribusi

Hasil (Distribution Proceeds) kepada Kreditur Peserta. Jawaban dari para kreditur telah diterima pada tanggal 9 Nopember 2001. Selanjutnya, pada tanggal 28 Nopember 2001, Bakrie mendistribusikan aset pertukaran dan saham baru kepada para kreditur sesuai dengan skema restrukturisasi utang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Bakrie dinyatakan telah memenuhi dan menyelesaikan semua persyaratan dalam Perjanjian Perdamaian, dan karena itu pada tanggal 29 Nopember 2001 restrukturisasi utang Bakrie dinyatakan efektif. Dengan jumlah aktiva per Maret 2001 adalah sebesar Rp.9.669.638.303.000,- atau pada saat itu setara dengan USD 976.731.141,717. Dan jumlah utang adalah sebesar Rp.11.202.350.500.000,- atau pada saat itu setara dengan USD. 1.124.000.000 78

4. (i) Metodologi

Metodologi penyelesaian utang Bakrie adalah sebagai berikut:79 a. Tanggal Pisah Batas (Cut-Off date)

Tanggal pisah batas yang disetujui sebagai dasar untuk menentukan jumlah utang Bakrie yang direstrukturisasi adalah saldo hutang pada tanggal 31 Desember 1997. Bunga, biaya, ganti rugi atau jumlah lain pada dan sesudah Tanggal Pisah Batas sampai tanggal efektif dianggap tidak timbul dan karenanya tidak harus dibayar.

76

Sebagian kecil kreditur memilih untuk tidak menghadiri Sidang pemungutan suara disebabkan jumlah utangnya yang terlalu kecil, dan menilai bahwa tingkat pengembalian dari hasil restrukturisasi yang akan diterimanya terlalu kecil, sehingga utang-utang dari kreditur seperti itu dianggap telah dihapusbukukan (debt write off). Footnote?

77

Ibid.

78

Ibid.

79


(27)

b. Nilai tukar mata uang

Nilai yang disepakati untuk mengkonversi hutang dalam mata uang asing ke dalam Rupiah adalah nilai tukar pada “Reuters Screen” pada pukul 12 siang (waktu Singapura) pada Tanggal Pisah Batas.

Sebagai bagian dari Persyaratan Perjanjian Perdamaian Pengaturan Kembali Hutang (Debt Reorganization Composition Plan), Bakrie telah mendirikan beberapa perusahaan baru sebagai berikut :80

(1) Bestday Assets Limited (BAL), suatu perusahaan yang didirikan di Mauritius pada tanggal 8 Januari 2001 dan dimiliki 100% oleh Bakrie.

(2) Bakrie (BSP) Limited, suatu perusahaan yang didirikan di Mauritius pada tanggal 14 Juni 2001 dan dimiliki 95% oleh kreditur dan 5% oleh Bakrie.

(3) Richweb Holdings Limited (RWHL), suatu perusahaan yang didirikan di Mauritius pada tanggal 14 Juni 2001 dan dimiliki 100% oleh PT. Bakrie

Communications.

(4) Full Glory Holdings Limited (FGHL), suatu perusahaan yang didirikan di Mauritius pada tanggal 2 Juli 2001 dan dimiliki 100% oleh Bakrie.

(5) South East Asia Pipe Industries Holdings Limited (SHL), suatu perusahaan yang didirikan di Mauritius pada tanggal 15 Oktober 2001 dan dimiliki 82,13% oleh Bakrie dan 17,87% oleh PT. Bakrie Pipe Industries.

Sejalan dengan pendirian perusahaan-perusahaan di atas, Bakrie telah mengalihkan kepemilikan saham Bakrie dan Anak perusahaannya sebagai berikut :81 (a) Pada tanggal 29 September 2000, Bakrie menandatangani perjanjian jual beli

seluruh kepemilikan saham nya di BKC kepada Mitsubishi Chemical

Corporation senilai $AS 51,5 juta.

(b) Penyertaan saham di PT. Bakrie Sumatera Plantatiion, Tbk sebanyak 130.536.000 lembar saham (52,5%) telah dialihkan kepemilikannya kepada

Bakrie (BSP) Limited pada harga Rp 21,5 miliar (senilai dengan $AS 2,2 juta)

sebagai pembayaran hutang (Debt to Asset Swap).

(c) Pada tanggal 11 September 2001, Bakrie menandatangani perjanjian jual beli seluruh kepemilikan saham di PT. Arutmin Indonesia, Tbk sebanyak 20% kepada PT Ekakarsa Yasakarya Indonesia senilai $AS 54,4 juta.

(d) Pada tanggal 10 Oktober 2001, Bakrie telah mengalihkan kepemilikannya di PT. Bakrie Pipe Industries, kepada BAL dengan nilai nominal saham sebesar Rp 179,9 miliar.

(e) Pada tanggal 8 Nopember 2001, Bakrie telah mengalihkan kepemilikan saham di PT. South East Asia Pipe Industries sebesar 1.590 lembar atau 82,13% kepada SHL pada nominal saham sebesar Rp 159 miliar.

(f) Pada tanggal 21 Nopember 2001, PT. Bakrie Communications mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya di PT. Bakrie Electronics (70,02%) kepada FGHL dengan harga sebesar Rp 312 miliar.

80

Ibid.

81


(28)

4. (ii) Skema restrukturisasi

1. Pengalihan hutang menjadi modal (debt to equity swap)

Hutang yang direstrukturisasi setelah dikurangi dengan pembayaran dengan aktiva (debt to asset swap) dan pemindahan hak atas pemasukan di PT. Bakrie

Electronics, dikonversi menjadi penyertaan melalui penerbitan 36.812.880.000

lembar saham baru seri B dengan nilai nominal Rp 70 (angka penuh) per lembar saham dan nilai pertukaran Rp 79,98 (angka penuh). Dengan penerbitan saham baru tersebut para kreditur peserta menguasai 95% dari Modal Saham Baru. Penerbitan saham baru dilakukan melalui Penambahan Modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, kepada Bakrie (BB) Limited, perusahaan yang berdomisili di Mauritius, yang seluruh sahamnya dimiliki oleh para kreditur yang berpartisipasi.82

2. Pengalihan hutang dengan aset (debt to asset swap)

Aktiva yang diserahkan kepada para kreditur sebagai pembayaran hutang terdiri dari: (i) penyertaan di BKC dan PT. Arutmin Indonesia, Tbk (AI) yang seluruhnya dinilai pada $AS 114 juta dan (ii) kepemilikan Perusahaan di PT. Bakrie

Sumatera Plantation, Tbk (BSP). Pada tanggal efektif utang-utang yang

direstrukturisasi akan dihapus sebagai ganti pengalihan aktiva. (i) Penyerahan penyertaan di BKC

Bakrie menjual seluruh kepemilikan di BKC kepada Mitsubishi Chemical

Corporation senilai $AS 51,5 juta. Hasil penjualan tersebut selanjutnya

disimpan di rekening perantara (escrow account) di West LB, Singapura. Pada tanggal efektif, dana di dalam Escrow Account berikut bunga menjadi sebesar $AS 54,1 juta dan selanjutnya didistribusikan kepada para kreditur sebagai bagian dari pembayaran utang

(ii) Penyerahan Penyertaan di AI

Berdasarkan Compositon Agreement, penerimaan dari pembayaran piutang AI oleh kreditur AI, akan didistribusikan pada para kreditur. Sedangkan penyertaan di AI diserahkan kepada PT Ekakarsa Yasakarya Indonesia sebagai perusahaan yang ditunjuk oleh para kreditur peserta.

(iii) Penyerahan Penyertaan di BSP

Pada tanggal efektif, Bakrie mengalihkan penyertaannya kepada Bakrie (BSP) Ltd. 83

3. Pemindahan hak atas Pemasukan PT. Bakrie Electronics (BE)

Bakrie mengalihkan hak pemasukan dari BE kepada para kreditur peserta dengan nilai sebesar $AS 30 juta dalam waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal efektif. Untuk itu, PT. Bakrie Communications mengalihkan penyertaannya di BE kepada

Full Glory Holdings Limited (FGHL). Pada tanggal efektif, jumlah tunai yang

didistribusikan kepada para kreditur peserta sebagai pembayaran hutang adalah $AS 8 juta. Dengan demikian, Perusahaan, melalui FGHL, mencatat hutang senilai $AS 22 juta yang akan dibayarkan dalam waktu lima tahun sejak tanggal efektif.84

82

Ibid.

83

Ibid.

84


(29)

5. Restrukturisasi utang pada PT. SEKAR BUMI, Tbk.

PT. SEKAR BUMI, Tbk (selanjutnya disingkat dengan PSB) merupakan perusahaan Tbk yang memiliki usaha utama di bidang pengolahan makanan, seperti udang, ikan, daging sapi, kacang mete dan lain-lain. Dari segi operasional/produksi, PSB tidak mengalami kesulitan yang berarti, sebab PSB tersebut masih beroperasi dengan lancar dan mempekerjakan sejumlah 1.014 orang karyawan. PSB juga mempunyai hak-hak tagihan kepada pihak ketiga.

Pada saat krisis moneter di Indonesia, PSB tidak dapat membayar sebagian besar hutangnya, namun demikian PSB masih berupaya melakukan pembayaran kepada para kreditur nya, namun mengalami beberapa keterlambatan, yang juga disebabkan keterlambatan pembayaran dari debitur PSB, di samping adanya krisis ekonomi di Indonesia yang menyebabkan PSB kesulitan likuiditas akibat anjloknya nilai kurs mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika.85

Sesuai dengan Daftar Aktiva Tetap per 31 Desember 2004, PSB memiliki aset dengan nilai perolehan sebesar Rp. 48.508.748.549,- atau nilai buku sebesar Rp.25.203.984.994,- dengan jumlah utang sebesar Rp.853.855.527.529,95 kepada Kreditur Konkuren dan sebesar Rp.83.793.676.422,05 kepada Kreditur Separatis.86

Sejak tahun 1998 PSB berusaha melakukan negosiasi dengan para Krediturnya . Pada saat proses negosiasi berlangsung, Tuan Hussein bin Ahmad mengajukan permohonan pailit dengan permohonan yang terdaftar di Pengadilan Niaga dengan Nomor : 08/Pailit/2005/PN.Niaga.JKT.PST pada tanggal 16 Maret 2005, dengan jumlah utang yang dimohonkan dalam permohonan kepailitan tersebut adalah sebesar Rp.2.000.000.000,- dan ditindaklanjuti oleh PSB dengan mengajukan permohonan PKPU kepada Pengadilan Niaga dengan register Nomor perkara Nomor : 01/PKPU/2005/PN.NIAGA.JKT.PST yang disertai dengan pengajuan Rencana Perdamaian.87

Pasal 229 ayat (3) dan ayat (4) UUK menentukan bahwa terhadap permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap debitur, maka permohonan PKPU dapat diputus terlebih dahulu, dan permohonan PKPU mana wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.

Permohonan PKPU diajukan oleh PSB pada saat PSB memenuhi panggilan sidang pertama perkara permohonan kepailitan pada tanggal 22 Maret 2005 dan pada tanggal 28 Maret 2005 PSB telah mengajukan surat permohonan PKPU nya, sehingga ketentuan Pasal 229 ayat (4) UUK tersebut telah terpenuhi.

Pada hari sidang yang telah ditentukan, Hussein Bin Ahmad sebagai Termohon PKPU tidak keberatan atas permohonan PKPU yang diajukan dan sesuai dengan Pasal 225 ayat (2) dan ayat (4) UUK, Hakim mengabulkan permohonan PKPU untuk sementara yaitu selama 45 hari.

85

http://www.bes.co.id/docs/News/2005%5CJUL%5C20050727_MHR-6JULI05-SKBM-KOREKSI.pdf, hal. 2, terakhir diakses pada tanggal 10 Juni 2007.

86

Putusan Pengadilan Niaga Nomor 08/PAILIT/2005/PN.NIAGA.JKT.PST JO. NOMOR 01/PKPU/2005/PN.NIAGA.JKT.PST, http://www.hukumonline.com/docdownload.asp?p=)&docid-44479&dc=24696&fn=, terakhir diakses pada tanggal 4 Juni 2007.

87


(30)

Pada rapat-rapat kreditur yang diadakan selanjutnya, terdaftar 67 kreditur konkuren dengan total tagihan Rp.853.855.527.539,95 dan dari 67 kreditur konkuren yang diakui, rapat kreditur dihadiri oleh 62 kreditur konkuren dengan total tagihan Rp.774.958.508.320 atau 90,76 % dari seluruh kreditur konkuren yang terdaftar. Sedangkan untuk kreditur separatis, terdaftar 4 kreditur separatis dengan total tagihan Rp.83.793.676.422,05 dan dari 4 kreditur separatis yang diakui tersebut, rapat dihadiri oleh 3 kreditur separatis dengan total tagihan Rp.81.000.000.000,- atau 69,67% dari seluruh kreditur separatis yang terdaftar. Dan atas Rencana Perdamaian yang diajukan oleh PSB disetujui oleh seluruh kreditur konkuren dan kreditur separatis yang hadir, termasuk Hussein Bin Ahmad.

Dalam Rencana Perdamaian yang diajukan, PSB menyebutkan antara lain:88 “ Bahwa atas sejumlah utang tersebut, Perseroan tidak mampu melakukan

pembayaran secara tunai. Hal tersebut terjadi karena kondisi keuangan Perseroan saat ini hanya mampu memenuhi kebutuhan pembayaran biaya operasional saja.”

“ Karena ketidakmampuan Perseroan untuk menyelesaikan kewajiban pembayarannya kepada seluruh kreditor secara tunai, maka Perseroan merencanakan untuk melakukan restrukturisasi utang. Selain itu restrukturisasi juga. bertujuan agar dapat memberikan perlakukan yang adil (equal treatment) bagi para kreditornya dan untuk menyehatkan perseroan.”

Di dalam penyelesaian kewajiban pembayaran utang nya, PSB mengelompokkan kreditur dalam dua kelompok besar, yaitu :89

(a) Kreditur Non - Keuangan (kreditur dagang) (b) Kreditur Keuangan (Konkuren dan Separatis)

Untuk masing-masing kelompok, PSB menyiapkan proposal mengenai rencana penyelesaian pembayaran Utang yaitu sebagai berikut :

(a) Perlakuan bagi kreditor non keuangan (kreditor dagang)

Terhadap tagihan dari para kreditur non-keuangan (kreditor dagang), PSB akan membayar tuntas sejumlah pinjaman pokok dari tagihan mereka pada saat jatuh tempo dengan cara pembayaran sebagaimana biasanya datar bisnis dan atau sesuai perjanjian yang telah disepakati.90

(b) Perlakuan bagi kreditor keuangan (konkuren dan separatis)

PSB akan melakukan penyelesaian atas seluruh tagihan dari para kreditur keuangan dengan cara:

(i) melakukan konversi seluruh tagihan kreditor atau 100% (seratus persen) dari total tagihan kreditor keuangan atau sebesar Rp.966.449.084.635,- menjadi kepemilikan saham. PSB akan melakukan kompensasi (dalam proporsi yang sesuai) jumlah konversi terhadap penerbitan saham biasa kepada para kreditor. Saham biasa mana akan dikonversikan pada harga

88


(31)

pelaksanaan yang sama dengan harga nominal saham yaitu Rp. 500.- (lima ratus rupiah) per lembar saham.

Untuk kepentingan konversi tersebut, para kreditur diwajibkan untuk memiliki rekening di bank kustodian atau anggota bursa yang tercatat di bursa efek dimana saham PSB diperdagangkan. Rekening mana ditujukan guna mendistribusikan saham hasil konversi kepada kreditor.91

(ii) Pemberian Saham yang diterbitkan untuk kepentingan kreditor kepada pemegang saham pendiri (Founders).

Para kreditur keuangan setuju untuk menyerahkan 10% (sepuluh persen) dari seluruh saham baru yang diterbitkan oleh Perseroan untuk kepentingan Kreditur kepada para pemegang saham pendiri sebagai apresiasi.

PSB akan menyisihkan sejumlah 10% (sepuluh persen) dari total jumlah saham baru yang dikeluarkan untuk kepentingan kreditur untuk selanjutnya diserahkan kepada para pemegang saham pendiri. Saham yang akan diberikan kepada para pemegang saham pendiri berasal dari saham baru yang diterbitkan oleh perseroan kepada para kreditur, karenanya pada saat pelaksanaan konversi saham, jumlah saham yang akan diserahkan kepada masing-masing kreditur akan berkurang secara proporsional.92

(iii) Management Equity Interest (Pemberian 10% dari seluruh saham yang baru diterbitkan tersebut saham kepada Manajemen PSB)

Atas kepemimpinan yang selama ini dilaksanakan dan akan - terus dilaksanakan oleh Tn. Oei Harry Lukmito, sebagai Presiden Direktur PSB, kreditur akan menyerahkan 10% dari jumlah konversi saham biasa yang diterbitkan untuk kepentingan kreditur keuangan sehubungan dengan konversi atas hutang menjadi kepemilikan saham kepada Tn. Oei Harry Lukmito. Pada saat penerbitan saham baru tersebut, PSB akan menyisihkan sejumlah 5% dari total jumlah saham yang diterbitkan untuk kepentingan kreditor untuk selanjutnya diserahkan kepada Tn. Oei Harry Lukmito. Sisanya, sebesar 5% akan diserahkan kepada manajemen setelah manajemen berhasil mencatatkan kembali sahamnya (relisting) di PT Bursa Efek Jakarta Sebelum PSB dapat mencatatkan kembali sahamnya di PT. Bursa Efek Jakarta, maka atas saham tersebut untuk sementara disimpan di waliamanat yang akan ditunjuk oleh PSB. Apabila ternyata PSB tidak berhasil untuk mencatatkan sahamnya tersebut, maka saham sebanyak 5% yang saat itu disimpan di waliamanat akan dibagikan secara proporsional kepada seluruh pemegang saham (eks kreditur).93

89

Ibid.

90

Ibid.

91

Ibid.

92

Ibid.

93


(1)

Bentuk-bentuk restrukturisasi utang yang ditempuh oleh tiap perusahaan berbeda-beda. Astra mengambil kombinasi reschedulling, debt to asset swap dan

debt to equity swap, maupun penjualan aset Astra dan dipergunakan untuk percepatan

pembayaran kepada kreditur. PT. Aneka memperoleh potongan atas utang pokok nya oleh kreditur (hair cut). Langkah ini umumnya jarang disetujui oleh para kreditur karena memberikan kerugian besar pada kreditur namun memiliki dampak yang amat positif bagi debitur. Semen Cibinong mengambil tahapan restrukturisasi Debt to

equity swap, Penghapusbukuan utang (Write Off) dan penjadwalan kembali Reschedulling). Bakrie terlebih dahulu mengelompokkan utang-utangnya yang amat

komplikasi dan kemudian mengatur jadwal pembayaran atau langkah restrukturisasi terhadap masing-masing kelompok. Dalam rangka mengkonversi utangnya menjadi saham, Bakrie telah mendirikan beberapa anak perusahaan untuk kemudian mengkonversi dan mengalihkan utangnya ke anak perusahaan yang baru dibentuk, anak perusahaan mana hampir 100% sahamnya dimiliki oleh para kreditur.

3. Dalam RUU ini, restrukturisasi utang diatur dengan lengkap mulai dari siapa yang memprakarsai rencana restrukturisasi, bentuk-bentuk restrukturisasi utang yang mengambil bentuk-bentuk yang telah dikenal dalam dunia praktek, studi mengenai kelayakan restrukturisasi hingga pada sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam rangka restrukturisasi perusahaan seperti adanya

mark up terhadap nilai atau aset perseroan terhadap organ perseroan.

Diundangkannya RUU ini akan menggantikan BAB III dari UUK tentang PKPU. RUU ini memberi perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan debitur. Debitur yang beritikad baik dan masih memiliki prospek usaha untuk melakukan restrukturisasi utangnya guna mencegah agar tidak sampai dipailitkan yang akan membawa kerugian besar bagi debitur. Kreditur juga dilindungi dari debitur yang beritikad tidak baik dan tidak kooperatif untuk mengulur-ulur waktu pelunasan utangnya atau tindakan lain yang dapat merugikan kreditur dengan pemberian peluang yang yang cukup besar bagi kreditur untuk sewaktu-waktu mempailitkan debitur dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai restrukturisasi utang yang akan dilaksanakan.

B. SARAN

1. Diperlukan pengaturan yang lebih mendetil dan lengkap terhadap isu restrukturisasi utang dalam UUK sehingga debitur dapat menjalani proses restrukturisasi utang dengan tertib dan memiliki kepastikan hukum.

2. Diperlukan aturan yang lebih jelas bahwa terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perusahaan dapat diajukan permohonan pernyataan pailit yaitu bahwa terhadap perusahaan tersebut telah ditempuh upaya restrukturisasi dan/atai diikuti dengan penyehatan perusahaannya 3. Diperlukan Tim Konsultan Restrukturisasi Independen yang dapat menilai

rencana perdamaian maupun laporan keuangan debitur apakah didasarkan pada kondisi yang sebenarnya dan apakah layak untuk direstrukturisasi, sehingga memudahkan kreditur untuk memberikan keputusannya dan juga dapat menghindari kemungkinan setelah dilakukannya restrukturisasi


(2)

namun tidak memberikan hasil yang memuaskan misalnya debitur tetap tidak mampu melunasi kewajibannya kepada kreditur.


(3)

DAFTAR PUSTAKA I. BUKU

Ali, H. Masyhud.2002. Restrukturisasi PERBANKAN DAN DUNIA USAHA. Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Darmadji, Tjiptono. 2001. RESTRUKTURISASI, Memulihkan dan Mengakselerasi Ekonomi Nasional, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia

Fuady, Munir. 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti. ___________. 1999, Hukum Pailit 1998 ( Dalam Teori dan Praktek ), Bandung :

Citra Aditya Bakti.

___________. 2002. Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Gunadi. 2001. Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk & Pemajakannya, Jakarta : Salemba Empat.

Kartono. 1985. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta : Pradnya Paramita. Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia. Lontoh, Rudy A. ; Denny Kailimang dan Benny Ponto. 2001. Penyelesaian Utang

Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Alumni.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Rindjin, Ketut. 2003. Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Samudera, Teguh. 1992. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung : Alumni.

Sawir, Agnes. 2004. Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Situmorang, Victor M. dan Hendri Soekarso. 1994. Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan Memahami

Failissementsverordening juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998,


(4)

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Sunggono, Bambang. 2001. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Supramono, Gatot. 1997. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta : Djambatan.

Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Jakarta : Alfabeta. Suyudi, Aria; Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti. 2004. Kepailitan di Negeri

Pailit Analisis Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan di Indonesia.

Usman, Rachmadi. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2002. Kepailitan Seri Hukum Bisnis, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Yuhassarie, Emmy. 2005. Kredit Sindikasi dan Restrukturisasi : Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum.

________________. 2005. Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance : Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum.

________________. 2004. Perjanjian-Perjanjian Restrukturisasi : Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2003, Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum.

II. PERATURAN

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan menjadi Undang-Undang.


(5)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum

III. HASIL PENELITIAN YANG DIBUKUKAN

Tim Kerja Pimpinan Syamsudin Manan Sinaga, 2000. ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TENTANG RESTRUKTURISASI UTANG PADA PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

IV. HASIL PENELITIAN YANG DIPUBLIKASI

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada ”Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003.

Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Parahyangan. 2002. Laporan Akhir Optimalisasi Peranan Hukum dalam Restrukturisasi Utang Perusahaan, Bandung : Fakultas Hukum UNPAR.

V. DIKTAT PERKULIAHAN

Bismar Nasution dan Sunarmi. 2006. MODUL HUKUM KEPAILITAN DAN REORGANISASI PERUSAHAAN. Medan : Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Sunarmi. 2006. Modul dalam mata kuliah “HUKUM KEPAILITAN”, Medan : Sekolah Pascasarjana, Program Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara. Runtung Sitepu. 2004. Diktat Perkuliahan Metedologi Penelitian Hukum, Medan :


(6)