Setelah menggunakan metode yang ada, ditunjang dengan data-data yang konkret, maka dari penulisan tesis ini maka dapat diketahui bahwa Rancangan Undang-
Undang tentang Restrukturisasi Utang Perseroan telah cukup jelas mengatur tentang Restrukturisasi Utang. Restrukturisasi utang merupakan upaya yang dapat ditempuh
debitur untuk menghindarkan dirinya dari kepailitan, yang mana dengan restrukturisasi utang yang tertuang dalam suatu perjanjian perdamaian, debitur
diberikan kelonggaran-kelonggaran tertentu dalam melunasi kewajibannya yaitu antara lain berupa penjadwalan kembali utang rescheduling, pemberian masa
tenggang grace period, persyaratan kembali perjanjian utang reconditioning, pengurangan jumlah utang pokok hair cut, pengurangan atau pembebasan jumlah
bunga yang tertunggak, dan biaya-biaya lain, pemberian utang baru, konversi utang menjadi modal Perseroan debt for equity conversion, penjualan aset yang tidak
produktif, pertukaran utang dengan aset Debitor debt to asset swap
Kata Kunci : 1.
Restrukturisasi Utang. 2.
Kepailitan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan kacaunya peta bisnis Indoensia. Utang swasta maupun
nasional melonjak akibat melonjaknya nilai tukar mata uang Dolar Amerika Serikat terhadap mata uang Rupiah. Dilikuidasinya sejumlah bank swasta menyebabkan rush
di masyarakat. Masyarakat pun mengalihkan simpanannya ke luar negeri, hal mana memperburuk perekonomian nasional.
Instrumen kepailitan merupakan salah satu upaya pemerintah di samping pelbagai kebijakan lainnya yang harus diperhitungkan ketika membicarakan upaya
LINDIA HALIM : RESTRUKTURISASI UTANG UNTUK MENCEGAH KEPAILITAN, 2008.
pemulihan ekonomi nasional. Perusahaan-perusahaan yang tidak berhasil direstrukturisasi maka akan berakhir di Pengadilan Niaga dengan kasus kepailitan.
Peraturan Kepailitan di Indonesia pertama kali dikenal dalam Buku \ketiga Wetboek van Koophandel Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berjudul van
de Voorzieningen in geval van anvermogen van kooplieden Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang yang diumumkan dalam Lembaran Negara Staatsblad
1847 Nomor 52 juncto Staatsblad 1849 Nomor 63, yang merupakan peraturan kepailitan untuk bukan pedagang. Kemudian kedua peraturan kepailitan ini dicabut
berdasarkan Verordening Op het Faillissement en de Surceance van Betaling voor de European in Nederlands Indie selanjutnya disebut dengan
Faillissementsverordening yang termuat dalam Staatsblad tahun 1905 Nomor 207 juncto
Staatsblad tahun 1908 Nomor 348.
1
Di dalam praktek, Faillissementsverordening amat jarang digunakan karena prosesnya yang panjang dan
berbelit-belit, jangka waktunya yang tidak jelas dan lemahnya kedudukan kreditur dalam epraturan tersebut.
Faillissementsverordening kemudian diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang kemudian telah diterima dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998. Kemudian Undang-Undang tentang Kepailitan ini terus disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disingkat dengan UUK.
Lembaga kepailitan
2
merupakan sarana penyelesaian utang piutang yang ditujukan untuk mengatur dan melindungi keseimbangan kedua belah pihak. Karena
1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta : Grafiti, 2002, hal. 25-26
2
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.”Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Agar permohonan pernyataan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga dapat dikabulkan, maka permohonan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Persyaratan tersebut diatur dalam
Pasal 2 ayat 1 yang dikaitkan dengan Pasal 8 ayat 4 UUK. Pasal 2 ayat 1 UUK menentukan : ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.” Kemudian Pasal 8 ayat 4 UUK menyatakan : ”Permohonan pernyataan pailit harus
dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah dipenuhi.
Dari kedua pasal tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa prasyarat dikabulkannya suatu permohonan pailit adalah sebagai berikut :
1. adanya minimal dua kreditur.
2. adanya minimal satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
3. kedua hal di atas dapat dibuktikan secara sederhana.
LINDIA HALIM : RESTRUKTURISASI UTANG UNTUK MENCEGAH KEPAILITAN, 2008.
dirumuskan dalam waktu yang mendesak, UUK sarat akan kelemahan. Salah satunya adalah tidak terdapatnya pengaturan mengenai restrukturisasi utang.
Jiwa Undang-Undang Kepailitan pada hakekatnya adalah untuk melakukan tindakan pemberesan terhadap perusahaan yang insolven, yang benar-benar telah
tidak mampu dalam membayar utangnya, sehingga jalan kepailitan dimaksudkan sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang. Namun,
ada kalanya debitur yang tidak mampu itu, karena melonjaknya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat masih memiliki prospek atau masa depan
usaha yang menjanjikan, yang di kemudian hari dapat pulih kembali, apabila diberikan beberapa keringanan dalam pelunasan utangnya.
Seperti halnya pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan Nomor 024PKN1999 dalam perkara antara PT. Citra Jimbaran Indah Hotel
melawan Ssangyong Engineering Costruction Co. Ltd, yang dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali mengemukakan sebagai berikut :
3
“Potensi dan prospek dari usaha debitur harus pula dipertimbangkan secara baik. Jika debitur masih mempunyai potensi dan prospek, sehingga merupakan tunas-
tunas yang masih dapat berkembang seharusnya masih diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum
remidium.”
Lebih lanjut Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam menolak putusan pernyataan pailit dalam perkara tersebut mengemukakan alasan penolakannya :
4
“... dan bahkan terhadap hutang DebiturTermohon Pailit telah diadakan restrukturisasi yang menunjukkan bahwa usaha debitur masih mempunyai
potensi dan prospek untuk berkembang dan selanjutnya dapat memenuhi kewajibannya kepada seluruh kreditur di kemudian hari dan oleh karena itu
DebiturTermohon Pailit bukan merupakan a Debtor is hopelessly in debt.”
Dengan kata lain, Majelis Hakim dalam Peninjauan Kembali perkara tersebut berpendirian bahwa adalah tidak dibenarkan untuk mengabulkan suatu permohonan
pernyataan pailit terhadap Debitur yang masih memiliki potensi dan prospek usaha untuk berkembang sehingga di kemudian hari akan dapat melunasi utang-utang
kepada para krediturnya.
5
Undang-undang Kepailitan pada asasnya tidaklah semata-mata ditujukan untuk mempailitkan Debitur yang tidak membayar utangnya. Undang-undang
Kepailitan memberi alternatif lain selain kepailitan yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya tapi
masih memiliki prospek usaha yang baik serta kooperatif dengan para kreditur untuk melunasi utang-utangnya, untuk direstrukturisasi utang-utangnya dan disehatkan
perusahaannya. Restrukturisasi utang dan perusahaan debt and corporate restructuring akan memungkinkan perusahaan Debitur kembali berada dalam
3
Putusan Majelis Hakim Peninjauan Kembali pada perkara Nomor 24PKN1999, Yurisprudensi Kepailitan 1998-1999, Jakarta : Tatanusa
4
Ibid.
5
Sutan Remy Sjahdeini, HUKUM KEPAILITAN MEMAHAMI FAILLISSEMENTSVERORDENING JUNCTO UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1998, Jakarta :
Grafiti, 2002, hal. 59
LINDIA HALIM : RESTRUKTURISASI UTANG UNTUK MENCEGAH KEPAILITAN, 2008.
keadaan mampu membayar utang-utangnya. Tindakan inilah yang seyogyanya terlebih dahulu ditempuh sebelum diajukan permohonan pailit. Dengan kata lain,
kepailitan seyogyanya hanya merupakan ultimum remidium.
6
Pendirian lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
7
selanjutnya disingkat dengan PKPU dalam UUK sejalan dengan konsep Reorganization yang
diatur dalam Chapter 11 U.S. Bankruptcy Act.
8
PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh hakim niaga kepada debitor dan kreditor untuk menegosiasikan cara-
cara pembayaran utang debitor, baik sebagian maupun seluruhnya, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utang tersebut.
9
Permohonan PKPU diajukan dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian utang atau seluruh utang
kepada kreditor.
10
Rencana Perdamaian ini merupakan proposal akan tindakan- tindakan yang akan diambil Debitor dalam rangka penyehatan kembali
perusahaannya. Salah satu tindakan yang ditempuh debitor dalam rangka menyelesaikan utang-utangnya tersebut adalah dengan cara melakukan pengajuan
restrukturisasi atas utang nya.
B. PERUMUSAN MASALAH