3. Ketentuan Proses Beracara di Peradilan Perdata
Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen dengan menggunakan instrumen hukum acara perdata, dilakukan oleh seorang konsumen
atau lebih atau ahli warisnya, betapapun lemahnya instrumen hukum itu ditinjau dari segi perlindungan hukum terhadap konsumen.
Masuknya sengketa konsumen ke Pengadilan Negeri bukanlah karena kegiatan hakim, melainkan salah satu pihak atau pihak yang bersengketa, dalam hal
ini pelaku usaha dan konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum onrecthmatige daad terhadap pelaku usaha atas
pelanggaran norma-norma Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK, sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat konsumen atau mengajukan
gugatan balik rekonvensi dengan merujuk pada pelanggaran konsumen atas norma- norma Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK, kecuali menyangkut
pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK, misal: hak untuk menerima pembayaran payment
dari konsumen. Hingga kini hukum acara perdata Indonesia Het Herziene Indonesisch tidak
lagi sepenuhnya menampung perkembangan tuntutan keadilan dari masyarakat pencari keadilan. Menjelang reformasi yang sudah mulai tampak dukungan dari
komponen-komponen berbangsa dan bernegara di Indonesia di tahun 1997, sejumlah kasus ketidakadilan yang dialami si lemah, telah diajukan di badan peradilan, dengan
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
menerobos prinsip-prinsip hukum perdata konvensional, yang sangat dipegang teguh para ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia.
Di kedepannya isu perlindungan konsumen pasca reformasi membawa perbaikan berupa reformasi penyelesaian sengketa yang selama ini menghambat
akses konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen right to effective consumer redress. Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK mengedepankan
alternatif penyelesaian sengketa yang sama sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu gugatan perwakilangugatan kelompok class action dan
gugatanhak gugat OrnopLSM. Legal Standing Pasal 46 ayat 1 butir b dan c Undang-Undang Perlindungan
Konsumen UUPK.
Kadang-kadang keduanya
masih dirancukan
pemahamannya kedua jenis gugatan ini tidak sama. Secara prinsipil berbeda satu dengan yang lainnya, ada kesan pembentukan undang-undang
menyerahkan pemahaman perbedaan prinsipil tersebut pada dinamika hukum. Artinya, untuk kesekian kalinya, hakim dituntut untuk secara aktif membentuk
hukum. Untuk pelaksanaan kedua jenis gugatan tersebut tidak harus menunggu keluarnya Peraturan Pemerintah PP.
110
Apalagi Peraturan Pemerintah PP yang dmaksud adalah Peraturan Pemerintah PP yang materinya memuat ketentuan kerugian materi yang besar
danatau korban yang tidak sedikit menyangkut gugatan yang diajukan pemerintah terhadap pelaku usaha, Pasal 46 ayat 1 huruf d dan ayat 3.
Penggunaan instrumen hukum secara perdata setelah berlakunya Undang- Undang Perlindungan Konsumen UUPK mengetengahkan sistem beban pembuktian
terbalik. Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK berbunyi
110
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tanggal 20 April 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
sebagai berikut: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Dengan pendekatan sistemik, beban pembuktian unsur kesalahan, dengan
menggunakan prosedur: 1.
Gugatan perdata konvensional; 2.
Gugatan perwakilangugatan kelompok class action; 3.
Gugatanhak gugat ornopLSM Legal Standing; 4.
Gugatan oleh Pemerintah danatau instansi terkait. Sebagaimana dimaksud Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
UUPK, menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Konsekuensinya, jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak hanya adanya unsur kesalahan, maka gugatan
ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki alasan yang sah menurut hukum. Dari sudut praktek, pada akhirnya penggugat konsumen atau OrnopNGO
tetap harus membuktikan unsur kerugian. Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen UUPK menentukan: “Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang, danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Kata “dapat” di situ menunjukan masih ada bentuk-bentuk ganti rugi lainnya
yang dapat diajukan konsumen kepada pelaku usaha seperti keuntungan yang dapat diperoleh jika terjadi kecelakaan; kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita; dan sebagainya. Pada bagian lain Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK disebutkan
bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi maksimal Rp.200.000.000,- dua ratus juta rupiah melalui penjatuhan sanksi administratif yang dijatuhkan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK Pasal 52 butir m jo. Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK.
Menurut Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata ganti rugi terdiri dari 2 dua faktor, yaitu:
1. Kerugian yang nyata-nyata diderita, dan
2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Dinamika hukum itu sendiri tidak jarang menunjukan kekacauan pemahaman gugatan perwakilangugatan kelompok class action dan gugatanhak gugat
OrnopLSM Legal Standing. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK tidak merinci secara jelas siapa saja yang
berhak untuk mengajukan gugatan class action, tetapi disyaratkan adalah berbentuk badan hukum atau yayasan yang mempunyai tujuan untuk melindungi kosumen,
dalam hal ini PBHI sebagai lembaga yang mempunyai tujuan mengadakan pembelaan hukum terhadap masyarakat telah memenuhi syarat PBHI pembelaan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia HAM saja, maka kedudukan PBHI mewakili masyarakat adalah sah, oleh karena itu eksepsi ditolak.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
3.1 Class Action Gugatan Kelompok
Ketentuan gugatan perwakilangugatan kelompok class action
111
diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang Pelindungan Konsumen
UUPK. Pasal 46 ayat 1 menyatakan “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan,
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama,
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu terbentuknya badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya,
d. Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit.
Sedangkan Pasal 46 ayat 2 menentukan bahwa “Gugatan yang diajukan sekelompok konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud
ayat 1 di atas diajukan kepada peradilan umum”. Pada penjelasannya dinyatakan bahwa gugatan kelompok class action diakui undang-undang ini. Lebih lanjut
dikemukakan dalam penjelasan itu bahwa gugatan ini harus diajukan konsumen yang
111
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Class Action, Jakarta: Lembaga Pengembangan Hukum LingkunganIndonesia Center For Environmental
LawICEL, 1997, hlm. 10.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
benar-benar dirugikan dan dapat dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Gugatan perwakilangugatan kelompok class action dimungkinkan bagi sejumlah konsumen yang memiliki keluhan-keluhan serupa similiar complaints
pada suatu saat, daripada menempuh prosesacara yang terpisah satu sama lainnya. Satu atau 2 dua atau lebih konsumen yang memiliki keluhan-keluhan serupa
similiar compalints pada suatu saat, daripada menempuh prosesacara yang terpisah satu sama lainnya. Satu atau 2 dua atau lebih konsumen mewakili konsumen-
konsumen senasib lainnya menggugat pelaku usaha yang diduga melanggar instrumen hukum perdata civil law. Gugatan perwakilangugatan kelompok class
action dapat juga menarik publisitas yang berguna usefull publicity karena arti pentingnya dan keterlibatan sejumlah orang the significance and number of people
involved. Menurut
Collin Scott
dan Julia
Black,
112
melalui gugatan
perwakilangugatan kelompok class action terdapat efek penjera detered effeck bagi pelaku usaha, di mana mereka mendapati praktek-praktek bisnis mereka tidak
lagi dibiarkan. Pelaku usaha lainnya bisa terjadi sangat tidak sensitif terhadap proses ligitasi tersebut.
Bila Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK menggunakan istilah “
gugatan kelompok” untuk class action. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPLH menggunakan istilah “gugatan
112
Colin Scott dan Julia Black, Cranston’s Consumers and The Law, Edisi Ketiga, London: Butterworths, 2000, hlm. 120-121.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
perwakilan”. Meskipun gugatan class action diajukan di peradilan umum menurut kedua undang-undang tersebut, ternyata persyaratan untuk mengajukannya gugatan
ini terdapat perbedaan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK menentukan salah satu persyaratan adalah bukti transaksi antara konsumen dan
pelaku usaha. Sedangkan pada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPLH ditentukan bahwa disyaratkan adanya kesamaan permasalahan, fakta
hukum, dan tuntutan syarat kelompok kecil masyarakat yang bertindak mewakili masyarakat terdapat kesan pembentuk undang-undang menyerahkan kemungkinan
munculnya permasalahan tentang syarat-syarat gugatan class action pada praktek badan peradilan yurisprudensi.
3.2 Legal Standing Hak Gugatan Organisasi Non Pemerintah
Terminologi “legal standing” terkait dengan konsep locus standprinsip persona stand in judicio the concept of locus stand, yaitu: seseorang yang
mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan kualitas sebagai penggugat. Kata seseorang di sini diperluas pada badan hukum. Badan hukum rechtperson; legal
entities; corporation sebagai subjek penggugat ataupun tergugat bukanlah hal yang sama sekali baru.
Seseorang dikatakan memiliki kepentingan yang memadai sufficient interest; point d’interet; point d’action atau locus stand berkaitan dengan suatu pokok
masalahperkara subject matter, ketika hak-hak perseorangannya personal right dilanggar. Pengadilan telah menunjukan fleksibilitas flexibility yang begitu besar
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
terhadap konsep tersebut.
113
Hal baru yang sebenarnya menyangkut penegakan hukum, yaitu: ada tidaknya kepentingan point d’interet; point d’action. Doktrin ini
sudah sering dan dirujuk dan diikuti dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Tidak berlebihan bila dikatakan doktrin ini sudah menjadi yurisprudensi tetap.
Namun, tanpa kepentingan langsung pada objek gugatan, badan hukum seperti: Yayasan diperkenankan bertindak sebagai penggugat jika telah memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu. Menurut Pasal 46 ayat 1 butir c dan ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK, gugatan atas pelanggaran pelaku
usaha dapat diajukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM di peradilan umum. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat LPKSM itu harus mempunyai persyaratan, yaitu: a.
Berbentuk badan hukum atau yayasan; b.
Dalam Anggaran Dasarnya disebutkan secara tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk perlindungan konsumen;
c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasar.
Subjek penggugat yaitu: Organisasi non-pemerintah Ornop non goverment organizationNGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang
bergerak di bidang pelindungan konsumen. Konsumen bukanlah subjek penggugat dalam prosedur gugatan legal standing ini. Sedangkan subjek tergugat yaitu: Pelaku
Usaha.
113
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ketiga, Yogyakarta: Liberti, 1998, hlm. 34.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat LSM diusulkan oleh Dr. Sarino Mangunpranoto pada pertemuan Organisasi Non Pemerintah Ornop yang bergerak
di bidang pembangunan pedesaan di Unggaran pada tahun 1978. Semula ia mengusulkan nama Lembaga Pembinaan Swasembada Masyarakat, kemudian
berubah menjadi Lembaga Pengembangan Masyarakat, dan akhirnya menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Akhirnya, disepakati untuk mengganti
sebutan Organisasi non-Pemerintah OrnopNon-Governmental Organizations NGO dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, meskipun
dilingkungan pergaulan
internasional sebutan
Organisasi non-Pemerintah
OrnopNon-governmental Organization NGO masih dipakai dan lebih dipahami. Organisasi non-pemerintah Ornop bisa berbadan hukum berbentuk yayasan,
misalnya: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
YKAI, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Menanggulangi Masalah Merokok, Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, dan
sebagainya. Ada pula Organisasi non-pemerintah Ornop yang tidak berbadan hukum, misalnya: kelompok-kelompok pecinta alam atau kelompok-kelompok
konsumen. UUPK tidak menggunakan istilah “Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat” LPKSM.
4. Upaya Hukum