Metode Hermeneutika Pembebasan Masyarakat plural, apartheid dan keterbelakangan di Afrika
B. Metode Hermeneutika Pembebasan Masyarakat plural, apartheid dan keterbelakangan di Afrika
Selatan, telah menyusun apa yang disebut hermeneutical circle dalam teologi pembebasan. Juan Luis Segundo mendefinisikan hermeneutical circle sebagai perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat (Segundo, 1991: 9). Ia mengemukakan dua syarat untuk menciptakan hermeneutical circle: persoalan-persoalan yang mendalam dan kaya serta keraguan terhadap situasi yang nyata; dan interpretasi baru terhadap kitab suci yang juga mendalam dan kaya.
Perbedaan fundamental antara lingkaran Segundo dan me- todologi Fazlur Rahman adalah keputusan secara sadar untuk memasuki lingkaran hermeneutika dari sudut praksis pembe- basan yang ditentukan secara politik. Segundo menyatakan, lingkaran hermeneutika didasarkan atas fakta bahwa pilihan politik untuk perubahan pembebasan adalah unsur intrinsik dari iman (Segundo, 1991: 97). Sementara Rahman menyatakan bahwa metode hermeneutika yang memadai berkaitan khusus dengan aspek-aspek kognitif dari wahyu (Rahman, 1982a: 4). Kunci hermeneutika untuk upaya-upaya kognitif ini adalah iman dan kemauan untuk dibimbing. Tafsir kontemporer memfokus-
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
ga dalam memahami (Rahman, 1982a: 1-11). Ia mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double move- ment); dari masa kini ke periode Al-Qur’an dan kembali ke masa kini (lihat skema I, Rahman, 1982a: 20; Esack, 1997:66).
Skema I
Hermeneutika double movement Fazlur Rahman Situasi historis
respons Al-Qur’an
Generalisasi jawaban-jawaban spesifik
Menentukan tujuan-tujuan moral-sosial Al-Qur’an
Situasi kontemporer nilai-nilai Al-Qur’an
Masyarakat Islam
Di samping Rahman, Mohammed Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeneutika kontemporer. Ia memandang krisis legitimasi bagi agama saat ini memaksa para sarjana untuk bi- cara tentang cara pemikiran yang heuristik (Arkoun, 1987b: 10). Ia sangat menekankan pendekatan historis-sosiologis-antropo- logis, tetapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Bahkan, ia ingin memperkayanya dengan memasukkan kondisi historis dan sosial konkret di mana Islam dipraktikkan. Arkoun
172 Zakiyuddin Baidhawy 172 Zakiyuddin Baidhawy
Kedua, semua tanda dan simbol adalah produk manusia (produksi semiotik) dalam proses sosial dan budaya yang tak terpisah dari historisitas. Historisitas adalah satu dimensi dari kebenaran (Arkound, 1987b: 8), kebenaran yang dibentuk oleh alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi dan postulat yang selalu berubah. Ketiga, keimanan tidak ada pada independensi manusia sendiri, tidak pula berasal dari kehendak atau karunia Tuhan, tetapi ia dibentuk, diungkapkan dan diaktualisasikan da- lam dan melalui wacana. Keempat, sistem legitimasi tradisional yang diwakili pemikiran teologi Islam klasik dan yurisprudensi Islam dan perbendaharaan katanya tidak mempunyai relevansi epistemologis. Disiplin-disiplin itu terlalu kompromi dengan bias-bias ideologi yang ditekankan oleh kelas penguasa dan para intelektual tukangnya (Arkoun, 1988: 64-65).
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
Aplikasi gagasan-gagasan Arkoun dapat dilihat pada analisis tentang proses wahyu dan cara teks ditulis menjadi kitab yang otoritatif dan suci. Ia membedakan tiga level firman Allah swt.: 1) firman Allah swt. sebagai transenden, tak terbatas dan tak dikenal oleh manusia sebagai suatu keseluruhan yang diwahyukan melalui nabi. Hal ini diungkapkan dalam bahasa Al-Qur’an sebagai al-lawh al-mahfuz (QS. (85): 22) atau umm al-kitab (QS. (43): 4; 2) manifestasi historis firman Allah swt. melalui nabi- nabi Israel (dalam bahasa Ibrani), Yesus (bahasa Aram), dan Muhammad (bahasa Arab). Ia dihafal dan ditransmisikan secara oral selama periode sebelum ditulis (Arkoun, 1987b: 16; dan 3) objektifikasi teks dari firman Allah swt. telah terjadi (Al-Qur’an menjadi mushaf) dan kitab ini tersedia bagi orang beriman hanya melalui versi tertulis yang terpelihara dalam kanon resmi tertutup.
Arkoun menjelaskan proses gerak penurunan wahyu dan gerak mendaki komunitas yang menafsirkan menuju kese- lamatan sesuai dengan perspektif vertikal tentang semua kreasi sebagaimana ditekankan oleh wacana qur’an. Komunitas yang menafsirkan adalah subject-actan dari keseluruhan sejarah dunia yang diwakili, diinterpretasi dan digunakan sebagai tahapan su- lit untuk mempersiapkan penyelamatan sesuai dengan sejarah Penyelamatan yang dikisahkan Tuhan sebagai bagian dari wa- hyu yang mendidik (Arkoun, 1987a: 16). Hubungan individu dengan kitab sebagai firman Allah swt. sama dengan hubungan sosial-politik dengan komunitas yang menafsirkan (lihat skema II).
174 Zakiyuddin Baidhawy
Skema II
Metode hermeneutika Mohammed Arkoun Firman Allah swt.
Sejarah Penyelamatan Peristiwa pembuka
komunitas Muslim
Transmisi
Korpus resmi tertutup Korpus tertafsir
Tradisi – hafalan kolektif, seleksi, pengumpulan,
eliminasi, kristalisasi, mitologisasi, sakralisasi
Masyarakat Angan-angan sosial Muncul kritik rasionalitas
Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan di atas –Rahman dan Arkoun. Pendekatan Rahman, menurutnya, kurang apresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsik di dalamnya. Rahman lebih menyesalkan ketundukan Islam pada politik daripada nilai-nilai Islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialektika antara keduanya. Ia terlalu menekankan kriteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
Sementara itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan ke- pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan seba- gai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pe- ngaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat so- sial lainnya, di samping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat netral. “Setiap hermeneutika membutuhkan partisipasi secara sadar ataupun tidak” (Esack, 1997: 72-73).
Tampaknya Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan hermenetiks pembe- basannya. Ia yakin bahwa tugas Muslim memahami Al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal: untuk memaparkan cara interpretasi tradisional dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil; untuk mengakui kesatuan umat manu- sia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi keti- dakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan (misalnya hubungan Tuhan dengan orang lapar dan eksploitasi). Dimensi teologis ini secara simultan mem- bentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan (Esack, 1997: 11).
Untuk mencari dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi sosio-ekonomi tertentu dan menyorotinya membuka kemung- kinan bagi kita untuk menekankan penghargaan atas teks-teks tertentu secara selektif dan arbitrer dan mengeluarkan teks-teks lainnya. Anda tidak dapat benar-benar taat kepada Allah swt. jika anda dalam keadaan lapar. Ketaatan semacam ini adalah bentuk
176 Zakiyuddin Baidhawy 176 Zakiyuddin Baidhawy
Kedua, respons bahwa mencari dimensi teologis dalam konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan agar kita memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan bahwa teks bernilai hanya jika berkaitan langsung dengan kepentingan politik (Esack, 1997: 12).
Esack melihat ada 3 unsur instrinsik dalam proses mema- hami teks. Pertama, masuk dalam pikiran pengarang. Dalam kasus Al-Qur’an, Tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim perlu masuk ke dalam pikiran Tuhan. Dalam tradisi mistik Islam, terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan dengan keilmuan untuk melahirkan makna. Oleh karena itu, Tuhan berperan langsung dalam pemahaman teks; yang lain menjadikan Muhammad sebagai kunci dalam melahirkan makna. Bagi Rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di dalam teks dan digali oleh pikiran murni. Inilah yang disebut pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio- politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.
Kedua, penafsir adalah makhluk dengan banyak beban. Partisipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna meng- implikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra pemahaman tentang persoalan
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
Ketiga, interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Masa lalu adalah masa kini. Siapa pun yang menggunakan bahasa “memikul pra pemahaman” yang sebagian sadar dan lebih sering tidak sadar akan sejarah dan tradisi bahasa tersebut (Tracy, 1987: 16). Kita tidak bisa lari dari semua ini. Makna kata selalu dalam proses. Menurut Cantwell Smith, “menggunakan suatu kata berarti berpartisipasi dalam proses sejarah maknanya yang terus menerus (1980: 501). Makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tetapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan. Tindakan menafsirkan apa pun adalah partisipasi dalam proses linguistik- historis. Pembentukan tradisi dan partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Perlakuan kita terhadap Al-Qur’an juga terjadi dalam batasan-batasan ini; kita tidak dapat keluar dari dan menempatkan diri di atas bahasa, budaya dan tradisi (Esack, 1997: 76).
178 Zakiyuddin Baidhawy