Kajian Sarjana Muslim Modern Beberapa contoh model kajian yang dilakukan oleh sarjana
C. Kajian Sarjana Muslim Modern Beberapa contoh model kajian yang dilakukan oleh sarjana
Muslim modern, utamanya di Mesir, dapat disajikan berikut ini (Haredy, 2001). Kajian-kajian mereka berkaitan dengan persoalan kritik teks yang pada akhirnya dapat meragukan beberapa catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M. Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad Adham.
Rashid Ridha (1865-1935) membahas kritik matan. Ia mempersoalkan beberapa hadis yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim. Menurutnya, pada ahli hadis (muhadisun) jarang meneliti dan mencermati matan hadis dengan melihat maknanya. Mereka lebih memfokuskan diri pada isnad dan konteks dari matan. Ia mengatakan bahwa banyak hadis yang tampak kokoh isnadnya mesti dikritik dari segi muatannya. Berdasarkan pandangan ini, ia menolak hadis-hadis jika hadis- hadis itu baginya tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis, atau jika hadis-hadis itu bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah yang lebih luas (Ridha, 1928: 40).
Mahmoud Abu Rayyah (1889–1970) mengemukakan banyak argumen dari berbagai sumber untuk menantang posisi literatur hadis yang ada selama ini. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa hadis-hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan
Zakiyuddin Baidhawy Zakiyuddin Baidhawy
Ahmad Amin (1886–1954) dalam bukunya Fajr al-Islam, menulis satu bab berkaitan dengan studi hadis. Amin me- nyatakan bahwa para sarjana meletakkan berbagai aturan yang sangat hati-hati untuk mengkritik dan menilai hadis yang ter- lampau rinci. Namun, intinya metode mereka lebih memerha- tikan untuk menilai periwayat daripada riwayatnya itu sendiri. Sangat jarang di kalangan mereka yang berpandangan bahwa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. tidak dapat dinilai asli jika tidak rasional karena mempertimbangkan ling- kungan pada masa itu, atau apa yang dikatakan Nabi tentang ini dan itu bertentangan dengan fakta-fakta yang populer dan tak terbantahkan, atau merupakan sesuatu yang asing berhubungan dengan latar belakang dan karakter Nabi. Sangat sedikit argu- men semacam ini digunakan.
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
Sementara itu, Isma`il Ahmad Adham (1911–1940) yang menerbitkan karyanya Min Masadir at-Tarikh al-Islami (1935) di Mesir, mengatakan bahwa para sarjana hadis dan kritik mereka tidak mengarahkan pada kritik teks yang dilakukan secara ilmiah. Pernyataan ini berangkat dari kenyataan bahwa kritik semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip utama mereka dan dengan realitas-realitas yang sudah mapan tentang hadis. Ini juga, menurut Adham, menggambarkan keraguan tentang karakter para periwayat hadis termasuk sahabat.
Kajian-kajian dari empat sarjana Muslim di atas memperoleh respon dan reaksi dari beberapa sarjana Muslim lainnya. Muhammad Abdur Rauf (1983) misalnya, menyatakan bahwa penjelasan-penjelasan tentang karya-karya klasik hadis dan para periwayat yang terhormat telah dilakukan oleh penulis modern Abu Rayyah. Ratusan halaman ditulis untuk mempertahankan sunnah dari para penolaknya, khususnya berkaitan dengan persoalan kritik matan. Kebanyakan karya-karya yang dirujuk untuk mempertahankan sunnah antara lain karya as-Siba`i As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tashri` al-Islami dan karya Abu Syuhbah Difa` `an As-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqin wa al-Kuttab al-Mu`asirin. Karya as-Siba`i dipandang sebagai karya terbaik tentang sunnah dan hadis. Mereka menyatakan bahwa para muhadisun tidak mengabaikan kritik atas muatan hadis di samping rantai isnad.
As-Siba`i menyebutkan misalnya, 15 kriteria yang dikemu- kakan oleh para kritikus hadis awal untuk memisahkan hadis- hadis otentik dari yang palsu dengan memerhatikan muatannya. Misalnya, hadis tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prin- sip fundamental akal, prinsip-prinsip umum kearifan dan mo- ralitas, fakta-fakta yang diketahui melalui pengamatan langsung,
112 Zakiyuddin Baidhawy 112 Zakiyuddin Baidhawy
Abu Syuhbah mengkritik Abu Rayyah dan Ridha yang telah memberikan alasan tentang pengabaian kritik muatan hadis karena fakta bahwa tugas kritik semacam itu bukan merupakan tanggung jawab teolog dan ahli fuqaha. Muhadisun awal mengetahui dengan cermat baik riwayah maupun dirayah. Kenyataan adanya sebagian fuqaha menyerang beberapa hadis dan menolaknya bukan karena mereka lebih diakui daripada muhadisun, namun karena mereka kurang mengetahui tentang ilmu riwayah dan kriteria-kriterianya serta sedikitnya mereka mempraktikkan kriteria tersebut. Menurut Abu Syuhbah, jika ada sebagian periwayat yang lebih peduli dengan upaya mengumpulkan dan menghafal hadis-hadis daripada memahami muatannya, jumlah mereka sangat sedikit dan para muhadisun pun memaki mereka karena melakukan hal tersebut.
Abdur Rauf (1986: 558) juga mengkritik klaim kaum orientalis dan menyatakan bahwa tujuan utama meneliti isnad adalah memelihara kredibilitas matan. Karena itu, para muhadisun awal mengumpulkan hadis-hadis otentik dengan sangat hati-hati dan menolak untuk menerima hadis-hadis yang bertentangan dengan akal.
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
Subhi as-Salih menulis sebuah bab yang menarik tentang kajian hadis, terkait dengan bentuk dan muatan hadis. Ia menekankan bahwa para kritikus hadis masa awal percaya bahwa kajian mereka tentang muatan hadis dan upaya mereka memelihara koleksi hadis menjadi tidak bermakna jika mereka tidak diperkokoh dengan ilmu dirayah. Ilmu dirayah ialah ilmu yang memuat studi analitik dan sejarah perkataan dan perbuatan Nabi. Ilmu ini bermaksud untuk menyelidiki syarat- syarat periwayat (rawi) dan apa yang diriwayatkan (marwi). Ia menolak pandangan yang menyatakan bahwa para peneliti hadis masa awal lebih cenderung mengkaji isnad daripada matan. Ia mengklasifikasikan hadis ke dalam beberapa kategori berdasarkan isnad dan matannya. Ia merujuk pada peran matan untuk mengeliminir hadis-hadis palsu, karena hadis-hadis palsu biasanya memiliki bahasa yang lemah, bertentangan dengan akal dan hati, dan merupakan perkataan-perkataan yang terjadi pada periode-periode pasca Nabi wafat.
Sementara itu, Syekh Muhammad Al-Ghazali (1917–1996), seorang juru bicara utama revivalisme Islam moderat Mesir, menerbitkan buku tentang sunnah berjudul As-Sunnah an- Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis (1989). Untuk menunjukkan komitmennya pada kritik hadis klasik, al-Ghazali mencatat dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut: Perta- ma, matan harus bebas dari syuzuz, yakni bertentangan dengan sumber-sumber yang lebih terpercaya. Kedua, matan harus be- bas dari cacat serius (`illah qabihah). Dua syarat ini, menurutnya, menjamin secara terpercaya tentang kebenaran suatu hadis jika diterapkan dengan sebenar-benarnya.
Dengan demikian, dari bahasan di muka tentang banyaknya kaum orientalis dan beberapa sarjana dan kritikus Muslim
114 Zakiyuddin Baidhawy 114 Zakiyuddin Baidhawy