Studi Islam Pendekatan dan Metode

BAB 1 PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI ISLAM

A. Pengertian Studi Islam stilah “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah diperguna-

I dan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang

kan dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik,

pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang memiliki dimensi “Islam” dan keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam politik, atau Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik Islam, demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya. Sejumlah buku-buku terlaris sejak 1980-an berhubungan dengan

Pengertian dan Metodologi Studi Islam Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Kita dapat mengemukakan dua pendekatan mendasar mengenai definisi Islamic Studies, yaitu definisi sempit dan definisi yang lebih luas (Suleiman & Shihadeh, 2007: 6-7). Pendekatan pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu disiplin dengan metodologi, materi dan teks-teks kuncinya sendiri; bidang studi ini dapat didefinisikan sebagai studi tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan klasik; memperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas kajiannya. Di samping itu, Islamic Studies berbeda dari ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial dan akan diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan tentang Islam dan studi tentang Islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua disiplin tersebut. Mesti ada perbedaan nyata antara antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, dan Islamic Studies hanya sebagai distingsi yang dibuat dalam hubungannya dengan disiplin- disiplin lainnya seperti Christian Studies.

Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan: Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektual- keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam, dan karena banyak Muslim terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting. Pengertian Islamic Studies sebagai studi tentang teks-teks Arab pra-modern utamanya karena itu mesti dipertahankan. Keterampilan utama yang dibutuhkan adalah bahasa Arab.

Kedua, Islamic Studies adalah suatu bidang yang sempit. Upaya-upaya untuk memperluas bidang kajiannya dapat me-

2 Zakiyuddin Baidhawy 2 Zakiyuddin Baidhawy

Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi Muslim menge- nai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan dipertipis garis batasnya. Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua bidang lainnya. Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap Islam memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan sebagai Islamic Studies.

Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasar- kan pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebu- tuhan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks tentang cara orang-orang mengalami dan menjalankan kehi- dupan mereka. Membatasi bidang kajian pada studi teks saja akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang seperang- kat praktik keagamaan Islam, sehingga menutupi realitas yang lebih kompleks. Islam mesti diajarkan baik sebagai tradisi teks maupun sebagai realitas sosial. Islamic Studies harus memiliki inti wilayah-wilayah dan teks-teks yang definitif; pada hakikat- nya ini mesti terdiri dari ilmu-ilmu keislaman klasik. Meskipun demikian, di sekitar inti ini ada wilayah-wilayah lain yang dapat

Pengertian dan Metodologi Studi Islam Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Mengajarkan Islamic Studies di perguruan tinggi mesti menjembatani kesenjangan antara pendekatan tekstual dan pendekatan etnografi, karena mahasiswa seringkali berminat pada teks-teks tradisional, meskipun studi teks dapat mencakup berbagai tradisi yang berbeda-beda. Artinya membatasi diri pada bidang kajian teks semata berisiko memberikan pengertian yang keliru tentang Islam dan masyarakat Islam.

Teks-teks dari tradisi klasik besar telah dihasilkan dan diper- gunakan oleh kaum Muslim dalam konteks sosial tertentu. Islam harus diajarkan baik sebagai tradisi tekstual dengan seluruh ke- satuan sejarahnya, dan sebagai realitas sosial yang dinamis dan terus berubah. Keduanya saling berhubungan, yakni tradisi teks menunjukkan bahwa Islam, di samping merupakan seperangkat ajaran keagamaan, adalah cara mendekati tantangan-tantangan ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini.

Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disi- plin termasuk ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-ba- tasan ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang beragam.

Banyak pertanyaan dapat diajukan tentang dua pendekatan di atas, barangkali yang paling relevan adalah, apakah kebutu- han untuk mengkaji Islamic Studies hanya berangkat dari kebu- tuhan diplomatik dan bisnis, atau apakah ia lebih jauh untuk memasukkan ruang lingkup yang luas seperti studi dan peneli- tian guna memperoleh kearifan dan pengetahuan utama.

4 Zakiyuddin Baidhawy

Islam kini sedang menjadi fenomena universal di dunia ini. Ini memunculkan satu pertanyaan lain, yakni apakah fungsi universitas diharapkan dapat menyediakan kebutuhan- kebutuhan bagi komunitas-komunitas minoritas untuk mema- hami keimanan mereka di dalam identitas lokal yang melekat dan konteks multikulturalnya. Jika kebutuhan semacam ini tidak dicapai secara mapan, akankah ia membuka pintu luas bagi eks- tremisme untuk menawarkan jasanya yang mematikan? Salah satu isu yang muncul dalam perbincangan mengenai Islam di kampus adalah bahwa Islamic Studies merupakan suatu wilayah kontestasi sebagian karena Islam itu sendiri adalah sesuatu yang dikontestasikan. Persoalan ini membawa pada pertanyaan: adakah suatu wilayah, apa pun namanya, yang dipikirkan oleh akal manusia yang tidak dikontestasi? Nilai keimanan atau kebudayaan apa pun berangkat dari komitmen para pemeluknya. Untuk mencapai masyarakat multikultural yang homogen, ada suatu kebutuhan untuk menerapkan metodologi serupa pada semua keimanan. Dengan kata lain, definisi tentang iman merupakan fenomena sosial yang berhubungan dengan bagaimana keimanan itu sendiri melihat dirinya.

Dengan mempergunakan pendekatan intensional, maka dapat dikatakan lebih layak jika kita memerhatikan dua hal, yai- tu antara “studi tentang Islam” atau “Islamic Studies” yang me- miliki makna lebih khusus. Kita dapat pula mengatakan bahwa kesulitan dalam mendefinisikan Islamic Studies mencerminkan kebutuhan akan perdebatan lebih lanjut tentang masalah ini. Pada masa lampau, Islamic Studies diajarkan di dalam departe- men-departemen yang berhubungan secara luas dengan lokasi geografis, seperti Studi Kawasan Timur, Studi Kawasan Timur Tengah dan Studi Kawasan Timur Dekat.

Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Ini memunculkan masalah terminologi dan judul, bahkan persoalan konteks yang tetap valid khususnya pada periode kolonial, yang mempersepsi Islam sebagai salah satu dorongan utama bagi kohesi sosial dan dialog antariman. Barangkali satu proposal yang bisa diajukan ialah pengembangan suatu bentuk studi tentang Islam yang memasukkan pendekatan tradisional dan pendekatan luas, serta kombinasi dari keduanya dalam rangka memperluas disiplin daripada membingungkan antara keduanya.

B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan dan Keagamaan

Masalah utama yang menopang definisi Islamic Studies tampak- nya muncul dari metodologi bagaimana Islam dikaji dan kemu- dian bagaimana diajarkan. Di negara-negara Barat umumnya, kajian tentang Islam mengikuti metodologi Barat, ini berten- tangan dengan kajian Islam di dalam suatu lingkungan yang ti- dak mengkontestasi agama tersebut.

Kajian Islam di Barat, Inggris misalnya, memberikan ma- hasiswa strata satu berbagai materi yang relevan dengan Islam dengan mempergunakan metodologi pengajaran yang dilan- daskan pada objektivitas dan integritas. Pendekatan atas Islamic Studies di sini sering didasarkan atas pandangan akademik Barat tentang Islam yang terpusat pada berbagai metodologi ilmiah seperti orientalisme, ilmu sosial atau antropologi kontemporer. Sering dijumpai mahasiswa Muslim di sini akan menghadapi tantangan nyata di mana pengetahuan dasar mereka tentang agama dan sejarahnya sendiri diuji secara kritis. Pada tingkat pasca sarjana, masalahnya lebih kompleks dan seringkali keti- daksepakatan mengenai pendekatan pada apa yang dapat dan

6 Zakiyuddin Baidhawy 6 Zakiyuddin Baidhawy

Hal serupa juga sering muncul ketika menguji ide-ide para pemikir Muslim modern tentang Islam dan pendekatan Barat terhadap pengetahuan. Ketakutan bukan datang dari Barat, melainkan dari sains yang dapat menjadi pendekatan yang salah arah jika dipercaya sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran. Pandangan ini juga digaungkan oleh para sarjana Barat sendiri. Salah satu kritik paling umum terhadap pendekatan “sains” diungkapkan oleh Stephen R. Sterling ketika ia menguji pendekatan sains terhadap subjek dari studi tentang alam. Mengutip Werner Heisenberg, ia mengatakan: “Melalui intervensinya, sains mengubah dan membentuk kembali objek”.

Berikut ini adalah beberapa perdebatan seputar metodologi dalam Islamic Studies. M. Izzi Dien (2003: 243-255) secara gamblang menggambarkan perdebatan metodologi tersebut mencakup kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat, pendekatan apologetik Muslim terhadap metodologi penelitian, pendekatan radikal Muslim terhadap metodologi Barat, dan kritik metodologi Muslim dari dalam.

1. Kritik atas Metodologi Barat

Kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat muncul baik dalam bentuk kritik seimbang maupun kritik radikal. Pendekat- an intelektual Barat terhadap pengetahuan dan pembelajaran

Pengertian dan Metodologi Studi Islam Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Mutakallim abad pertengahan Islam, Abu Hamid al-Ghazali mengatakan bahwa wasathiyyah adalah berdiri di tengah-tengah antara dua ujung yang saling berlawanan. Karena itu, dalam ma- salah keuangan misalnya, ia berarti berdiri di antara berlebih- lebihan dan serba kekurangan, atau antara sembrono dan terlalu hati-hati. Filsafat Barat menemukan akar-akarnya dalam kebu- dayaan Yunani-Romawi yang memotong keimanan orang-orang Timur yang asli terhadap Yesus dan mengkombinasikannya de- ngan jiwa dan tubuh.

Pandangan dunia Islam berbeda dari pendekatan Barat ter- hadap pengetahuan ilmiah. Faruqi (1995) memaparkan bahwa ilmu-ilmu sosial memperoleh posisi mandiri di universitas-uni- versitas satu abad yang lalu, padahal akal yang telah membawa pada penemuan dan keberhasilan kembali pada dua abad lebih; pembentukan metodologi skeptis kembali pada revolusi Prancis yang berusaha melawan kendali gereja. Kemenangan metodolo- gi skeptis telah memberikan otoritas yang memperkenankannya menolak metodologi alternatif, bahkan metodologi ilmu-ilmu alam yang tergantung hanya pada apa yang dapat dilihat dan dirasakan.

Salah satu hasil dari metodologi skeptis di atas adalah ke- simpulan bahwa seluruh dunia ini tunduk pada penafsiran, dan

8 Zakiyuddin Baidhawy 8 Zakiyuddin Baidhawy

Apa yang luput dari analogi semacam ini adalah kenyataan bahwa manusia dan perilakunya secara keseluruhan tidaklah tunduk pada aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sama yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan fenomena alam. Perbedaan antara fenomena alam dan fenomena kemanusiaan adalah bahwa manusia mengandung komponen-komponen lain serta mengikuti sistem dan pola eksistensi yang berbeda secara keseluruhan. Dengan kata lain, bila materi seperti metal, kayu, dan komponen-komponen alam lainnya dapat diukur secara fisik, hanya sebagian saja dari manusia yang dapat diukur secara empirik. Masih ada bagian-bagian lain dari manusia dan alam ini yang melampaui sains dan di sini bukan hanya jiwa dan sentimen manusia, bahkan juga pola-pola perilaku yang dipandang sebagai kebudayaan, agama, dan tradisi individual. Keseluruhan nilai ini tidak akan mungkin tanpa kehendak pengamat untuk melihatnya. Semua ini tidak akan tercapai tanpa simpati pengamat sembari mempertimbangkan nilai dari apa yang ia saksikan dan memasukkan amatan tersebut ke dalam hasil-hasil penemuan. Inilah salah satu alasan mengapa pendekatan dalam mengkaji manusia yang disediakan oleh Barat pada umumnya gagal menyediakan paradigma yang valid untuk

Pengertian dan Metodologi Studi Islam Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Jadi, kunci untuk masuk ke dalam makna peristiwa-peristiwa Islam ada dalam pemahaman tentang kepasrahan individu kepada Tuhan atau Islam yang dijalani oleh para pengikutnya selama perjalanan hidup mereka. Kini, dalam Islamic Studies di Barat, para sarjana Barat perlu mengapresiasi metodologi kajian Islami dalam rangka memahami bagaimana cara Muslim berpikir. Dengan definisi metodologi semacam ini maka “dimensi spiritual” sekaligus “dimensi ilmiah” dapat dijangkau secara bersamaan.

2. Pendekatan Apologetik Insider

Pendekatan lain yang muncul dalam persoalan metodologi kajian keislaman ialah pendekatan apologetik. Bila sains mo- dern berdasarkan atas dunia fisik dan pedoman objektif, Islam tidak berusaha membatasi pemikiran manusia atau mencegah kajian ilmiah mandiri. Islam sebagai keimanan memiliki sedikit reservasi dalam memandang fakta-fakta ilmiah yang abstrak dan itulah yang memotivasi perluasan metodologi eksperimen yang dikembangkan dalam lingkungan Islam sebelum ditrans- fer ke Barat. Pendekatan apologetik menyatakan bahwa Islam mengadopsi pencarian pengetahuan dan tidak membatasi diri sumber pengetahuan hanya pada pemahaman dunia materi ma- nusia. Penting juga untuk dicatat, bukan dalam rangka menyifati Islam dengan keterbelakangan sosial, bahwa Islam merupakan hasil dari suatu akumulasi persoalan dan situasi, seperti kolo- nialisme Barat, perbudakan, dan praktik-praktik sosial yang ti-

10 Zakiyuddin Baidhawy 10 Zakiyuddin Baidhawy

Argumen semacam ini sering dinyatakan oleh kalangan Muslim dan membawa pada persoalan apakah mungkin atau tidak memisahkan Islam sebagai teori dari praktik aktualnya sebagaimana teramati dalam realitas dunia Islam. Realitas yang salah arah ini rupanya melahirkan dekadensi dan kemunduran pada semua tingkatan dan kita dapat mempertanyakan apakah Islam merupakan pandangan hidup yang gagal dalam masyara- kat kontemporer. Jika benar, maka akan ada kebutuhan untuk mengadopsi metodologi berpikir yang lebih sejalan dengan ma- syarakat modern sebagai sarana untuk mencapai apa yang dise- but kebudayaan yang lebih maju. Ini penting setidaknya bagi mereka yang hidup di Barat dan membutuhkan Islam pribumi yang berdasarkan atas nilai-nilai asli dan Islam tentang sains dan pengetahuan kehidupan. Metodologi semacam ini membutuh- kan bahan-bahan sebagai berikut:

Pertama, faktor manusia. Setidaknya diperlukan jumlah yang cukup sumber daya manusia yang dapat membawa pesan pemahaman keagamaan yang layak. Dapat dinyatakan bahwa hal ini mungkin dicapai meskipun pada kenyataannya tidak semua tingkatan masyarakat memiliki disiplin keislaman yang sama sehingga tersedia sejumlah orang yang mampu memimpin lainnya untuk meraih tujuan yang benar. Untuk mencapai tu- juan ini, Islam menyandarkan diri pada sedikit kaum terpelajar, yang mendorong upaya-upaya keilmuan dan peningkatan kaum Muslim yang berpengetahuan. “Dan hendaklah kamu menjadi orang-orang yang berorientasi ketuhanan (rabbaniyun) dalam apa yang kamu ajarkan dan apa yang kamu pelajari” (QS. Ali Imran (3): 79).

Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Kedua, upaya mempopulerkan tujuan Islam dalam men- ciptakan banyak masyarakat dan kebudayaan sehingga Islam berhasil sebagai fenomena kebudayaan sekaligus fenomena ke- agamaan. Dua hal ini setidaknya dapat diidentifikasi, jika tidak dikatakan sebagai pemisahan. Pemahaman tentang Islam seba- gai agama akan lebih baik dipahami jika dilihat dari dalam, se- bagaimana disebut oleh Smart sebagai dimensi-dimensi agama (akan dijelaskan pada bab II). Lebih lanjut, ada kebutuhan un- tuk mengidentifikasi hubungan integral antara hakikat Islam se- bagai agama yang diwahyukan Tuhan dan sebagai fleksibilitas kultural yang membuatnya dapat diterima. Jika Islam dipahami murni sebagai agama, ini akan membuatnya seperti sel yang ko- song dan akan kehilangan kekuatan dan kemampuan dinamis- nya untuk melahirkan hasrat dan visi kemanusiaan.

Pada titik ini penting untuk mencatat perbedaan antara agama Islam sebagai “sel” dalam pengertian metaforis dan dimensi mistiknya. Menurut Dien (2003), Islam dapat menjadi agama yang terfosilkan jika ia dikaji dengan menghilangkan unsur-unsur kultural yang integral atau unsur-unsur ketaatannya. Metodologi kajian Islam berangkat dari sini, jadi bukan semata sebagai agama, melainkan juga sebagai hakikat kehidupan yang memandang semua aspek hidup ini dalam keseluruhannya sebagai unit yang lengkap. Prinsip dari kesatuan realitas (haqiqah) penting di sini. Metodologi penelitian menyangkut semua pencarian atas realitas yang diderivasi eksistensinya dari Tuhan, dan derivasi maknanya dari Kehendak-Nya. Dengan memahami hal ini, pemahaman Islam tentang realitas dapat menjadi lebih dekat kepada pendekatan model kontemporer vis

a vis pengetahuan, yang seringkali gagal menerima pandangan Islam bahwa potongan-potongan realitas akan bersama-sama

12 Zakiyuddin Baidhawy 12 Zakiyuddin Baidhawy

Berbagai posisi tentang realitas Islam, seperti dipahami kaum Sufi adalah fenomena yang divergen yang dapat dipahami menurut berbagai perspektif dan aspek, meskipun sumber dan tujuannya serupa. Ada kontradiksi yang muncul, namun salah antara mistisisme/sufisme dan arus utama Islam. Padahal sufisme adalah sisi paling dalam dari struktur realitas Islam sepanjang ia dipahami dari sumber dan tujuan Tuhan. Tuhan dalam Islam adalah Pencipta dan Pemelihara dan hubungan antara Dia dan manusia itulah yang dimaksud Sufi. Jika dikotomi ini dipahami, maka hasilnya tidak kontradiksi; sebaliknya kesalahpahaman mengenai hal ini mengarah pada penyimpangan dan penghargaan Islam atas jiwa manusia akan disalahmengerti. Hubungan spiritual antara Tuhan dan manusia memiliki aspek sosial, yang dalam dunia Sufi disebut sebagai jalan kolektif dan jalan individual menuju Tuhan, tariqah. Tariqah berarti menerima banyak jalan dalam keimanan Islam. Sayangnya, ada ketidakseimbangan di mana ortodoksi Islam telah menuduh heterodoksi sebagai bidah. Salah satu alasan mengapa Islam menolak individu-individu seperti al-Husayn ibn Mansur al-Hallaj (858-922) adalah karena ia memahami dirinya sendiri sebagai bagian dari wujud Tuhan, daripada sebagai wujud bersama Tuhan.

Di sinilah letak pentingnya epistemologi dalam Islam, dan istilah-istilah yang digunakan dapat memiliki kekuatan dalam menyampaikan gambaran yang memadai. Ini merupakan salah satu sumber utama kesepakatan antara metode penelitian Islam

Pengertian dan Metodologi Studi Islam Pengertian dan Metodologi Studi Islam

3. Kritik Radikal atas Metodologi Barat

Dalam bahasan ini menarik untuk mencatat komentar- komentar yang sering muncul dari kalangan fundamentalis Islam mengenai metodologi Barat. Komentar-komentar mereka sering mempertanyakan secara radikal: Apakah para mahasiswa atau pengkaji di universitas-universitas Barat mampu memenuhi tantangan untuk mengintegrasikan keilmuan Islam dan setia dengan prinsip-prinsip yang diterima secara mapan dalam ilmu-ilmu keislaman? Temukan apa yang Islam katakan tentang peristiwa baru merupakan satu hal, dan merusak Islam adalah hal lain. Metodologi apa yang digunakan untuk menafsirkan teks-teks sumber Islam dan kepada siapa Anda mempelajarinya?

14 Zakiyuddin Baidhawy

Jika Anda menggunakan teknik-teknik Barat, maka Anda akan menafsirkan Islam sesuai dengan kritik Heidegger dan kritik sastra yang banyak digunakan Nietzsche dan Foucault. Jika Anda melakukan studi bahasa, maka Anda akan bersandar pada antropologi dan kritik sastra, hal ini juga berarti Anda kembali kepada Levi Straus dan lain-lain dan problem relativitas. Kini, satu pertanyaan muncul ketika Anda menerapkan apa pun teknik-teknik ini adalah bagaimana Anda akan melihat Al- Qur’an dan Sunnah? Akankan Anda memandangnya hanya sebagai teks-teks sejarah? Jika Anda mengatakan demikian, maka Anda telah membuat kesalahan besar dalam bidang Akidah. Inilah masalah-masalah yang muncul dalam Islamic Studies di Barat, menentang namun tidak memiliki basis yang nyata dalam sumber-sumber Islam. Jadi, kita bukan Barat secara keseluruhan dan bukan pula Muslim secara keseluruhan dalam hal pemikiran. Komentar mereka juga menyatakan, mungkin ada manfaat melakukan penelitian di Barat dalam Islamic Studies, namun karena kami adalah Muslim, kami harus setia kepada agama kami (Ahl-Hadith, 2006).

4. Kritik Metodologi dari Dalam (from within)

Identitas Islam kontemporer, baik pada tingkat individu maupun kolektif, mengalami kekurangan intelektual dan psi- kologis yang paralel dengan kemampuannya untuk bertindak dan melakukan. Dua kekurangan ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan metodologis dalam mengkombinasikan teori dan praktik (Malkawi, 2002: 31-36). Kekeliruan metodologis dalam komunitas Muslim dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, kesalahpahaman tentang realitas dan bagaimana berhubungan dengannya disebabkan mengabaikan sepenuhnya apa yang nya- ta dan apa yang merupakan ideal-ideal abstrak tanpa berupaya

Pengertian dan Metodologi Studi Islam Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Lebih jauh kita dapat menambahkan bahwa pendekatan Islam terhadap pengetahuan menerima dua macam kebenaran, yaitu yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh rasio manusia (seperti nasib, kehendak, kehidupan/kematian) dan kebenaran yang berkaitan dengan fakta-fakta empirik dalam kehidupan. Jadi, tanpa rasio manusia, ilham Tuhan tidak dapat diterima dan diverifikasi, dan keiman- an Islam tidak dapat ditegakkan sebagai sistem kepercayaan berdasarkan atas konsep benar dan salah. Teori tentang Islam hanya dapat dianggap benar jika ia dilihat sebagai fusi dari unsur-unsur Islam yang tidak dapat dipisahkan –teologi, hukum, dan etika–. Menurut Sardar (1985), kompartementalisasi antara hukum dan etika dalam tradisi intelektual dan keagamaan Barat tidak memiliki tempat dalam Islam. Pada praktiknya, Muslim kontemporer berhadapan dengan realitas yang berbe-

da. Realitas itu adalah bahwa Muslim kontemporer diarahkan oleh kebudayaan Barat yang sering mengalami pemisahan antara tubuh dan jiwa. Pemisahan ini lambat laun merusaknya.

16 Zakiyuddin Baidhawy

Peradaban Barat telah membuktikan kekuatan dan supremasi- nya terhadap peradaban-peradaban lain melalui peran mereka dalam sains, teknologi dan industri. Inilah peradaban yang mempergunakan metodologi empirik dan organisasi untuk mendekati fenomena alam untuk melayani kebutuhan manusia. Dengan mengkombinasikan peradaban instrumental ini dengan paham Islam tentang nilai, kemajuan yang berarti bisa diraih di dunia Muslim khususnya dan menyebar ke seluruh dunia pada umumnya.

5. Problem Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik

Problem metodologis juga muncul berkenaan dengan sia- pakah yang dipandang lebih otoritatif dalam melakukan kajian Islam, apakah mereka yang menjadi orang dalam atau mereka yang disebut sebagai orang luar. Problem serupa sesungguhnya pernah dialami juga dalam disiplin Sejarah Agama-agama (The History of Religions). Pada akhir abad ke-20, Belanda telah mem- berikan kontribusi terhadap studi akademik agama-agama yang berupaya mengembangkan suatu metode empirik bagi Religious Studies baik dalam hal klasifikasi wacana maupun istilah-istilah yang dipinjam dari kosakata teknis dari ilmu-ilmu bahasa yang mereka transformasikan ke dalam Antropologi Budaya. Dalam karya-karya mereka tampak usaha untuk membedakan antara dua tipe berbeda tentang perbincangan mengenai agama, yakni pendekatan emik yang menyajikan pola-pola pemikiran dan aso- siasi simbolik yang diungkap dari perspektif kaum beriman, dan pendekatan ilmiah etik yang melibatkan analisis historis menge- nai hubungan antara ide dan masyarakat sembari membatasi dari pelibatan klaim kebenaran emik tentang realitas meta-em- pirik (Feener, 2007: 264-282).

17

Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Memang ada kesulitan berkaitan dengan dua model kajian semacam itu, khususnya pada masa modern ketika diterapkan pada Studi Islam. Ada pertentangan antara pendekatan akademik yang mendorong peneliti dan pengkaji memosisikan diri seo- lah-olah sebagai “orang luar” (outsider) dan pendekatan konfen- sional yang hanya menerima perspektif “orang dalam” (insider); antara pengkaji Muslim dan pengkaji Barat. Suatu perdebatan yang sering kali menjadi hambatan dalam wacana publik ten- tang identitas dan politik kekuasaan. Mempertimbangkan reali- tas historis tersebut, pemikiran kembali tentang bidang sejarah intelektual Muslim harus dimulai dari pengakuan mengenai fakta bahwa lebih dari satu abad hingga kini, kita masih diha- dapkan dengan wacana pendekatan emik dan pendekatan etik tentang Islam, dan persoalan ini mengandung dinamika yang kompleks dan kreatif dalam pemikiran Islam. Barangkali con- toh yang paling menonjol dalam interaksi polemik intelektual antara sarjana Barat modern dan sarjana Muslim dapat dijumpai pada perdebatan di akhir abad ke-19 antara Jamal al-Din al-Af- ghani dan Ernst Renan tentang hubungan Islam dan sains dan kemajuan yang dipandang mencakup modernitas pada masa itu. Perdebatan ini memunculkan kontroversi yang berlanjut sepanjang abad ke-20 sebagaimana dikemukakan oleh karya- karya para pemikir seperti Muhammad Abduh, Ameer Ali, dan Sayyid Ahmad Khan, dan belakangan Sayyid Qutb, Abul A’la al- Maududi, Ismail Raji al-Faruqi dan lain-lain.

Seluruh dunia Muslim pada periode modern menyaksikan pengaruh yang kompleks dari kemajuan ilmiah Barat atas per- kembangan perdebatan di kalangan internal sarjana Muslim. Kita bisa melihat bagaimana pengaruh penemuan-penemuan orientalis modern terhadap karya Ibnu Khaldun atas ilmuwan

18 Zakiyuddin Baidhawy 18 Zakiyuddin Baidhawy

Dalam menilai perkembangan tersebut, tugas yang paling penting bukanlah menemukan bibliografi dengan judul-judul yang popular, namun lebih dari itu ialah melakukan evaluasi kritis terhadap karya-karya semacam itu yang sesuai dengan kebudayaan intelektual dan kebudayaan popular masyarakat Muslim modern.

Selama abad ke-20, karya-karya sarjana Barat tentang Islam mulai memperoleh tempat dan sebagai sumber rujukan dalam retorika para sarjana Muslim modern dari Afrika, Timur Te- ngah, dan Asia, yang telah melahirkan banyak pemikir Muslim modern, dari M. Iqbal hingga Agus Salim. Contoh-contoh se- rupa sangat berlimpah dalam berbagai literatur Arab modern dan bahasa-bahasa Muslim mayoritas, di mana kecenderungan mulai mengarah pada meningkatnya keterbukaan terhadap pe- ngaruh para pemikir Barat atas mereka yang melakukan kajian Islam dan masyarakat Muslim yang sedang berkembang. Penga- ruh pertama yang paling umum datang dari ilmu-ilmu sosial, seperti terlihat bagaimana pengaruh ilmu sosial modern atas

Pengertian dan Metodologi Studi Islam Pengertian dan Metodologi Studi Islam

Sedikit contoh dari Indonesia pada pertengahan abad ke-20 juga dapat disebutkan di sini. Dalam karyanya tentang sejarah sufi, Hamka memuji Louis Massignon sebagai pilar utama kaum orientalis dan mengutip secara positif karyanya tentang al-Hallaj, sekaligus teorinya tentang peran kaum sufi Irak abad ke-10 bagi perkembangan Islam di kepulauan Indonesia (Hamka, 1952: 116). Karya HAR. Gibb yang memberikan gambaran holistik tentang hakikat Islam menjadi dominan dalam ceramah- ceramah umum dan karya-karya M. Natsir yang dipublikasikan sepanjang pertengahan abad ke-20. Bahkan, pengaruh konsepsi tentang Islam yang asalnya berkembang di Barat pun terjadi pada pemahaman kaum fundamentalis modern tentang Islam sebagai sistem dan pandangan hidup menyeluruh, dan ini diakui lebih luas dalam berbagai analisis tentang masa depan intelektualisme Muslim modern.

Penting untuk dicatat, situasi ini bukan merupakan akibat dari perkembangan pada tingkat intelektual murni, melainkan lebih dari itu adalah situasi yang muncul dalam lingkungan historis tertentu di dalam konteks kolonialisme dan sistem kekuasaan dan pengetahuan yang tidak simetris antara Islam dan Barat–konteks yang sangat disadari dan menjadi sasaran kritik para pemikir Muslim modern-. Dengan kata lain, bagi para sejarawan, perkembangan modern semacam ini, baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, mesti dipertimbangkan

20 Zakiyuddin Baidhawy 20 Zakiyuddin Baidhawy

Pengertian dan Metodologi Studi Islam

22 Zakiyuddin Baidhawy

BAB 2 RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI ISLAM

A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya etiap kajian ilmiah menghendaki objek sebagai prasyarat

utama. Kejelasan objek memudahkan para pengkaji mem-

buat batasan akan ruang lingkup suatu studi. Studi Islam sebagai kajian ilmiah pada intinya adalah upaya mencari pemahaman mengenai hakikat agama, bukan sekadar fungsi agama. Hakikat agama itu terletak pada pengalaman keagamaan.

Joachim Wach (1958) menjelaskan beberapa kriteria menge- nai pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai Re- alitas Ultim (the Ultimate Reality). Realitas Ultim di sini artinya sesuatu yang “mengesankan dan menantang kita”. Pengalaman ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi tentang adanya kesadar- an, yakni pemahaman dan konsepsi; respon dipandang sebagai

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam

Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus. Karenanya, pengalaman keagamaan terdiri dari suatu hirarki tiga unsur, yaitu intelektual, afeksi, dan kesukarelaan.

Ketiga, pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam. Para tokoh pembawa agama sepanjang masa dan di manapun telah memberikan kesaksian tentang intensitas ini baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Dalam Islam misalnya, antusiasme yang bergairah terhadap Allah telah mem- bangkitkan spiritualitas Nabi Muhammad, dan para tokoh lainnya seperti Rabiah al-Adawiyah, al-Hallaj, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hanbal, al-Afghani, dan sebagainya.

Keempat, pengalaman keagamaan sejati selalu berujung pada tindakan. Ia melibatkan imperatif, sumber motivasi dan tindakan yang kuat. Praktik-praktik dan tindakan-tindakan kita dalam keseharian merupakan bukti nyata bahwa kita seorang yang beragama sejati.

Empat kriteria tersebut menggarisbawahi bahwa pengalam- an agama sejati merupakan pengalaman batin dari perjumpaan manusia dan pikiran manusia dengan Tuhan. Karena pengalam- an batiniah itu sifatnya personal dan unik, maka pengalaman keagamaan itu sendiri sulit untuk dijadikan sebagai objek lang-

24 Zakiyuddin Baidhawy 24 Zakiyuddin Baidhawy

Ekspresi dalam Pikiran Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah ung-

kapan intelektual orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan ini yang utama berbentuk mitos. Mitos adalah cara yang unik dan primitif untuk memahami realitas. Di dalam realitas mitos yang agung, konsepsi manusia tentang ketuhanan benar-benar dapat diartikulasikan. Simbol adalah cara atau wahana untuk mengar- tikulasikan konsepsi manusia tentang relitas Tuhan.

Ekspresi kedua dari pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah doktrin dan atau dogma. Doktrin atau ajaran berfungsi untuk: mengeksplikasi dan mengartikulasikan keimanan; meru- pakan aturan normatif bagi kehidupan dalam ibadah dan peng- hambaan; untuk mempertahankan keimanan dan mendefinisi- kan hubungannya dengan pengetahuan lain. Dalam pengertian ini, doktrin bersifat mengikat dan bermakna hanya bagi komu- nitas orang-orang yang mengimaninya, dan bukan orang lain.

Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan dapat juga dalam bentuk lain yang disampaikan secara oral maupun ter- tulis. Firman-firman suci, hadis-hadis, karya-karya tafsir agama, dan bentuk-bentuk lirik, epik, dan karya-karya lainnya, kredo ke- agamaan, dan kesaksian imani, juga merupakan ekspresi penga- laman keagamaan dalam bentuk pikiran. Pemikiran keagamaan yang utama meliputi teologi, kosmologi dan antropologi.

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam

Ekspresi dalam Tindakan Ekspresi pengalaman keagamaan dalam tindakan ialah tin-

dakan-tindakan keagamaan yang menjadi sarana bagi perjum- paan manusia dengan Tuhannya. Dua bentuk ekspresi tindakan yang utama ialah ketaatan dan penghambaan. Keduanya ber- hubungan erat. Realitas Maha Agung disembah dalam suatu tin- dakan pemujaan dan diabdikan untuk untuk merespons pang- gilan dan kewajiban untuk menyatu dengan Tuhan. Maka, dalam setiap tingkatan, ibadah itu selalu bermakna (menghamba ke- pada) Tuhan. Disibukkan dengan kemahasucian dan keagungan Tuhan, ibadah yang dilakukan oleh manusia adalah upaya un- tuk menetralisasi kekurangan hakikat keprofanannya.

Ibadah adalah tindakan tertinggi dari manusia dalam ke- hidupan ini. Ia merupakan respons atas Realitas Ultim. Ia juga merupakan pemujaan dan rasa syukur kemahaagungan dan ke- mahasucian Tuhan.

Jadi, Studi Islam mempunyai suatu wilayah kajian yang menyangkut seluruh tindakan ibadah dan penghambaan dalam Islam, yang terungkap dalam rukun Islam yang lima –syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji–, dan tindakan-tindakan lain yang menyertainya dalam kerangka pengabdian dan penghambaan kepada Allah.

Ekspresi dalam Jamaah Ekspresi pengalaman keagamaan dalam jamaah ialah pe-

ngelompokan-pengelompokan pemeluk agama dalam komuni- tas dan masyarakat keagamaan. Dalam dan melalui tindakan-tin- dakan keagamaan atau ibadah, kelompok keagamaan dibentuk. Tak ada satu pun agama di dunia ini yang tidak melibatkan jamaah keagamaan. Jamaah atau kelompok keagamaan meru- pakan kelanjutan dari upaya eksperimentasi dari kebenaran dan

26 Zakiyuddin Baidhawy 26 Zakiyuddin Baidhawy

Integrasi kelompok keagamaan telah menjadi subjek banyak studi dalam Sosiologi Agama. Salah satu subjek penting dalam kajian ini ialah struktur kelompok keagamaan. Struktur ini ditentukan oleh dua perangkat faktor, yaitu faktor keagamaan dan faktor di luar keagamaan. Anugerah-anugerah spiritual seperti penyehatan dan pengajaran adalah contoh-contoh faktor keagamaan; sementara umur, posisi sosial, etika dan latar belakang merupakan faktor non-keagamaan.

Ada empat faktor yang menentukan diferensiasi dalam ke- lompok atau komunitas keagamaan: Pertama, diferensiasi dalam fungsi. Meskipun di dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari beberapa anggota saja yang diikat dengan ikatan pengala- man keagamaan bersama, kita mesti dapat menemukan pem- bagian fungsi. Misalnya, anggota-anggota kelompok yang senior dan lebih berpengalaman biasanya akan menjadi pemimpin dalam ibadah atau pemujaan, sementara yang lebih muda ber- tugas mempersiapkan alat-alat atau benda-benda yang dibutuh- kan dalam ibadah qurban misalnya.

Kedua, diferensiasi atas dasar karisma. Dalam kelompok ke- agamaan yang paling egalitarian sekalipun, ada pengakuan ten- tang keragaman anugerah yang menjelaskan perbedaan dalam otoritas, prestise, dan posisi dalam komunitas. Max Weber mem- perluasnya menjadi karisma personal dan karisma resmi.

Ketiga, diferensiasi atas dasar pembagian secara alami menu- rut umur, jenis kelamin, dan keturunan. Orang tua dan orang

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam

B. Dimensi-dimensi Agama Islam adalah salah satu dari agama-agama yang hidup di du-

nia. Karena itu, untuk dapat mengkaji Islam sebagai bagian dari agama, para pengkaji perlu memahami dan memikirkan tentang agama. Ada beberapa esensi yang dapat dijumpai dalam keselu- ruhan agama-agama. Meskipun berbeda tradisi dan kebudayaan, sangat mungkin untuk menemukan beberapa dimensi-dimensi agama. Dari sini mereka dapat melihat dimensi-dimensi Islam yang dapat dijadikan objek studi ilmiah. Menurut Smart (1989), semua agama-agama yang hidup di dunia ini memiliki tujuh di- mensi sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut.

Dimensi Praktik dan Ritual Setiap tradisi agama-agama memiliki beberapa praktik ke-

agamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya, seperti ibadah yang teratur, berdoa, persembahan, dan seterusnya. Praktik- praktik ini biasa juga disebut sebagai ritual-ritual keagamaan. Dimensi praktik dan ritual ini khususnya dipandang penting dalam agama-agama yang memiliki praktik sakramen, seperti Kristen Ortodoks Timur yang telah mempunyai tradisi panjang yang dikenal sebagai liturgi. Tradisi biara Yahudi kuno terbiasa dengan praktik pengorbanan. Demikian pula ritual-ritual pe- ngorbanan dianggap penting dalam tradisi Hindu Brahmin.

Di sisi lain, ada pula pola-pola perilaku yang tidak dapat dipandang sebagai ritual dalam pengertian baku, namun ber-

28 Zakiyuddin Baidhawy 28 Zakiyuddin Baidhawy

Dalam konteks Islam, dimensi-dimensi praktik dan ritual ke- agamaan berupa rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Lima rukun menjadi kategori utama ri-tual Islam dan peristiwa-peristiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya dalam bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Adha/Qurban bera- kar dalam haji; Idul Fitri berperan sebagai penutup puasa Ra- madan. Salat khusus pada saat terjadi gerhana mata-hari atau bulan. Semuanya dilakukan secara teratur. Empat dari lima ru- kun mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengeks- presikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama syahadat yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang sempurna. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat yang kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Ka’bah di Mek- kah. Salat, puasa dan haji juga mempunyai waktu tertentu se- hingga Islam memiliki serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci (Denny dalam Martin, 1985).

Karena itu, Studi Islam dapat mempelajari dan mengkaji semua bentuk praktik dan ritual atau ibadah dalam Islam, baik ritual kenosis (pengosongan diri) seperti puasa Ramadan, mau- pun ritual plerosis (pengisian diri) seperti zakat, dan qurban.

Dimensi Pengalaman dan Emosional Kita tidak dapat mengabaikan barang sejenak pun dalam

mengkaji agama, termasuk Islam, untuk melihat dan memer- hatikan vitalitas puncak dan pengalaman penting dalam pem- bentukan tradisi-tradisi keagamaan. Sebagai contoh ialah visi-

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam

Rudolf Otto (1860-1937) melukiskan dengan tepat ten- tang dimensi ini dengan kata “numinous”, yang artinya spirit. Dari kata ini, ia menjelaskan suatu pengalaman, perasaan yang dibangkitkan oleh suatu misteri yang menggetarkan, menakut- kan, mendebarkan (mysterium tremendum), dan sekaligus misteri yang mempesona, menarik penghambaan (mysterium fascinans). Inilah yang dalam konteks Islam dapat dimengerti bahwa yang pertama merupakan manifestasi Allah sebagai al-Jalal, dan yang kedua sebagai al-Jamal. Ini semacam pengalaman mistik yang mudah dijumpai dalam semua agama tak terkecuali Islam.

Dimensi pengalaman dan emosi dari para pemeluk Islam mengenai Tuhan Allah, apakah kehadiran-Nya dirasakan oleh hamba-Nya sebagai Yang Maha Agung, atau sebagai Yang Maha Indah dan Mempesona, dapat menjadi bagian dari objek kajian ilmiah dari Studi Islam.

Dimensi Naratif dan Mitos Seringkali pengalaman disalurkan dan diungkapkan bukan

hanya melalui ritual bahkan juga narasi-narasi dan mitos suci. Dimensi ini disebut sebagai dimensi naratif dan mitos, semacam sisi kisah, cerita dalam agama-agama. Kisah, cerita adalah tipikal

30 Zakiyuddin Baidhawy 30 Zakiyuddin Baidhawy

Dalam Islam kita dapat menjumpai kisah-kisah tentang penciptaan alam semesta sebelum masa sejarah, penciptaan Adam dan Hawa dalam surga dan akhirnya terhempas ke muka bumi. Ini merupakan contoh kisah-kisah yang terjadi dalam waktu primordial yang misterius, tidak historis. Di sisi lain, terdapat kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa historis tentang kehidupan Nabi Muhammad, para sahabatnya, para pejuang Muslim, dan sebagainya. Yang tidak historis itulah yang disebut sebagai mitos; dan yang historis disebut sebagai narasi.

Studi Islam memiliki bahan yang sangat kaya dengan men- jadikan kisah-kisah yang naratif maupun mitos ini sebagai ob- jek kajiannya. Kajian tentang kisah-kisah bisa bersumber dari Al-Qur’an, hadis nabi, kitab-kitab sirah yang tertulis, maupun kisah-kisah yang hanya ditransmisi secara oral dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dimensi Doktrin dan Filosofis Tiang penyangga dimensi naratif adalah dimensi doktrin

atau ajaran. Dalam banyak peristiwa, ajaran-ajaran memainkan peran penting dalam keseluruhan agama-agama, sebagian kare- na cepat atau lambat keimanan harus beradaptasi dengan reali- tas sosial dan dengan fakta bahwa kebanyakan kepemimpinan

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam

Wajar terjadi dalam sejarah agama-agama kecenderungan mementingkan kitab suci dan doktrin. Ini tidak mengherankan karena banyak pengetahuan yang kita miliki tentang agama- agama terdahulu berasal dari dokumen-dokumen keagamaan yang dipelajari oleh kaum elite mereka.

Dalam konteks Islam, dimensi ajaran tentu saja sangat mudah ditemukan dalam dua sumber utama tertulisnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Di balik ajaran-ajaran itu para pemeluk Islam dan bahkan para pengkaji Islam pun dapat menemukan muatan-muatan filosofis dari agama/Islam. Dalam haji, kita jumpai ajaran tentang rukun, kewajiban dan larangan di dalam- nya. Ajaran tentang ihram (berpakaian putih-putih) selama melaksanakan haji atau umrah, secara filosofis mengandung pesan egalitarianisme, kesetaraan manusia di hadapan Allah. Tawaf penuh dengan muatan filosofis bahwa beribadah bukan semata menciptakan harmoni dengan Tuhan Allah di mana Ka’bah menjadi pusat, bahkan juga melukiskan harmoni dalam makrokosmos di mana selalu ada benda-benda yang menjadi satelit dan mengelilingi pusatnya.

Studi Islam dapat membuat salah satu fokus perhatiannya pada dimensi ajaran dan filosofis dari Islam itu sendiri. Kajian- kajian bisa menitikberatkan pada ajaran-ajaran di satu sisi, dan ada pula yang menekankan pada dimensi filosofis dalam Islam yang tak kurang-kurangnya terus digali oleh para mahasiswa, dosen, dan pembelajar lainnya.

Dimensi Etika dan Hukum Dimensi ajaran dan narasi berpengaruh pada nilai-nilai dari

suatu tradisi dengan cara membentuk pandangan dunia dan

32 Zakiyuddin Baidhawy 32 Zakiyuddin Baidhawy

Dalam konteks Islam, kita mengenal kehidupan yang di- pandu oleh sistem hukum yang disebut syariah. Dimensi ini membentuk masyarakat baik sebagai masyarakat keagamaan maupun masyarakat politik, sekaligus kehidupan moral indivi- dual –yang menjelaskan kewajiban beribadah salat lima waktu sehari semalam, memberi makan fakir miskin dan zakat, dan seterusnya–.

Tradisi yang lebih kurang terkait dengan masalah hukum ini adalah etika. Misalnya sikap etis dalam agama Kristen adalah cinta. Sumber cinta bukan hanya perintah Yesus kepada para pengikutnya untuk mencintai Tuhan dan para tetangganya, ia juga bersumber dari kisah tentang Yesus itu sendiri yang memberikan cintanya kepada umat manusia.

Studi Islam dapat mengkaji baik dimensi hukum maupun etika ini. Kajian-kajian mengenai hukum Islam tentu saja sangat kaya, karena kekayaan pemikiran hukum Islam merentang da- lam bentuk berbagai mazhab, seperti empat mazhab terkenal, yakni Syafii, Maliki, Hanbali dan Hanafi. Meskipun harus diakui bahwa kajian tentang etika Islam terbilang kurang berkembang pada masa modern dan kontemporer. Beberapa kajian etika Islam dapat disebut di sini adalah oleh Majid Khadduri (1984) dan

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam

Majid Fakhry (1991). Yang pertama mengkaji teologi keadilan, dan yang terakhir menstudi teori-teori etika dalam Islam.

Dimensi Sosial dan Institusional Dimensi-dimensi yang sudah dipaparkan di muka –ritual,

pengalaman, narasi, doktrin dan etika–, merupakan dimensi-di- mensi yang abstrak tanpa memiliki perwujudannya dalam ben- tuk eksternal. Dimensi sosial dan institusional bicara tentang manifestasi eksternal dari agama. Setiap gerakan keagamaan terbentuk dalam kelompok pemeluk yang seringkali diorganisir secara formal seperti gereja, sangha atau ummah. Untuk mema- hami agama kita perlu melihat bagaimana agama itu bekerja di kalangan pemeluknya. Inilah alasan mengapa diperlukan suatu alat untuk menyelidiki agama, yakni suatu disiplin yang dikenal sebagai sosiologi agama. Kadang-kadang, aspek sosial dari suatu pandangan dunia identik dengan masyarakat itu sendiri, yang dalam bentuk terkecil adalah suku misalnya. Di sana terdapat berbagai relasi antara agama-agama formal dan masyarakat luas: suatu keimanan mungkin menjadi agama resmi, atau ia hanya menjadi satu denominasi saja, atau mungkin bisa mengasing- kan diri dari kehidupan sosial seperti sekte.

Dalam Studi Islam, dimensi-dimensi sosial, seperti penge- lompokkan keagamaan Syiah dan Sunni, organisasi sosial- keagamaan ala Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, Persis, dan sebagainya, bisa menjadi bahan kajian yang menarik. Dalam ka- jian atas dimensi ini juga bisa diungkap bagaimana peran orang- orang karismatik, orang-orang suci seperti guru, wali, mursyid, dan mistikus sufi dalam memengaruhi dan mengendalikan an- tusiasme kehidupan jamaahnya.

34 Zakiyuddin Baidhawy

Dimensi Material Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang

bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan (masjid, pura, wihara, klenteng, sinagog), tempat-tempat suci, pekerjaan tangan atau seni keagamaan, dan kreasi-kreasi material lainnya. Simbol-simbol keagamaan seperti salib, bulan bintang, dan sebagainya, juga termasuk dimensi material.

Studi Islam dapat mengkaji aspek material dalam agama Is- lam. Ketika salat, kita menjumpai benda-benda yang dipergu- nakan dalam peribadatan ini, mulai dari sajadah, peci, muke- nah, tasbih, masjid, mimbar. Ketika salat, Muslim menghadap Ka’bah sebagai kiblat. Ketika haji, Muslim mengelilingi Ka’bah, mengusap hajar aswad, di dalamnya juga ada hijr Ismail, mas- jid haramain, makam nabi Muhammad dan Ibrahim, dan seba- gainya. Semua itu adalah dimensi kebendaan yang digunakan dalam peribadatan dan ritual-ritual lainnya. Benda-benda ke- agamaan yang dipandang suci bukan semata menjadi objek ka- jian ilmiah, bahkan seringkali menjadi objek ziarah atau wisata agama bagi para pemeluknya. Bahkan kita juga menjumpai satu benda keagamaan yang dianggap suci oleh beberapa pemeluk agama sekaligus, seperti Masjid al-Aqsa yang dianggap suci dan menjadi kiblat bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim.

C. Cara Beragama Agama pada hakikatnya adalah jalan menuju Tuhan. Cara-

cara yang ditempuh setiap pemeluk agama dalam pengembara- annya menuju Tuhan bisa berbeda-beda satu dengan yang lain, sesuai dengan pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya masing-masing. Setiap orang membutuhkan cara beragama (be-

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52