Simpulan Dari paparan di atas, tampak ada kaitan antara jalan Tuhan
D. Simpulan Dari paparan di atas, tampak ada kaitan antara jalan Tuhan
mengidentikkan diri dengan kemanusiaan (an-nas); hubungan antara jalan Tuhan dan jalan kemanusiaan; pilihan-Nya atas manusia tertindas dan marjinal dan pentingnya menegakkan keadilan (`adl dan qist) atas dasar tawhid dan takwa melalui jihad. Melibatkan diri dalam hermeneutika pembebasan Al- Qur’an dalam situasi ketidakadilan adalah melakukan teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat tertindas dan marjinal dalam perjuangan untuk pembebasan.
Jadi, hermeneutika pembebasan Al-Qur’an berbeda dari teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek: 1) perbedaan terpenting ada pada tempat penafsir; penafsir menentang pendekatan yang lebih religius atau akademik terhadap teologi. Artinya, Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai praksis solidaritas untuk pembebasan; bertentangan dengan teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal; dan teologi modern yang berada dalam dunia sekular. Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marjinal; 2) Teologi pembebasan hidup dala dunia kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik; dan
3) Kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis pembebasan yang lebih besar.[]
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
184 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 10
MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan
Hermeneutika
ergumulan otoritarianisme, otoritatif dan otoritas di dunia Islam, sebagaimana telah dipaparkan oleh Khaled Abou al-
Fadl dalam karyanya Speaking in the God’s Name, merupakan fakta sejarah yang tak terelakkan dan mungkin akan terus berjalan. Munculnya fatwa mutakhir dari MUI mengenai Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan dan pengharaman atas paham-paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme, adalah contoh betapa sebuah lembaga keagamaan “otoritatif” telah menjerumuskan diri dalam kubangan “otoritarianisme religius”. Disebut otoritarianisme karena MUI secara terbuka telah memasuki wilayah hak prerogatif Tuhan dan mencurinya atas nama kepentingan agama. Belum dibuka kesempatan dialog secara terbuka dengan berbagai elemen atau kelompok masyarakat Muslim yang menjadi sasaran fatwa tersebut.
MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
Fatwa MUI dan tertutupnya pintu dialog di kalangan internal Muslim, memperlihatkan ada upaya-upaya sistematis hegemoni tafsir tertentu tentang apa, siapa, dan bagaimana Islam. Perlu
disadari bahwa tafsir 1 bukanlah agama, ia produk akal pikiran sesuai dengan ruang dan waktu dan tingkat pemahaman intelektual manusia. Meskipun sumbernya adalah kitab suci dan sunnah, tafsir dapat salah, ia dapat berubah sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Oleh karena itu, tafsir menjadi asing jika horizon perbendaharaan kata dan rumusannya tak berdialektika dan bercermin pada perubahan pengalaman kognitif, kultural dan spiritual. Sebab temuan-temuan ilmiah yang bersifat empirik, sosial, maupun humaniora berpengaruh besar membentuk pengalaman keberagamaan manusia, karena keberagamaan bukan wilayah yang terpisah dari struktur dasar kehidupan. Jika semua itu diabaikan, pemikiran keagamaan hanya bersifat reaktif, bukan diskursif dan makin jauh dari kenyataan empirik (Dewey, 1960: 161-186).
Dengan demikian, kritik keagamaan sangat diperlukan jika diakui bahwa tidak ada lembaga keagamaan, tafsir, teologi atau kepercayaan yang tidak dapat salah. Tuntutan akan kebenaran final yang melekat pada institusi agama dan sistem tafsir yang sudah mapan, perlu dipersoalkan kembali agar manusia terhindar dari pemutlakan terhadap yang relatif. Karena itu gabungan serasi antara kesetiaan atas fundamental tafsir dan pemikiran kritis
1 Istilah tafsir dalam paper ini bukanlah tafsir Al-Qur’an dalam kategori cabang keilmuan Islam tradisional. Tafsir di sini lebih merujuk pada segala upaya pemahaman intelektual manusia terhadap sumber-sumber keilmuan, baik yang berasal dari realitas kawniyyah dan realitas qawliyyah atau gabungan antara keduanya, karena itu tafsir di sini dapat mencakup berbagai aspek keilmuan seperti teologi/kalam, fiqh-usul fiqh, tasawuf, filsafat, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora.
186 Zakiyuddin Baidhawy 186 Zakiyuddin Baidhawy
Dalam konteks dan kesempatan ini, penulis menimbang perlunya memaparkan sketsa mengenai jebakan foundasional dari logika modernisme yang mengurung penafsir pada satu titik kebenaran, benturan antara fondasionalisme dengan hermeneutika yang membuka peluang ragam tafsir atas realitas dan alternatif untuk mengatasi benturan di muka.