MODEL KAJIAN ILMU KALAM
BAB 6 MODEL KAJIAN ILMU KALAM
I diterjemahkan “diskusi” atau “argumen” atau “perdebatan”.
stilah kalam biasanya diterjemahkan sebagai “kata” atau “firman”, namun kata ini menjadi lebih layak maknanya jika
Mereka yang terlibat dalam diskusi atau perdebatan disebut sebagai mutakallimun (orang-orang yang mempraktikan kalam atau perdebatan). Istilah ini memiliki kedudukan khusus ketika para muhadisun melarang perdebatan semacam ini, karena kaum Muslim masa awal tidak pernah mengenal dan tak pernah terlibat dalam perdebatan tersebut. Mereka yang berpartisipasi dalam perdebatan semacam itu dikatakan berbicara tentang atau mendiskusikan topik-topik yang terlarang. Para penganjur kalam juga suka menyebutnya sebagai `ilm al-usul atau `ilm at-tawhid, dan dengan sebutan tersebut banyak topik terus diajarkan dan didiskusikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam hingga saat ini.
Model Kajian Ilmu Kalam
Kemunculan ilmu kalam adalah akibat dari banyak kon- troversi yang telah memecah belah komunitas Muslim pada masa-masa awal. Meskipun kemunculan Islam ditandai dengan polemik dengan kaum musyrik dan pengikut wahyu-wahyu ter- dahulu, kontroversi tentang persoalan-persoalan keagamaan fundamental tidak disukai oleh kaum Muslim awal, khususnya selama masa hidup Nabi. Namun, perselisihan, utamanya dalam masalah politik, pecah segera setelah wafatnya Nabi, dan diikuti dengan tragedi yang membawa pada pembunuhan khalifah Us- man pada tahun 656, masa di mana perpecahan dalam sistem politik terjadi setelah kematian Nabi.
Dalam suatu komunitas yang mendefinisikan dirinya ber- dasarkan identitas keagamaan, perselisihan politik pada akhir- nya tak terelakkan membawa kepada perselisihan teologis. Per- selisihan politik di kalangan mereka yang berkehendak untuk menjadi pemimpin komunitas terbagi ke dalam tiga kelompok: Khawarij yang menentang khalifah Ali; Murji’ah yang berusaha tetap netral; dan Syi’ah yang mendukung Ali. Kelompok-kelom- pok ini berusaha memengaruhi komunitas Muslim secara luas yang selama ini didominasi oleh mazhab-mazhab arus utama, utamanya kaum konservatif dan tradisionalis, yang dikenal den- gan sebutan ahl as-sunnah wa al-jamaah.
Istilah Khawarij berarti “pemberontak”, kali pertama meru- juk kepada sekelompok orang yang menentang kepemimpinan Ali yang diikuti dengan perang Siffin pada tahun 658 antara Ali dan para pengikutnya berhadapan dengan Muawiyah. Khawarij tidak memiliki kepemimpinan maupun doktrin sendiri, ia ha- nyalah merupakan kecenderungan politik militan dengan sikap yang tidak mudah kompromi. Inti pandangan mereka berkisar pada masalah kepemimpinan yang absah dan syarat-syarat ke-
120 Zakiyuddin Baidhawy 120 Zakiyuddin Baidhawy
Tidak seperti Khawarij, para pengikut Ali yang dikenal sebagai kelompok Syi’ah mempercayai akan otoritas ketuhanan yang tidak perlu diperdebatkan yang diwariskan kepada para imam. Posisi Ali sebagai imam dan penerus Nabi dikokohkan oleh wahyu dan bukan sekadar opini. Setiap imam akan menentukan penerusnya melalui otoritas ketuhanan yang ada dalam dirinya. Secara teori, Syi’ah mesti tidak melahirkan banyak spekulasi teologis, karena ia berupaya untuk mencapai dan mereproduksi otoritas Nabi dan menanamkannya dalam diri imam yang hidup, yang memiliki akses langsung pada kebenaran Tuhan. Secara praktik, Syi’ah terlibat dalam spekulasi teologis, khususnya dengan kemunculan doktrin imam yang tersembunyi, yang merujuk pada perlunya mencari kebenaran yang dibebankan kepada komunitas.
Dalam dua ekstrem ini, sejumlah besar pandangan tengah- tengah muncul, khususnya dari kelompok Murji’ah. Kelompok ini menolak untuk mengutuk para pelaku dosa besar (efemisme untuk perebut kekuasaan) sebagai orang tak beriman, namun ia juga tidak hendak mengampuni kesalahan mereka, berpan- dangan agar masalah ini dikembalikan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya kelak di hari akhir. Murji’ah juga berasosiasi dengan netralitas politik dan pendukung status quo.
Di samping tiga kelompok di muka yang berangkat dari persoalan politik pada awalnya, kemudian mereka mengambil
Model Kajian Ilmu Kalam
121
argumen-argumen teologis untuk mendukung posisi politik mereka, juga terdapat kelompok-kelompok yang memang fokus pada persoalan teologi. Kelompok pertama adalah Qadariyyah. Mazhab ini mendukung kebebasan mutlak kehendak manusia. Tuhan tidak mungkin memberikan beban kewajiban kepada manusia untuk bertindak yang benar jika manusia tidak me- miliki kekuasaan untuk memilih arah bagi tindakan mereka sendiri. Pandangan mereka berbeda dengan Jabariyyah. Jahm ibn Safwan (w. 746) sebagai juru bicara kelompok ini memandang bahwa tak ada sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada Tuhan melainkan Ia maha pencipta, berkuasa dan bertindak, karena sifat apa pun yang disandarkan kepada makhluk tidak cocok untuk disandarkan kepada Tuhan. Karena Tuhan adalah Pencipta dan Pelaku inti, tindakan-tindakan manusia juga telah diskenariokan oleh Pencipta sendiri. Karena itu, kita sebagai pribadi tidak memiliki kendali atas tindakan-tindakan kita dan tidak ada kehendak bebas. Jahm juga mengatakan bahwa karena Tuhan tidak dapat dipandang sebagai pembicara, Al-Qur’an tidak dapat dikatakan sebagai firman-Nya, kecuali dalam arti telah diciptakan oleh-Nya.
A. Kemunculan Ilmu Kalam Mazhab-mazhab terdahulu merupakan kelompok-kelom-
pok yang tidak memiliki bentuk, sangat cair baik dalam ke- anggotaan maupun ajaran. Dengan perkecualian Syi’ah, yang kemudian mengembangkan sejumlah sekte di dalamnya, kecen- derungan-kecenderungan ini muncul dalam kecenderungan-ke- cenderungan lainnya. Munculnya wacana teologi sistematis baru terjadi setelah kemunculan Mu`tazilah. Hubungan kalam de- ngan Mu`tazilah yang digambarkan sebagai rasionalis militan,
122 Zakiyuddin Baidhawy 122 Zakiyuddin Baidhawy
Elitisme Mu`tazilah dan pencarian mereka akan nalar bagi segala sesuatu, menurut asy-Syahrastani, telah mengalienasi ke- cenderungan-kecenderungan arus utama yang lebih konservatif. Kaum konservatif sering mempersoalkan wacana teologis yang dibela oleh Mu`tazilah tanpa mendalami terlebih dahulu mua- tannya, dan mereka sering menuduh mazhab ini sebagai bidah. Sikap ini diungkapkan secara jelas oleh Malik ibn Anas (w. 795) ketika ia diminta untuk menjelaskan bagaimana Tuhan dapat dikatakan “berdiri dengan dirinya sendiri” sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an. Berdiri dengan dirinya sendiri adalah sesuatu yang diketahui, asal muasalnya tidak diketahui, kewajiban kita adalah mempercayainya dan bertanya mengenainya adalah bi- dah. Berkaitan dengan keadilan Tuhan, para muhadisun me- nolak upaya Mu`tazilah mengedepankan konsep manusia dan konsep rasional tentang keadilan. Tidaklah bermakna berbicara tentang keadilan dalam konteks ini, karena Tuhan adalah pe- nguasa mutlak atas segala ciptaan-Nya, yang artinya apa pun yang Ia lakukan adalah keadilan.
Pertentangan antara dua aliran ini juga menyentuh masalah penciptaan Al-Qur’an yang muncul pada pertengahan pertama abad ke-9. Inkuisisi yang dilakukan oleh Mu`tazilah dengan bantuan dari penguasa pada masa itu Khalifah al-Ma’mun (813- 833) untuk memaksakan ajaran-ajarannya telah membahaya- kan bukan semata bagi Mu`tazilah sendiri bahkan juga disiplin ilmu kalam. Meskipun ilmu kalam kemudian dibangkitkan oleh ortodoksi yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari
Model Kajian Ilmu Kalam
B. Definisi dan Bahasan Ilmu Kalam Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang mengkaji ajaran-ajaran
dasar keimanan Islam (usuluddin). Ilmu ini mengidentifikasi ajaran-ajaran dasar dan berupaya membuktikan validitasnya dan menjawab setiap keraguan terhadapnya.
Dalam teks-teks tentang logika dan filsafat disebutkan bahwa setiap ilmu memiliki subjek khusus, dan bahwa berbagai ilmu dibedakan satu dari yang lain karena perbedaan subjeknya. Tidak ada yang salah jika kita membentuk suatu disiplin yang menyatukan subjek bahasan dan problem-problem yang dicakupnya baik secara arbitrer maupun konvensional, dalam arti ia mencakup subjek-subjek yang berbeda dan saling berhubungan, dan menjadi kesatuan karena memiliki tujuan dan capaian yang sama. Dalam ilmu-ilmu yang subjeknya memiliki kesatuan esensial, tidak ada kemungkinan terjadinya tumpang tindih. Namun, dalam ilmu-ilmu yang di dalamnya terdapat kesatuan konvensional berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dibahas, tidaklah salah jika ada tumpang tindih persoalan. Kesamaan problem antara filsafat dan kalam, psikologi dan kalam, atau sosiologi dan kalam, disebabkan oleh masalah ini.
Sebagian sarjana Muslim telah berusaha mendefinisikan dan mengambarkan garis besar subjek bahasan ilmu kalam, dan mereka mengungkapkan banyak pendapat. Titik lain mengapa disiplin ini disebut ilmu kalam dan kapan nama ini dimunculkan. Sebagian mereka mengatakan bahwa ilmu ini
124 Zakiyuddin Baidhawy 124 Zakiyuddin Baidhawy
C. Metodologi Ilmu Kalam
Kalam pada umumnya berkaitan dengan upaya untuk men- justifikasi kepercayaan keagamaan melalui akal, atau dengan mempergunakan akal guna menghasilkan kesimpulan dan aki- bat-akibat baru dari kepercayaan-kepercayaan tersebut. Doktrin- doktrin kalam meliputi tiga komponen besar: artikulasi tentang apa yang dipandang oleh suatu mazhab pemikiran sebagai ke- percayaan-kepercayaan fundamental; konstruksi kerangka spe- kulatif di mana kepercayaan-kepercayaan tersebut harus dipa- hami; dan upaya merasionalisasi pandangan-pandangan ini di dalam kerangka spekulatif yang diterima.
Model Kajian Ilmu Kalam
Berbagai mazhab kalam sepakat dengan para muhadisun dalam menerima otoritas teks sebagai basis untuk komponen pertama. Namun, mereka tidak sepakat tentang sejauh mana teks-teks ini mesti tunduk di bawah analisis rasional. Para muhadisun selalu menyangka bahwa rasio merujuk pada intelek yang dituduh melakukan bidah; mengapa pula seorang beriman hendak menggali persoalan-persoalan iman di hadapan pengadilan rasio manusia yang bisa salah dan terbatas itu? Kecurigaan para muhadisun terhadap pengaruh dari luar Islam di balik setiap ”bidah” yang dilakukan oleh kaum kalam telah direproduksi oleh para peneliti modern, yang berusaha mencari unsur asing bagi setiap gagasan yang dikemukakan dalam kalam (Haleem, 1996). Pengaruh non-Islam atas evolusi mazhab- mazhab kalam, meskipun tak dapat ditolak, mudah menjadi berlebih-lebihan. Banyak tema kalam masa awal, seperti status orang berdosa atau persoalan legitimasi politik, muncul dari konteks Islam sendiri.
Berkaitan dengan komponen kedua –kerangka spekulatif–, kelompok-kelompok kalam awal tidak menghasilkan sistem yang mapan. Kemunculan Mu`tazilah merupakan upaya awal untuk mengkonstruk sistem tersebut berdasarkan pada lima prinsip (keesaan Tuhan, keadilan Tuhan, peringatan Tuhan, manzilah bayn manzilatayn, dan amar ma`ruf nahy munkar). Mu`tazilah juga membawa pengaruh keyakinan penuh pada rasio manusia dan akibatnya kurang merujuk pada otoritas teks yang sering mereka tentang.
Komponen ketiga –rasionalisasi atau keselarasan pandang- an dengan kerangka spekulatif–, juga memperoleh tampat de- ngan munculnya Mu`tazilah yang mencoba mensistematisasi kerangka kepercayaan keagamaan dan mengharmonikan kom-
126 Zakiyuddin Baidhawy 126 Zakiyuddin Baidhawy
Pengenalan tema-tema dan metode-metode filsafati serta penggunaan logika formal dalam tradisi Aristotelian menyajikan perkembangan signifikan dalam kalam. Sebelum itu, argumen- argumen kalam mempergunakan analisis teks dan linguistik sebagai alat utama. Meskipun ada pengaruh spekulasi filsafati dan penggunaan logika Aristotelian, kalam tetap kokoh bersandar dalam kerangka Islam khususnya. Teks-teks otoritatif secara rutin dikutip untuk memperkuat argumen, sementara tuduhan bidah dipandang sebagai cara menolak argumen apa pun (Watt, 1962).
Meski tanpa bantuan filsafat, Asy’ariyah memperkenalkan dalam kalam skeptisisme yang tajam sehingga berdampak pada bidang argumen rasional. Skeptisisme ini diperkenalkan secara panjang lebar oleh al-Ghazali (1985) yang menggunakannya untuk menggusur Neoplatonisme dari para filosof yang telah dipengaruhi Hellenisme. Pendekatan ini berpotensi memberi- kan kontribusi jauh lebih banyak pada kemajuan pengetahuan daripada replikasi dogmatis dari tesis-tesis filsafati, sayangnya potensi ini tidak terwujud karena para praktisi kalam lebih ber-
Model Kajian Ilmu Kalam
D. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam Kaum Muslim berbeda-beda dalam masalah hukum atau
fikih, mengikuti berbagai mazhab dan terbagi ke dalam berbagai kelompok, seperti Ja’fari, Zaydi, Hanafi, Shafi’i, Maliki and Hanbali, yang masing-masing memiliki fikih sendiri-sendiri. Hal yang sama terjadi dalam masalah ajaran. Mereka terbagi- bagi ke dalam berbagai mazhab, dan masing-masing memiliki seperangkat ajarannya sendiri. Mazhab-mazhab terpenting di antaranya adalah Syi’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Murji’ah.
Sangat mungkin muncul pertanyaan tentang alasan-alasan di balik terpecahnya kaum Muslim ke dalam berbagai mazhab ini berkaitan dengan masalah kalam dan fikih, dan mengapa mereka tidak dapat mempertahankan kesatuan mereka. Perbedaan dalam masalah kalam menyebabkan keterpecahan dalam masalah ajaran Islam dan ketidaksepakatan dalam fikih membuat mereka terpecah dalam aksi mereka. Dua pertanyaan ini dapat dibenarkan. Karena itu kita perlu memberika perhatian kepada dua hal berikut ini.
Pertama, ketidaksepakatan dalam persoalan-persoalan fikih di kalangan Muslim tidak begitu merusak fondasi kesatuan pandangan doktrinal dan praktik keagamaan. Ada kesamaan dalam persoalan doktrin dan praktik sehingga perbedaan dapat dihadapi dan tidak membawa persoalan serius.
Kedua, perbedaan teoretis dan divergensi pandangan tidak terelakkan dalam kehidupan masyarakat Muslim meskipun mereka dapat bersatu dan sepakat dalam hal-hal prinsip, dan
128 Zakiyuddin Baidhawy 128 Zakiyuddin Baidhawy
Menurut keyakinan Syi’ah, orang diwajibkan untuk meniru mujtahid yang hidup, dan mujtahidun diwajibkan untuk secara independen memikirkan tentang persoalan-persoalan dan membentuk pandangan bebas mereka dan tidak bertentangan dengan apa yang telah ditangani oleh para pendahulu mereka. Ijtihad dan pemikiran bebas secara inheren membawa perbedaan pandangan; namun perbedaan pandangan ini membuat hidup dan dinamis fikih Syi’ah. Karena itu, perbedaan di dalam dirinya sendiri tidak perlu dicaci. Apa yang harus dikutuk adalah perbedaan yang berasal dari niat jahat dan kepentingan sendiri, seperti soal imamah dan kepemimpinan, bukan perbedaan dalam masalah-masalah sekunder.
Sebelum kita membicarakan tentang mazhab-mazhab ka- lam, penting ditunjukkan bahwa ada sekelompok sarjana di dunia Islam yang secara mendasar menentang setiap gagasan dalam ilmu kalam dan perdebatan rasional tentang ajaran-ajaran Islam, memandangnya sebagai tabu dan bidah bagi keimanan. Mereka dikenal sebagai ahl al-hadis. Ahmad ibn Hanbal, salah seorang imam fikih dalam ahl-as-sunnah, adalah salah satunya dari mereka.
Hanbali secara total menolak kalam, Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, apalagi bicara tentang kalam Syi’ah. Pada faktanya
Model Kajian Ilmu Kalam
Mazhab-mazhab kalam yang penting seperti disebut di muka adalah Syi’ah, Mu`tazilah, Asy’ariyah, dan Murji’ah. Beberapa sekte Khawarij dan Batiniyyah, seperti Ismailiyyah, juga dipandang sebagai mazhab kalam Islam. Namun, dua mazhab terakhir tidak dapat dianggap sebagai mazhab kalam. Khawarij, meskipun mazhab ini memiliki kepercayaan-kepercayaan spe- sifik dalam masalah doktrin, dan barangkali merupakan yang pertama memunculkan problem doktrin dengan mengemuka- kan kepercayaan-kepercayaan tertentu tentang imamah, kufr, fasiq, dan memandang orang tidak beriman sebagai murtad, namun mereka tidak menciptakan mazhab rasionalis di dunia Islam, dan pemikiran mereka banyak menyimpang dari padangan Syi’ah maupun Sunni. Batiniyyah terlalu liberal dalam bicara tentang ide-ide Islam berdasarkan esoterisme sehingga sangat mungkin mereka dituduh telah membuat Islam keluar dari bentuknya dan inilah mengapa dunia Islam tidak siap menerimanya sebagai bagian dari mazhab Islam.
Sekitar 40 tahun yang lalu ketika Dar at-Taqrib Bayna al- Mazahib al-’Islamiyyah didirikan di Kairo, mazhab Syi’ah Imamiyyah, Zaydiyyah, Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali, masing-masing mereka memiliki wakil di dalamnya. Ismailiy- yah berusaha keras untuk mengirim wakil mereka; namun
130 Zakiyuddin Baidhawy 130 Zakiyuddin Baidhawy
E. Metodologi Kalam Syi’ah
Jarang kajian Studi Islam menyentuh masalah perkembangan aliran kalam dalam Syi’ah. Kalam dalam pengertian argument rasional dan logis tentang doktrin-doktrin pokok Islam, memiliki tempat khusus dan unik dalam tradisi Syi’ah. Kalam Syi’ah di satu sisi muncul dari inti hadis-hadis Syi’ah, dan di sisi lain bercampur dengan filsafat Syi’ah. Sekarang kita menyaksikan pada abad-abad awal bagaimana kalam dipandang bertentangan dengan sunnah dan hadis oleh Ahl as-Sunnah. Namun, kalam Syi’ah bukan semata konflik dengan sunnah dan hadis, ia juga berakar kuat dalam sunnah dan hadis. Alasan adalah hadis-hadis Syi’ah, yang bertentangan dengan korpus hadis menurut Ahl al- Sunnah, terdiri dari sejumlah tradisi di mana problem-problem metafisika dan sosial dibahas secara logika dan dianalisis secara rasional. Namun, dalam korpus Sunni, perlakuan analisis
Model Kajian Ilmu Kalam
Karena itu, kalam dalam pengertian perlakuan rasional dan analitik terhadap berbagai problem, telah dijumpai dalam hadis-hadis Syi’ah. Inilah mengapa Syi’ah tidak terbagi menjadi dua kelompok sebagaimana terjadi dalam Sunni –antara Ahl al- Hadis dan Ahl al-Kalam.
Atas dasar sumber-sumber teks Sunni sebagaimana dikemu- kakan di atas, nyata bahwa isu doktrin pertama yang muncul adalah kontroversi mengenai kafir atau fasiq, yang telah dibawa oleh kelompok Khawarij selama pertengahan pertama abad per- tama. Kemudian muncul problem kebebasan dan takdir, yang dimunculkan dan dibahas oleh Ma’bad al-Juhani and Ghaylan ad-Dimashqi. Kepercayaan mereka bertentangan dengan keya- kinan para penguasa Umayyah. Selanjutnya, selama pertengah- an pertama abad kedua, paham tentang kesatuan Sifat-sifat dan Hakikat Tuhan dikemukakan oleh Jahm ibn Safwan. Wasil ibn ‘Ata’ dan ‘Amr ibn ‘Ubayd, pendiri Mu’tazilah, mengadopsi keya- kinan mengenai kehendak bebas dari Ma’bad dan Ghaylan dan ajaran kesatuan Hakikat dan Sifat Tuhan dari Jahm ibn Safwan, dan mereka berdua mengemukakan ajaran baru tentang man- zilah bayna al-manzilatayn dalam masalah keimanan atau ke-
132 Zakiyuddin Baidhawy 132 Zakiyuddin Baidhawy
Demikianlah cara kaum orientalis dan sarjana Studi Islam di Barat dan Timur menjelaskan dan menafsirkan asal-usul spekulasi dan perdebatan rasional di dunia Islam. Kelompok ini secara sengaja atau tidak telah mengabaikan argumen rasional dan demonstratif yang pernah dikemukakan kali pertama oleh Amir al-Muminin ‘Ali. Kebenaran yang merupakan pendekatan rasional dalam ajaran-ajaran Islam kali pertama diprakarsai oleh Ali bin Abi Thalib dalam ceramah-ceramah dan diskusinya. Dialah yang pertama mempelopori pembahasan secara men- dalam tentang Hakikat dan Sifat Tuhan, kebaruan (hudus) dan keabadian (qidam), kesederhanaan (basatah) dan susunan (tarkib), kesatuan (wahdah) and keragaman (kathrah), dst. Semua ini tercatat dalam Nahj al-Balaghah dan teks-teks otentik hadis- hadis Syi’ah. Pembahasan ini memiliki warna dan semangat yang berbeda sama sekali dari pendekatan Mu`tazilah dan Asy’ariyah terhadap kalam, atau dari para sarjana Syi’ah yang dipengaruhi oleh kalam pada zamannya.
Para sejarawan Sunni menyaksikan bahwa sejak masa-masa awal pemikiran Syi’ah telah mempergunakan pendekatan filsa- fat. Pendekatan intelektual dan teoretis Syi’ah tidak hanya ber- tentangan dengan pemikiran Hanbali yang secara fundamental menolah gagasan tentang penggunaan nalar diskursif dalam kepercayaan agama, dan pendekatan Asy’ariyah yang menolak kebebasan rasio dan mensubordinasi akal di bawal pendekatan harfiah, bahkan juga bertentangan dengan pemikiran Mu`tazilah dengan seluruh preferensinya atas rasio. Karena, meskipun pe- mikiran Mu`tazilah itu rasional, namun pemikiran mereka lebih
Model Kajian Ilmu Kalam
Dalam Filsafat Islam, kita dapat membedakan antara filsafat peripatetik (hikmat al-masysya’) dan filsafat illuminasionis (hik- mat al-’ishraq), perbedaan antara pendekatan kalam dialektik (Mu’tazilah dan Asy’ariyah) dan pendekatan mistik atau intuitif terhadap isu-isu filsafat. Inilah mengapa mayoritas filosof Islam adalah Syi’ah. Syi’ah telah memelihara dan menjaga filsafat Is- lam agar tetap hidup, karena mereka lekat dengan semangat dari para imam mereka Ali.
Para filosof Syi’ah, tanpa hendak memasukkan filsafat dalam kalam dan tanpa mentransformasi filsafat rasional dalam filosofisasi dialektik, telah mengkonsolidasi basis ajaran Islam di bawah ilham dari wahyu Al-Qur’an dan prinsip-prinsip utama dari para pemimpin mereka. Jika kita hendak mendaftar para mutakallimun Syi’ah yang telah menerapkan pemikiran rasional pada doktrin tentang keimanan, maka kita dapat mengelompokkannya ke dalam kelompok muhadisun sekaligus kelompok filosof Syi’ah di kalangan mereka. Karena baik hadis Syi’ah maupun filsafat Syi’ah keduanya menjalankan fungsi dari ilmu kalam yang lebih luas daripada kalam itu sendiri.
Jika kita meninggalkan ucapan-ucapan Imam Ali mengenai berbagai ajaran yang disampaikan dalam bentuk ceramah, cerita, atau doa, maka penulis Syi’ah pertama yang mengumpulkan doktrin-doktrin imam adalah Ali bin Ismail bin Mitham at- Tammar. Mitham at-Tammar sendiri adalah seorang orator, ahli debat, dan salah satu sahabat terdekat Ali bin Abi Thalib. ‘Ali ibn Isma’il adalah cucunya. Ia hidup sezaman dengan ‘Amr ibn ‘Ubayd dan Abu al-Hudhayl al-’Allaf, tokoh-tokoh terkemuka
134 Zakiyuddin Baidhawy 134 Zakiyuddin Baidhawy
Di kalangan sahabat Ali bin Abi Thalib, ada sekelompok in- dividu yang disebut sebagai mutakallim oleh Ali sendiri, seperti Hisyam ibn al-Hakam, Hisyam ibn Salim, Humran ibn A’yan, Abu Ja’far al-’Ahwal, Qays ibn Masar, dll. Al-Kafi menghubung- kan suatu kisah tentang perdebatan antara kelompok ini dengan penentangnya tentang kehadiran Imam Ali. Kelompok ini hidup selama pertengahan pertama abad kedua dan dididik dalam ma- zhab Imam Ali. Ini menunjukkan bahwa para imam ahl al-bayt bukan hanya terlibat langsung dalam diskusi dan analisis ten- tang masalah-masalah kalam, mereka juga mendidik murid-mu- rid untuk menjadi ahli debat dan berargumen. Di kalangan me- reka, Hisyam ibn al-Hakam mengkhususkan diri dalam bidang ‘ilm al-kalam, bukan tafsir, fikih atau hadis. Ali sendiri memper- lakukannya dengan rasa hormat lebih dari yang lain meskipun ia masih muda saat itu dan sering mempersilahkan dia untuk duduk.
Dengan sikap Ali yang lebih memilih Hisyam sebagai mutakallim daripada murid-muridnya yang lain yang ahli hadis dan fikih, Ali bin Abi Thalib sesungguhnya hendak me- nunjukkan status kalam sebagai bertentangan dengan hadis dan fikih. Jelas, sikap Ali ini memainkan peran menentukan dalam mempromosikan ilmu kalam dan akibatnya mewarnai pemikiran Syi’ah dengan karakter dialektik dan filosofik. Sayangnya, kaum orientalis lebih banyak membisu tentang semua peristiwa tersebut yang menggambarkan tentang upaya Ali dan mengabaikan perannya dalam kebangkitan pencarian rasio dalam persoalan-persoalan ajaran agama.
Model Kajian Ilmu Kalam
Keluarga Nawbakht telah menghasilkan banyak pribadi terkemuka yang kebanyakan adalah mutakllimun. Fadl ibn Abi Sahl ibn an-Nawbakht sangat dekat dengan perpustakaan Bayt al-Hikmah dan terkenal sebagai penerjemah dari bahasa Persia ke Arab. Ishaq ibn Abi Sahl ibn an-Nawbakht, putranya Isma’il ibn Ishaq ibn Sahl ibn an-Nawbakht, putranya yang lain ‘Ali ibn Ishaq, cucunya Abu Sahl Isma’il ibn ‘Ali ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn an-Nawbakht, yang dikenal sebagai “shaykh al-mutakallimin” Syi’ah, Hasan ibn Musa al-Nawbakht keponakan Isma’il ibn ‘Ali, dan beberapa anggota keluarga lainnya, semuanya adalah para mutaklallimun.
Ibn Qubbah al-Razi pada abad ke-9 dan Abu ‘Ali ibn Miskawayh, doktor bidang kesehatan yang sangat terkenal dan penulis Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, juga merupakan se- orang mutakallim Syi’ah. Mutakkalimun Syi’ah cukup banyak. Khwajah Nasir ad-Din at-Tusi, seorang filosof terkenal, ahli matematika dan penulis Tajrid al-’I’tiqad, dan al-’Allamah al- Hilli, seorang fakih dan pensyarah terkenal karya Tajrid al-’I’tiqad, adalah seorang mutakallim pada abad ke-13.
Khwajah Nasir ad-Din at-Tusi sendiri merupakan filosof ternama yang telah menciptakan karya kalam yang sangat kokoh berjudul Tajrid al-’I’tiqad. Sejak karya kompilasi ini, Tajrid menarik perhatian semua mutakallimun baik Syi’ah maupun Sunni. Al-Tusi dalam banyak hal telah membawa kalam keluar dari labirin dialektik dan membuatnya lebih dekat dengan filsafat rasional. Selama masa-masa berikutnya, kalam hampir benar-benar kehilangan bentuk dialektiknya. Semua pemikir menjadi pengikut filsafat rasional/diskursif, dan meninggalkan filsafat dialektik.
136 Zakiyuddin Baidhawy
Para filosofi Syi’ah setelah al-Tusi membawa problem- problem esensial kalam ke dalam filsafat, dan menerapkan metode pencarian untuk studi dan analisis atas problem- problem tersebut dengan keberhasilan yang lebih besar daripada yang pernah dicapai oleh mutakkalimun yang menggunakan metode lain. Misalnya, Mulla Sadra dan Mulla Hadi Sabzawari, meskipun mereka biasanya tidak dikenal sebagai mutakallimun, namun mereka jauh lebih berpengaruh dalam pemikiran Islam daripada mutakallimun mana pun.
Jelas bahwa jika kita membandingkan pendekatan mereka terhadap teks-teks Islam, seperti Al-Qur’an, Nahj al-Balaghah, dan doa-doa serta tradisi yang ditransformasi dari Ahl al-Bayt, kita akan menemukan pendekatan dan gaya bernalar yang lebih dekat dengan para guru iman yang asli.[]
Model Kajian Ilmu Kalam
138 Zakiyuddin Baidhawy