Hak Remaja Perempuan Untuk Menentukan Diri Sendiri

D. Hak Remaja Perempuan Untuk Menentukan Diri Sendiri

1. Remaja dan upaya abortus Masyarakat Indonesia, sekarang merupakan masyarakat yang sedang berubah. Hal ini disebabkan karena mereka terpapar oleh berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, informasi umum dari media massa atau internet. Dalam masyarakat yang sedang berubah, ternyata tidak semua unsur akan mengalami perubahan cepat. Pada satu kelompok mungkin akan mengalami perubahan yang cepat dan signifikan, sebaliknya pada kelompok lain mungkin tidak. Apabila ditinjau dari segi sosial, maka perubahan sosial bisanya tidak secepat perubahan ekonomi, bahkan kadang tidak merata.

Untuk remaja yang hamil, pelayanan yang aman mungkin tidak akan diperoleh atau bahkan tidak diberikan, karena kebijakan pemerintah tidak mendukung hal tersebut. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan remaja tersebut mencoba menggugurkan kandungannya dengan cara mencari pertolongan ke tenaga yang tidak ahli atau tenaga non medis, atau bahkan dilakukan sendiri dengan memakai obat-obatan moderen atau tradisional.

Dengan alasan biaya atau hal lainnya, seorang perempuan remaja mungkin akan menunda aborsi hingga lewat trimester pertama, yang berarti prosedur aborsi akan menjadi lebih rumit dan berisiko. Perempuan remaja dengan komplikasi akibat aborsi mungkin terlambat mendapat pertolongan, sehingga memperburuk keadaan mereka. Dalam hal ini tentunya apabila mereka mendapat akses yang lebih besar terhadap pelayanan keluarga berencana, maka diharapkan akan dapat menurunkan jumlah kehamilan yang tidak diinginkan dan tindakan aborsi yang tidak aman (unsafe abortion). Unsafe abortion atau abortus tidak aman adalah tindakan pengguguran yang dilakukan oleh orang yang tidak terlatih / kompeten sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan t membahayakan. Unsafe abortion terjadi karena pengetahuan yang kurang, kurangnya fasilitas, biayanya yang tinggi, terlambat ditangani dan dirujuk, adanya sikap yang masa bodoh, atau tidak menggunakan kontrasepsi pada saat setelah keguguran.

Persoalan abortus adalah persoalan yang serius. Data yang dilaporkan

77 Sadik pada tahun 1997 78 dan WHO tahun 1998 , memperlihatkan pertahunnya

77 Sadik. State of the World Population. UNFPA : 1997.

78 WHO. Abortion : A tabulation of available data on the frequency and mortality of unsafe abortion, 3 rd

ed, 1998.

diseluruh dunia terdapat sekitar 180 - 200 juta kehamilan dengan 75 juta diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan dan 50 juta digugurkan secara induksi (dibuat). Dari jumlah tersebut, 20 juta diantaranya mendapatkan

pelayanan aborsi yang tidak aman. Laporan lain memperlihatkan bahwa setiap tahunnya, didunia terdapat sekitar 2 juta aborsi yang tidak aman dari kehamilan yang tidak diinginkan. Data dari Afrika,Asia dan Amerika Latin, memperlihatkan bahwa terdapat tiga dari lima wanita berusia dibawah 30 tahun yang dirawat karena komplikasi aborsi. Komplikasi dari tindakan aborsi yang tidak aman tersebut adalah infeksi,perdarahan,terlukanya organ reproduksi, perforasi intestinal

(bocor usus), reaksi toksik akibat obat atau substansi yang digunakan untuk merangsang abortus.Komplikasi yang terjadi bahkan dapat mengakibatkan infertilitas (kemandulan) atau bahkan kematian. Di Indonesia, laporan dari Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes tahun 1995, memperlihatkan bahwa

komplikasi abortus menyumbang sekitar 11,1 % terhadap kematian ibu. 79 Dalam mengatasi masalah tersebut serta dilakukannya upaya pengaturan

perilaku reproduksi dan perilaku seksual secara nasional, memang akan sulit, karena ada suatu situasi yang dilematis, yaitu antara keinginan mempertahankan tata nilai lama,dan keinginan untuk membuat aturan yang dapat mengantisipasi masa depan. Terjadi silang pendapat dan perdebatan tentang pemberian pelayanan aborsi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy).Silang pendapat ini terjadi antara kelompok yang berpendapat bahwa pemberian pelayanan abortus merupakan penyimpangan dari tata nilai yang ada, dengan kelompok yang mempunyai keyakinan bahwa aborsi merupakan hak reproduksi seorang perempuan yang diakui memiliki hak atas tubuhnya sendiri.

79 Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan, 1995.

Di Indonesia, hak memiliki atas tubuh sendiri dan hak reproduksi walau memang diakui, tetapi tetap saja pelayanan aborsi tanpa indikasi medis, tidak diperbolehkan atau dilarang oleh undang-undang (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 dan KUHP). Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992, pasal 15 , ayat (1), (2) dan (3) menentukan bahwa pengguguran dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat, dengan indikasi medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan yg mempunyai keahlian dan kewenangan, adanya pertimbangan tim ahli, serta

disetujui ibu hamil / suami / keluarga 80 . Melakukan pengguguran diluar pasal diatas diancam pidana aling lama lima belas (15) tahun dan denda paling

banyak lima ratus (500) juta. Dalam KUHP 81 pasal 346 tercantum bahwa seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya

atau menyuruh orang lain melakukannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Lalu pada pasal 347, ditegaskan apabila pengguguran itu disengaja dan dilakukan tanpa persetujuan perempuan tersebut, maka diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun, dan apabila perempuan tersebut meninggal ancaman pidana penjaranya menjadi lima belas tahun. Kemudian apabila pengguguran itu disetujui yang bersangkutan, maka pasal 348 KUHP mengancam pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, dan kalau sampai perempuan tersebut meninggal, diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Kalau seorang dokter,bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan seperti apa yang tercantum dalam pasal 346, pasal 347 dan pasal 348, maka KUHP pasal 349 mengancam penambahan pidana penjara sepertiga dari

80

Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

81 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

ancaman pidana yang ditentukan, serta dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu diklakukan. Jadi jelas sekali, bahwa ancaman pidana penjara dan denda administrasi kalau melakukan pengguguran dengan sengaja, tanpa indikasi medis adalah sangat berat. Tampak bahwa tindakan pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang, karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan, kecuali atas indikasi medis. Dalam undang-undang ditentukan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan jiwa Ibu dan atau janin yang dikandungnya, dibenarkan untuk melakukan pengguguran. Dalam hal ini berarti ada indikasi medis, karena pada saat itu memang berada dalam suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab bila tidak, maka ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut.

Dari undang-undang tersebut juga tampak bahwa yang dapat memberikan pertolongan tersebut harus memenuhi kriteria tertentu. Tenaga Kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu tersebut adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya yaitu seorang Dokter Ahli Kebidanan dan penyakit Kandungan. Walaupun demikian,dalam pelaksanaannya juga tidak mudah, karena sebelum melakukan tindakan medis tertentu tersebut, tenaga medis yang akan memberikan pelayanan abortus harus meminta pertimbangan tim ahli terlebih dahulu, yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti medis, agama, hukum dan psikolog.

Dari ketetapan yang tercantum dalam undang-undang nomor 23 tentang kesehatan, tampak betul bahwa ketetapan tentang abortus yang tercantum dalam undang-undang tersebut tidak mau melihat aborsi sebagai suatu masalah kesehatan reproduksi perempuan yang dapat berdampak kepada kesehatan Dari ketetapan yang tercantum dalam undang-undang nomor 23 tentang kesehatan, tampak betul bahwa ketetapan tentang abortus yang tercantum dalam undang-undang tersebut tidak mau melihat aborsi sebagai suatu masalah kesehatan reproduksi perempuan yang dapat berdampak kepada kesehatan

2. Remaja dan Upaya Pencegahan Penyakit Menular Seksual Kebiasaan (perilaku hidup) kelompok remaja atau dewasa muda sangat menentukan berisiko tidaknya terkena penyakit menular seksual (PMS). Sekalipun aktivitas seksual pada usia muda dilakukan untuk mencegah kehamilan, tetapi masih tetap berisiko terpapar PMS bila tidak menggunakan kondom secara benar dan konsisten. Kebanyakan remaja hanya mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang PMS dan gejalanya. Banyak kaum remaja yang tidak mencari pengobatan, atau bahkan pada awalnya mereka berusaha mengobati sendiri, baru kemudian meminta pertolongan ke klinik setelah gagal.

Risiko untuk terkena PMS akan lebih besar pada orang yang mempunyai pasangan (partner) seksual lebih dari satu atau bila pasangan mereka memiliki rekan aktivitas seksual lebih dari satu. Orang-orang yang memulai aktivitas seksual pada usia lebih muda, umumnya akan meningkatkan kecenderungan untuk mempunyai partner lebih dari satu, sehingga akan meningkatkan pula kemungkinan terkena PMS. Di beberapa negara, kaum remaja atau kelompok muda usia termasuk kedalam kelompok risiko tinggi karena masalah ekonomi atau bercerainya orang tua sehingga mereka bekerja dibisnis seksual. Beberapa orang lainnya masuk kedalam kelompok karena terpaksa melakukan hubungan seksual. Tidak jarang pula, perempuan muda akan memilih laki-laki yang lebih tua karena mereka percaya bahwa laki-laki tua bebas dari PMS.

Penyakit menular seksual dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu kelompok yang dapat diobati dan kelompok yang tidak dapat diobati. Sebagian Penyakit menular seksual dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu kelompok yang dapat diobati dan kelompok yang tidak dapat diobati. Sebagian

Kejadian yang lebih tragis sebenarnya adalah PMS dengan penyebab

virus, khususnya HIV yang berakhir dengan AIDS yang hampir selalu menyebabkan kematian. Secara umum, pada sebagian kaum muda yang saat ini terpapar dan terinfeksi dengan HIV adalah kelompok usia kurang dari 25 tahun. Kejadian AIDS

meningkat dengan cepat pada wanita muda. Seseorang yang terkena infeksi PMS yang tidak dapat disembuhkan, dapat berakibat serius terhadap fisik dan mental seseorang. Kejadian infeksi HIV/AIDS pada kaum muda dapat membahayakan masyarakat luas, melemahkan kinerja pekerjaannya, dan bisa menyebabkan berkurangnya sumber daya manusia (SDM) yang baik, yang mungkin saja sebenarnya orang tersebut akan menjadi pemimpin di masa mendatang.

Penelitian yang dilakukan oleh Arie Maineny dkk 82 terhadap 300 responden pelajar kelas I, II, III dari Sekolah Menengah Umum Negeri I tentang

pengetahuan mereka dalam penyakit menular seksual, memperlihatkan bahwa pelajar berumur kurang dari 15 tahun mempunyai pengetahuan yang kurang dan

Arie Maineny, Wawang S Sukarya, Undang Santosa. Pengetahuan pelajar Sekolah Menengah Umum negeri 1 Bandung tentang penyakit menular seksual. Laporan tugas akhir D4 Kebidanan Fakultas kedokteran Universitas Padjadjaran, 2005.

kurang sekali. Sumber informasi terbanyak tentang penyakit menular seksual berasal dari media masa,dan mitra diskusi terbanyak adalah teman. Penelitian ini memperlihatkan bahwa memang kelompok remaja adalah kelompok yang penuh risiko, ditambah lagi informasi dan diskusi terbanyak adalah temannya, yang belum tentu mempunyai pengetahuan yang benar.

Stigmatisasi dan diskriminasi pada kelompok remaja yang terkena PMS, khususnya HIV/AIDS, merupakan penghalang utama bagi upaya pencegahan penularan, ketersediaan pelayanan yang memadai, dukungan dan perawatan, serta pengurangan dampak buruk akibat meningkatnya jumlah yang terkena infeksi HIV. Stigmatisasi dan diskriminasi tersebut jelas akan menjadi beban psikologis yang besar bagi orang yang menderita PMS khususnya HIV/AIDS, yang pada gilirannya bisa menimbulkan depresi, kurang percaya diri dan putus asa, dengan kemungkinan bunuh diri. Stigmatisasi dan diskriminasi tersebut akan mempengaruhi kapasitas masyarakat dalam merespon secara konstruktif

guna menghadapi dampak sosial ekonomi suatu epidemi penyakit. 83 Pasal 62 pada undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, menetapkan bahwa setiap anak (tentunya termasuk remaja) mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak,

sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Lalu pada pasal 3, ayat

(3) undang-undang yang sama dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan antar manusia, tanpa diskriminasi.

83 Adib Khumaidi, Dyah A Waluyo, Hendra Widjaja dkk. Stigmatisasi dan diskriminasi pada HIV / AIDS. Pandu Riono, Ed. Jakarta : PB. IDI bekerjasama dengan Australian Government, AusAID ; 2005.

Melihat apa yang tercantum dalam undang-undang tersebut diatas, maka sebenarnya stigmatisasi terhadap penderita PMS dan HIV/AIDS tidak boleh terjadi, karena menyebabkan diskriminasi. Kemudian adanya diskriminasi akan menyebabkan perbedaan perlakuan dan pelayanan, padahal remaja yang mempunyai masalah kesehatan perlu diberikan bantuan dan pelayanan yang bermutu dan sebaik mungkin, karena hal ini dijamin oleh undang-undang.

3. Remaja dan Penyalah Gunaan Seksual Di beberapa negara, kaum muda terutama yang perempuan mempunyai masalah akibat penyalahgunaan seksual. Perkosaan adalah merupakan bentuk nyata, tapi penyalahgunaan seperti penyerangan seksual, perzinahan, prostitusi dan praktik lainnya juga merupakan hal yang sangat berbahaya.Penyalahgunaan seksual dapat mengakibatkan kerusakan fisik, kehamilan tak dikehendaki, terkena PMS, dan bahkan trauma psikis berupa rasa rendah diri, gangguan psikologis dll.

Di Indonesia, penyalahgunaan seksual diancam hukuman cukup berat. Pasal 285 KUHP 84 ,menetapkan bahwa bila seseorang dengan kekerasan atau

dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya

bersetubuh dengan dia, dituduh sudah melakukan perkosaan dan diancam

pidana penjara paling lama melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.Sedang tentang prostitusi (KUHP pasal 296 dan 297) menentukan bahwa seseorang yang pencahariannya atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, maka diancam pidana penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda

84 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

sebanyak-banyaknya lima belas ribu. Ancaman hukuman ini sangat tidak memadai, sehingga tidak aneh kalau prostitusi masih tetap marak dimana-mana.

4. Remaja dan Keluarga Sejahtera Walaupun ICPD tahun 1994 di Kairo, telah mendeklarasikan hak-hak reproduksi perempuan, tetapi tetap saja dirasakan adanya intervensi negara terhadap perilaku reproduksi manusia. Ini tampak jelas pada undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan undang-undang nomor 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga

sejahtera. Dalam undang-undang nomor 10 tahun 1992 85 , pasal 16 bab penjelasan, dikatakan bahwa pemerintah menetapkan kebijaksanaan upaya

penyelenggaraan keluarga berencana yang dilaksanakan melalui pengembangan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) dan memberikan landasan bagi terpenuhinya kaidah jumlah keluarga yang ideal. Dalam undang-

undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 86 antara lain diatur tentang batas usia minimal seorang laki-laki dan perempuan boleh kawin (pasal 7), serta

pembatasan kemungkinan terjadinya poligami (pasal 3). Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) sudah lama dikenal sebagai instansi negara yang banyak melakukan intervensi kedalam kesehatan reproduksi. Dalam programnya, paling tidak BKKBN mempunyai dua tujuan yaitu pengendalian pertumbuhan penduduk dan membentuk Keluarga Kecil yang bahagia dan sejahtera (KKBS) yang sekarang dirubah menjadi membentuk keluarga yang berkualitas.

85 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan

86 Keluarga Sejahtera.

Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Suwardjono Surjaningrat mengatakan bahwa sesungguhnya BKKBN hanya mempunyai tugas pengendalian pertumbuhan penduduk, bukan penanggulangan permasalahan kependudukan lainnya seperti pemerataan penduduk, registrasi

kependudukan, atau masalah ketenagakerjaan. 87 Pendapat Suwardjono Surjaningrat ini

88 tidak salah, karena didukung oleh undang-undang nomor 10 tahun1992 . Pada pasal 3 dan pasal 9,tampak betul bahwa disamping kualitas penduduk, juga

diatur tentang pengendalian kuantitas (jumlah) penduduk dan pengarahan mobilitas penduduk. Tujuan kedua dari program keluarga berencana tentang membentuk norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) tercantum dalam pasal 3 ayat 2 yang menyatakan bahwa pembangunan keluarga sejahtera diarahkan pada pengembangan kualitas keluarga melalui upaya keluarga berencana dalam rangka membudayakan norma keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.

Tampak jelas sekali bahwa upaya NKKBS merupakan bentuk intervensi negara terhadap kehidupan reproduksi warga negaranya. Tetapi, walaupun program KB di Indonesia secara prinsip kegiatannya bertentangan dengan hak reproduksi yang diakui, program ini memiliki legalitas, karena sudah tertuang dalam undang-undang nomor 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan

dan pembangunan keluarga sejahtera, sehingga arah kebijaksanaan program menjadi lebih jelas. Undang - undang ini tampak masih menyiratkan bahwa kita

87 Suwardjono Suryaningrat. Keluarga berencana dalam kesehatan reproduksi manusia. Didalam : Djamhoer Martaadisoebrata dkk, eds. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta : Yayasan Bina

88 Pustaka SP ; 2005. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan

Keluarga Sejahtera.

masih berada dalam tahap peralihan, dari masyarakat yang paternalistik ke masyarakat liberal. Contoh dari hal ini adalah ada pada pasal 18 yang menetapkan bahwa setiap pasangan suami isteri dapat menentukan pilihannya untuk merencanakan dan mengatur jumlah anak dan jarak antara kelahiran anak yang berlandaskan pada kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap generasi sekarang maupun mendatang. Pernyataan itu jelas merupakan pengakuan terhadap hak asasi manusia.Tetapi pada pasal 16 pada undang - undang yang sama, pemerintah mendapat hak untuk menetapkan kebijaksanaan yang berhubungan dengan penetapan jumlah ideal anak, jarak kelahiran anak, usia ideal perkawinan, dan usia ideal untuk melahirkan. Disatu sisi ada pengakuan terhadap hak reproduksi, tetapi disisi lain tetap ada intervensi negara.

Walaupun ada pertentangan antara pernyataan di pasal-pasal tersebut, tetapi hal itu tidak perlu dianggap merupakan sesuatu yang negatif, karena biar bagaimanapun, undang-undang tersebut sudah mengakui adanya hak setiap pasangan suami isteri dalam merencanakan kelahiran anak. Dibanding dengan konsep ICPD di Kairo yang secara eksplisit menyebut pasangan suami isteri dan individu, Indonesia masih belum sepenuhnya mengakui hak individu dalam kehidupan bereproduksi.

Kaitannya dengan remaja, maka sebaiknya kelompok remaja mengerti dan memahami tentang konsep keluarga sejahtera ini, agar ada perilaku yang bertanggung jawab ketika melalui periode remajanya.