HAK REMAJA PEREMPUAN ATAS HAK REPRODUKSI

HAK REMAJA PEREMPUAN ATAS HAK REPRODUKSINYA DAN HAK MENENTUKAN DIRI SENDIRI BERDASARKAN HUKUM KESEHATAN, HAK ASASI MANUSIA DAN JENDER ( FEMALE ADOLESCENT’S RIGHTS TO THEIR REPRODUCTIVE HEALTH AND THE RIGHT TO DECIDE FOR THEMSELVES BASED ON LAW HEALTH, HUMAN RIGHT, AND GENDER)

Tesis Program Studi Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan

Diajukan oleh : Wawang Setiawan Sukarya

N.I.M : 05.93.0091

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Maret 2007

TESIS HAK REMAJA PEREMPUAN ATAS HAK REPRODUKSINYA DAN HAK MENENTUKAN DIRI SENDIRI BERDASARKAN HUKUM KESEHATAN, HAK ASASI MANUSIA DAN JENDER

(FEMALE ADOLESCENT’S RIGHTS TO THEIR REPRODUCTIVE HEALTH AND THE RIGHT TO DECIDE FOR THEMSELVES BASED ON LAW HEALTH, HUMAN RIGHT, AND GENDER)

Diajukan oleh : Wawang Setiawan Sukarya N.I.M : 05.93.0091

telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

Prof.Dr. Agnes Widanti,SH

tanggal : …………….

Pembimbing Pendamping

P. Lindawaty.S.SH, MHum

tanggal : …………….

KATA PENGANTAR

Segala pudji syukur saya ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta Ala, atas segala karunianya yang telah diberikan kepada saya sekeluarga, salah satunya adalah telah selesainya Tesis, dan juga berakhirnya Studi S2 (Magister) Hukum Kesehatan, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Soegijapranata Semarang. Dalam hidup saya, terus terang tidak pernah terpikir bahwa suatu waktu, saya akan belajar ilmu hukum, apalagi Hukum Kesehatan, yang ahlinya masih sangat jarang. Dari kecil saya hanya bercita-cita menjadi ahli roket atau dokter.

Berhasilnya saya menyelesaikan tugas Tesis dan Ujian Magister saya, tentunya tidak terlepas dari jasanya para pembimbing saya Prof. Dr. Agnes Widanti,SH dan Ibu P. Lindawaty Sewu,SH,Mhum. Terutama Prof Widanti yang selalu mengingatkan saya, bahwa beliau mengharapkan saya selesai dalam rombongan pertama, karena katanya “ Dokter Wawang sebenarnya mampu dan pasti bisa”. Karena motivasi beliaulah, maka saya berhari-hari berupaya keras, bahkan sampai tidak tidur (hal ini yang sebenarnya sudah tidak biasa lagi, kecuali kalau sedang memberikan pertolongan kepada pasien melahirkan atau operasi emergensi). Alhamdulillah selesai juga, boleh maju seminar akhir bahkan ujian dan dinyatakan lulus. Maha besar Allah Subhanahu Wa’Ta Alla, Penguasa Alam Semesta yang mengatur kita semua.

Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Soegijaprata yang sudah bersedia bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Indonesia, telah memberikan Dosen-Dosennya untuk menggembleng para Dokter di Jawa Barat dalam bidang Hukum Kesehatan.

Kepada Prof. Dr. Wila Chandrawila Supriadi, SH, saya atas nama pribadi dan teman-teman, mengucapkan terimakasih kami yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya karena sudah mau mengurusi kelas Bandung. Kami lihat kesungguhan beliau, sampai yang kecil-kecilpun beliau tidak ragu-ragu untuk mengerjakannya.

Kepada Bu Endang Wahyani,SH,Mhum, Bapak Dr. Sofwan Dahlan, SpF, Bapak Dr. Bambang Shofari, MMR, Bapak Handi Sobandi, SH,Mhum, dan lain-

iii iii

Kepada teman-teman angkatan pertama, baik kelas A, khususnya kelas

B, terimakasih atas segala kerjasamanya dan partner debat dalam kelas. Saya mohon maaf kalau ada ucapan-ucapan yang menyinggung. Tidak ada maksud saya untuk melakukan hal tersebut, semuanya saya lakukan adalah demi kemajuan kita bersama dan mencari pengalaman pada ilmu yang baru ini. Kalau tidak ada anda-anda, mungkin saya tidak terlalu semangat mengikuti program ini.

Pada akhirnya tentu saja kepada Isteri tercinta Siti Rusdenia Rusad,Psi, MSc,M.Kes, papah ucapkan terimakasih atas pengertian dan kesabarannya mendampingi suami yang sibuk luar biasa mengurusi segala macam, dari mulai urusan organisasi, program OBGINSOS, P2KS, Yayasan Kanker Indonesia, membantu STIKES A.Yani, memberi kuliah Kedokteran di Bagian OBGIN, di D4 Fakultas Kedokteran, termasuk kuliah akhir minggu di Unisba, di MM dll, rapat- rapat, pembicara di seminar-seminar, praktek, belajar, sampai kadang-kadang masih bisa main musik. Akan sulit mendampingi saya,apabila bukan isteri yang bisa mengerti hal itu. Sampai kapanpun tidak akan terbalas kesabaran dan pengertiannya. Juga anak-anak saya (Feni, Atika, Tria dan Dian) , terimakasih atas pengertian, dorongan bahkan doanya, padahal ayahnya kurang waktu untuk mereka, terimakasih atas segala pengertian, dorongan bahkan doanya. Juga kepada mantu saya Sigit, Soni, terimakasih atas perhatiannya.

Kepada Cucu saya, Abyan dan Rahadian, maaf kalau lagi sibuk, seolah- olah Kiki acuh kepada kalian, padahal sampai kapanpun kalian adalah kesayangan Kiki.

Bandung, Maret 2007.

Wawang Setiawan Sukarya

iv

ABSTRACT

The Demography Conference in Cairo in the year of 1994 (International Conference on Population and Development) stated the rights on reproductive and sexual health as the key of a woman’s health. That particular conference eradicated any form of discrimination to women and their other basic rights, such as the right to have reproductive health service, sexual right, the right to live, the right for freedom and safety, the right to gain information, the right to be not discriminated in the resource supplying, including its availability and accessibility.

The research method used is normative juridical research, to establish a certain right or norm on a specific phenomenon. It is an analytical descriptive research to illustrate several entities related to female adolescents’ rights about their reproductive right and the right to decide for themselves based on law health, human right, and gender. The description is done in a systematic, factual and accurate way on the adolescents’ reproductive health right and its implementation. The type of descriptive research being used is literature study, supported by quantitative research result about human reproduction necessary. The conclusion interpretation is done by deductive method , which means making conclusion from general issues to specific ones.

Data is being collected by literature study. The literature materials used are law materials in the form of primary materials, in the form of related laws and regulations, such a s: Constitution, International declaration. Secondary law materials in the form of the works of experts in law health and public health such as books, scientific writings, and tertiary law materials : supporting materials to primary and secondary law materials, such as : law dictionary, articles in magazines, etc.

The research shows that adolescent is a big group, in their unstable period, and

a generation of nation’s hope with their own problems. The government is still unable to provide an optimal health reproduction service, judged from the high mortality rate of mothers and unsafe abortion, lack of access to the adolescents’ health reproductive service, the lack of knowledge about health reproduction, lack of sexual information with its implications, sexually transmitted diseases, contraception, even discriminative treatment for pregnant female adolescents. The research also shows the lack of attention given to the female adolescents’ rights, especially in the sexual and reproductive health related, as well as for various rights such as the right to have reproductive health service, the right to access the center of reproductive health, the right for freedom and safety, the right to gain information, the right to be not discriminated in the resource supplying, including its availability and accessibility the right to have reproductive health service, autonomy right, privacy right in making sexual and reproduction decision, and the right to be treated equally.

Keywords :adolescent, reproductive health, human right , health law, gender.

ii

ABSTRAK

Konferensi Kependudukan di Kairo pada tahun 1994 (International Conference on Population and Development) mengakui hak atas kesehatan reproduksi dan seksual sebagai kunci kesehatan seorang perempuan.Konferensi tersebut menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan mencuatkan hak asasi lainnya seperti hak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya dalam hal hak seksual, - termasuk hak hidup, kebebasan dan keamanan seseorang-, hak mendapatkan informasi, hak untuk tidak diskriminasikan dalam penyediaan sumber daya, termasuk ketersediaan dan aksesnya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, untuk menetapkan hak atau norma tertentu terhadap suatu fenomena. Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan hak remaja perempuan atas hak reproduksinya dan hak menentukan diri sendiri berdasarkan hukum kesehatan, hak asasi manusia dan jender. Deskripsi dibuat secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai hak kesehatan reproduksi remaja dan pelaksanaannya. Jenis penelitian deskriptif yang digunakan adalah studi kepustakaan dan ditunjang oleh hasil penelitian kuantitatif tentang reproduksi manusia yang diperlukan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum ke hal yang bersifat khusus.

Data dikumpulkan melalui penelitian terhadap bahan pustaka dan pengkajian terhadap beberapa penelitian kuantitatif sebagai penunjang. Bahan pustaka yang digunakan adalah bahan hukum yang berupa : Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang terkait seperti undang- undang, deklarasi internasional. Bahan hukum sekunder ini merupakan karya- karya ilmiah para ahli hukum, ahli hukum kesehatan dan para ahli kesehatan masyarakat berupa buku, makalah ilmiah serta bahan hukum tersier, berupa bahan-bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, artikel majalah, laporan institusi terkait dan sebagainya.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa remaja merupakan kelompok dalam jumlah besar, periode labil, dan merupakan generasi harapan bangsa dengan berbagai permasalahannya sendiri. Pemerintah masih belum mampu memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang optimal, tampak dari masih tingginya angka kematian ibu dan unsafe abortion, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan reproduksi remaja, kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi, kurangnya informasi seksual dengan segala macam implikasinya, penyakit menular seksual, kontrasepsi, bahkan perlakuan diskriminasi bagi remaja perempuan yang hamil. Penelitian juga memperlihatkan kurangnya perhatian terhadap hak remaja perempuan, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual, selain juga pada berbagai hak seperti hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, hak akses ke pusat layanan kesehatan reproduksi, hak kebebasan dan keamanan, hak mendapatkan informasi, hak untuk mendapatkan perlakuan tidak diskriminatif dalam ketersediaan dan pengalokasian sumber daya untuk pelayanan kesehatan reproduksi, hak otonomi, hak privasi dalam mengambil keputusan seksual dan reproduksi, serta hak mendapatkan perlakuan kesetaraan jender.

Kata kunci: Remaja, kesehatan reproduksi, hak asasi manusia,hukum kesehatan, jender.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang penelitian

Menurut definisi dari World Health Organization (WHO), kesehatan tidak hanya berarti kesehatan fisik, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan mental dan sosial. Deklarasi Alma Alta yang dicanangkan oleh WHO dan UNICEF pada tahun 1978, bahkan menambahkan syarat baru yaitu bahwa setiap orang harus mampu hidup produktif, baik secara ekonomis maupun sosial. Ini berarti dalam

definisi kesehatan, juga tercakup masalah kualitas hidup. 1 Dalam kesehatan, termasuk juga kesehatan reproduksi. Definisi kesehatan

reproduksi yang dicetuskan di Kairo pada International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994, yang disusun berlandaskan definisi WHO tersebut diatas, menyatakan :

Keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik,mental dan sosial, dan bukan sekadar tidak adanya penyakit atau gangguan disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu sendiri. Dengan demikian, kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering

mereka ingin bereproduksi. 2

Tampak jelas bahwa banyak sekali indikator yang harus dipenuhi untuk dapat memenuhi berbagai aspek kesehatan reproduksi perempuan. Berbicara tentang kesehatan reproduksi, berarti tidak hanya menyangkut masalah kehamilan atau yang langsung berkaitan dengan kehamilan, tetapi juga mencakup area yang lebih luas seperti : masalah kesehatan seseorang sejak ia

WHO. Considerations for formulating reproductive health laws (tanpa tahun)

2 Shalev C. Rights to sexual and reproductive health. New Delhi, 2001, 2 Shalev C. Rights to sexual and reproductive health. New Delhi, 2001,

Rekomendasi Umum no. 2 tahun 1999 tentang Perempuan dan Kesehatan (Pasal 12) oleh Komite Konvensi Wanita atau CEDAW, memperkuat ketentuan tentang akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan dengan menetapkan bahwa kesehatan reproduksi perempuan merupakan hak dasar perempuan. Pengertian dasar ini membawa konsekuensi dalam cara pelayanan kesehatan, yaitu harus lebih komprehensif, antara lain dengan tidak memandang perempuan sebagai rahim saja (a woman is not a womb), melainkan sebagai perempuan yang mempunyai rahim dan berada dalam jaringan sosial budaya yang tidak

selalu memperhatikan hak perempuan. 3 Diatas sudah disampaikan bahwa Deklarasi ICPD di Kairo pada tahun

1994 menentukan hak-hak reproduksi perempuan serta ruang lingkup pelayanan kesehatan reproduksi. Dalam deklarasi tersebut mencuat penekanan tentang hak reproduksi dengan pelayanan bermutu yang berorientasi kepada pasien (patient centered approach) yang tampak dalam beberapa keputusan sepuluh program

sebagai berikut 4 :

1. Pelayanan sebelum, semasa kehamilan dan setelah persalinan.

2. Pelayanan kemandulan atau infertilitas.

3. Pelayanan keluarga berencana yang optimal.

4. Pelayanan dan penyuluhan HIV/AIDS.

5. Pelayanan aborsi

3 Johanna Debora Imelda. Kesehatan & hak reproduksi. Jakarta: FISIP-UI, 2004.

4 Anita Rahman. Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan : Masalah Aborsi. Didalam : Sulistyowati, ed. Perempuan dan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia, 2006.

6. Pelayanan dan pemberian komunikasi , informasi dan edukasi (KIE) yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

7. Pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi remaja.

8. Tanggung jawab keluarga

9. Peniadaan sunat dan mutilasi anak perempuan dan

10. Pelayanan kesehatan Lansia.

Disamping adanya program kesehatan reproduksi tersebut, dalam deklarasi ICPD juga diakui adanya Hak Reproduksi Perempuan seperti sebagai

berikut 5 :

1. Hak individu untuk menentukan saat mempunyai anak, jumlah anak dan jarak waktu diantara dua kehamilan.

2. Hak untuk mendapat pelayanan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi.

3. Hak untuk mendapatkan informasi, komunikasi dan edukasi (KIE) yang berkaitan dengan fungsi reproduksi.

4. Hak melakukan kegiatan seksual tanpa paksaan, diskriminasi dan kekerasan.

Sebagai negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut, maka sudah seharusnya Indonesia menterjemahkannya kedalam peraturan-peraturan dan atau undang-undang yang menyinggung masalah kesehatan reproduksi. Hal ini jelas tidak bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia,karena dalam

Undang-Undang Kesehatan no. 23 tahun 1992 6 , pasal 4 yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat

5 Ibid, halaman 2.

6 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan.

kesehatan yang optimal dan pada pasal 13, yang menyatakan bahwa kesehatan suami isteri diutamakan pada upaya pengaturan kehamilan, dalam rangka menciptakan keluarga sehat dan harmonis. Kemudian pada pasal 14, dapat dilihat juga ketentuan bahwa kesehatan isteri meliputi kesehatan pada masa sebelum kehamilan, kehamilan pasca persalinan dan masa diluar kehamilan dan persalinan.

Di hampir setiap lingkungan budaya, menjadi ibu (motherhood), merupakan peran yang sangat dihormati. Walaupun begitu, sering kedudukan tersebut masih kurang diberi perhatian sehingga kebutuhan kesehatan seorang perempuan tidak

terpenuhi. Hal ini terlihat dari adanya kenyataan seperti dibawah ini : 7

1. Masih adanya kebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan perempuan, baik secara umum maupun secara khusus (perempuan hamil.).

2. Di berbagai belahan dunia,masih terjadi berbagai diskriminasi yang berdampak negatif terhadap kesehatan dan hak reproduksi perempuan.

3. Masih adanya ketidaksetaraan perempuan dalam akses pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan, dan sumber daya yang tersedia.

Pengalaman berbagai negara menunjukan bahwa kesehatan perempuan tidak bisa dilepaskan dari hak pendidikan perempuan. Hasil penelitian di berbagai negara Asia dan Afrika membuktikan bahwa tingkat pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap kesehatan ibu, bayi dan anak. Oleh karena itu perlu segera dilakukan upaya perbaikan menyeluruh, mulai dari penyempurnaan persepsi yang benar tentang masalah gender dan hak asasi perempuan,

7 Saparinah Sadli. Kesehatan Reproduksi perempuan dan Hak Asasi Manusia. Didalam Djamhoer Martaadisoebrata dkk, eds.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka S.P. ; 2005.

kebijakan-kebijakan yang mendukung atau yang berpihak kepada hak asasi perempuan serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. 8

Jender adalah interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjuk pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Jadi ideologi jender adalah segala aturan, nilai, stereotip yang mengatur hubungan perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan idenditas feminim dan maskulin, yang menjadi struktur dan sifat manusia, dimana ciri-ciri dasar dan sifat itu dibentuk sejak masa kanak-kanak

awal sehingga selalu konservatif dan ketinggalan dibelakang perubahan 9 . Dengan meningkatkan wawasan tentang masalah jender dan hak asasi

perempuan, maka pada gilirannya, kita diharapkan akan dapat meningkatkan keberpihakan secara nyata kepada perempuan, khususnya dalam masalah kesehatan reproduksi, yang meliputi kesehatan fisik, mental emosional, dan sosial, dalam bentuk penurunan angka kematian dan kesakitan ibu - anak, peningkatan harapan dan mutu hidup (life Expectancy dan Quality of Life).

Dalam deklarasi ICPD di Kairo tahun 1994, ditentukan hak-hak reproduksi perempuan serta ruang lingkup pelayanan pelayanan yang harus mereka terima. Jadi mereka sebagai manusia, sebagaimana halnya laki-laki, mempunyai hak asasi untuk mendapatkan segala haknya.

Esensi Hak Asasi Manusia (HAM) adalah menghormati setiap orang lain, siapapun dia, tanpa membedakan warna kulit, kelas, suku, agama, dan jenis kelamin. Harus dipahami bahwa HAM merupakan penghormatan kepada nilai-

8 Abdul Bari Saifuddin. Upaya Safe Motherhood dan Making Pregnancy Safer. Didalam : Djamhoer Martaadisoebrata dkk,eds. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka S.P.; 2005.

9 Agnes Widanti. Hukum berkeadilan jender. Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2005.

nilai manusia, di manapun dia berada dan HAM tidak bertentangan dengan moral agama. Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) dikukuhkan secara konsensus oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). DUHAM ini disusun karena komunitas negara-negara anggota PBB menghadapi suatu kenyataan bahwa manusia dapat memperlakukan manusia lain secara tidak manusiawi. Dengan menandatangani DUHAM, berarti bahwa negara peserta PBB menyetujui adanya norma-norma yang ditentukan dalam DUHAM serta

mempunyai kewajiban moral untuk melindungi hak asasi manusia,siapapun dia. 10 Dalam perkembangan sejarah HAM, tepatnya pada konferensi HAM II di

Wiena (1993), secara konsensus disepakati oleh negara anggota PBB bahwa Hak Asasi Manusia adalah Universal (ia melekat pada manusia, karena ia manusia), sehingga Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia. Selain itu, disepakati pula bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran

hak asasi manusia (HAM). 11 Di Indonesia,walaupun hak asasi perempuan sebagai HAM sudah

ditetapkan dalam UU No. 39 / 99 tentang HAM pasal (45) dan (51), tetapi jauh sebelumnya, hak asasi perempuan telah dijadikan agenda pembahasan dalam konferensi dunia pertama tentang perempuan di Meksiko yang diselenggarakan pada tahun 1975.Hal ini dilandasi oleh pengalaman para perempuan, bahwa meskipun negaranya telah menandatangani DUHAM (termasuk Indonesia), diskriminasi terhadap perempuan tetap terjadi.

Sehubungan dengan kenyataan ini, maka pada Sidang Umum PBB tahun 1979, diadopsi naskah yang diajukan oleh Komisi Status Perempuan di PBB,

10 Saparinah Sadli. Ibid, halaman 4.

11 Ibid.

dengan menetapkannya sebagai Convention on the Elimination of All Form of Discrimination against Women (CEDAW), yang diterjemahkan secara resmi sebagai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi Wanita). Konvensi Wanita ini, hingga sekarang dikenal sebagai the only gendered convention, karena merupakan satu-satunya konvensi internasional yang secara khusus menetapkan hak perempuan untuk tidak

menerima perlakuan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan 12 . Konvensi ini yang di tingkat internasional merupakan upaya untuk

mempromosikan dan menegakkan hak perempuan agar bebas dari segala bentuk diskriminasi, di Indonesia diratifikasi dengan undang-undang nomor 7 tahun 1984. Selanjutnya, dengan sepakat dan ikut meratifikasi suatu konvensi

internasional, maka pemerintah Indonesia sudah mengikatkan diri secara moral dan legal terhadap hukum internasional. Artinya, Indonesia wajib membuat undang-undang baru, mengubah kebijakan, aturan pemerintah,atau ketetapan yang tidak sesuai dengan isi konvensi yang telah diratifikasi.

Dalam pasal (12) ayat (2) dari Konvensi Perempuan ini, diatur tentang kewajiban negara yang menjamin tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, yaitu 13 :

1. Memastikan pelayanan yang layak untuk perempuan dalam hubungannya dengan kehamilan, persalinan dan masa setelah persalinan, bila perlu disediakan pelayanan gratis.

2. Memastikan perempuan mendapatkan gizi yang cukup selama masa kehamilan dan menyusui.

12 Anita Rahman. Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan : Masalah Aborsi. Didalam :

13 Sulistyowati,ed. Perempuan dan Hukum ; 2006. Ibid.

Pembicaraan tentang kesehatan reproduksi dan jender, ditinjau dari berbagai aspek akan luas sekali, sehingga pada tesis ini, penulis hanya akan memfokuskan pembicaraan kepada masalah kesehatan reproduksi remaja.

Masa remaja adalah suatu bagian dari siklus kehidupan manusia yang harus dilalui. Masa transisi remaja menjadi dewasa merupakan proses yang universal yang secara perorangan, daerah, negara dan kebudayaan mempunyai variasi yang besar. Titik tolak transisi ini, baik untuk untuk perempuan maupun laki-laki yang berhubungan dengan masa pubertas akan timbul pada berbagai

umur. Tidak ada definisi yang jelas tentang kapan berakhirnya masa transisi ini 14 . Begitu pentingnya masa remaja ini dan adanya fakta yang menunjukkan

bahwa masih banyak perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, maka dalam upaya menegakkan status kesehatan reproduksi perempuan (baik dewasa maupun remaja) perlu ditekankan bahwa kesehatan perempuan merupakan kelanjutan dari status kesehatan anak-anak. Jadi tampak jelas, bahwa dalam usaha meningkatkan status kesehatan reproduksi, isu hak kesehatan anak perempuan atau remaja perempuan menjadi sangat penting.

Adanya diskriminasi terhadap perempuan di berbagai lingkungan budaya menyebabkan pemenuhan hak kesehatan anak perempuan masih menghadapi kendala. Kondisi ini berdampak pada kesehatan perempuan dewasa dan remaja.

Oleh karena itu, konferensi Beijing (1995, paragraf 266), 15 telah memberi perhatian khusus pada kondisi kesehatan anak perempuan dengan menyatakan :

Zarni Amri, Setyawati B, Azhari A Samudra. Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Reproductive Health Program,Faculty of Public Health,University of Indonesia : 2002.

15 Shalev C. Rights to sexual and reproductive health : The ICPD and the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimintaion Againts Women. In : Puri CP, Van Look

PF, Eds. Sexual Reproductive Health:- Recent Advances, Future Directions. New Delhi : New Age International (P) Limited Publishers ; 2001.

Berlakunya diskriminasi terhadap anak perempuan dalam akses terhadap pelayanan gizi, kesehatan fisik, dan mental, berdampak membahayakan terhadap kondisi kesehatannya, baik pada saat usia anak-anak maupun setelah ia dewasa. Diperkirakan bahwa sekitar 450 juta perempuan dewasa di negara berkembang telah mengalami perkembangan yang tidak optimal karena kekurangan protein dan gizi sewaktu masih usia anak.

Kondisi kesehatan anak perempuan seperti dilukiskan di atas menjadi dasar bahwa di antara dua belas daerah kritis yang perlu diperhatikan (12 critical areas of concern) untuk dapat mencapai “kesetaraan pembangunan dan perdamaian”, mutlak perlu ada perhatian khusus pada kondisi kesehatan anak

perempuan (Beijing Plan of Action, 1995) 16 . Berbeda dengan Usia Lanjut, di Indonesia masalah kesehatan reproduksi

remaja tidak secara eksplisit tercantum dalam undang-undang yang ada. Dalam UU Kesehatan no. 23 tahun 1992 17 , tidak tercantum secara khusus masalah hak

remaja untuk mendapat pelayanan kesehatan dan informasi. Dalam pasal (12) ayat (2), hanya tercantum bahwa kesehatan keluarga sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami isteri, anak dan anggota keluarga lainnya.

Karena banyaknya masalah remaja yang timbul, maka sangat disayangkan

apabila hak remaja tidak secara khusus dibahas pada undang-undang yang ada. Remaja seperti juga warganegara yang lain, juga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan yang memadai dan bermutu.

16 Anita Rahman. Hukum dan hak kesehatan reproduksi perempuan, masalah aborsi. Didalam : Sulistyowati Irianto,ed. Perempuan dan hukum, menuju hukum yang

berperspektif kesetaraan dan keadilan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006.

17 Undang-undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992.

Sampai sekarang misalnya belum ada klinik khusus yang melayani remaja tentang kesehatan reproduksi termasuk apabila mereka hamil, perlu kontrasepsi, konsultasi seks dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan kenyataan diatas, timbul pertanyaan apakah tidak ada atau jarangnya pelayanan dan informasi khusus untuk remaja, sudah melanggar prinsip hak remaja untuk mendapatkan pelayanan dan informasi tentang kesehatan reproduksi. Pertanyaan ini akan dikaji dengan menganalisis bukti-bukti penelitian yang sudah ada dan pelaksanaan hak remaja di lapangan berdasarkan undang-undang yang ada.

Sehubungan dengan hal tersebut, akan diteliti berbagai konteks hak kesehatan reproduksi remaja kaitannya dengan pelaksanaan undang-undang yang ada di lapangan. Hasil penelitian ini akan dikaji dan dituangkan dalam tesis yang berjudul “ Hak Remaja Perempuan atas Hak Reproduksinya dan Hak menentukan diri sendiri berdasarkan Hukum Kesehatan & Hak Asasi Manusia “.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka diidentifikasikan masalah-masalah penelitian yang akan diteliti dalam tesis ini sebagai berikut :

1. Bagaimana hak reproduksi remaja berdasarkan hukum kesehatan, Hak Asasi Manusia dan Jender ?

2. Bagaimana hak menentukan diri sendiri berdasarkan Hukum Kesehatan dan Hak Asasi Manusia ?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mendapatkan gambaran tentang hak reproduksi remaja perempuan berdasarkan hukum kesehatan, Hak Asasi Manusia dan jender.

2. Untuk mendapatkan gambaran tentang hak menentukan diri sendiri berdasarkan hukum kesehatan dan Hak Asasi Manusia.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,baik bagi kepentingan Ilmu Hukum Kesehatan tentang Reproduksi Remaja Perempuan, dan kepentingan praktis sebagai berikut :

1. Kegunaan teoritis

Secara umum, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu Hukum Kesehatan, dan secara khusus tentang pelaksanaan hak kesehatan reproduksi dan hak remaja perempuan untuk menentukan diri sendiri berdasarkan Hukum Kesehatan dan Hak Asasi Manusia.

2. Kegunaan praktis

Sebagai bahan masukan bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan tentang pelaksanaan hak kesehatan reproduksi dan hak menetukan diri sendiri remaja perempuan, sehingga berbagai ekses dan komplikasi yang tidak dikehendaki dapat terhindar.

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kesehatan reproduksi

Konsep tentang kesehatan dan hak reproduksi mulai dibicarakan pada United Nation World Conference on Population (UNWCP) di Bucharest tahun 1974. Butir kesepakatannya antara lain adalah “ bahwa segala kegiatan yang berkaitan dengan issu pembangunan dan kependudukan harus didasarkan pada hak-hak asasi pasangan atau individu untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab, jumlah anak, dan jarak antar anak yang mereka miliki dan untuk mendapatkan informasi, pendidikan dan cara-cara untuk melakukannya

(Singh,1998). 18 Konsep tentang hak-hak reproduksi lebih berkembang lagi pada Konferensi

Kependudukan Internasional kedua di Mexico City, pada tahun 1984. Rekomendasi konferensi ini adalah mendukung hak-hak asasi dari pasangan maupun individu untuk mendapatkan informasi dan pelayanan Keluarga Berencana yang memadai melalui berbagai cara, termasuk melalui kegiatan

kemasyarakatan. Direkomendasikan juga bahwa kaum laki-laki hendaknya terlibat dalam program KB, alokasi sumber daya dalam pelayanan KB, kualitas dan

efektivitas pelayanan, serta informasi dan pelayanan yang memadai bagi remaja (Singh, 1998) 19

Arti kesehatan menurut konstitusi WHO pada tahun 1946 adalah complete physical, mental and social being and not merely the absence of disease or

18 Singh, Jyoti Shankar. Creating a new consensus on population. London : Earthscan Publication Ltd, 1998.

19 Ibid.

infirmity. Definisi ini dilanjutkan menurut definisi The Cairo Programme adalah yang berbunyi sebagai berikut : “ a state of complete physical, mental and social well being and……..not merely the absence of disease or infirmity, in all matters

relating to the reproductive system and to its functions and processes.” (WHO) 20 . Jadi kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahteraan fisik atau badan, jiwa,

sosial dan budaya yang utuh, dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta berbagai prosesnya.

Dalam hal tersebut diatas, seorang perempuan seharusnya bukan hanya mampu berketurunan, tetapi juga mempunyai kebebasan untuk menentukan kapan dan berapa kali hamil, berhak mendapat penyuluhan dan kemudahan pelayanan keluarga berencana, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan masa nifas yang aman serta berhak melakukan hubungan seksual yang sehat.

Perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1994 dilaksanakan International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo. Pada konferensi ini keluarlah definisi mengenai hak-hak asasi dan tanggung jawab pasangan maupun individual dalam memutuskan secara bebas dalam hal fertilitas dan

perencanaan keluarga mereka (Singh,1998). 21 Lebih lengkapnya, definisi kesehatan reproduksi tersebut adalah sebagai berikut :

Keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik,mental dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau gangguan disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu sendiri. Dengan demikian, kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka

WHO.Considerations for formulating reproductive health laws (tanpa tahun).

21 Ibid, halaman 12.

ingin berproduksi. Pelayanan kesehatan reproduksi juga mencakup kesehatan seksual yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kehidupan dan hubungan antar pribadi, tidak semata merupakan konseling dan pelayanan yang berhubungan dengan reproduksi dan penyakit menular

seksual (UNFPA, 1994) 22 .

Melihat definisi tersebut diatas, berarti hak-hak reproduksi sebenarnya mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah diakui dalam hukum nasional, merupakan dokumen hak asasi manusia yang bersifat internasional dan dokumen konsensus Perserikatan Bangsa – Bangsa lain yang relevan. Hak- hak ini dasarnya adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi semua pasangan dan individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab dalam menentukan jumlah anak yang diinginkan, waktu kelahiran anak-anak mereka dan mendapatkan informasi untuk mendapatkannya, serta hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi dengan standar yang tertinggi.Hak ini juga mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan seperti yang dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan hak-hak tersebut, mereka harus memperhitungkan kebutuhan kehidupan dari anak-anak mereka yang sekarang dan dimasa mendatang, serta tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Promosi pemakaian hak-hak ini secara bertanggung jawab, harus menjadi dasar kebijakan dan program yang menggambarkan dukungan pemerintah serta masyarakat dibidang kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.

22 UNFPA. Program of action : Adopted at the ICPD, Cairo, 5-13 September. USA : United Nation Population Fund. ISBN 95-089714-400-7; 1994.

Dalam hal ini perhatian tentunya lebih ditujukan kepada promosi hubungan antara jenis kelamin yang saling menghormati dan wajar, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan kelompok remaja, sehingga mereka bisa mengatasi masalah seksualitasnya secara positif dan bertanggung jawab.

Dalam kesehatan reproduksi, yang menjadi masalah adalah bahwa definisi definisi ideal diatas tidak mungkin dapat tercapai oleh semua orang, karena ada berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti tingkat pengetahuan tentang seksualitas manusia yang kurang, informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang juga kurang atau tidak tepat, perilaku seksual berisiko, praktik sosial yang diskriminatif, sikap negatif terhadap perempuan, serta keterbatasan kekuasaan kaum perempuan terhadap kehidupan seksual dan reproduksi mereka. Dalam hal ini, kelompok remaja adalah kelompok sering kurang terpapar dari informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi.

B. Kesehatan reproduksi remaja dan jender

Karakteristik biologis akan menentukan seks seseorang, yang mengandung pengertian kelamin secara biologis, yaitu organ kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi disisi lain, ada istilah istilah jender yang merupakan hasil konstruk sosial, dengan pengertian status dan peran yang diberikan oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Contoh dari hal ini adalah ketika masyarakat memberikan status peran perempuan sebagai pendamping suami atau sebagai pengatur rumah tangga, atau dikalangan masyarakat tertentu, perempuan harus memuaskan suami. Tampak sekali bahwa karena yang menentukan status dan peran itu adalah masyarakat,maka peran jender dapat berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ini Karakteristik biologis akan menentukan seks seseorang, yang mengandung pengertian kelamin secara biologis, yaitu organ kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi disisi lain, ada istilah istilah jender yang merupakan hasil konstruk sosial, dengan pengertian status dan peran yang diberikan oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Contoh dari hal ini adalah ketika masyarakat memberikan status peran perempuan sebagai pendamping suami atau sebagai pengatur rumah tangga, atau dikalangan masyarakat tertentu, perempuan harus memuaskan suami. Tampak sekali bahwa karena yang menentukan status dan peran itu adalah masyarakat,maka peran jender dapat berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ini

Atribut jender meliputi juga norma perilaku yang pantas bagi perempuan atau laki-laki, yang kemudian disebut sebagai ciri feminin dan maskulin. Ciri-ciri tersebut adalah gender traits yang akan saling berbeda antarbudaya dan dengan berkembangnya waktu, bisa berubah. Hasil konstruk sosial seperti itu, merupakan ketentuan tentang pembagian kerja seksual dan ketentuan tentang peran sosial yang dianggap pantas bagi perempuan dan laki-laki sesuai dengan nilai budaya yang berlaku. Contoh yang nyata yang ada pada ketentuan formal- legal dalam budaya kita misalnya bahwa “ laki-laki adalah kepala keluarga dan pencari nafkah utama, dan perempuan sebagai pengasuh anak”. Ketentuan ini telah memperkuat stereotip bahwa peranan sosial laki-laki adalah ruang publik, sedangkan peran perempuan berada di ruang domestik. Penentuan ruang sosial dan pembagian kerja seksual dengan memilah-milah bahwa laki-laki sepantasnya di ruang publik dan perempuan di ruang domestik, telah menimbulkan berbagai isu diskriminasi berbasis jender. Adalah suatu kenyataan dan fakta, serta makin lama jumlahnya makin meningkat, bahwa sekarang

banyak perempuan yang bekerja dan juga bertindak sebagai kepala keluarga. 23 Kelompok perempuan ini sering kesulitan untuk mendapatkan

penghargaan dan fasilitas yang sama dengan laki-laki, karena peraturan yang berlaku menentukan bahwa yang mendapat tunjangan adalah istri dan anak- anak. Tidak jarang pula terjadi, dalam melakukan jenis pekerjaan yang nilainya sama, perempuan tidak selalu mendapat imbalan yang sama dengan laki-laki.

23 Saparinah Sadli. Kesehatan Reproduksi Perempuan dan Hak Asasi Manusia.Didalam : Djamhoer Martaadisoebrata, dkk,Eds. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial.

Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : 2005.

Contoh lain adalah jenis pekerjaan yang kebanyakan diisi oleh laki-laki, seperti supir yang bekerja di ruang publik, masih mempunyai status sosial lebih tinggi ketimbang jenis pekerjaan yang kebanyakan diisi perempuan seperti pembantu rumah tangga yang bekerja di ruang domestik. Imbalan yang bekerja di ruang publik, biasanya juga lebih tinggi daripada yang bekerja di ruang domestik.

Beberapa puluh tahun yang lalu, kesehatan telah ditetapkan sebagai hak dasar setiap manusia. Yang terlupakan adalah bahwa di berbagai lingkungan budaya, berlangsung diskriminasi berbasis jender,sehingga dalam melaksanakan profesi kesehatan,cenderung bersikap bahwa anak adalah anak, dan perempuan adalah perempuan. Secara sadar ataupun tidak, hal ini akan menimbulkan sikap membeda-bedakan antara anak atau perempuan dewasa dengan anak dan laki- laki dewasa.Kenyataan inilah yang menyebabkan standar normatif WHO tentang

penikmat kesehatan sosial yang optimal, oleh perempuan sulit dicapai 24 Beberapa isu jender yang hingga sekarang masih dihadapi perempuan dan

anak perempuan di mana pun mereka berada, adalah dominannya nilai patriarkat yang menempatkan perempuan, sejak ia masih anak-anak, sebagai orang yang mempunyai status inferior terhadap laki-laki, yang kemudian berdampak pada kehidupan perempuan pada umumnya.

Dalam kaitan dengan hal diatas suatu penelitian studi psikologi tentang perbedaan jender memperlihatkan bahwa sebenarnya secara profesional, kemampuan perempuan sama dengan laki-laki. Terbukti juga bahwa prestasi pendidikan perempuan tidak kalah dari laki-laki, bahkan kadang-kadang lebih

24 Ratna Batara Munti. Wacana seksualitas dakam sistem hukum di Indonesia. Didalam : Irwan MH, Dian S, Ida Ruwaida N dkk,Eds. Seksualitas : Teori dan Realitas. Jakarta : Diterbitkan oleh Program Gender dan Seksualitas

FISIP – UI : 2004.

baik. Walaupun begitu, dalam kenyataannya, kiprah perempuan di dunia publik lebih terbatas, khususnya dalam pengambilan keputusan. Gejala ini dikenal sebagai Gap at the top yaitu suatu gejala yang tidak saja merugikan perempuan, tetapi juga bagi pembangunan bangsa dan negara, akibat potensi perempuan tidak dimanfaatkan secara optimal, termasuk dalam pembangunan kesehatan bangsa. Pengertian lebih lanjut,hal itu berarti, bahwa untuk memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi sebagai hak dasar perempuan, diperlukan sikap dan upaya khusus. Sikap dan upaya khusus itu penting, karena kesadaran tentang

diskriminasi berbasis jender dalam kesehatan, relatif masih baru 25 . Meningkatnya kesadaran tentang maraknya diskriminasi berbasis jender,

telah menjadi dasar pasal 12, Rekomendasi Umum nomor 2 tahun 1999 tentang Perempuan dan Kesehatan oleh Komite Konvensi Perempuan atau CEDAW. Rekomendasi tersebut memperkuat ketentuan tentang akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan, dengan cara menetapkan bahwa kesehatan reproduksi perempuan merupakan hak dasar perempuan. Pengertian dasar ini, tentu akan membawa konsekuensi dalam cara pelayanan kesehatan, yaitu harus lebih komprehensif, misalnya dengan tidak memandang perempuan hanya sebagai rahim saja (a woman is not a womb), melainkan sebagai perempuan yang mempunyai rahim dan berada dalam jaringan sosial budaya yang tidak

selalu memperhatikan hak perempuan. 26 Bila seorang perempuan hamil, maka yang berisi bukan hanya rahimnya

saja, tetapi perempuan tersebut akan menghayati seluruh kondisi kehamilannya.

Of cit, halaman 16.

26 Ibid.

Bila ada masalah dengan rahimnya, maka yang mempunyai kekhawatiran, keinginan,dan kekecewaan adalah perempuan tersebut, bukan organ reproduksinya. Dalam kenyataannya, yang menjadi masalah adalah bahwa rahim yang dimiliki oleh seorang perempuan, seringkali tidak dikuasainya, tetapi dikuasai oleh pihak lain, seperti suami, dokter, petugas kesehatan, dan negara.

Dengan berdasarkan konferensi hasil HAM II di Wina (1993), International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo, konferensi dunia tentang perempuan tahun 1995 di Beijing (Convention on the Elimination of all

forms of Discrimination Again Women), dan memperhatikan berbagai ketetapan yang disusun oleh WHO, UNFPA, LSM-LSM, oleh CEDAW kemudian disusun rekomendasi tentang kesehatan reproduksi perempuan.

Karena diskriminasi terhadap perempuan masih tetap terjadi, maka dalam upaya menegakkan status kesehatan reproduksi perempuan (baik dewasa maupun remaja), terus menerus ditekankan bahwa kesehatan perempuan merupakan kelanjutan dari status kesehatan anak. Dengan demikian,dalam usaha meningkatkan status kesehatan reproduksi, isu hak kesehatan anak perempuan atau remaja perempuan menjadi bagian yang sangat penting.

Dalam kenyataannya,menerapkan status kesehatan reproduksi perempuan ini tidak mudah. Karena diskriminasi terhadap perempuan di berbagai lingkungan budaya masih juga berlanjut, maka masih ada kendala dalam pemenuhan hak kesehatan anak perempuan. Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap kesehatan perempuan dewasa dan remaja. Dalam keadaan seperti itu, konferensi Beijing (1995) telah memberi perhatian khusus kepada kondisi kesehatan anak perempuan dengan menyatakan :

Berlakunya diskriminasi terhadap anak perempuan dalam akses terhadap pelayanan gizi, kesehatan fisik, dan mental, berdampak membahayakan terhadap kondisi kesehatannya, baik pada saat usia anak-anak maupun setelah ia dewasa. Diperkirakan bahwa sekitar 450 juta perempuan dewasa di negara berkembang telah mengalami perkembangan yang tidak optimal karena kekurangan protein dan gizi sewaktu masih usia anak. 27

Kondisi kesehatan anak perempuan seperti yang digambarkan diatas, kemudian menjadi dasar diberikannya perhatian terhadap dua belas daerah kritis (12 critical areas of concern) untuk mencapai kesetaraan pembangunan dan perdamaian,sehingga mutlak perlu adanya perhatian khusus terhadap kondisi kesehatan anak perempuan (Beijing Plan of Action, 1995). Sebelumnya, dalam pertemuan ICPD di Kairo juga diangkat masalah yang berkaitan dengan kebiasaan dan pendapat agama Islam tentang sunat anak perempuan.

Sunat pada anak perempuan (female genital mutilation) adalah segala prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan sebagian atau seluruh organ genital luar dari wanita atas nama budaya, adat, agama atau alasan-alasan lain diluar alasan kesehatan atau penyembuhan. Berdasarkan WHO information fact sheet nomor 241, Juni tahun 2004, sunat (FGM) sering disamakan dengan sirkumsisi pada perempuan. Tiindakan ini merupakan semua prosedur, termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar perempuan, atau tindakan melukai lainnya terhadap organ genital perempuan, baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan lainnya yang tidak berkaitan dengan penyembuhan 28 .

27 Shalev C. Rights to sexual and reproductive health : The ICPD and the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimintaion Againts Women. In : Puri CP, Van Look

PF, Eds. Sexual Reproductive Health:- Recent Advances, Future Directions. New Delhi : New Age International (P) Limited Publishers ; 2001.

28 Debu Batara Lubis. Female genital mutilation : enghilangan hak wanita atas tubuhnya. Didalam : Sulistyowati, ed. Perempuan dan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Kebiasaan ini ternyata meningkatkan kerentanan anak perempuan terhadap hak asasi manusia, seperti sebagai berikut 29 :

1. Adanya praktik sunat yang dilakukan terhadap anak perempuan, padahal dia tidak bisa atau belum bisa menandatangani informed consent.

2. Adanya kebiasaan di lingkungan budaya tertentu, dimana praktik sunat anak perempuan mengarah kepada genital mutilation, yang bisa berdampak negatif terhadap kesehatan anak perempuan, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Praktik-praktik sunat perempuan seperti diuraikan diatas, faktanya tetap ada. Oleh karena itu, dalam hal tindakan sunat anak perempuan, yang paling penting adalah “perlu adanya suatu prosedur yang jelas”, agar sunat perempuan bisa aman bila dipandang dari segi teknis medis profesional. Dengan prosedur yang standar, maka cara tersebut tidak melanggar hak kesehatan anak perempuan,serta bisa mencegah terjadinya dampak negatif terhadap perempuan remaja dan dewasa di kemudian hari.

Lebih lanjut, dalam konferensi ICPD di Kairo, secara khusus diyatakan bahwa semua pimpinan negara di berbagai tingkatan pemerintahan, hendaknya menentang dan menghapus pola-pola diskriminasi dalam keluarga, yang berdasarkan preferensi terhadap anak laki-laki. Pernyataan dari kedua konferensi dunia (Kairo dan Beijing), secara eksplisit memperkuat tema konferensi tentang perempuan di Nairobi dan Beijing tentang “Kesetaraan dan Perdamaian”. Pernyataan ini memperingatkan semua kepala negara atau wakilnya yang hadir di Beijing pada tahun 1995, bahwa penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, adalah merupakan kewajiban negara. Selain pernyataan tersebut,

29 Face to face. International campaign for universal acces to reproductive health care, women’s empowerment and gender equality post testimonies. Issues and news, Web

pages, 2001.

pernyataan penting lainnya adalah bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat (primary health care), sebaiknya dipakai pendekatan life cycle approach, yaitu cara pendekatan dengan memperhatikan tumbuh kembang anak,karena dalam perkembangannya, seorang anak dalam mencapai standar sehat fisik, mental dan sosial yang optimal,seorang anak perempuan mempunyai kebutuhannya sendiri yang spesifik atau khas.

Indonesia, adalah salah satu negara anggota PBB yang menghadiri konferensi di Kairo (1994) dan Beijing (1995) serta ikut menanda tangani kesepakatan yang dicetuskan.Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral agar setiap anak perempuan mempunyai akses yang sama terhadap berbagai pelayanan kesehatan yang berkualitas, karena hak ini merupakan hak individual dan hak sosial seorang anak perempuan. Disebut hak individual, karena setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta menikmati standar kesehatan yang optimal, sedangkan hak sosial merupakan kewajiban lingkungan sosial untuk memberikan hak tersebut. Dalam hal ini berarti pemerintah dan segenap jajarannya mempunyai kewajiban untuk melindungi hak kesehatan perempuan sejak masa anak-anak, remaja, bahkan sampai usia dewasa lanjut.

Pernyataan penting lainnya yang berkaitan dengan konsep hak kesehatan reproduksi perempuan adalah bahwa kesehatan perempuan tidak bisa dilepaskan dari hak pendidikan perempuan. Hasil penelitian di berbagai negara Afrika dan Asia membuktikan bahwa pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap status kesehatan bayi dan anak. Dalam konferensi ICPD Kairo juga ditetapkan bahwa setiap perempuan mempunyai hak untuk menentukan kapan dia mau Pernyataan penting lainnya yang berkaitan dengan konsep hak kesehatan reproduksi perempuan adalah bahwa kesehatan perempuan tidak bisa dilepaskan dari hak pendidikan perempuan. Hasil penelitian di berbagai negara Afrika dan Asia membuktikan bahwa pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap status kesehatan bayi dan anak. Dalam konferensi ICPD Kairo juga ditetapkan bahwa setiap perempuan mempunyai hak untuk menentukan kapan dia mau

Apa yang menjadi perhatian khusus di konferensi ICPD Kairo telah terlebih dahulu menjadi ketentuan dalam pasal 12 Konvensi Wanita yang menyatakan 30

: ¾ Negara mempunyai kewajiban untuk membuat peraturan yang memastikan

atau menjamin perempuan dan laki-laki untuk mempunyai akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan risiko bagi kesehatan perempuan.

¾ Didalam suatu negara ada kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang membahayakan kesehatan perempuan dan anak perempuan, misalnya

kebiasaan yang melarang makan makanan tertentu bagi perempuan hamil, preferensi terhadap anak laki-laki, dan s unat perempuan yang bahkan bisa

b erupa female genital mutilation (FMG).