Sedangkan landasan hukum yang dipakai dalam pengambilan putusan pembatalan perkawinan meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
3. Al-Qur’an,
4. Hadits,
5. Kompilasi Hukum Islam.
B. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya menentukan bahwa
permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal istri, suami atau istri Pasal 38 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975
Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 yang menjadi pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan adalah :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
2. Suami atau istri artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari
suami atau istri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
4. Pejabat pengadilan.
Sedangkan dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami
atau istri 2.
Suami atau istri 3.
Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun
dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang- undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.
Dapat disebutkan juga bahwa barang siapa yang karena perkawinan tersebut masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar
masih adanya perkawinan tersebut, dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
C. Alasan Pembatalan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka perkawinan diadakan bukan untuk sementara dan bukan ikatan
lahir saja, melainkan ikatan lahir dan batin serta bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia untuk selamanya atau permanen. Oleh karena itu,
perceraian dan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan bila ada alasan atau alasan yang memaksa, yang menyimpang dari hukum bila diteruskan.
43
43
Dalam
http:www.referensimakalah.com201207sebab-sebab-pembatalan-perkawinan-dalam .html diakses tanggal 14 april 2013
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 26 dan 27 diatur mengenai alasan-alasan pembatalan perkawinan.
Pasal 26 menyebutkan : a.
Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang
tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. b.
Hal untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai
suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan
harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 menyebutkan :
a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b. Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau pun istri.
c. Apabila ancaman itu telah berhenti, atau yang beralah sangka itu
menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 enam bulan setelah itu masih hidup bersama sebagai suami istri dan tidak mempergunakan
haknya untuk mengajukan permohonan maka haknya gugur.
Sedangkan Pasal 70 KHI perkawinan batal apabila : a.
Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah memiliki empat orang istri. Dalam Hukum
Islam laki-laki hanya boleh memiliki empat orang istri dikarenakan takut seorang laki-laki tersebut tidak dapat adil kepada istri-istrinya
b. Seseorang menikahi istrinya yang telah dili’annya.
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lainyang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan
sudah habis masa iddahnya. d.
Perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan.
e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
atau istri-istrinya. Selanjutnya Pasal 71 KHI diaturbmengenai suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila : a.
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Seorang laki-laki jika ingin melakukan pernikahan untuk yang kedua
kalinya maka laki-laki tersebut haruslah meminta izin dari istri yang pertama, dan meminta izin dari Pengadilan Agama jika tidak ada dari
kedua belah pihak tersebut, maka pernikahan yang dilakukan oleh laki- laki tersebut tidak sah.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain yang mafqud hilang. c.
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Yaitu jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan
pihak wanita mencapai umur 16 enam belas tahun. Jika kedua belah pihak belum mencapai umur yang di atur undang-undang maka kedua
belah pihak dapat meminta izin ke Pengadilan Agama. e.
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Dari ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur oleh Pasal 70-71 KHI terikat bahwa perkawinan yang batal dan pernikahan yang dapat dibatalkan adalah
perkawinan yang melanggar larangan perkawinan, sebagai mana yang diatur oleh Pasal 39 KHI. Sementara ketentuan Pasal 72 KHI sama dengan ketentuan Pasal
27 UUP.
Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan perkawinan adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab badan peradilan, mengingat akibat
yang yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut suami isteri saja, tetapi juga termasuk keturunan dan pembagian harta kekayaan hasil perkawinan. Gugatan
pembatalan perkawinan diajukan kepengadilan agama diwilayah tempat perkawinan itu dahulunya dilangsungkan atau kepengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggal suami istri yang bersangkutan atau ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami istri
tersebut.
44
44
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, jakarta PT Raja Grafindo Persadia jakarta, hal 52
Beberapa tata cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu:
1. Pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 73
2. Kemudian mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua
Pengadilan HIR Pasal 118 ayat 1 atau Rbg Pasal 142 ayat 1, sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus.
3. Penggugat, Tergugat harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan
Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat
2, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 26,27 dan 28 Jo HIR Pasal 121,124 dan 125
4. Penggugat dan Tergugat secara pribadi atau melalui kuasanya wajib
membuktikan kebenaran dari isi dalil-dalil permohonan pembatalan perkawinan atau tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti
berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak HIR Pasal 164 atau Rbg Pasal 268.
Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut. 5.
Penggugat atau Tergugat secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap.
6. Penggugat dan Tergugat menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari
Pengadilan 7.
Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Penggugat segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama
KUA atau Kantor Catatan Sipil KCS.
45
Batasan waktu pengajuan pembatalan perkawinan untuk keadaan karena suami memalsukan identitasnya atau karena perkawinan terjadi adanya ancaman
atau paksaan, pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan masih hidup bersama
sebagai suami istri, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan istri. Kapanpun pihak istri dapat
mengajukan pembatalannya.
46
D. Saat Mulai Berlakunya Pembatalan Perkawinan