Islam.
33
1. Calon suami dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Berbeda halnya dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975,
tentang Pasal 11 yang menyatakan :
2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu
diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 45 menyebutkan : “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”
Adanya penjelasan pada Pasal 29 Undang-undang Perkawinan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk ta’lik talak. Jadi,
tampaknya ada pertentangan antara penjelasan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Mengingat isi ta’lik talak yang
memuat perjanjian tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama, maka tegaslah bahwa ta’lik talak tersebut masuk ke dalam kategori perjanjian perkawinan. Jadi
dapat dikatakan walaupun ta’lik talak telah dituliskan dalam surat nikah namun bukan sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali ta’lik talak telah
diucapkan maka ta’lik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.
Apabila perjanjian perkawinan telah disepakati bersama antara suami istri, tidak dipenuhi salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya
ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh suami maka istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai
alasan perceraian dalam gugatannya, sebaliknya jika terjadi pada istri yang melanggar perjanjian di luar ta’lik talak maka suami berhak mengajukan
perkaranya ke Pengadilan Agama.
34
E. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 13 yang berbunyi :
33
Ibid, hal. 218
34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal. 162-163
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan maka diatur tentang tata cara pencegahan
perkawinan.
35
Adapun para pihak yang boleh mengajukan pencegahan menurut Pasal 14 Undang-undang Perkawinan adalah :
a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b. Saudara.
c. Wali nikah.
d. Wali pengampu.
e. Suami atau istri lain yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau
istri tersebut. f.
Pejabat pengawas perkawinan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat 1 Undang-undang Perkawinan, pencegahan itu diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana
perkawinan akan dilakukan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan. Selanjutnya Pasal 17 ayat 2 Undang-undang Perkawinan
menyebutkan Pegawai Pencatatan Perkawinan memberitahukan kepada calon- calon mempelai tentang adanya permohonan pencegahan tersebut.
36
1. Diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan
dilaksanakan. Di sini hanya menyebut perkataan pengadilan. Tidak menyebut tegas Pengadilan Negeri. Hal ini sebenarnya sudah ditegaskan pada Pasal 63
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini ialah :
Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Perkawinan ada prosedur untuk mengajukan
permohonan pencegahan perkawinan :
35
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Zahir Trading Co, Medan, 1975, hal. 63
36
Ibid, hal. 65-67
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi yang tidak beragama Islam.
2. Pencegahan juga disampaikan kepada pejabat pencatat perkawinan.
Diberitahukan juga kepada calon-calon mempelai tentang permohonan pencegahan perkawinan tersebut.
Pencegahan menurut Kompilasi Hukum Islam di atur pada Pasal 60 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :
“Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undang”
Menurut Kompilasi Hukum Islam yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali nikah, wali pengampun dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan Pasal 62 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Selainn
yang disebutkan Pasal 62 tersebut dapat pula dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan, Pasal 63 Kompilasi Hukum Islam.
F. Batalnya Perkawinan