lebih dari satu orang, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak,
perwalian, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk, dan masa berkabung. Buku II mengatur mengenai ketentuan umum, ahli waris, besarnya
bagian, aul dan rad, wasiat, hibah. Sedangkan buku ke III mengatur tentang ketentuan umum, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, perubahan,
penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Kompilasi Hukum Islam KHI pada awal penyusunannya tidak nampak pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu.
Penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham mengenai apa yang disebut kompilasi, sehingga tidak menuai reaksi dari pihak manapun. Kompilasi
Hukum Islam ini diperuntukkan sebagai pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini maka Kompilasi Hukum Islam dapat
diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat Ulama’ fikih. Secara substansial, Kompilasi Hukum Islam ini merupakan hukum normatif bagi Umat
Islam, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada Instruksi Presiden selaku pemegang otoritas di bidang perundang-undangan.
B. Pihak-pihak yang Berkompeten dalam Pelaksanaan Perkawinan
Pihak-pihak yang harus ada dalam sebuah perkawinan menurut Pasal 14 KHI adalah :
1. Calon suami
Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai batas usia calon suami untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu 19
sembilan belas tahun. Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan batas usia calon suami mengacu kepada ketentuan UUP, hal ini disebutkan dalam Pasal 15
ayat 1 KHI.
Selain ketentuan mengenai batas usia, ada beberapa syarat untuk menjadi calon suami yaitu : Memiliki jenis kelamin harus pria atau laki-laki normal,
beragama Islam, tidak dalam paksaan untuk melangsungkan sebuah pernikahan atau perkawinan, tidak memiliki empat atau lebih dari empat istri, tidak dalam
ibadah ihram haji atau umroh, bukan mahram calon istri, yakin bahwa calon istri
halal untuk dinikahi, mengerti hukum-hukum dan layak berumah tangga, tidak ada halangan perkawinan.
11
2. Calon istri
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan seorang wanita dapat melangsungkan perkawinan jika wanita tersebut sudah mencapai umur 16
enam belas tahun. Ketentuan batas usia tersebut sama dengan Pasal 15 ayat 1 KHI. Ada beberapa syarat untuk menjadi calon mempelai wanita yaitu : Memiliki
jenis kelamin harus wanita atau perempuan normal, beragama Islam, bukan mahram calon suami, mengizinkan wali untuk menikahinya, tidak dalam masa
iddah, tidak sedang bersuami, belum pernah li’an, tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah.
12
3. Wali nikah
Adalah pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi
pihak penganten perempuan.
13
Pasal 20 KHI mengatur beberapa syarat untuk menjadi wali yaitu : a.
Haruslah beragama Islam, Syarat ini berdasarkan Nash Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 28 yang artinya
berbunyi : “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali mu.”
b. Berakal
Berakal adalah seseorang yang memiliki akal dan pikiran yang sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.
11
http:vanpierre.blogspot.com201112syarat-syarat-calon-mempelai-dan - ijab.html?m=1 diakses pada tanggal 12 juni 2013
12
Ibid
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007, hal. 69
c. Baliq
Telah dewasa d.
Laki-laki. Berjenis kelamin laki-laki yang normal.
Menurut hukum perkawinan islam, wali ada 3 yaitu : 1. Wali mujbir : wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya
menikah dengan seseorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas
dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal.
Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya apabila hal tersebut dipandang demi kebaikan bagi putrinya
dengan syarat-syarat sebagai berikut : a
Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu. b
Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedududkan putrinya mahar mithl.
c Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan.
d Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya
dengan laki-laki calon suaminya. e
Jika putrinya tidak mengikrarkan bahwa ia tidak perawan lagi. Meskipun wali mujbir dibolehkan untuk memaksakan putrinya untuk
menikah dengan laki-laki, tetapi sangat dianjurkan minta lah persetujuan putrinya terlebih dahulu, sebab langkah ini lebih baik. Di samping itu kekuasaan wali
mujbir menjadi hilang apabila putrinya telah janda dimaksud disini seorang wali mujbir tidak berhak untuk memaksa putrinya yang telah janda untuk dinikahkan
dengan laki-laki.
Surat Al-Baqarah ayat 232, yang berbunyi
14
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkamu tidak mengetahui.”
:
2. Wali nasab : wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan calon penganten perempuan. Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung,
sebapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilineal laki- laki.
3. Wali hakim : wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak calon suami-istri. Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama
dengan Qadli. Pengertian wali hakim ini termasuk Qadli di pengadilan. Dalam masalah wali nikah ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa ketiga wali
diatas harus berurutan. Artinya diawali dengan wali mujbir, lalu jika tidak adanya wali mujbir baru pindah ke wali nasab dan jika wali nasab tidak ada barulah
pindah ke wali hakim. Wali nikah termasuk salah satu syarat dan rukun nikah. 4.
Dua orang saksi Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada
kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
15
a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Ini lah pendapat yang
dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdirir dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan Ibnu al-
Humam; 250, sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.
:
b. Kedua orang saksi itu adalah beragama Isalam.
c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka .
14
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Cv Asy- Syifa, Semarang, 2000, hal 80
15
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal 83
d. Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat
ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya ada saksi laki-laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan
semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama dengan kedudukannya dengn seorang laki-laki Ibnu al-Humam, 199;
Ibnu Hazmin, 465 e.
lKedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah.
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi perkawinan. Ibnu al-Humam:197
f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
Pasal 25 KHI mengatur mengenai syarat saksi nikah yaitu : “Seorang laki-laki muslim, adil, akil-balik, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu atau tuli” Pasal 26 KHI juga menyatakan :
“Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah beserta
menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”.
5. Ijab dan Kabul
Ijab adalah pernyataan calon istri tentang kesediaannya dikawinkan dengan calon suami sedangkan kabul ialah jawaban pihak suami bahwa iya menerima
kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.
16
Pasal 27 KHI menyatakan ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun, dan tidak berselang waktu.
Menurut jumhur ulama syarat ijab kabul sebagai berikut
17
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
:
16
www.referensimakalah.com201209rukun-nikah-dan-syarat-syaratnya.html diakses
pada tanggal 21 Agustus 2013
17
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal, 71
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
c. Memakai kata-kata nikah, tajwid, atau terjemahan darai kedua kata
tersebut. d.
Antara ijab dan kabul bersambungan. e.
Antara ijab dan kabul jelas maksudnya. f.
Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang ihram haji atau umroh.
g. Majelis ijab dan kabul itu harus hadir minimum empat orang yaitu calon
suami, wali dari calon istri, dan dua orang saksi. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan
perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 undang-undang perkawinan antara lain :
a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
b. Adanya izin kedua orang tua atau wali bagi mempelai yang belum
berusia 21 tahun. c.
Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.
d. Adanya izin dari pengadilan yaitu jika batas umur yang dimaksud pada
point diatas belum terpenuhi yaitu dengan dimintakan dispensasi kepada pengadilan.
e. Tidak ada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
f. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama kepercayaan mereka tidak melarang mereka menikah untuk yang ketiga kalinya.
g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda. h.
Tidak lewat waktu 10 hari sejak pelaporan kehendak kawin. i.
Tidak ada pihak yang mengajukan pencegahan perkawinan. j.
Tidak ada larangan perkawinan. Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, bila tidak maka tidak sah.
Dalam kitab al-fiqih ‘ala al-mazhib al-arabah’ah disebutkan bahwa nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah
nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.
18
C. Tujuan Perkawinan