19
BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Hukum Positif tentang Perkawinan
Berbicara tentang hukum, maka yang senantiasa dimaksudkan adalah hukum pada saat ini atau pada saat tertentu di tempat tertentu yang sedang berlaku
baik berupa tertulis maupun tidak tertulis, hukum ini diberi nama Hukum Positif atau disebut Hukum Berlaku positief recht, geldend recht, atau stelling recht.
6
Ilmu hukum positif berusaha mencari kausalitas causaliteit antara gejala-gejala hukum di sekitar kita, yaitu antara hubungan gejala-gejala hukum itu. Hukum
positif sebagai ilmu harus menguji apakah pangkal peninjauannya dan azas-azas dan dasar yang diterimanya sebagai dasar sistem yang hendak dipakainya
memang benar dan sesuai dengan realitas.
7
Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan
oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum eropa, hukum adat dan hukum
agama. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah
masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda Nederlandsch-Indie. Di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang
diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang
ada di wilayah nusantara. Selain itu Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Agama Islam, maka dominasi hukum atau
Syar’iyah Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan
6
E. UtrechtMoh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal. 21-22
7
Ibid, hal, 45
warisan.
8
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
Bangsa Indonesia
pernah mempunyai pengalaman yang sangat
mengesankan, yaitu ketika hendak merumuskan Undang-undang Perkawinan. Dengan alasan unifikasi hukum, pada tahun 1973 pemerintah mengusulkan
Rancangan Undang-Undang perkawinan RUUP. Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep Rancangan
Undang-undang Perkawinan yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat DPR menjadi Undang-undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974,
Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
Undang-undang Perkawinan ini terdiri dari 14 Bab, 67 pasal. Dalam undang-undang ini diatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan mulai
dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri,
harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-
ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Hazairin Guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia UI, dalam
bukunya: “Tinjauan Mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Menamakan undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik
dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan undang-undang
tersebut bertujuan untuk melengkapi hukum positif di Indonesia yaitu sesuatu
8
Abdoel Djamali, R, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.11
yang tidak diatur oleh hukum agama atau kepercayaan sehingga negara berhak mengaturnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya.
9
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh presiden untuk melaksanakan undang-undang, untuk menjalankan undang- undang. Pembentukkan peraturan pemerintah ini hanya bersifat teknis, yakni
sebuah peraturan yang bertujuan untuk membuat Undang-Undang dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.
10
Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari 10 Bab, 49 pasal dalam peraturan pemerintah ini diatur mengenai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mulai
dari ketentuan umum, pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, beristri
lebih dari seorang, ketentuan pidana, dan penutup. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dibentuk dan dijadikan hukum positif di Indonesia pada tanggal 1 April 1975, dimana Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk atas dasar untuk melakukan
Pelaksanaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
3. Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare”, yang diartikan mengumpul kan bersama-sama, seperti mengumpul kan peraturan-peraturan yang
tersebar di mana-mana. Istilah ini dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda. Kemudian dipergunakan
dalam bahasa Indonesia menjadi kompilasi, sebagai terjemahan langsung dari dua perkataan tersebut.
Kompilasi Hukum Islam ini terdiri dari III buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan yang terdiri dari 19 Bab, buku II tentang Hukum Kewarisan yang
terdiri dari 6 Bab, dan buku III tentang Hukum Perwakafan yang terdiri dari 6 Bab. Yang keseluruhannya terdiri dari 229 Pasal. Buku I mengatur mengenai
ketentuan umum, dasar-dasar perkawinan, peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristeri
9
K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 4 -5
10
http:statushukum.comperaturan-pemerintah.html diakses pada tanggal 12 juni 2013
lebih dari satu orang, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak,
perwalian, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk, dan masa berkabung. Buku II mengatur mengenai ketentuan umum, ahli waris, besarnya
bagian, aul dan rad, wasiat, hibah. Sedangkan buku ke III mengatur tentang ketentuan umum, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, perubahan,
penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Kompilasi Hukum Islam KHI pada awal penyusunannya tidak nampak pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu.
Penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham mengenai apa yang disebut kompilasi, sehingga tidak menuai reaksi dari pihak manapun. Kompilasi
Hukum Islam ini diperuntukkan sebagai pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini maka Kompilasi Hukum Islam dapat
diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat Ulama’ fikih. Secara substansial, Kompilasi Hukum Islam ini merupakan hukum normatif bagi Umat
Islam, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada Instruksi Presiden selaku pemegang otoritas di bidang perundang-undangan.
B. Pihak-pihak yang Berkompeten dalam Pelaksanaan Perkawinan