Kebijakan Kedelai Nasional GAMBARAN UMUM PERKEDELAIAN NASIONAL

5.4 Kebijakan Kedelai Nasional

Dewasa ini terjadi gejolak harga terhadap komoditas kedelai. Gejolak harga tersebut terjadi bukan hanya pada negara Indonesia, tetapi terjadi pada hampir semua negara di belahan dunia ini. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat USA selaku produsen kedelai terbesar di dunia mengurangi supply penawaran kedelainya ke pasaran dunia, sehingga terjadi kelangkaan dan pada akhirnya menaikan harga kedelai dunia. Amerika Serikat mengurangi supply penawaran kedelainya karena lahan untuk pertanian kedelai dikonversi menjadi lahan pertanian jagung. Jagung menjadi komoditas yang sangat mahal dikarenakan komoditi ini dijadikan sebagai bahan baku untuk BioDiesel Bio-Fuel. Oleh karena sebab tersebut hampir semua para petani di USA beralih untuk menanam jagung dengan alasan lebih menguntungkan profit oriented. Dampak dari masalah dalam negeri USA tersebut, Indonesia selaku negara net importir kedelai terbesar menerima dampaknya. Misalnya terjadi kenaikan harga kedelai dalam negeri yang mencapai lebih dari 100 persen pada akhir 2007. Kenaikan harga kedelai domestik disebakkan oleh naiknya harga kedelai impor dari USA dan diperburuk lagi dengan adanya tarif impor sebesar 10 persen yang ditetapkan pemerintah. Dengan keadaan tersebut sangatlah wajar jika harga kedelai dalam negeri menjadi semakin mahal. Melihat kebelakang sejarah kebijakan kedelai yang pernah terjadi di Indonesia. Sebenarnya berbagai kebijakan tentang perkedelaian pernah dilakukan oleh pemerintah. Segala macam kebijakan tersebut dilakukan untuk upaya dapat meningkatkan kwalitas perkedelaian di Indonesia yaitu untuk peningkatan produksi, perbaikan tataniaga, perbaikan harga produsen dan yang pasti mengurangi jumlah impor. Pada tahun 1980 dan 1990 pemerintah menetapkan kebijakan tentang sarana dan prasaran produksi, yaitu menetapkan harga dasar pupuk urea Rp 70 per kilogram menjadi Rp 165 per kilogram pada tahun 1990. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tataniaga kedelai adalah Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 406MPPKep111997, yang berlaku mulai 1 Januari 1998. Kebijakan tersebut menerangkan bahwa impor kedelai yang semula hanya dilakukan oleh Bulog diubah menjadi boleh dilakukan oleh importir umum. Kebijakan tersebut memberikan dampak memacu peningkatan impor kedelai dari USA, China, Argentina dan Brazil dalam jumlah besar. Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pasokan kedelai di dalam negeri dan kestabilan harga domestik. Dampak yang lebih buruk adalah akan mempengaruhi motivasi petani produsen secara negatif untuk menanam kedelai. Pada akhirnya dampak kebijakan tersebut menurunkan produksi kedelai nasional. Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 444KMK.011998 tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor beberapa produk tertentu. Terhitung 29 September 1998, tarif bea masuk kedelai impor yang semula lima persen dihilangkan menjadi 0 nol persen. Kebijakan tersebut justru memperburuk kondisi petani kedelai dalam negeri. Berdasarkan teori perdagangan Salvatore, kebijakan tersebut akan menyebabkan turunnya harga kedelai pada tingkat petani. Sebaliknya, kebijakan tersebut menguntungkan 63 industri pengolahan kedelai, karena dapat menikmati murahnya harga kedelai impor dengan kualitas dan pasokan yang lebih menjamin kontinuitas produknya. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 146MPPKep41999 tentang perubahan lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 558MPPKep121998 tentang ketentuan umum dibidang ekspor, terhitung mulai tanggal 22 April 1998 komoditas kedelai adalah akan bebas diekspor. Pada awalnya, berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 503 dan 504KpXII1982, Keppres Nomor 103, Keppres Nomor 50 tahun 1995 dan Keputusan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230MPPKep71997 tanggal 4 juli 1997 adalah untuk tujuan pengendalian stok, harga dan mutu, maka impor kedelai. Semua tugas tersebut hanya dapat dilakukan oleh Bulog. Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 406MPPKepII1997 tentang perubahan lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230MPPKep71997 dan keluarnya Keppres Nomor 19 tahun 1998, maka komoditas kedelai dibebaskan dari tataniaga impor, bukan hanya dapat dilakukan oleh Bulog saja, tetapi melainkan dapat dilakukan oleh importir umum. Keputusan Menteri Keuangan Kepmenkeu Nomor 444KMK.011998 tanggal 29 September 1998, tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor untuk beberapa produk tertentu. Kepmenkeu tersebut membahas atau menerangkan bahwa tarif bea masuk kedelai impor dihilangkan menjadi 0 nol persen. Ketentuan ini berlaku bagi barang impor yang dokumen PIB-nya telah mendapat nomor pendaftaran dari kantor 64 pelayanan Ditjen Bea dan Cukai. Sejak tanggal diberlakukannnya keputusan menkeu tersebut kedelai impor semakin meningkat jumlahnya. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557KMK.012003 tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor untuk beberapa produk tertentu maka diputuskan bahwa tariff bea masuk kedelai impor menjadi 15 persen. Dan diperbaharui lagi menjadi 10 persen pada tahun 2006 serta yang terakhir yaitu tahun 2008 tarif bea masuk impor kedelai dirubah menjadi 0 nol persen kembali. Untuk kali ini bukan hanya melalui satu keputusan menteri saja melainkan juga dengan dikeluarkannya Keppres dari presiden. Hal tersebut dilakukan karena terjadi sangat tingginya perubahan harga kedelai didalam negeri yang mencapai lebih dari 100 persen. Keputusan menteri keuangan nomor 557 tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan stok kedelai di dalam negeri, peningkatan konsumsi dan semakin tingginya harga dalam negeri.. .Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan peningkatan kedelai nasional, juga terus dilakukan. Salah satunya melalui Program Kedelai Mandiri tahun 2000 Prokema 2000. Program tersebut bertitik tolak berdasarkan dari adanya Keputusan Menteri Pertanian dan Ketua Badan Pengendali Bimas. Keputusan Menteri Pertanian dan Ketua Badan Pengendali Bimas tersebut Nomor 102SKMentanBimasIV1998 tanggal 15 April 1998, yaitu mengenai pembentukan kelompok kerja peningkatan produksi kedelai. Peraturan tersebut tentang pembuatan rencana pengembangan kedelai lokal dan impor dengan menggunakan sarana produksi pertanian sampai dengan tahun 2003. Untuk lebih jelasnya dapat diilustrasikan melalui Tabel 8 berikut. Tabel 8. Program Prokema 2000: Sasaran Produksi dan Peranan Impor Indonesia Tahun 1998-2003. No Keterangan 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1 Produksi 1.306 1.383 2.252 2.475 2.578 2.705 2 Konsumsi 1.649 2.684 2.240 2.275 2.308 2.345 3 Surplus -343 -1.301 12 200 270 360 4 Kebutuhan Impor 343 1.301 - - - - 5 Peranan Impor ada Ada tda tda tda tda Sumber: Deptan. Diolah dari Prokema 2000. Keterangan: Angka Proyeksi Sasaran Berdasarkan tabel diatas, pemerintah mentargetkan pada tahun 2001 Indonesia sudah bisa bebas dari peranan impor kedelai. Diharapkan juga pada tahun 2001 Indonesia sudah bisa memproduksi kedelai sebanyak 2.578 ribu ton. Surplus produksi kedelai pun ditargetkan pada tahun 2003 sudah bisa mencapai 360 ribu ton. Target terakhir dari adanya program tersebut Indonesia bisa berswasembada kedelai sendiri. Tabel 9. Hasil Perbandingan Program Prokema Dengan Kondisi Riil yang Sebenarnya Terjadi pada Tahun 1998-2003 No Keterangan 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1 Realisasi produksi 1.306 1.383 1.018 827 673 672 2 Selisih dengan kondisi riil 1.234 1.648 1.905 2.033 3 Realisasi konsumsi 1.649 2.684 2.264 1.960 2.017 2.016 4 Selisih dengan kondisi riil 24 -315 -291 -329 5 Surplus -343 -1.301 -1.246 - 1.133 -1.344 -1.344 6 Kebutuhan impor riil 343 1.301 1.246 1.133 1.344 1.344 7 Peranan impor riil ada ada ada ada ada ada Sumber: Diolah Dari Tabel 8. 66 Dari Tabel 8 dapat terlihat bahwa sasaran dari Program Prokema ialah menghilangkan peranan impor dan meningkatkan produksi, sehingga tercapai surplus produksi kedelai. Dari sasaran tersebut diharapkan Indonesia bisa mewujudkan swasembada kedelai pada tahun 2001. Program tersebut ternyata belum mampu mencapai sasaran atau target pemerintah. Pada kondisi riil sebenarnya rencana tersebut ternyata jauh meleset dari yang telah diprogramkan. Justru yang terjadi adalah semakin meningkatnya kebutuhan impor dari tahun ke tahun. Menyikapi kegagalan program tersebut, pemerintah melalui Departemen Pertanian membuat kebijakan baru pada awal tahun 2008 yaitu Program Bangkit Kedelai Nasional dengan Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai Tahun 2008. Sasaran dari program tersebut adalah meningkatkan produksi nasional mencapai 1,2 juta ton. Uraian dari program tersebut adalah luas tanam mencapai satu juta hektar dengan perkiraan luas panen mencapai 760 ribu hektar dan rata-rata produktivitas 1,54 ton per hektar. Strategi dari program percepatan produksi kedelai tahun 2008 yaitu 1 peningkatan produktivitas, 2 perluasan areal tanam, 3 pengamanan produksi, dan 4 penguatan kelembagaan dan dukungan pembiayaan. Langkah-langkah operasional program percepatan produksi kedelai pada tahun 2008 adalah yang pertama, peningkatan produktivitas untuk luas tanam 500 ribu hektar yang terbagi; 1 melalui bantuan benih untuk luas tanam 210.000 hektar, 2 optimalisasi pembinaan untuk luas tanam 290.000 hektar. Kedua, perluasan areal tanam untuk areal tanam baru seluas 500 ribu hektar yang terinci sebagai berikut; 1 sekolah lapang pengolahan tanaman terpadu SL_PTT di daerah yang belum pernah tanam kedelai sebanyak 200 ribu hektar, 2 upaya khusus peningkatan produksi kedelai sebanyak 200 ribu hektar dan 3 pola kemitraan dengan Bulog, INKOPTI, Swasta, BUMN CSR dan Perbankan sebanyak 100 ribu hektar. Pada skala internasional kebijakan perdagangan tentang pertanian umumnya, termuat dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang persetujuan World Trade Organization WTO. Indonesia sebagai salah satu negara anggota diwajibkan memenuhi senua aturan WTO sesuai komitmen yang tercantum dalam skedul XXI tahun 1994. Komitmen tersebut diantaranya Indonesia wajib mengganti kebijakan tataniaga impor hasil pertaniannya menjadi kebijakan tarif setara. Tarif baru tersebut dapat lebih tinggi dari batas maksimum 40 persen. Tarif tersebut berdasarkan rumus yang telah disepakati dalam Putaran Uruguay dan berlaku sejak 1 januari 1995. Letter of Intent LoI tanggal 15 januari 1998 dalam kesepakatan dengan IMF International Monetery Found. Dalam kesepakatan tersebut Indonesia diwajibkan sepenuhnya untuk mematuhi ketentuan yang lebih berat dari pada ketentuan WTO. Dalam hal ini yang paling berdampak negatif bagi petani kedelai local adalah penghapusan monopoli impor kedelai oleh Bulog dan penurunan tarif bea masuk menjadi setinggi-tingginya 5.0 persen. Tentu saja hal ini semakin membuat petani kedelai kita terpukul dan tidak bias bersaing dengan kedelai impor. Konsekuensi ketentuan tersebut adalah penghapusan monopoli impor kedelai oleh Bulog melalui Kep.MPP.No.406MPPKepII97 efektif berlaku tanggal 1 Januari 1998 serta penurunan bea masuk oleh Kepmenkeu No. 68 444KMK.011998 tanggal 29 September 1998, dimana impor HS.1201.00.100 bea masuknya tarif impor menjadi 0 nol persen. Arah kebijakan impor sebelum reformasi sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa, Indonesia telah terikat meratifiksi dan menandatangni bersama dengan WTO dan IMF. Dimana sistem monopoli dan aturan bea masuk tarif impor barang impor sudah ditentukan frame worknya secara global. Hal ini tentunya tidak bisa secara sepihak Indonesia menetapkan aturan baik dalam bentuk tariff barriers maupun non tariff barriers. Selanjutnya Indonesia hanya dapat menuruti peraturan tersebut, walaupun disisi lain keadaan ini sudah sangat merugikan pertanian kita umumnya dan kedelai khususnya. Adapun sikap dan posisi Indonesia terhadap kebijakan perdagangan internasional dapat digolongkan berdasarkan tiga hal. Pertama, Food Security Ketahanan Pangan, Indonesia berpendirian bahwa ketahanan pangan tidak semata-mata dipenihi melalui leberalisasi perdagangan. Kedua, Market Acces, Tariff Peaks dan Eskalasi, Indonesia mendukung upaya-upaya perluasan akses pasar bagi produk pertanian. Indonesia menginginkan agar produk tropis tidak dikenai tarif eskalasi. Indonesia menginginkan adanya pengurangan tarif bagi produk pertanian dari negara berkembang dan penghapusan tarif Tarif Peaks, tarif eskalasi. Indonesia juga mengusulkan penghapusan hambatan non tarif pada negara maju. Ketiga, Special Safeguard SSG, yaitu Indonesia mengusulkan dan menghendaki SSG untuk produk pertanian yang dihasilkan Negara maju dihapuskan, namun SSG bagi produk pertanian yang dihasilkan negara berkembang tetap diberikan. Keempat, Domestic Subsidy, karena adanya aspek 69 negative dari domestik subsidi yang diberikan negara maju kepada petaninya sehingga diusulkan dihapuskan. Dalam era globalisasi permasalahan tarif impor memang menjadi penghambat. Menghilangkan tarif impor untuk saat ini memang masih sulit dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Kondisi tersebut akan berlangsung atau dilaksakan sampai keadaan perkedelaian nasional yang dinilai oleh pemeritah relatif lebih stabil atau desakan dari internasional yang tidak bisa dihindari. 70

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN