Tujuan dan Manfaat Hipotesis Teknik Penangkapan yang Diterapkan

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan : 1 Menentukan komposisi hasil tangkapan bubu, 2 Menentukan lama perendaman yang efektif untuk menangkap ikan kakap merah pada kedua jenis bubu, 3 Menentukan tingkat Return-Cost Ratio RC ratio untuk mendapatkan usaha perikanan bubu yang menguntungkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada nelayan tentang lama perendaman dan jenis bubu yang efektif untuk menangkap ikan kakap merah sehingga tercapai peningkatan pendapatan nelayan. Selain itu penting untuk diketahui tingkat pendapatan usaha perikanan bubu saat ini apakah masih memberikan keuntungan sehingga layak untuk dilanjutkandikembangkan atau telah mengalami kerugian sehingga usaha perikanan bubu tersebut tidak layak untuk dilanjutkan.

1.4 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah: lama perendaman dan jenis bubu berpengaruh terhadap produktivitas hasil tangkapan ikan kakap merah. 5 6 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

2.1.1 Kondisi Geografis dan Administrasi

Kabupaten Pontianak adalah salah satu dari 12 daerah kabupatenkota yang ada di Propinsi Kalimantan Barat. Secara geografis Kabupaten Pontianak terletak pada 0° 44 Lintang Utara dan 1° 00 Lintang Selatan, serta diantara 108° 24 Bujur Timur dan 109° 00 Bujur Timur. Secara administratif Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 berbatasan dengan : • Sebelah Utara Kabupaten Bengkayang • Sebelah Selatan Kabupaten Ketapang • Sebelah Barat Laut Natuna • Sebelah Timur Kabupaten Landak Kabupaten Pontianak sampai dengan akhir tahun 2005 membawahi 16 kecamatan dengan luas wilayah 8.262,10 km 2 atau sekitar 5,63 dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat. Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Batu Ampar dengan luas 2.002,70 km 2 atau sekitar 24,24 dari luas wilayah kabupaten. Sedangkan yang terkecil wilayahnya adalah Kecamatan Anjungan seluas 80,58 km 2 atau sekitar 0,98 dari luas wilayah kabupaten .

2.1.2 Curah Hujan

Secara umum jumlah curah hujan Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 tercatat sebesar 31.171 mm per tahun atau rata-rata sebesar 250 mm per bulan. Rata-rata curah hujan tertinggi selama tahun 2005 terjadi pada bulan Nopember yaitu sebesar 389 mm, sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan April sebesar 154 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada Kecamatan Anjungan sebesar 3.692 mm, sedangkan untuk curah hujan terendah terjadi pada Kecamatan Sungai Kakap sebesar 735 mm. Jumlah hari hujan di Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 sebanyak 162 hari per tahun atau rata-rata 14 hari per bulan. Rata-rata hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebanyak 22 hari sedangkan terendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus sebanyak 9 hari. Apabila dilihat dari angka per kecamatan, diperoleh 7 hari hujan tertinggi pada tahun 2005 yakni berada di Kecamatan Sungai Kunyit sebanyak 207 hari, sedangkan untuk hari hujan terendah berada di Kecamatan Sungai Kakap sebanyak 65 hari.

2.1.3 Penduduk

Penduduk Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 berjumlah 725.662 jiwa yang terdiri dari 371.273 jiwa 51,16 orang pria dan 354.389 jiwa 48,84 orang wanita. Bila dibandingkan dengan tahun 2004, dengan jumlah penduduk 709.933 jiwa, berarti telah terjadi pertambahan penduduk sekitar 2,22 atau adanya pertambahan penduduk pada tahun 2005 sebanyak 15.729 jiwa. Penyebaran penduduk di Kabupaten Pontianak tidak merata sehingga akan dijumpai adanya kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan ada juga kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang sedang bahkan sedikit. Hal ini terjadi pada Kecamatan Sungai Raya yang memiliki jumlah penduduk hingga mencapai 205.216 jiwa satu-satunya kecamatan di Kabupaten Pontianak dengan jumlah penduduk di atas 200.000 jiwa, dan beberapa kecamatan dengan jumlah penduduk antara 50.000-100.000 jiwa seperti terjadi pada Kecamatan Sungai Kakap sebanyak 95.808 jiwa, Sungai Ambawang 61.797 jiwa dan Mempawah Hilir 56.343 jiwa. Selain itu tergambar pula kelompok kecamatan yang jarangkecil jumlah penduduknya yaitu di bawah 20.000 jiwa seperti pada Kecamatan Segedong 19.745 jiwa, Teluk Pakedai 18.801 jiwa, Anjungan 14.233 jiwa dan Terentang 7.928 jiwa. Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya yang lebih besar dibandingkan dengan kecamatan lainnya dapat dimaklumi karena letak kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kota Pontianak yang menjadi ibukota Propinsi Kalimantan Barat serta banyak dijumpai perusahaan industri kayu yang berkategori industri besar dan sedang yang banyak menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2005 sex ratio rasio jenis kelamin di Kabupaten Pontianak sebesar 104,8 yang berarti tiap 100 penduduk perempuan terdapat 104 penduduk laki-laki. Kemudian luas wilayah kabupaten ini adalah 8.262,10 km 2 dengan kepadatan penduduknya 88 jiwa per km 2 . Kecamatan yang terpadat penduduknya adalah Kecamatan Sungai Pinyuh dengan kepadatan 372 jiwa per km 2 dan yang terkecil kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Terentang 10 jiwa per km 2 . 8 Laju pertumbuhan penduduk LPP Kabupaten Pontianak periode tahun 1990–2000 sebesar 1,96 per tahun, dimana data tersebut tidak termasuk penduduk tidak tetap. Angka ini lebih besar dari angka Propinsi Kalimantan Barat yaitu 1,56 dan angka nasional 1,35. Jika dibandingkan dengan dekade sebelumnya, yaitu tahun 1980-1990 yang sebesar 2,55, maka laju pertumbuhan penduduk per tahunnya mengalami penurunan yang berarti pertambahan penduduk tiap tahun periode tahun 1990-2001 lebih kecil dibandingkan periode tahun 1980-1990. Dari data penduduk menurut golongan umur dapat terlihat bahwa komposisi penduduk Kabupaten Pontianak masih didominasi oleh penduduk usia muda 0-14 tahun, baik penduduk laki-laki maupun perempuan, yang berarti angka beban ketergantungan Dependency Ratio masih besar, yaitu 61,12. Sedangkan untuk golongan umur yang paling banyak penduduknya ada pada golongan umur 5–9 tahun, dan yang paling sedikit adalah pada golongan umur di atas 75 tahun.

2.1.4 Pendidikan

Dalam upaya mengimbangi pertambahan penduduk khususnya usia sekolah maka salah satu usaha pemerintah maupun swasta di bidang pendidikan adalah menyediakan berbagai sarana fisik dan pengadaan tenaga guru yang memadai, hal ini dilaksanakan guna mencapai tahap mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada tahun 2005 terdapat beberapa jenjang sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pontianak mengalami penambahan dari tahun sebelumnya antara lain: SD Negeri dari 477 sekolah menjadi 478 sekolah, SD Swasta dari 15 sekolah menjadi 19 sekolah, SMP Negeri dari 44 sekolah menjadi 51 sekolah. SLTP Swasta 43 sekolah menjadi 45 sekolah. Sementara itu SMA Negeri dari 14 sekolah menjadi 15 sekolah, SMA Swasta dari 20 sekolah menjadi 24 sekolah, SMK Negeri dari 3 sekolah menjadi 4 sekolah, SMK Swasta tidak ada penambahan. Hingga tahun 2005 Kabupaten Pontianak belum memiliki SMP Kejuruan, dari jumlah SMP sebanyak 96 buah semuanya SMP Umum. Untuk jumlah SLTA seluruh sebanyak 54 sekolah diantaranya SMK 15 buah 27,78, dan SMA sebanyak 39 buah 72,22. 9

2.1.5 Kondisi Perikanan Tangkap

Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak yang tercatat pada periode 1992-2005 mengalami fluktuasi produksi turun naik, seperti terjadi pada produksi perikanan tahun 1992 sebesar 25.091,4 ton menjadi 25.549,7 ton pada tahun 1993 naik 1,83, seperti terlihat pada Gambar 2. Namun nilai produksi perikanan laut tersebut meningkat terus setiap tahunnya, hal ini menggambarkan bahwa produksi ikan mengalami turun naik di lain pihak harga ikan terus meningkat. Seperti terjadi pada periode 1992-2000 nilai produksi ikan laut mengalami kenaikan setiap tahun, tetapi pada periode 2000-2002 mengalami penurunan, meningkat lagi pada periode 2003–2004 dan mengalami penurunan kembali pada periode 2004–2005. 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 Tahun P roduks i ton Sumber: BAPPEDA Kabupaten Pontianak 2006 Gambar 2 Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak Periode 1992-2005. Demikian pula halnya terjadi pada produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Pontianak periode 1992-2005 yang mengalami fluktuasi produksi turun naik, seperti terjadi pada produksi perikanan tahun 1992 sebesar 573,60 ton meningkat menjadi 679,70 ton naik 18,50 pada tahun 1993, seperti terlihat pada Gambar 3. 10 0,0 100,0 200,0 300,0 400,0 500,0 600,0 700,0 800,0 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 Tahun P roduks i ton Sumber: BAPPEDA Kabupaten Pontianak 2006 Gambar 3 Produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Pontianak Periode 1992-2005. Selain data produksi perikanan laut dan perikanan perairan umum, berikut disajikan pula data-data lain yang berhubungan dengan bidang perikanan di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pontianak, meliputi jumlah RTP Tabel 1, jumlah trip Tabel 2 dan perbanding jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan laut Tabel 3 dan perikanan perairan umum Tabel 4. Tabel 1 Jumlah RTP di Kabupaten Pontianak tahun 2005 No Uraian Jumlah 1 RTP perikanan tangkap di laut 3.445 2 RTP perikanan tangkap di perairan umum 508 3 Jumlah perahukapal motor di laut 3.635 4 Jumlah perahukapal motor di perairan umum 562 5 Jumlah unit alat tangkap di laut 5.171 6 Jumlah unit alat tangkap di perairan umum 1.430 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan 2006 Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah perahukapal motor di Laut dan di perairan umum lebih besar dari jumlah RTP perikanan tangkap laut dan perairan umum, hal ini berarti bahwa RTP perikanan tangkap di laut dan di perairan umum memiliki perahukapal motor lebih dari satu. Hal tersebut dapat 11 terjadi disebabkan karena kegiatan perikanan tangkap di laut dan di perairan umum merupakan alternatif untuk berusaha yang memberikan keuntungan. Tabel 2 Perbandingan jumlah trip perahukapal motor laut di Kabupaten Pontianak tahun 2004 dan 2005 No PerahuKapal Motor Jumlah Trip Keterangan 2004 2005 1 PerahuKapal tanpa motor a Jukung 2.521 2.931 16,26 naik b Perahu Papan Kecil 4.478 5.115 14,23 naik c Perahu Papan Sedang 23.170 25.212 8,81 naik d Perahu Papan Besar 3.153 4.134 31,11 naik 2 Motor Tempel 84.739 86.969 2,63 naik 3 PerahuKapal Motor a 0-5 GT 77.096 74.726 -3,07 turun b 5-10 GT 27.458 20.404 -25,69 turun c 10-20 GT 4.777 2.526 -47,12 turun Jumlah 227.392 222.017 -2,36 turun Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan 2006 Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa jumlah trip pada tahun 2005 menurun sebesar 2,36 dari tahun 2004. Kenaikan trip pada tahun 2005 terjadi pada seluruh perahukapal tanpa motor dan motor tempel, terbanyak terjadi pada perahu papan besar sebesar 31,11, sedangkan pada perahukapal motor terjadi penurunan secara keseluruhan, yang terbanyak terjadi pada perahukapal motor ukuran 10-20 GT sebesar 47,12. Hal ini disebabkan pada pertengahan tahun 2005 telah terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak BBM yang mencapai 100, sehingga mengakibatkan biaya operasional meningkat, terutama bagi nelayan kapal motor berukuran 10-20 GT, yang menggunakan alat tangkap pukat tarik untuk udang, sehingga produksi udang Tabel 3 menurun sebesar 34,34. 12 Tabel 3 Perbandingan jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan laut menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Pontianak tahun 2004-2005 No Jenis Alat Tangkap 2004 2005 Produksi ton Nilai 000 Produksi ton Nilai 000 1 Pukat Tarik Udang 7.031,0 42.186.000,0 4.014,5 27.700.050,0 2 PayangPukat Bawal 98,7 1.974.500,0 79,5 1.669.500,0 3 Jaring Insang Hanyut 6.262,3 37.573.800,0 5.941,7 40.780.730,0 4 Jaring Insang Tetap 775,6 4.653.600,0 852,4 5.881.560,0 5 Jaring Tiga Lapis 403,1 2.418.600,0 427,6 2.950.440,0 6 Bgn. TancapKelong 191,8 492.775,0 151,4 419.640,0 7 Rawai Hanyut 451,3 2.707.800,0 397,1 2.739.990,0 8 Rawai Tetap 262,0 1.572.000,0 295,2 2.096.880,0 9 SeroBelat 59,1 354.600,0 71,9 496.110,0 10 Jermal 3.767,9 22.607.400,0 3.749,5 24.371.750,0 11 Bubu Ikan Merah 103,5 1.811.250,0 108,7 1.956.600,0 12 TogoAmbai 435,8 2.614.800,0 449,3 2.920.450,0 13 Alat Kepiting 107,3 643.800,0 100,4 652.600,0 Jumlah 19.949,4 121.610.925,0 16.639,2 114.636.300,0 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan 2006 Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi perikanan pada tahun 2005 dari tahun 2004 sebesar 16,59, diikuti pula dengan penurunan nilai sebesar 5,74. Penurunan produksi dan nilai tersebut terjadi pada perikanan Pukat Tarik Udang yang menggunakan kapal motor ukuran 10-20 GT, disebabkan oleh kenaikan harga BBM pada pertengahan tahun 2005. 13 Tabel 4 Perbandingan jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan perairan umum menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Pontianak tahun 2004- 2005 No Jenis Alat tangkap Tahun 2004 Tahun 2005 Produksi ton Nilai 000 Produksi ton Nilai 000 1 Jaring insang tetap 252,3 2.270.700,0 248,4 2.111.400,0 2 Rawai 97,8 880.200,0 79,3 713.700,0 3 Pancing 58,4 525.600,0 58,0 493.000,0 4 Sero Belat 80,5 713.050,0 93,7 921.540,0 5 Bubu Ikan 2,9 29.435,0 3,2 31.472,0 6 Jala Tebar 7,8 383.859,0 41,5 408.152,0 7 Rompong 53,9 551.756,0 59,3 583.236,0 Jumlah 583,6 5.354.600,0 583,4 5.262.500,0 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan 2006 Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa jumlah produksi beserta nilainya pada kegiatan perikanan di perairan umum cukup stabil, tidak terjadi kenaikan atau penurunan yang drastis. Kenaikan harga BBM sebesar 100 pada pertengahan tahun 2005 tidak berpengaruh terhadap kegiatan perikanan di perairan umum. Hal ini disebabkan karena jarak fishing ground di perairan umum lebih kecilpendek daripada jarak fishing ground di laut. 2.2 Deskripsi Ikan 2.2.1 Morfologi Kakap Merah Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk tiga genus yaitu Lutjanus, Latidae dan Labotidae. Jenis-jenis yang termasuk Lutjanidae biasanya disebut kakap merah, dan jenis lainnya yaitu Lates calcarifer yang termasuk suku Latidae umumnya disebut kakap putih dan Lobotos surinamensis yang termasuk suku Lobotidae disebut kakap batu Hutomo et al. 1986. Ikan kakap merah keluarga Lutjanidae mempunyai klasifikasi sebagai berikut Saanin, 1984 : 14 Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Perciodea Famili : Lutjanidae Sub famili : Lutjanidae Genus : Lutjanus Spesies : Lutjanus sp. Gambar 4 Ikan kakap merah Lutjanus sp.. Ciri-ciri kakap merah Lutjanus sp. mempunyai tubuh yang memanjang dan melebar, gepeng atau lonjong, kepala cembung atau sedikit cekung. Jenis ikan ini umumnya bermulut lebar dan agak menjorok ke muka, gigi konikel pada taring-taringnya tersusun dalam satu atau dua baris dengan serangkaian gigi caninnya yang berada pada bagian depan. Ikan ini mengalami pembesaran dengan bentuk segitiga maupun bentuk V dengan atau tanpa penambahan pada bagian ujung maupun penajaman. Bagian bawah pra penutup insang bergerigi dengan ujung berbentuk tonjolan yang tajam. Sirip punggung dan sirip duburnya terdiri dari jari-jari keras dan jari-jari lunak. Sirip punggung umumnya berkesinambungan dan berlekuk pada bagian antara yang berduri keras dan bagian yang berduri lunak. Batas belakang ekornya agak cekung dengan kedua ujung sedikit tumpul. Warna sangat bervariasi, mulai dari yang kemerahan, kekuningan, kelabu hingga kecoklatan. Ada yang 15 mempunyai garis-garis berwarna gelap dan terkadang dijumpai adanya bercak kehitaman pada sisi tubuh sebelah atas tepat di bawah awal sirip punggung berjari lunak. Pada umumnya berukuran panjang antara 25 – 50 cm, walaupun tidak jarang mencapai 90 cm Gunarso, 1995. Ikan kakap merah menerima berbagai informasi mengenai keadaan sekelilingnya melalui beberapa inderanya, seperti melalui indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea lateralis dan sebagainya.

2.2.2 Makanan dan Kebiasaan Makan

Menurut Effendi 1997, makanan merupakan faktor pengendali yang penting dalam menghasilkan sejumlah ikan disuatu perairan, karena merupakan faktor yang menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan di suatu perairan. Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia bagi ikan dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam-macam ukuran dan umur ikan itu sendiri Nikolsky, 1963 Menurut Moyle dan Chech 1988, ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja. Menurut Effendi 1997, kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan bagaimana cara ikan memperoleh makanannya. Effendi 1997 menambahkan bahwa faktor- faktor yang menentukan suatu jenis ikan akan memakan suatu jenis oeganisme adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna, rasa, tekstur makanan dan selera ikan terhadap makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan adalah umur, tempat dan waktu. Jenis ikan kakap merah umumnya termasuk ikan buas, karena pada umumnya merupakan predator yang senantiasa aktif mencari makan pada malam hari nokturnal. Aktivitas ikan nokturnal tidak seaktif ikan diurnal siang hari. 16 Gerakkannya lambat, cenderung diam dan arah geraknya tidak dilengkapi area yang luas dibandingkan ikan diurnal. Diduga ikan nokturnal lebih banyak menggunakan indera perasa dan penciuman dibandingkan indera penglihatannya. Bola mata yang besar menunjukkan ikan nokturnal menggunakan indera penglihatannya untuk ambang batas intensitas cahaya tertentu, tetapi tidak untuk intesitas cahaya yang kuat Iskandar dan Mawardi, 1997. Ikan kakap merah lebih suka memangsa jenis-jenis ikan. Adapun mangsa lain berupa jenis kepiting, udang, jenis crustacea, gastropoda serta berbagai jenis plankton utamanya urochordata. Umumnya kakap merah yang berukuran besar, baik panjang maupun tinggi tubuhnya, memangsa jenis-jenis ikan maupun invertebrata berukuran besar yang ada di dekat permukaan di perairan karang. Jenis kakap merah ini biasanya menghuni perairan pantai berkarang hingga kedalaman 100 meter, hidup soliter dan tidak termasuk jenis ikan yang berkelompok. Mereka umumnya dilengkapi dengan gigi kanin yang merupakan adaptasi sehubungan dengan tingkah laku makannya, agar mangsa tidak mudah lepas. Ikan dewasa umumnya berwarna merah darah pada punggungnya dan berwarna putih pada bagian perutnya Gunarso, 1995.

2.2.3 Sifat Hidup dan Pemijahan

Ikan kakap merah tergolong diecious yaitu ikan ini terpisah antara jantan dan betinanya. Hampir tidak dijumpai seksual dimorfisme atau beda nyata antara jenis jantan dan betina baik dalam hal struktur tubuh maupun dalam hal warna. Pola reproduksinya gonokorisme, yaitu setelah terjadi diferensiasi jenis kelamin, maka jenis seksnya akan berlangsung selama hidupnya, jantan sebagai jantan dan betina sebagai betina. Jenis ikan ini rata-rata mencapai tingkat pendewasaan pertama saat panjang tubuhnya telah mencapai 41–51 dari panjang tubuh total atau panjang tubuh maksimum. Jantan mengalami matang kelamin pada ukuran yang lebih kecil dari betinanya. Kelompok ikan yang siap memijah, biasanya terdiri dari sepuluh ekor atau lebih, akan muncul ke permukaan pada waktu senja atau malam hari di bulan Agustus dengan suhu air berkisar antara 22,2–25,2ºC. Ikan kakap jantan yang mengambil inisiatif berlangsungnya pemijahan yang diawali dengan menyentuh dan menggesek-gesekkan tubuh mereka pada salah 17 seekor betinanya. Setelah itu baru ikan-ikan lain ikut bergabung, mereka berputar- putar membentuk spiral sambil melepas gamet sedikit di bawah permukaan air. Secara umum ikan kakap merah yang berukuran besar akan bertambah pula umur maksimumnya dibandingkan yang berukuran kecil. Ikan kakap merah yang berukuran besar akan mampu mencapai umur maksimum berkisar antara 15–20 tahun, umumnya menghuni perairan mulai dangkal hingga kedalaman 60–100 meter Gunarso, 1995.

2.2.4 Habitat dan Penyebaran

Ikan kakap merah Lutjanus sp. umumnya menghuni daerah perairan karang ke daerah pasang surut di muara, bahkan beberapa spesies cenderung menembus sampai ke perairan tawar. Jenis kakap merah berukuran besar umumnya membentuk gerombolan yang tidak begitu besar dan beruaya ke dasar perairan menempati bagian yang lebih dalam daripada jenis yang berukuran kecil. Selain itu biasanya kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara 40–50 meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30–33 ppt serta suhu antara 5- 32ºC Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, 1991. Jenis yang berukuran kecil seringkali dijumpai beragregasi di dekat permukaan perairan karang pada waktu siang hari. Pada malam hari umumnya menyebar guna mencari makanannya baik berupa jenis ikan maupun crustacea. Ikan-ikan berukuran kecil untuk beberapa jenis ikan kakap biasanya menempati daerah bakau yang dangkal atau daerah-daerah yang ditumbuhi rumput laut. Potensi ikan kakap merah jarang ditemukan dalam gerombolan besar dan cenderung hidup soliter dengan lingkungan yang beragam mulai dari perairan dangkal, muara sungai, hutan bakau, daerah pantai sampai daerah berkarang atau batu karang. Famili Lutjanidae utamanya menghuni perairan tropis maupun sub tropis, walau tiga dari genus Lutjanus ada yang hidup di air tawar Baskoro et al. 2004. Penyebaran kakap merah di Indonesia sangat luas dan hampir menghuni seluruh perairan pantai Indonesia. Penyebaran kakap merah arah ke utara mencapai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan serta Filipina. Penyebaran arah ke selatan mencapai perairan tropis Australia, arah ke barat hingga Arfika Selatan dan perairan tropis Atlantik Amerika, sedangkan arah ke 18 Timur mencapai pulau-pulau di Samudera Pasifik Direktorat Jenderal Perikanan, 1983 dalam Baskoro et al. 2004. Menurut Djamal dan Marzuki 1992, daerah penyebaran kakap merah hampir di seluruh Perairan Laut Jawa, mulai dari Perairan Bawean, Kepulauan Karimun Jawa, Selat Sunda, Selatan Jawa, Timur dan Barat Kalimantan, Perairan Sulawesi, Kepulauan Riau. Untuk lebih lengkapnya penyebaran dan daerah penangkapan kakap merah di Indonesia disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Penyebaran kakap merah di Perairan Indonesia Perairan Daerah penyebaran Daerah penangkapan utama Sumatera Seluruh perairan Sebagian perairan Aceh, terutama bagian utara dan barat, sebagian pantai timur Sumatra barat, sekitar Bengkalis, Bangka dan Belitung, pantai barat Sumatra Utara, pantai Sumatra Barat, Bengkulu dan pantai timur Lampung Jawa dan Nusa Tenggara Seluruh perairan Selat Sunda bagian timur, sekitar Cirebon, perairan utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Karimun Jawa, Utara Madura, Ujung Kulon, Cilacap, Nusa Barung, sekitar selat Lombok, perairan Sumbawa, Flores Timur dan pulau Rote Kalimantan dan Sulawesi Seluruh perairan kecuali laut dalam Lepas pantai Kalimantan Barat, sebagian besar pantai timur Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, perairan sekitar Samarinda, perairan sedikit di luar teluk Palu berikut lepas pantainya Maluku dan Irian Jaya Seluruh perairan Perairan di luar antara Buru-Seram, perairan teluk Bintuni, teluk Cendrawasih, di luar pantai bagian tengah dan selatan Laut Banda Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan 1991

2.3 Alat Tangkap Perangkap Traps

Menurut Subani dan Barus 1989, perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan atau menghadang ikan. Alat ini bersifat pasif menunggu ikanhewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Pemasangannya berdasarkan 19 pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu Gunarso, 1985. Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung ikan, menghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar. Selanjutnya Subani dan Barus 1989, perangkap terbuat dari anyaman bambu bamboos netting, anyaman rotan rottan netting, anyaman kawat wire netting, kere bambu bamboos screen dan lain sebagainya. Alat tangkap tersebut dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap tetap, dipasang ditanam di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan. Martasuganda 2003 mengatakan proses ikan, kepiting atau udang terperangkap ke dalam perangkap kemungkinan dikarenakan adanya : 1 Tertarik bau umpan; 2 Dipakai untuk berlindung; 3 Karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri; dan 4 Tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi.

2.3.1 Alat Tangkap Bubu Pots

Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah, desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak memerlukan kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat kesegaran yang baik dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang yang tidak terjangkau oleh alat tangkap lainnya Iskandar dan Diniah, 1999. Menurut Von Brant 1984, bubu digolongkan ke dalam kelompok alat perangkap traps. IMAI 2001 menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikan- ikan jenis tertentu saja yang tertangkap tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring. 20 Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu badan body, mulut funnel dan pintu. Bubu biasa terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri Subani dan Barus, 1989. Bubu kakap merah yang digunakan selama penelitian di Mempwah Hilir terlihat pada Gambar 5, dimensi kedua jenis bubu dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Unit penangkapan bubu terdiri atas kapal, alat tangkap bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda Subani dan Barus, 1989. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh nelayan di Mempawah Hilir pada saat pengoperasian bubu kakap. Posisi peletakan bubu tanpa menggunakan pelampung tanda, posisi tersebut dicatat dengan menggunakan alat bantu GPS Global Position System sehingga hanya nelayan tersebut saja yang mengetahui posisi peletakan bubu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian hasil tangkapan bubu dan terseretnya bubu oleh kapal. Gambar 5 Bubu bambu kiri dan bubu jaring kanan yang digunakan. 2.3.2 Pengoperasian Bubu Kakap Subani dan Barus 1989 membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperaiannya, yaitu bubu dasar ground fishpot, bubu apung floating fishpot dan bubu hanyut drifting fishpot. Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single traps; dan beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line traps. 21 Sumertha dan Soedharma 1975 menjelaskan bahwa penyebaran hidup biota di laut dipengaruhi oleh tingkat kedalaman, arus, pasang surut serta mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu Puslitkan, 1991, kakap merah Lutjanus sanguineus cenderung membentuk gerombolan dengan ukuran yang berbeda untuk kedalaman perairan yang berbeda. Menurut Gunarso 1985, penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan oleh alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap seolah perangkap sebagai tempat berlindung. Konstruksi alat dibuat sedemikian rupa hingga ikan yang masuk kedalamnya tidak dapat melarikan diri. Mursbahan 1977 menyatakan bahwa ikan banyak terdapat di sekitar rumpon, mungkin karena rumpon tersebut terlihat oleh ikan sebagai tempat berlindung dari buruan musuhnya. Larger et. al. 1977 menambahkan bahwa reaksi ikan mendekati bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung. Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyoso 1979 terjadi karena : 1 Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; 2 Keragaman ikan di dalam populasi; 3 Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap.

2.4 Teknik Penangkapan yang Diterapkan

Di Kabupaten Pontianak, ikan kakap merah ditangkap dengan bubu, rawai hanyut dan rawai tetap. Salah satu kecamatan di Kabupaten Pontianak yang menangkap ikan kakap merah adalah Kecamatan Mempawah Hilir dengan menggunakan bubu, baik bubu bambu maupun bubu jaring. Bubu adalah alat tradisional, biasanya dioperasikan menjadi satu rangkaian dari beberapa unit bubu, atau satu unit bubu single trap. Daerah penangkapan adalah dekat muara sungai atau sekitar pantai yang berkarang. Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan ikan menggunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu Sainsbury, 1996. 22 Bubu dan jaring penghalang barrier net adalah jenis-jenis alat tangkap yang sebenarnya sudah digunakan oleh nelayan sejak lama. Mereka banyak ditinggalkan sejak digunakannya sianida pada perikanan karang dan pukat harimau pada perikanan laut dalam yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkapan yang berlipat ganda. Upaya menggalakkan kembali alat-alat tangkap ini tidak semata menganjurkan nelayan kembali ke kondisi dulu, tetapi disertai modifikasi yang bertujuan meningkatkan hasil tangkapan dan tetap mengendalikan dampaknya terhadap kualitas habitat Widyaningsih, 2004.

2.5 Capaian Penelitian Bubu sebelumnya