6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,
serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang rukun, tenteram dan nyaman, apabila
terjadi perselisihan secara terus-menerus. Apalagi, bila pertengkaran tersebut tidak dapat terelakkan dan tidak dapat terselesaikan. Jika hal itu
berlangsung terus-menerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar ke depan, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan
perceraian kepada pengadilan. Jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 39
ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan
walaupun alasan-alasan tersebut dipenuhi apabila masih mungkin antara suami- isteri itu untuk hidup rukun kembali maka perceraian tidak dapat dilakukan.
21
Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan peristiwa-peristiwa yang disebut dalam alasan-alasan perceraian di atas, baik
dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 1975 karena dianggap sudah cukup jelas.
D. Akibat Hukum Perceraian
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan karena perceraian akan berakibat
sebagai berikut:
21
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op.cit., hlm.107
1. Mengenai Hubungan Suami Istri
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Meskipun hak dan kewajiban sebagai suami isteri menjadi hapus, namun menurut Pasal 225 jo Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
pihak yang tidak mempunyai penghasilan yang cukup wajib diberikan tunjangan nafkah sampai salah satu pihak meninggal.
b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban di antara suami isteri itu sendiri. Tetapi ada hak dan kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan
seperti pada Pasal 32 ayat 1 yang menyatakan bahwa suami isteri harus hidup bersama dalam rumah yang tetap. Ketentuan tersebut tidak perlu
lagi dilakukan ketika mereka bercerai, karena tidak mungkin dua orang yang sudah merasa tidak cocok kembali hidup bersama. Oleh karena itu
jika terjadi perceraian tidak ada kewajiban untuk hidup bersama lagi. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hal ini tidak diatur, tetapi
kita dapat melihat ketentuannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu pada pasal 24 ayat 1 yang menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Tujuannya untuk mencegah agar tidak terjadi bahaya yang mungkin timbul apabila suami
isteri sama-sama tinggal satu rumah.
2. Mengenai Kedudukan Anak
a. Kitab Undang-Undang Hukum perdata
Kekuasaan orang tua hapus dan beralih menjadi perwalian. Menurut Pasal 229, “Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak
siapa dari kedua orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu
.” Apabila pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayai
pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230b “Hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus dibayar pihak yang lain
untuk membiayai anak di bawah umur.” b.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Pasal 41 antara lain:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberikan keputusan. 2.
Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak
dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya tersebut.
3. Mengenai Harta Benda
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sejak terjadinya perkawinan maka dengan sendirinya menurut hukum terjadi pencampuran harta kekayaan bulat tanpa mempermasalahkan
bawaan masing-masing. Semua bawaaan baik yang berasal dari bawaan
suami ataupun isteri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama dalam keluarga selaku milik bersama dari suami isteri, kecuali sebelum
perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat ketentuan bahwa dengan adanya perkawinan tidak akan terjadi
percampuran kekayaan sama sekali atau percampuran itu hanya terbatas percampuran tentang apa yang diperoleh selama perkawinan. Jadi, jika
terjadi perceraian, maka menurut Pasal 128 “Harta kekayaan bulat dibagi
dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing- masing, tanpa mempedulikan asal-usul harta.
” b.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Menurut Pasal 35 Undang-Undang tersebut, harta kekayaan dalam
perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Pasal 37 juga menjelaskan bahwa
“bila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
” Maksud dari hukumnya masing-masing adalah hukum agama maupun hukum adat.
Sedangkan mengenai harta bawaan yang diperoleh suami isteri sebagai hadiah atau warisan tidak diatur secara jelas, hanya disebutkan dalam
Pasal 35 ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bahwa “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. ” Pasal ini tidak menjelaskan apakah ketentuan tersebut
berlaku pada saat perkawinan masih berlangsung, atau tetap berlaku walaupun perkawinan telah terputus karena perceraian. Selain itu juga
dalam Pasal 36 ayat 2 disebutkan “mengenai harta bawaan masing-
masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya.
”
E. Tata Cara Perceraian Dalam Undang-Undang Perkawinan