1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
1
Dalam Pasal 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa
perkawinan dapat putus jika disebabkan oleh : 1.
Kematian; 2.
Perceraian; 3.
Atas putusan pengadilan;
Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebab-sebab putusnya perkawinan ialah :
2
1. Kematian;
2. Kepergian suami atau istri selama sepuluh tahun;
3. Akibat perpisahan meja makan dan tempat tidur;
4. Perceraian;
Undang-Undang tidak memperbolehkan perceraian dengan cara mufakat antara suami dan istri saja, tetapi harus ada alasan yang sah menurut Undang-
Undang. Proses perceraian di Indonesia dapat dilakukan di Pengadilan Agama dan
1
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Internusa, Jakarta, 2003, hlm.42.
2
C.S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, hlm.106.
Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama untuk masyarakat yang beragama muslim, sedangkan Pengadilan Negeri untuk masyarakat yang beragama non-muslim.
3
Putusnya perkawinan karena kematian adalah suatu hal yang wajar karena merupakan takdir yang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Lain halnya
dengan putusnya perkawinan karena perceraian yang merupakan kehendak dari masing-masing pihak dan dapat diatasi atau dihindari agar tidak terjadi.
Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde, maka akan ada akibat
hukum yang mengikutinya, yaitu mengenai hak asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut dan kekuasaan orang tua yang berubah menjadi perwalian.
Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun pihak ibu yang erat hubungannya dengan anak tersebut.
4
Dari hubungan antara orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih
dibawah umur diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan judul Kekuasaan
Orang Tua. Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua, dalam hal ini meliputi masalah ekonomi, pendidikan dan segala hal
mengenai kebutuhan pokok.
5
Suatu perceraian dapat terjadi karena kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis atau dengan kata lain sudah tidak dapat diharapkan untuk hidup rukun
dan damai lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah segala usaha dan upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki
3
Ibid, hlm.127
4
Ibid, hlm.130
5
Ibid, hlm.128
kehidupan perkawinannya tidak membuahkan hasil kecuali hanya dengan dilakukan perceraian antara suami dan istri.
6
Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan
bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhananYang Maha Esa. Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang
terdiri dari suami-istri dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah
kediaman bersama. Sedangkan bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami-istri atau anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung
terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak.
Akan tetapi pada kenyataannya, tujuan dari perkawinan itu banyak yang tidak tercapai secara utuh. Hal yang baru tercapai hanya mengenai pembentukan
rumah tangga, sedangkan bahagia dan kekal belum tercapai sehingga banyak terjadi perceraian.
Dengan terjadinya perceraian maka akan berakibat bahwa kekusaan orang tua berakhir dan berubah menjadi hak asuh. Oleh karena itu jika perkawinan
diputus oleh hakim maka perlu diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih di bawah umur. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak hanya mengatur kuasa asuh dan hal tersebut dapat dicabut bila
6
Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm.30.
diketahui orang tua menelantarkan anak-anak atau tidak dapat menjamin kehidupan si anak.
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan mengenai hal-hal yang harus dilakukan pihak istri maupun pihak
suami setelah perceraian sebagai berikut:
7
1. Baik ibu maupun bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi putusan.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak, bilamana dalam kenyatannya bapak tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut
memikul biaya tersebut. 3.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Sesuai dengan hal tersebut diatas, jika suami istri telah bercerai, maka kewajiban untuk mengasuh dan merawat anak-anak tetap menjadi kewajiban
mereka, dengan kata lain bukan hanya merupakan kewajiban dari suami saja atau istri saja. Majelis hakim bebas untuk menetapkan ayah atau ibu yang berhak
memelihara anak tersebut, tergantung dari siapa yang paling cakap atau yang paling baik mengingat kepentingan anak-anak tersebut.
Selain itu, dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa: “Dalam hal terjadinya perceraian:
7
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm.24.
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya; 2.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Meskipun telah diatur dengan jelas dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa hakim memutuskan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ayahnya.
Karena tidak adanya aturan yang jelas, maka pada umumnya hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap
di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait
kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.
8
Hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan yang berlanjut sampai ke tingkat Pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan salah satu pihak merasa tidak
puas terhadap putusan tersebut. Ibunya merasa ia yang berhak atas hak asuh anak tersebut karena ia yang mengandung dan melahirkan anaknya.
Pada umumnya dalam praktek di pengadilan, anak yang berumur di ba wah sepuluh tahun, pengasuhannya atau perwaliannya diserahkan kepada ibu
nya, sedangkan bagi anak yang berumur di atas sepuluh tahun perwaliannya terserah kepada pilihan si anak sendiri, apakah dia akan ikut kepada ibunya
atau memilih ikut pada ayahnya dalam hal perwalian bagi si anak.
8
Subekti, dan Tjitrosudibio, Hukum Perdata Dengan Tambahan UUPA dan Undang- Undang Pokok Perkawinan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 45
Berkaitan dengan apa yang akan penulis kemukakan dalam skripsi ini, maka penulis memasukkan 3 tiga contoh putusan Pengadilan Negeri dan 1 satu
contoh putusan Pengadilan Tinggi dimana salah satu amar putusan dari Pengadilan Negeri menetapkan bahwa pengasuhan seorang anak yang masih
berusia di bawah umur berada dalam pengasuhan ayahnya, dan salah satu amar putusan dari Pengadilan Tinggi mengembalikan hak asuh tersebut kepada ibunya.
Putusan tersebut antara lain putusan dari Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Perkara : 246PDT.G2012PN.MDN, putusan dari Pengadilan Negeri
Lubuk Pakam
dengan Nomor
Perkara : 13Pdt.G2012PN.LP dan
102Pdt.G2013PN.LP, serta putusan banding dari Pengadilan Tinggi Denpasar dengan Nomor Perkara : 66PDT2012PT.DPS.
Seorang hakim memutuskan bahwa sang ayah yang berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut walaupun usia si anak masih di bawah umur. Jika dilihat
dari Undang-Undang Perlindungan Anak, antara suami dan istri mempunyai kedudukan untuk mengasuh anak tersebut tergantung kepada hakim yang
memutuskan perkara tersebut. Yang ingin penulis analisis adalah apa yang menjadi pertimbangan seorang
hakim dalam memberikan hak asuh dan tanggung jawab kepada ayah, karena pada kenyataan yang sering terjadi hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada ibu
sampai anak tersebut dewasa dan memilih sendiri apakah ia akan ikut dengan ibunya atau dengan ayahnya. Dan apa pertimbangan hakim menetapkan sang ayah
yang berhak mengasuh anak tersebut, serta apakah putusan yang telah diberikan oleh hakim dapat dibatalkan dan hak asuh terhadap anak tersebut dikembalikan
kepada ibunya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam sebuah karya
ilmiah dengan judul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Orangtua” Studi Kasus 4 empat Putusan Pengadilan di Indonesia.
B. Permasalahan