Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan

62 BAB IV HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN ORANGTUA

A. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan

Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam 1. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Disahkannya UU Perkawinan dapat dikatakan melalui suatu proses dengan kadar sensitivitas tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa perkawinan tidak hanya memiliki perikatan keperdataan, tetapi juga sangat lekat dengan dimensi keagamaan. Pemahaman terhadap perkawinan yang hanya dianggap sebagai peristiwa perdata menurut hukum Belanda, mengalami perubahan signifikan di mana sahnya perkawinan harus berdasarkan norma Agama. Setelah perkawinan disahkan secara Agama, maka selanjutnya akan dicatatakan di dalam register Negara sebagai wujud dari aspek administratif sipil. Oleh karena itu validasi anak yang dihasilkan memiliki keabsahan dengan berpedoman pada keabsahan perkawinan orang tuanya secara Agama. Validasi perkawinan akan sangat menentukan validasi perceraian manakala terdapat pihak-pihak yang menghendaki adanya perceraian. Sedangkan validasi perceraian akan menentukan validasi kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian. Di dalam proses perceraian tersebut, akan ditentukan juga persoalan kekuasaan orang tua terhadap anak. Dengan demikian kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian, akan selalu di dalam satu rangkaian permasalahan perkawinan dan perceraian orang tua. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian di dalam UU Perkawinan, pada dasarnya mengarah pada tanggung jawab orang tua dalam bentuk kewajiban guna memenuhi hak-hak anak. Pengutamaan kewajiban orang tua dari pada hak orang tua terhadap anak, di dalam konteks kekuasaan orang tua terhadap anak, pada akhirnya melahirkan suatu rumusan bahwa kepentingan anak merupakan keutamaan yang harus direalisasikan. Dengan kata lain, orang tua yang bercerai diwajibkan untuk berbuat sesuatu yang terbaik bagi anak. Pernyataan yang demikian telah menujukan bahwa sebenarnya UU Perkawinan memiliki paradigma “berikan yang terbaik bagi anak”. Dengan adanya perceraian orang tua tetap menuntut tanggung jawab penuh atas kepentingan anak hasil perkawinan mereka. Perceraian orang tua tidak memberikan ruang bagi orang tua untuk bertindak yang dapat merugikan kepentingan anak. Kendati demikian, secara global sebenarnya UU Perkawinan telah memberikan aturan dalam pemeliharaan anak tersebut yang diikuti dengan putusnya sebuah perkawinan di dalam pasal 41 UU Perkawinan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah berada dalam kekuasaan orang tua. Selama tidak dicabut kekuasaanya, mereka tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak mereka. Pemeliharaan atau perwalian terhadap anak-anak mereka sesudah terjadinya perceraian, mereka mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan segala kepentingan pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran serta kesejahteraan anak-anak tersebut. 46 Menurut UU Perkawinan, kewajiban orang tua terhadap anaknya pada dasarnya terbagi kepada 2 bagian, yaitu pemeliharaan dan pendidikan. Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri walaupun perkawinan antara kedua orang tua itu telah putus. Jadi pokok-pokok batas kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya tidak ditentukan sampai batas umur tertentu, tetapi dilihat dari keadaan anak tersebut. Apabila anak dianggap telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin, maka terlepaslah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidiknya walaupun anak baru berumur 17 tahun, sebaliknya anak yang telah berumur 25 tahun tetapi belum mampu berdiri sendiri maka orang tua masih berkewajiban memelihara dan mendidik. 2. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak Walaupun kata “Hak Asuh” telah biasa dipergunakan dalam membahas hak orang tua untuk mengasuh anaknya khususnya ketika pasangan suami istri yang telah memiliki anak melakukan perceraian atau pisah rumah, akan tetapi kata hak asuh tersebut tidak ditemukan dalam UU Perlindungan Anak. Kosakata yang identik dengan hal tersebut adalah Kuasa Asuh sebagaimana dijelaskan dalam 46 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading, Medan, 1975, hlm.159. Pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa “Kuasa Asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. ” Apabila kata “Kuasa Asuh” tersebut berdiri sendiri maka kata tersebut dapat diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mengasuh. Pemahaman demikian dapat memberikan kesan bahwa orang tua di satu pihak memiliki kewenangan terhadap anak di pihak lain. Di dalam UU Perlindungan Anak pada dasarnya murni mengatur tentang perlindungan terhadap anak, tanpa melihat latar belakang kondisi orang tua yang bercerai atau tidak bercerai. Undang-Undang ini juga tidak mempermasalahkan apakah anak memiliki kejelasan orang tua atau tidak. Makna lain yang terlihat adalah, adanya ketegasan UU Perlindungan Anak dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Maka tanggung jawab perlindungan anak berdasarkan UU ini juga secara tegas dinyatakan dengan pelibatan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat dan Negara demi yang terbaik bagi anak. 3. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Di dalam tinjauan fikih, pemeliharaan anak disebut juga dengan hadhanah yang mengandung makna merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz vide Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Subtansi dari merawat dan mendidik tersebut adalah karena si anak tidak atau belum dapat memenuhi keperluan sendiri. Pengasuhan atau pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, yaitu dalam masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep Islam, tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga vide Pasal 105c KHI. Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong-menolong antara suami dan istri dalam memelihara anak dan mengantarkan hingga anak tersebut dewasa. Pasal-pasal KHI tentang hadhanah tersebut menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan materil dan non materil merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu KHI juga menentukan tugas-tugas yang harus diemban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap di asuh oleh ibunya sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya. KHI secara rinci mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap anak dengan mempergunakan istilah “pemeliharaan anak”, yang terdapat di dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 112, dimana di dalam Pasal 107 sampai dengan Pasal 112 khusus mengatur tentang perwalian. Pasal 98 : 1 Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2 Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 105 : Dalam hal terjadi perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Pasal 106 : 1 Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Pasal 107 : 1 Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2 Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya. 3 Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. KHI mengatur tentang kekuasan orang tua terhadap anak yang belum mummayiz dengan kriteria 12 tahun. Berdasarkan kriteria ini, maka anak yang belum memasuki usia 12 tahun akan berada di dalam kekuasaan ibunya. Setelah melewati usia 12 tahun, anak diperbolehkan menentukan pilihan sendiri, apakah akan tetap ikut ibu atau ikut ayah. Namun demikian aturan ini ternyata bukan aturan mutlak. Artinya, meskipun usia anak belum mencapai 12 tahun, tetapi situasi dan kondisi membuktikan bahwa anak ternyata lebih mendapat jaminan perkembangan dan pemeliharaan dari ayah, maka kekuasaan orang tua akan berada pada ayah. Sebenarnya KHI tidak berbeda dengan UU Perkawinan. Dimana kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut kedua UU ini adalah sejalan di mana secara umum tanggung jawab orang tua terhadap anak tetap melekat meskipun telah bercerai. Anak tetap memiliki hak dan kewajiban terhadap orang tua, dan oang tua tetap memiliki hak dan kewajiban terhadap anak. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak adalah berdasarkan prinsip memberikan yang terbaik bagi anak. Demikian juga dengan pemaknaan perlindungan anak sebagaimana diatur di dalam UU Perlindungan Anak, juga sejalan dengan kedua UU diatas, yaitu memberikan yang terbaik kepada anak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemaknaan kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, dan UU Perlindungan Anak adalah memiliki tingkat harmonisasi yang baik.

B. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Tuntutan Hak Asuh Anak yang