13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Defenisi Perceraian
Perkawinan hapus jika salah satu pihak meninggal dunia. Selanjutnya ia juga hapus jika salah satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin dari hakim,
bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya, dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat
dihapuskan dengan perceraian.
10
Mengenai putusnya perkawinan beserta akibatnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didalam Bab VIII dengan judul
Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Pengaturan perceraian menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 ini terdapat dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 jo.
Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang diberlakukan secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.
11
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa
perkawinan dapat putus jika disebabkan oleh : 1.
Kematian; 2.
Perceraian atau; 3.
Putusan pengadilan.
10
Subekti, op.cit., hlm.42.
11
Sardjono, Masalah Perceraian, Academia, Jakarta, 1979, hlm.20.
Jadi secara yuridis perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkkan putusnya hubungan sebagai suami istri.
12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai putusnya perkawinan karena kematian dan akibat hukumnya karena kematian merupakan
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Undang-Undang ini hanya menyinggung mengenai putusnya perkawinan disebabkan karena kematian pada Pasal 38. Yang
dimaksud dengan perkawinan antara suami istri putus ialah “apabila perkawinan
tersebut berakhir”, dan berakhirnya perkawinan itu bisa karena perceraian, demikian pula bisa karena kematian salah seorang suami atau isteri, atau karena
keputusan pengadilan.
13
Putusnya perkawinan karena perceraian ini merupakan kehendak dari manusianya sendiri, apakah dari pihak istri atau dari pihak suami yang
berkeinginan untuk melakukan perceraian. Dengan adanya perceraian, berarti mereka tidak mengingat akan tujuan perkawinan itu pada mulanya atau apakah
memang perkawinan mereka itu dilakukan hanya sekedar untuk syarat saja untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu lainnya yang mungkin terpuji atau mungkin juga
tidak terpuji. Kehendak manusia yang sekarang kadang-kadang berlainan dengan yang akan datang, bahkan kadang-kadang bertentangan. Apalagi dengan pesatnya
perkembangan zaman, manusia semakin banyak kehendaknya dan semakin susah menentukan pilihan, sehingga semakin susah pula menentukan apa yang lebih
baik baginya, bahkan terkadang hal yang dipilih itu sebenarnya bertentangan
12
Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, Sinar Gravika, Palembang , 2012, hlm.15
13
Wahyono Darmabrata, dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, FH UI, Jakarta, 2004, hlm.103
dengan hati nuraninya, karena sangat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangannya.
Keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat dengan mudah dicapai oleh pasangan suami istri, sehingga kerap berakhir dengan perceraian. Perceraian
sering dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah di dalam rumah tangga. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang- Undang.
14
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa perceraian dapat dilakukan bila mempunyai alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi.
Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan menolaknya apabila ada gugatan atau tuntutan untuk bercerai tersebut.
15
Dalam agama Islam, perceraian walau diperbolehkan, namun itu adalah salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah. Hal tersebut memberikan isyarat
kepada kita, bahwa perceraian itu suatu hal yang diperbolehkan, dan hal tersebut menjadi norma agama yang menjadi dasar atau patokan bagi manusia dalam
pembentukan hukum positif dalam hal perceraian. Dengan demikian tidak mungkin manusia membentuk hukum yang berlawanan dengan norma agama,
misalnya norma agama memperbolehkan, maka norma hukum yang dibentuk oleh manusia harus memperbolehkannya juga, bukan sebaliknya.
Oleh karena perceraian termasuk kaedah hukum yang berisikan kebolehan, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak berani
mencantumkan pasal yang melarang perceraian dalam perkawinan. Paling tinggi usaha yang telah dilakukan oleh Pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun
14
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 12
15
Munir Fuady, op.cit., hlm.23
1974 ialah Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
16
Mengingat perkawinan adalah perjanjian dan kaedah hukum perceraian berisikan kebolehan, maka terjadi atau tidak terjadinya perceraian itu sangat
tergantung dari kehendak suami atau istri. Dengan demikian menurut Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 peranan pengadilan hanyalah
menyaksikan perceraian dan setelah itu membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.
B. Jenis-Jenis Perceraian