Sistematika Penulisan Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kepustakaan tentang prosedur pengakuan anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010. 2. Manfaat Praktis Dari segi pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan input bagi semua pihak, yaitu bagi masyarakat pada umumnya, pemerintah pada khususnya dan pelaksanaan pengangkatan anak oleh pemohon beragama Islam dalam prakteknya.

1.7. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memberikan secara garis besar tentang apa yang peneliti kemukakan pada tiap-tiap bab dari skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan. Pada bab ini berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penuliasan BAB II : Tinjauan Pusataka. Yang mengemukakan tinjauan umum mengenai perkawinan, kedudukan nikah sirri dalam perkawinan, hak kewajiban orang tua, anak luar kawin dalam perkawinan, peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi beserta penjelasan-penjelasanya dalam hal ini yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan. BAB III : Metode Penelitian Pada bab ini penulis memberikan penjelasan mengenai metode yang digunakan meliputi metode pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan Merupakan bab hasil penelitian dan pembahasan yang akan menjelaskan mengenai hasil penelitian serta analisa- analisa peneliti dari data yang telah diperoleh. Sehingga dalam bab ini pula akan diuraikan jawaban dari permasalahan yang berkaitan dengan prosedur pengakuan anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010. BAB V : Penutup Dalam bab ini penulis akan memuat kesimpulan dan saran dan peneliti akan mencoba menarik sebuah benang merah terhadap permasalahan yang diangkat. 13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Tinjauan Tentang Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia

3.1.1. Pengertian Perkawinan

Di Indonesia pengaturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan telah diatur dalam bentuk perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya merupakan sumber hukum materil dari perkawinan yang masih berlaku sampai sekarang. Sedangkan sumber hukum formal yang mengatur tentang perkawinan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dan sebagai aturan pelengkapnya adalah Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut majasi mathaporic atau arti hukum adalah akad perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Ramulyo 2002: 1. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menjelaskan definisi perkawinan sebagai berikut : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan : Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Secara bahasa perkawinan itu merupakan Az-zawaaj, Az- zawaaj dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan. Sebagaimana firman Allah „azza wa jalla yang artinya : Dan apabila ruh-ruh dipertemukan dengan tubuh. Q.S At-Takwir:7 dan firman- Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka disatukan dengan bidadari : Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli Q.S Ath-Thuur:20 Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga Al-Aqd, yakni bergandengan atau bersatunya antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan zawaaja. Dasar Pernikahan dalam Al Quran :                     32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba- hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui. [1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.                                 3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka kawinilah seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Sedangkan secara syar‟i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari‟at Hosen, 1971:65. Lafadz yang semakna dengan AzZuwaaj adalah An-Nikaah; sebab nikah itu artinya saling bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang maksud dari lafadz An-Nikaah yang sebenarnya. Apakah berarti perkawinan atau jima. Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji. Kan’an, 2007: 2.

3.1.2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban Afandi, 2000:93. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan adalah Untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang tua Nur, 1993:3. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting. Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing sebagai pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3.1.3. Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 samapai Pasal 12. Pasal 6 sd Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat Materiil Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sd 11, yaitu: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun. 3. Harus mendapat ijin kedua orang tuanyasalah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal duniawalinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia. 4. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 5. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. 6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memnuhi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4. 7. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya. 8. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagaui berikut: 1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami. 2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atasincest. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknyakewangsaan. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiriperiparan. 4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibipaman susuan. 5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin Syarat Formal Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sd Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, ddilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisantertulis oleh calon mempelaiorang tuawakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai Pasal 3-5. 2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syaratbelum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut Pasal 6-7. 3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain: 1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin. 2. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan Pasal 8-9. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan Pasal 10-13.

3.2. Kedudukan Perkawinan

Sirri Dalam Lembaga Perkawinan Menurut Aulawi 1996:20 Sebelum lahir Undang-Undang Perkawinan, dimasyarakat telah ada pernikahan yang disebut dengan nikah sirri. Pengertian nikah sirri mengalami perkembangan dan diartikan secara lebih luas. Zuhdi 1996:7-10 membagi pengertian nikah sirri menjadi tiga bentuk. Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat agama, bersifat intern keluarga dan belum dilakukan pencatatan oleh PPN serta belum dilakukan resepsi pernikahan. Suami-Istri belum tinggal dan hidup bersama sebagai Suami-Istri belum tinggal dan hidup bersama sebagai Suami-Istri karena istri pada umumnya masih anak-anak. Kedua, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat Islam, dan sudah dilakukan pencatatan oleh PPN dan memperoleh akta nikah. Namun, nikahnya bersifat intern keluarga dan belum hidup bersama sebagai suami-istri karena mungkin salah satu atau keduanya masih menyelesaikan studinya atau belum memperoleh pekerjaan. Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam karena terbentur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pernikahan ini calon suami menikahi calon istri secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai suami istri untuk menghindari hubungan disiplin oleh pejabat yang berwenang serta izin Pengadilan Agama dan mempunyai motif untuk menghindari zina. Pendapat lain mengatakan bahwa pengertian nikah sirri adalah nikah yang tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai dan tidak dicatatkan di KUA. Dari sisi syarat dan rukunya, nikah sirri telah memenuhi sebagaimana layaknya pernikahan berdasarkan agama Islam Maula,2002:2. Abdullah 2001:26 mengemukakan bahwa untuk mengetahui bentuk pernikahan terdapat sirri rahasia, dapat mengamati indikator sebagai berikut: 1. Pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai ketentuan dalam agama Islam yaitu akad nikah yang terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dan dua orang saksi. 2. Pernikahan tidak mengikuti persyaratan yang di buat oleh pemerintah untuk memperoleh kepastian hukum dari pernikahan yaitu hadirnya Pegawai Pencatat Nikah PPN saat akad nikah berlangsung yang menyebabkan peristiwa nikah itu memenuhi “legal procedur” sehingga nikah itu diakui secara hukum dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum berupa adanya kepastian hukum, sehingga kepada suami-istri diberi masing-masing sebuah bukti adanya nikah yaitu berupa akta nikah. 3. Pernikahan tidak melaksanakan walimah al-nikah yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakanuntuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa diantara kedua calon suami-istri telah menjadi suami-istri. Indikasi di atas menunjukkan bahwa setiap pernikahan berbentuk sirri atau tidak, Ali 1996:27 mengemukakan bahwa pernikahan mengandung arti sirri karena seseorang sengaja menyembunyikannya. Sesuatu yang sengaja di sembunyikan berkecenderungan mengandung arti menyimpan masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada diri orang yang melakukan pernikahan atau adanya ketentuan hukum yang tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu perkawinan yang tidak dilakukan sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku dapat dikategorikan sebagai pernikahan rahasia atau dirahasiakan karena menyimpan masalah. Termasuk didalam kategori nikah sirri atau rahasia diantarannya adalah nikah gantung dan nikah dibawah tangan. Menurut Ali 1996:31 nikah gantung adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hubungannya sebagai suami istri digantungkan pada suatu keadaan atau waktu dimasa yang akan datang. Sementara itu, Handikusumo 1990:53 menjelaskan bahwa nikah gantung adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam memenuhi rukun dan syaratnya, namun suami istri belum tinggal satu rumah dan hidup bersama sebagai suami istri. Istilah nikah dibawah tangan menurut Zuhdi 1996:10-12 mulai dikenal sejak diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan. Keberadaan nikah dibawah tangan tersebut berdasarkan sah tidaknya perkawinan dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dalam Undang-Undang Perkawinan. Ada dua pendapat yang berbeda tentang sah tidanya pernikahan. Pertama, perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan. Pendapat kedua, mengatakan bahwa pernikahan dinggap sah apabila telah dilakukan menurut agaman dan kepercayaan masing-masing serta dilakukan pencatatan sesuai denga peraturan yang berlaku. Sementara itu, Maula 2002:2 memberikan pengertian nikah sirri yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia merupakan pernikahan yang tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai, selain tidak dicatat di KUA. Walaupun demikain, pernikahan sirri dianggap memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagai mana layaknya perkawinan pada umumnya. Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal dari kata assirru yang mempunyai arti rahasia Munawwir, 1997:625. Dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya sekalipun keluarga setempat Zuhdi,1996:7. Menurut terminologi ini nikah sirri adalah tidak sah, sebab nikah sirri selain dapat mengundang fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, juga bertentangan dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya hidung kambing” Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dll. dari Anas. Sesuai dengan namanya, perkawinan sirri ini umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia, terselubung, atau sembunyi-sembunyi. Praktik kawin sirri ini telah banyak dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sementaara itu jika dilihat dari perespektif hukum pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai suatu penyimpangan Nurhaedi,2003:27. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI Perkawinan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif. Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang- Undanh No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Ramulyo,1996:239. Berdasarkan pada harapan masyarakat kita, dalam rangka terciptanya kepastian hukum perkawinan, maka dalam tubuh Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 telah diletakkan beberapa asas atau dasar tentang hukum perkawinan nasional. Salah satunya adalah Pasal 2 ayat 1 yang menerangkan bahwa : Perkawinan itu adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu. Berdasarkan Pasal ini, secara eksplisit menentukan berlakunya hukum Islam di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Selanjutnya Pasal 2 ayat 2 menetukan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari Pasal 2 ayat 2 dapat dimengerti agar setiap perkawinan hendaknya dicatatkan pada kantor pencatat nikah yang ditunjuk oleh pemerintah. Memang secara nyata pengertian perkawinan sirri tidak terlihat dalam Pasal itu, namun apabila kita mau memahami hakikat yang tersirat dalam Pasal 2 terutama ayat 1 maka nyatalah bahwa perkawinan sirri itu tercakup didalamnya. Namun perkawinan sirri memenuhi unsur-unsur larangan yang tersirat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan yang tidak mengakui bahkan tidak membolehkan adanya perkawinan sirri atau perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor yang berwenang untuk itu. Karena perkawinan sirri itu merupakan perkawinan yang tidak terdaftar maka menurut Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat 2, Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 dan Pasal 10 ayat 3, perkawinan sirri itu tidak dibenarkan.

2.2.1 Faktor Penyebab Perkawian Sirri

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum