1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan Undang-Undang Perkawinan Nasional secara tidak langsung
Undang-Undang menghapus peraturan tentang masalah perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal
ini diperjelas dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang diatur dalam KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang
telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nasional ini. Dan setelah kurang lebih 38 tahun semenjak Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tersebut menjadi dasar hukum yang membahas tentang perkawinan, masih terdapat beberapa kelemahan salah satunya yang berkaitan
dengan pembahasan ini adalah Pasal 3 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal 3 Ayat 1 menyebutkan bahwa : Pada
asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Dan Pasal 3 Ayat 2 menyebutkan
bahwa : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Artinya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menutup kemungkinan seorang suami beristri lebih dari seorang karena berdasarkan
Pasal 4 Ayat 2 yang menyatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. c. Istri tidak dapat memberikan keturunan.
Mengenai persetujuan antara kedua belah pihak diartikan bahwa perkawinan harus berdasarkan atas dasar kesepakatan dan tidak ada unsur
paksaan dalam bentuk apa pun. Asas Monogami Relatif yang dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ini memberikan kesempatan bagi seorang laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu, hal tersebut menimbulkan fenomena marakkan perkawinan
sirri yang dilakukan oleh masyarakat. Perkawinan sirri yang dilakukan di Indonesia tentunya akan
menimbulkan permasalahan yang komplek dikemudian hari karena di dalam hukum Indonesia sampai saat ini tidak pernah diatur tentang legalitas
perkawinan sirri. Karena perkawinan sirri sampai saat ini tidak pernah diakui oleh hukum Indonesia maka secara tidak langsung perkawinan sirri tersebut
walaupun secara agama sah karena telah memenui syarat sahnya rukun nikah yang diatur menurut agama Islam akan tetapi perkawinan sirri tersebut belum
sempurna keabsahannya karena perkawinan sirri tersebut belum dicatatkan,
artinya bahwa perkawinan sirri tersebut belum mempunyai kekuatan hukum. Sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-
VIII2010, anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan sirri status hukumnya anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya sebagaimana sesuai dengan bunyi Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Konsekuensi inilah yang harus diterima anak yang
lahir dari perkawinan sirri, secara hukum positif, negara tidak menjamin hubungan hukum antara anak dengan ayahnya tersebut, dan hal tersebut akan
terlihat dari akta kelahiran si anak dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan sirri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama
siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat 2 huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara anak dengan ayahnya
secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat hak mewaris, hak perwalian hak penafkahan dari ayah biologisnya. Akan tetapi, setelah
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada
ibu dan keluarga ibu sebagaimana yang tertulis pada amar putusan
Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010 yang ber isi “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”. Selama ini sebelum di keluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46PUU-VIII2010 ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dianggap diskriminatif dan tidak
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, status anak di luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya
tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. Padahal tidak mungkin seorang anak tersebut terlahir secara sendirinya, pasti ada peran kedua
orangtuanya yang mendahuluinnya sebelum anak tersebut terlahir. Dengan di keluarkannya
putusan mahkamah
konstitusi No.46PUU-VIII2010
mencerminkan prinsip Persamaan di hadapan hukum equality before the law sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi : Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. telah terpenuhi.
Logika hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 menimbulkan konsekuensi adanya hubungan keperdataan penuh anak luar
kawin dengan bapak biologisnya, timbulnya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, mewaris dan
perwalian. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama dan kemudian dicatatkan di KUA dan dalam
pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dibuktikan mempunyai hubungan darah.
Salah satu peran dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,
mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian dari
padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk
hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan
fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia
telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional
conctitutionally entrusted powers dan satu kewajiban konstitusional constitusional obligation. Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat 1
huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tiga kewenangan Mahkamah Konstitusi selain
Menguji undang-undang terhadap UUD 1945 judicial review adalah: 1 Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945. 2 Memutus pembubaran partai politik. 3
Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Pasal 24C
ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya
pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali PK. Selain itu juga
ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara
negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis terdorong untuk menulis skripsi dengan judul
“Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan
Sirri ”.
1.2. Identifikasi Masalah