IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46 PUU VIII 2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI

(1)

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL

PERKAWINAN SIRRI

SKRIPSI

Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

BENNY DWI MAHENDRA 8150408098

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013


(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI” yang ditulis oleh Benny Dwi Mahendra NIM 8150408098 telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada:

Hari :

Tanggal :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum. NIP. 197307122008011010 NIP. 197410262009122001

Mengetahui,

Pembantu Dekan Bidang Akademik

Drs. Suhadi, S.H., M.Si. NIP. 19671116 199309 1 001


(3)

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Sirri” yang ditulis oleh

Benny Dwi Mahendra NIM 8150408098 ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada :

Hari :

Tanggal :

Ketua Sekretaris

Drs. Sartono Sahlan, M.H. Drs. Suhadi, S.H., M.Si. NIP. 19530825 198203 1 003 NIP. 19671116 199309 1 001

Penguji Utama

Dr. Martitah, M.Hum NIP. 196205171986012001

Penguji I Penguji II

Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum. NIP. 197307122008011010 NIP. 197410262009122001


(4)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : BENNY DWI MAHENDRA, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam skripsi ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka

Semarang, 2013 Yang menerangkan,

BENNY DWI MAHENDRA 8150408098


(5)

MOTTO

Kebahagiaan yang sejati itu bukan milik mereka yang hebat dalam segala hal, namun mereka yang mampu menemukan hal yang sederhana di dalam kehidupnya dan tetap mensyukuri apa yang dimiliki. (Benny Dwi Mahendra)

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil (Mario Teguh)

PERSEMBAHAN

Dengan memohon ridho dari Allah SWT skripsi ini penulis persembahkan kepada : 1. Kedua Orang Tua saya Bapak Bambang Yuwono, S.Pd., dan Ibu Eny Sulastri,

A.Md.Pd., yang tercinta, Atas dukungan dan doanya serta limpahan kasih sayang yang tak pernah terputus.

2. Kakak saya tersayang, Yunita Fitriana, S.S. yang selalu selalu memberikan dorongan semangat serta selalu mendoakan penulis.

3. Hindun Elya Alfunia, yang senantiasa selalu memberikan dorongan semangat serta selalu mendoakan penulis.

4. Almamater Universitas Negeri Semarang yang selalu saya cintai dan saya banggakan.

5. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang angkatan tahun 2008.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan kasih sayang, berkah, serta rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI”. Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terlaksana dengan baik atas bantuan semua pihak, sehingga penulis dengan segenap kerendahan hati mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Bapak Drs. Sartono Sahlan, M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

3. Ibu Dr. Martitah, M.Hum selaku Dosen Penguji Utama yang dengan kesabaran, ketelitian telah menguji penulis demi terciptanya karya tulis yang baik.

4. Bapak Baidhowi, S.Ag., M.Ag., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan kesabaran, ketelitian dan kebijaksanaannya telah memberikan bimbingan dengan sepenuh hati serta memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

5. Ibu Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan kesabaran, ketelitian dan kebijaksanaannya telah memberikan bimbingan dengan sepenuh hati serta memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Pujiono, S.H., M.H. sebagai Dosen Wali yang juga turut memberikan pengarahan dan perhatiannya selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang bisa dijadikan pegangan penulis dalam dunia karir nanti.

8. Kedua Orang tua saya, Bapak Bambang Yuwono, S.Pd., dan Ibu Eny Sulastri, A.Md.Pd., yang selalu memberikan motivasi, dorongan, semangat dan senantiasa selalu mendoakan penulis.

9. Kakak saya Yunita Fitriana S.S., yang selalu memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10.Hindun Elya Alfunia yang selalu mendoakan dan memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi.

11.Bapak Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua dan Hakim di Pengadilan Agama Semarang yang telah membantu memberikan informasi bagi penulis demi kelancaran skripsi ini.


(8)

12.Ibu Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Semarang yang telah membantu memberikan informasi bagi penulis demi kelancaran skripsi ini.

13.Teman-teman dan sahabat-sahabat seperjuanganku angkatan 2008 di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang dan kos Risa Putra terima kasih untuk kebersamaan dan dukungannya.

14.Almamaterku, Universitas Negeri Semarang serta semua pihak yang telah berperan hingga terwujud skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah S.W.T dan akhirnya sebagai harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memenuhi persyaratan di dalam menyelesaikan pendidikan sarjana dan bermanfaat bagi semua yang membutuhkan.

Semarang, Penulis

Benny Dwi Mahendra 8150408098


(9)

ABSTRAK

Mahendra, Benny Dwi, 2013. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Sirri. Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I, Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Pembimbing II, Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum.

Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Anak Luar Kawin

Status anak hasil perkawinan sirri sebelumnya hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa memiliki kepastian hukum. Setelah di keluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tentang Pengakuan Anak Luar Kawin maka terjawablah ketidak pastian tersebut. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk membahas permasalahan bagaimanakah status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedua bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara sebagai penguat.

Hasil dan simpulan dari penelitian ini adalah bahwa perkawinan sirri merupakan perkawinan yang sah, karena pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sesuai agama Islam sebagaimana sesuai bunyi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah , apabilla dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dari bunyi Pasal diatas jelas bahwa perkawinan itu sah jika telah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya akan tetapi perkawinan sirri tersebut belum terpenuhinya syarat administratif sesuai Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974tentang Perkawinan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Maka status hukum dari anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri yang tidak dicatatkan statusnya adalah anak luar kawin. Anak luar kawin tersebut statusnya bisa berubah menjadi anak sah menurut pandangan hukum positif jika telah dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama dan atas dasar penetapan dari Perngadilan Agama tersebut, barulah perkawinan sirri tersebut bisa dilakukan pencatatan di KUA. Untuk membuktikan apakah anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya harus bisa di buktikan dengan menggunakan tes DNA. Anak tersebut akan otomatis mendapatkan hak keperdataan secara penuh sebagaimana hak keperdataan anak sah pada umumnya, yaitu: hak waris, hak penafkahan, hak perwalian.

Saran penulis adalah, bagi masyarakat sebaiknya tidak melakukan hal seperti kasus ini karena tidak memiliki kekuatan hukum. Bagi Pengadilan Agama hendaknya lebih cermat jika nanti menanggani kasus seperti ini.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang. ……… 1

1.2 Identifikasi Masalah ………... 6

1.3 Batasan Masalah ………. 8

1.4 Rumusan Masalah ……….. 9

1.5 Tujuan Penelitian ………... 9

1.6 Manfaat Penelitian ………. 9

1.7 Sistematika Penulisan ……… 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……….. 13

2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia ………... 13

2.1.1 Pengertian Perkawinan ………. 13


(11)

2.1.3 Syarat Perkawinan ………... 18

2.2 Kedudukan Perkawinan Sirri Dalam Lembaga Perkawinan …………... 22

2.2.1 Faktor Penyebab Perkawian Sirri………. 26

2.3 Hak Kewajiban Orang Tua ………. 34

2.4 Anak Luar Kawin Dalam Perkawinan ………... 37

2.4.1 Pengertian Anak Luar Kawin ……….... 37

2.4.2 Jenis-jenis Anak Luar Kawin ………... 38

2.4.3 Status Anak Luar Kawin dari Hasil Perkawinan Sirri ………... 39

2.5 Kedudukan, Peran dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi …………... 41

2.6 Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ………... 51

2.7 Kerangka Berfikir ……… 54

BAB 3 METODE PENELITIAN………... 61

3.1 Jenis Penelitian……… 64

3.2 Metode Pendekatan ………... 64

3.3 Fokus Penelitian………... 66

3.4 Jenis dan Sumber Data ………... 66

3.5 Teknik Pengumpulan Data……….. 70

3.6 Teknik Analisis Data………... 71

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73


(12)

4.1.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 ... 73

4.1.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ... 85

4.2 Pembahasan ... 88

4.2.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ... 90

4.2.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ... 94

BAB 5 PENUTUP ... 100

5.1 Simpulan ... 100

5.2 Saran ... 101 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi ………. 46 Tabel 2 : Perbandingan Pengesahan Anak, Pengakuan Anak, dan Putusan


(14)

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1 : Struktur Lembaga Tinggi Negara ………. 43

Bagan 2 : Kerangka Berfikir ………. 60

Bagan 3 : Skema Status Anak (1) ………. 96

Bagan 4 : Skema Status Anak (2) ………. 97


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian di Pengadilan Agama Semarang. Lampiran 2 : Surat Permohonan Izin Penelitian di Pengadilan Negeri Semarang. Lampiran 3 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian pada Pengadilan

Agama Semarang.

Lampiran 4 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian pada Pengadilan Negri Semarang.

Lampiran 5 : Kartu Bimbingan Skripsi. Lampiran 6 : Dokumentasi Foto. Lampiran 7 : Hasil Wawancara.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan Undang-Undang Perkawinan Nasional secara tidak langsung Undang-Undang menghapus peraturan tentang masalah perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini diperjelas dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nasional ini.

Dan setelah kurang lebih 38 tahun semenjak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menjadi dasar hukum yang membahas tentang perkawinan, masih terdapat beberapa kelemahan salah satunya yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah Pasal 3 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan bahwa : Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Dan Pasal 3 Ayat (2) menyebutkan bahwa : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.


(17)

Artinya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menutup kemungkinan seorang suami beristri lebih dari seorang karena berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) yang menyatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat memberikan keturunan.

Mengenai persetujuan antara kedua belah pihak diartikan bahwa perkawinan harus berdasarkan atas dasar kesepakatan dan tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apa pun.

Asas Monogami Relatif yang dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini memberikan kesempatan bagi seorang laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu, hal tersebut menimbulkan fenomena marakkan perkawinan sirri yang dilakukan oleh masyarakat.

Perkawinan sirri yang dilakukan di Indonesia tentunya akan menimbulkan permasalahan yang komplek dikemudian hari karena di dalam hukum Indonesia sampai saat ini tidak pernah diatur tentang legalitas perkawinan sirri. Karena perkawinan sirri sampai saat ini tidak pernah diakui oleh hukum Indonesia maka secara tidak langsung perkawinan sirri tersebut walaupun secara agama sah karena telah memenui syarat sahnya rukun nikah yang diatur menurut agama Islam akan tetapi perkawinan sirri tersebut belum sempurna keabsahannya karena perkawinan sirri tersebut belum dicatatkan,


(18)

3

artinya bahwa perkawinan sirri tersebut belum mempunyai kekuatan hukum. Sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan sirri status hukumnya anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya sebagaimana sesuai dengan bunyi Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Konsekuensi inilah yang harus diterima anak yang lahir dari perkawinan sirri, secara hukum positif, negara tidak menjamin hubungan hukum antara anak dengan ayahnya tersebut, dan hal tersebut akan terlihat dari akta kelahiran si anak dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan sirri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara anak dengan ayahnya secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat hak mewaris, hak perwalian hak penafkahan dari ayah biologisnya. Akan tetapi, setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu sebagaimana yang tertulis pada amar putusan


(19)

Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 yang ber isi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Selama ini sebelum di keluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dianggap diskriminatif dan tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, status anak di luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. Padahal tidak mungkin seorang anak tersebut terlahir secara sendirinya, pasti ada peran kedua orangtuanya yang mendahuluinnya sebelum anak tersebut terlahir. Dengan di keluarkannya putusan mahkamah konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 mencerminkan prinsip Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." telah terpenuhi.

Logika hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menimbulkan konsekuensi adanya hubungan keperdataan penuh anak luar kawin dengan bapak biologisnya, timbulnya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, mewaris dan


(20)

5

perwalian. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama dan kemudian dicatatkan di KUA dan dalam pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dibuktikan mempunyai hubungan darah.

Salah satu peran dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian dari padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tiga kewenangan Mahkamah Konstitusi selain Menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) adalah: (1) Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (2) Memutus pembubaran partai politik. (3)


(21)

Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis terdorong untuk menulis skripsi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Sirri”.

1.2.

Identifikasi Masalah

Sebagaimana yang tertulis didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. dan perkawinan tersebut harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(22)

7

Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasannya. Menurut Soekan dan Effendi, pernikahan yang dilakukan di luar pengawasannya tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan hal yang penting dalam suatu pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh kekuatan hukum, Dari pencatatan ini mempelai laki-laki dan perempuan memperoleh akta nikah.

Akta nikah sangatlah penting bagi sepasang suami istri sebagai bukti yang dapat dipercaya dari suatu perkawinan. Akta nikah merupakan bukti telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan sesuai yang di atur di Undang-Undang yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Meskipun keberadaan akta nikah sangatlah penting, namun masih ada pasangan suami istri yang tidak memiliki akta nikah karena perkawinan mereka tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Kenyataan yang beredar di masyarakat perkawinan dengan tidak dimilikinya akta nikah itu bisa terjadi di karenakan akad nikah yang mereka lakukan hanya dilakukan oleh kiai atau modin, sehingga perkawinan yang mereka lakukan hanya sah secara hukum agama. Perkawinan yang hanya mengikuti peraturan dan syarat agama tanpa dilakukan pencatatan perkawinan pada umumnya di kenal dengan perkawinan sirri.

Perkawinan sirri dalam pandangan Islam di anggap sah sepanjang memenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi belum sempurna menurut


(23)

pandangan Negara karena belum dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan di tuangkan dalam akta nikah, maka secara tidak langsung akan berdampak kepada kedudukan istri, anak, dan harta kekayaan terlebih lagi jika terjadi putusnya perkawinan, permasalahan yang timbut pasti akan lebih kompleks lagi.

Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 250 KUH Perdata).. Ketidakjelasan status si anak dengan ayahnya dimuka hukum inilah yang berdampak tidak baik bagi anak karena jika ayah biologisnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anaknya maka secara tidak langsung si anak akan kehilangan hak-haknya yang semestinya dia peroleh seperti penafkahan dan sampai masalah pewarisan dan perwalian kelak.

1.3.

Batasan Masalah

Agar masalah yang ingin penulis bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka penulis akan membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut mengenai :

1. Status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.


(24)

9

2. Prosedur pengakuan anak oleh ayah biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

1.4.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka penulis membatasi masalah dengan mengidentifikasinya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?

2. Bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?

1.5.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Untuk mengetahui prosedur pengakuan anak oleh ayah biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

1.6.

Manfaat Penelitian


(25)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kepustakaan tentang prosedur pengakuan anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Manfaat Praktis

Dari segi pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan (input) bagi semua pihak, yaitu bagi masyarakat pada umumnya, pemerintah pada khususnya dan pelaksanaan pengangkatan anak oleh pemohon beragama Islam dalam prakteknya.

1.7.

Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memberikan secara garis besar tentang apa yang peneliti kemukakan pada tiap-tiap bab dari skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan.

Pada bab ini berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penuliasan BAB II : Tinjauan Pusataka.

Yang mengemukakan tinjauan umum mengenai perkawinan, kedudukan nikah sirri dalam perkawinan, hak kewajiban orang tua, anak luar kawin dalam perkawinan,


(26)

11

peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi beserta penjelasan-penjelasanya dalam hal ini yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan.

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini penulis memberikan penjelasan mengenai metode yang digunakan meliputi metode pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Merupakan bab hasil penelitian dan pembahasan yang akan menjelaskan mengenai hasil penelitian serta analisa-analisa peneliti dari data yang telah diperoleh. Sehingga dalam bab ini pula akan diuraikan jawaban dari permasalahan yang berkaitan dengan prosedur pengakuan anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.


(27)

Dalam bab ini penulis akan memuat kesimpulan dan saran dan peneliti akan mencoba menarik sebuah benang merah terhadap permasalahan yang diangkat.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.

Tinjauan Tentang Perkawinan Membentuk Keluarga

Bahagia

3.1.1. Pengertian Perkawinan

Di Indonesia pengaturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan telah diatur dalam bentuk perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya merupakan sumber hukum materil dari perkawinan yang masih berlaku sampai sekarang. Sedangkan sumber hukum formal yang mengatur tentang perkawinan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dan sebagai aturan pelengkapnya adalah Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut majasi (mathaporic) atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. (Ramulyo 2002: 1).


(29)

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menjelaskan definisi perkawinan sebagai berikut : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dan Pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan : Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Secara bahasa perkawinan itu merupakan zawaaj, Az-zawaaj dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan. Sebagaimana firman Allah „azza wa jalla (yang artinya) : Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh). (Q.S At-Takwir:7) dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka disatukan dengan bidadari : Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli (Q.S Ath-Thuur:20) Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga Al-Aqd, yakni bergandengan atau bersatunya antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan zawaaja.


(30)

15                                  

32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.

[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.                                                       

3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak


(31)

yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

Sedangkan secara syar‟i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari‟at (Hosen, 1971:65). Lafadz yang semakna dengan AzZuwaaj adalah An-Nikaah; sebab nikah itu artinya saling bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang maksud dari lafadz An-Nikaah yang sebenarnya. Apakah berarti perkawinan atau jima. Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji. (Kan’an, 2007: 2).


(32)

17

3.1.2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban (Afandi, 2000:93). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan adalah Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang tua (Nur, 1993:3).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting. Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus


(33)

dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing sebagai pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3.1.3. Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 samapai Pasal 12. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.

Syarat Materiil

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun.

3. Harus mendapat ijin kedua orang tuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

4. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 5. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau

pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.


(34)

19

6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memnuhi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4.

7. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.

8. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagaui berikut:

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.

2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.


(35)

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.

4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang

Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin

Syarat Formal

Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:


(36)

21

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, ddilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5).

2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).

3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:

1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.

2. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8-9).

Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan


(37)

telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10-13).

3.2.

Kedudukan

Perkawinan

Sirri

Dalam

Lembaga

Perkawinan

Menurut Aulawi (1996:20) Sebelum lahir Undang-Undang Perkawinan, dimasyarakat telah ada pernikahan yang disebut dengan nikah sirri. Pengertian nikah sirri mengalami perkembangan dan diartikan secara lebih luas.

Zuhdi (1996:7-10) membagi pengertian nikah sirri menjadi tiga bentuk. Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat agama, bersifat intern keluarga dan belum dilakukan pencatatan oleh PPN serta belum dilakukan resepsi pernikahan. Suami-Istri belum tinggal dan hidup bersama sebagai Suami-Istri belum tinggal dan hidup bersama sebagai Suami-Istri karena istri pada umumnya masih anak-anak. Kedua, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat Islam, dan sudah dilakukan pencatatan oleh PPN dan memperoleh akta nikah. Namun, nikahnya bersifat intern keluarga dan belum hidup bersama sebagai suami-istri karena mungkin salah satu atau keduanya masih menyelesaikan studinya atau belum memperoleh pekerjaan. Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam karena terbentur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pernikahan ini calon suami menikahi calon istri secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai suami istri untuk menghindari hubungan disiplin oleh pejabat yang berwenang serta izin Pengadilan Agama dan mempunyai motif untuk menghindari zina.


(38)

23

Pendapat lain mengatakan bahwa pengertian nikah sirri adalah nikah yang tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai dan tidak dicatatkan di KUA. Dari sisi syarat dan rukunya, nikah sirri telah memenuhi sebagaimana layaknya pernikahan berdasarkan agama Islam (Maula,2002:2).

Abdullah (2001:26) mengemukakan bahwa untuk mengetahui bentuk pernikahan terdapat sirri (rahasia), dapat mengamati indikator sebagai berikut: 1. Pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah

sesuai ketentuan dalam agama Islam yaitu akad nikah yang terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dan dua orang saksi.

2. Pernikahan tidak mengikuti persyaratan yang di buat oleh pemerintah untuk memperoleh kepastian hukum dari pernikahan yaitu hadirnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) saat akad nikah berlangsung yang menyebabkan peristiwa nikah itu memenuhi “legal procedur” sehingga nikah itu diakui secara hukum dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum berupa adanya kepastian hukum, sehingga kepada suami-istri diberi masing-masing sebuah bukti adanya nikah yaitu berupa akta nikah.

3. Pernikahan tidak melaksanakan walimah al-nikah yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakanuntuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa diantara kedua calon suami-istri telah menjadi suami-istri.

Indikasi di atas menunjukkan bahwa setiap pernikahan berbentuk sirri atau tidak, Ali (1996:27) mengemukakan bahwa pernikahan mengandung arti sirri karena seseorang sengaja menyembunyikannya. Sesuatu yang sengaja di sembunyikan berkecenderungan mengandung arti menyimpan masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada diri orang yang melakukan pernikahan atau adanya ketentuan hukum yang tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu perkawinan yang tidak dilakukan sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku dapat dikategorikan sebagai pernikahan rahasia atau dirahasiakan karena menyimpan masalah.


(39)

Termasuk didalam kategori nikah sirri atau rahasia diantarannya adalah nikah gantung dan nikah dibawah tangan. Menurut Ali (1996:31) nikah gantung adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hubungannya sebagai suami istri digantungkan pada suatu keadaan atau waktu dimasa yang akan datang. Sementara itu, Handikusumo (1990:53) menjelaskan bahwa nikah gantung adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam (memenuhi rukun dan syaratnya), namun suami istri belum tinggal satu rumah dan hidup bersama sebagai suami istri.

Istilah nikah dibawah tangan menurut Zuhdi (1996:10-12) mulai dikenal sejak diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan. Keberadaan nikah dibawah tangan tersebut berdasarkan sah tidaknya perkawinan dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dalam Undang-Undang Perkawinan. Ada dua pendapat yang berbeda tentang sah tidanya pernikahan. Pertama, perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan. Pendapat kedua, mengatakan bahwa pernikahan dinggap sah apabila telah dilakukan menurut agaman dan kepercayaan masing-masing serta dilakukan pencatatan sesuai denga peraturan yang berlaku.

Sementara itu, Maula (2002:2) memberikan pengertian nikah sirri yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia merupakan pernikahan yang tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai, selain tidak dicatat di KUA. Walaupun demikain, pernikahan sirri dianggap memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagai mana layaknya perkawinan pada umumnya.

Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal dari kata assirru yang mempunyai arti rahasia (Munawwir, 1997:625). Dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan


(40)

25

suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya sekalipun keluarga setempat (Zuhdi,1996:7). Menurut terminologi ini nikah sirri adalah tidak sah, sebab nikah sirri selain dapat mengundang fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, juga bertentangan dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya hidung kambing” (Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dll. dari Anas).

Sesuai dengan namanya, perkawinan sirri ini umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia, terselubung, atau sembunyi-sembunyi. Praktik kawin sirri ini telah banyak dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sementaara itu jika dilihat dari perespektif hukum pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai suatu penyimpangan (Nurhaedi,2003:27).

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Perkawinan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif.

Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (Ramulyo,1996:239).

Berdasarkan pada harapan masyarakat kita, dalam rangka terciptanya kepastian hukum perkawinan, maka dalam tubuh Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 telah diletakkan beberapa asas atau dasar tentang hukum perkawinan nasional. Salah satunya adalah Pasal 2 ayat 1 yang menerangkan bahwa : Perkawinan itu adalah sah, apabila dilakukan


(41)

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu. Berdasarkan Pasal ini, secara eksplisit menentukan berlakunya hukum Islam di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Selanjutnya Pasal 2 ayat 2 menetukan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari Pasal 2 ayat 2 dapat dimengerti agar setiap perkawinan hendaknya dicatatkan pada kantor pencatat nikah yang ditunjuk oleh pemerintah.

Memang secara nyata pengertian perkawinan sirri tidak terlihat dalam Pasal itu, namun apabila kita mau memahami hakikat yang tersirat dalam Pasal 2 terutama ayat 1 maka nyatalah bahwa perkawinan sirri itu tercakup didalamnya. Namun perkawinan sirri memenuhi unsur-unsur larangan yang tersirat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan yang tidak mengakui bahkan tidak membolehkan adanya perkawinan sirri atau perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor yang berwenang untuk itu. Karena perkawinan sirri itu merupakan perkawinan yang tidak terdaftar maka menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat 2, Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 dan Pasal 10 ayat 3, perkawinan sirri itu tidak dibenarkan.

2.2.1 Faktor Penyebab Perkawian Sirri

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja


(42)

27

dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan


(43)

contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih di bawah umur.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.

c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 merupakan azas pokok dari perkawinan yang sesungguhnya. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternatif. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya


(44)

29

mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut seakan-akan multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.

Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.

Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam


(45)

Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.

d. Ketatnya Izin Poligami

UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami hanrus memenuhi


(46)

sekurang-31

kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal.4 ayat (2) UU 1/1974)

Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;

Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian


(47)

terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.

Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu.

Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri. Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.


(48)

33

Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.

Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami) menunjukkan menurun drastis namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:

1. tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat; 2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena

kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;

3. tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal; Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:


(49)

1.hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;

2.bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.

Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.

Sumber : http://www.pa-kotabumi.go.id/karya-ilmiah/207-jasmani.html, di akses pada tanggal 1 Desember 2012.

3.3.

Hak Kewajiban Orang Tua

Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 diatur dalam Pasal 45-49. Dalam Pasal 45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus. Disamping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum didalam dan diluar


(50)

35

pengadilan (Pasal 47). Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain keluarga dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau penjabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (Pasal 49). Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (Pasal 46).

Pasal 299 BW menentukan bahwa selama perkawinan orang tua masih berlangsung, maka anak-anak berada dalam kekuasaan orang tua


(51)

sampai anak itu menjadi dewasa, selama kekuasaan orang tuanya itu tidak dicabut (ontzet) atau dibebaskan (ontheving). Dengan demikian kekuasan orang tua itu mulai berlaku semenjak anaknya lahir atau semenjak pengesahan anak, dan akan berakhir apabila anak, menjadi dewasa, kecuali apabila perkawinan orang tua itu bubar atau kekuasaannya dicabut atau dibebaskan. Apabila kita bertitik tolak dari Pasal 299 BW diatas, maka sesungguhnya dari Pasal itu dapat disimpulkan 3 asas yaitu :

1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua. Kekuasaan orang tua itu dimiliki oleh kedua oranng tua, yaitu ayah dan ibu, tetapi lazimnya dilakukan oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua, atau berada dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan kekuasaan orang tua, apabila bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena sakit keras, sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak mampu melakukannya, maka oleh pengadilan negeri diangkatlah seorang wali.

2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus. Berlangsung sebagaimana telah diketahui bahwa apabila perkawinan bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan menunjukkan asas bahwa kekuasaan orang tua hanya ada selama ada


(52)

37

perkawinan orang tua itu sendiri. Dengan perkataan lain apabila pada saat bubarnya perkawinan masih ada anak yang belum dewasa, maka pada saat itu kekuasaan orang tua menjadi perwalian yang akan ditunjuk berdasarkan kepentingan anak yang masih belum dewasa. 3. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas

alasan-alasan tertentu. Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan orang tua yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah pencabutan dan pembebasan kekuasaan orang tua. Di Indonesia karena belum ada hakim khusus untuk anak-anak, maka baik pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan orang tua dimintakan kepada hakim perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan bukan saja terhadap salah satu dari mereka, melainkan dapat keduanya baik terhadap salah seorang atau terhadap semua anak-anak (Wibowo,2003:2).

3.4.

Anak Luar Kawin Dalam Perkawinan

3.4.1. Pengertian Anak Luar Kawin

Secara tertulis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memberikan pengertian dari anak luar kawin, akan tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar kawin. Apabila dilihat dari bunyi Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan


(53)

diluar perkawinan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Anak luar kawin merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar perkawinan yang sah. Predikat sebagai anak luar kawin tentunya akan melekat pada anak yang dilahirkam diluar perkawinan tersebut.

3.4.2. Jenis-jenis Anak Luar Kawin

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut: Anak luar kawin dalam arti luas

Adalah anak luar perkawinan karena perzinahan dan sumbang. Anak Zina adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Anak Sumbang adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi. Undang-Undang melarang perkawinan mereka mempunyai kedekatan hubungan darah atau semenda. Mereka-mereka yang ada adalah keluarga sedarah atau semenda sampai derajat tertentu, tidak boleh saling menikahi.


(54)

39

Anak luar kawin dalam arti sempit

Adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada akibat hukum nya (Pasal 288 KUHPerdata). Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.

3.4.3. Status Anak Luar Kawin dari Hasil Perkawinan Sirri

Dari sudut pandang hukum positif, perkawinan sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undanga-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, perkawinan sirri adalah perkawinan sah akan tetapi belum sempurna, ketidak sempurnaan itu karena perkawinan tersebut belum dicatatkan.


(55)

Bagi masyarakat Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu:

1 Perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, 2 Setiap perkawinan harus dicatat.

Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sesuai Undanga-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undanga-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undanga-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harus diartikan secara komulatif tidak bisa diartikan secara alternatife. Dan jika dikaitkan dengan Pasal 42 Undanga-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunnyi : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Maka dari sudut pandang hukum positif, anak hasil dari perkawinan sirri merupakan anak luar kawin karena perkawinan kedua orang tuanya tidak dicatatkan, walaupun perkawinan kedua orang tuanya sah secara hukum islam karena telah dilakukan sesuai syarat dan rukun nikah akan tetapi hukum positif tetap mengganggap perkawinan tesebut sah akan tetapi belum sempurna karena tidak dicatatkan dan tidak bisa dibuktikan dengan akta perkawinan.


(56)

41

2.1.

Kedudukan,

Peran

dan

Kewenangan

Mahkamah

Konstitusi

Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sistem division of power (pembagian kekuasaan) yang sebelumnya dianut kemudian diganikan dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara. Berdasarkan division of power, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi Negara.

Kelemahan sistem division of power tersebut antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden (concentration of power upon the President) Mochtar, 2009:1)


(57)

Diberlakukannya sistem separation of power, kini lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh Undang Dasar 1945. Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga-lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat dan Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya untuk menjadi pengawal konstitusi, mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.


(58)

43

Bagan 1

Struktur Lembaga Tinggi Negara

Peran dan Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, kewenagan pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan kewenangan untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu

Undang-Undang Dasar 1945

KPU

MK

KY MA

DPD MPR

DPR Bank

Central

BPK Presiden

Undang-Undang Dasar 1945


(59)

undang-undang atau salah satu bagian dari padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

Kewenangan lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antar lembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. kewenangan lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan antar lembaga negara yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, kewenangan penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban


(60)

45

konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:

1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

3. Memutus pembubaran partai politik.

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.


(61)

Tabel 1

Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi

Tugas dan

Wewenag MK Das ar Hukum

Uns ur Permohonan Pemohon

Amar

Putus an Sifat Implikas i Relevans i

Uji Undang-Undang terhapat Undang-Undang Das ar

Pas al 24C (1); Pas al 1 angka 3 huruf a jo. Pas al 10 (1) huruf a jo. Pas al 30 huruf a jo. Bagian

kedelapan UUMK

Kerugian dari: WNI; kes atuan, mas yarakat

hukum Adat; Badan Hukum Publik dan Privat;

dan Lembaga lainnya

Bertentangan atau Tidak Bertentangan Tingkat Pertama Dan Terakhir, final Kekuatan Hukum Suatu Materi Undang-Undang Keberlakuan Undang-Undang Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Pas al 24C (1); Pas al 1 angka 3 huruf b jo. Pas al 10 (1) huruf

b jo. Pas al 30 huruf b jo. Bagian kes embilan UUMK

Kepentingan langs ung dari Lembaga Negara Kecuali Mahkamah Agung

Berwenang atau tidak berwenang Tingkat Pertama Dan Terakhir, final Keabs ahan kewenangan Lembaga Negara

Das ar hukum kewenangan Lembaga Negara

Memutus Pembubaran Partai Politik

Pas al 24C (1); Pas al 1 angka 3 huruf c jo. Pas al 10 (1) huruf c jo. Pas al 30 huruf c jo. Bagian

kes epuluh UUMK

Dianggap bertentangan oleh Pemerintah Mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan Tingkat Pertama Dan Terakhir, final

Eks is tens i dan keabs ahan Partai

Politik

Das ar hukum cabut atau tidak mencabut s tatus

hukum Partai Politik

Memutus Pers elius ihan

Has il Pemilu

Pas al 24C (1); Pas al 1 angka 3 huruf d jo. Pas al 10 (1) huruf

d jo. Pas al 30 huruf d jo. Bagian kes ebelas UUMK

Mempengaruhi perolehan s uara pes erta pemilu

Membenarkan atau tidak membenarkan perhitungan pemohon Tingkat Pertama Dan Terakhir, final Keabs ahan Perhitungan s uara dalam

pemilu

Das ar hukum penetapan has il perhitungan s uara menurut KPU atau menurut

pemohon

Impeachment terhadap Pres iden dan

atau Wakil Pres iden

Pas al 3 (3) jo. 7A JO. Pas al 7B jo. Pas al 24C (2); Pas al 1 angka 3 huruf c jo. Pas al 10 (2) dan (3) jo. Pas al 30 huruf e jo. Bagian keduabelas UUMK

Ada pelanggaran menurut DPR Membenarkan atau tidak membenarkan pendapat DPR Relatif, tergantung kekuatan politik di MPR Legitimas i Pres iden dan

atau Wakil Pres iden, atau MPR dan atau

DPR

Das ar hukum DPR us ulkan rapat paripurna MPR Putus an Mahkamah Kons titus i


(62)

A. Kewenangan Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar

Berdasarkan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Kostitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasarkan Undang-Undang Dasar. Melalui penafsiran atau interprestasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan Negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislative diimbangi oleh adannya pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial c.q Mahkamah Konstitusi.

B. Kewenangan Memutus Sengketa Lembaga Negara

Putusan Mahkamah Kostitusi atas hal ini akan menyatakan dengan tegas mengenai berwenang atau tidaknya suatu lembaga Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 61 Ayat (2) jo Pasal 64 Ayat (3) dan (4) jo Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Hal ini mempunyai relevansi sebagai dasar hukum lembaga Negara yang


(1)

BAB 5

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarakan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab 4 diatas, maka pada penulisan skripsi ini yang berudul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI”, pada bab 5 ini penulis mengambil simpulan sebagai berikut:

1. Perkawinan sirri merupakan perkawinan yang sah, karena dalam pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang telah dianjurkan oleh agama Islam sebagai mana sesuai dengan bunyi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabilla dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dari bunyi Pasal diatas jelas bahwa perkawinan itu sah jika telah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat administratif sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Implikasi dari tidak dicatatkannya perkawinan kedua orang tuanya itu maka status anak yang lahir dari perkawinan sirri tersebut statusnya menjadi anak luar kawin.


(2)

2. Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama jika dinyatakan sah maka barulah kemudian dilakukan pencatatan perkawinan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut, maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, akan tertapi jika terjadi permasalahan terhadap status dari anak tersebut, dan untuk memperkuat status hubungan darah anataara seorang ank dengan ayah biologisnya maka harus dilakukan tes DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah antara anak tersebut dengan laki-laki tersebut. Anak tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga ayahnya. Dan hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian.

5.2 Saran

1. Perkawinan sirri tersebut pada dasarnya memang suatu perkawinan yang sah menurut pandangan hukum positif, akan tetapi tidak dicatatkannya perkawinan sirri tersebut berdampak kepada status hukum dari anak tersebut yang tidak jelas dan kabur terkait masalah pembuktiannya. Alangkah lebih baik dan bijaknya jika kita mensinergikan apa yang telah diatur di dalam agama dan kepercayaan kita dengan peraturan hukum


(3)

102

positif yang berlaku di Negara kita. Jadi kita sepatutnya melaksanakan perkawinan sesuai aturan agama dan kepercayaan yang kita anut dan setelah itu kita catatkan agar hak-hak yang kita dapatkan benar-benar terpenuhi dan mempunyai landasan hukum yang jelas.

2. Bagi Penagdilan Agama, dalam menangani hal tersebut dia atas hendaknya lebih cermat, karena walau bagaimanapun juga jika menyangkut masalah perkawinan dampaknya bukan hanya kepada seorang laki-laki dan seorang perembuan semata tetapi jauh lebih kompleks lagi dari pada hal tersebut, terutama anak, anak tersebut harus mendapatkan kejelasan status hukumnya karena secara tidak langsung hal tersebut menyangkut perkembangan anak tersebut.


(4)

Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang.

Afandi, Ali. 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta

akan Hak-Hak Konstitusionalnya yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi. Bandung PT.Citra Aditya Bakti

Daulay,Ikhsan Rosyada Perluhutan. 2006. MAHKAMAH KONSTITUSI Memahami Keberadaannya Dalam System Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta

Effendi, Soekan dan Erniati. 1997. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. I. Surabaya: tp.

Handikusumo, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Hosen, Ibrahim. 1971. Fiqh perbandingan dalam masalah nikah, thalaq, rudjuk dan hukum kerwarisan. Jakarta: Yayasan Ihja 'Ulumiddin Indonesia.

Kanan , Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad. 2007. Ushulul Muasyarotil. Zaujiyah - Tata Pergaulan Suami Isteri. Jogjakarta: Maktab al-Jihad.

Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Prograsif

Ramulyo, MohammadIdris. 1996. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Soekanto, Sarjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta :Universitas Indonesia (UI-Press).

Soemitro, Rony Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia

Soimin. Soedaryo, 1992. Hukum orang dan keluarga : Perspektif hukum perdata barat/BW-hukum islam dan hukum adat. Jakarta: Sinar Grafika


(5)

104

Sutiyoso, Bambang. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman kepada Public. Jakarta: Sinar Grafika

Syukur, Aswadi. 1985. Intisari Hukum Perkawinan Dan Keluarga Dalam Fikih Islam. Surabaya: PT.Bina Ilmu.

Dari Undang-Undang:

Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Makalah Seminar

Mochtar, M. Akil. PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS. disampaikan pada Pendidikan Sespati Polri dan Pasis Sespim Polri, Lembang, 2009.

Rasyid, Chatib. ANAK LAHIR DILUAR NIKAH (SECARA HUKUM) BERBEDA DENGAN ANAK HASIL ZINA Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012. Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, IAIN Walisongo, Semarang, 2012.


(6)

Retrieval KSP “Principium”, Vol. 4 No.1, Oktober, 2012.

Web

http://www.pa-semarang.go.id http://www.pa-kotabumi.go.id