Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Pasal 24C
ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya
pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali PK. Selain itu juga
ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara
negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis terdorong untuk menulis skripsi dengan judul
“Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan
Sirri ”.
1.2. Identifikasi Masalah
Sebagaimana yang tertulis didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. dan perkawinan tersebut harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang dilangsungkan
dihadapan dan di bawah pengawasannya. Menurut Soekan dan Effendi, pernikahan yang dilakukan di luar pengawasannya tidak mempunyai
kekuatan hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan hal yang penting dalam suatu pernikahan, baik laki-
laki maupun perempuan untuk memperoleh kekuatan hukum, Dari pencatatan ini mempelai laki-laki dan perempuan memperoleh akta nikah.
Akta nikah sangatlah penting bagi sepasang suami istri sebagai bukti yang dapat dipercaya dari suatu perkawinan. Akta nikah merupakan bukti
telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan sesuai yang di atur di Undang-Undang yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Meskipun keberadaan akta nikah sangatlah penting, namun masih ada pasangan suami istri yang tidak memiliki akta nikah karena perkawinan
mereka tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Kenyataan yang beredar di masyarakat perkawinan dengan tidak dimilikinya akta nikah itu bisa terjadi di
karenakan akad nikah yang mereka lakukan hanya dilakukan oleh kiai atau modin, sehingga perkawinan yang mereka lakukan hanya sah secara hukum
agama. Perkawinan yang hanya mengikuti peraturan dan syarat agama tanpa dilakukan pencatatan perkawinan pada umumnya di kenal dengan perkawinan
sirri. Perkawinan sirri dalam pandangan Islam di anggap sah sepanjang
memenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi belum sempurna menurut
pandangan Negara karena belum dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan di tuangkan dalam akta nikah, maka secara tidak langsung akan berdampak
kepada kedudukan istri, anak, dan harta kekayaan terlebih lagi jika terjadi putusnya perkawinan, permasalahan yang timbut pasti akan lebih kompleks
lagi. Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 250 KUH Perdata.. Ketidakjelasan status si anak dengan ayahnya dimuka hukum inilah yang
berdampak tidak baik bagi anak karena jika ayah biologisnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anaknya maka secara tidak langsung si
anak akan kehilangan hak-haknya yang semestinya dia peroleh seperti penafkahan dan sampai masalah pewarisan dan perwalian kelak.
1.3. Batasan Masalah