2.1. Kedudukan, Peran
dan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi
Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sistem division of power pembagian kekuasaan yang sebelumnya dianut kemudian
diganikan dengan separation of power pemisahan kekuasaan mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan
negara. Berdasarkan division of power, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai
lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah
lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Pertimbangan Agung DPA, Badan Pemeriksa Keuangan BPK,
dan Mahkamah Agung MA yang kedudukannya sederajat dan masing- masing diberi status sebagai lembaga tinggi Negara.
Kelemahan sistem division of power tersebut antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada
di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi
lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi
negara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi,
tetapi juga
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu
dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden
concentration of power upon the President
Mochtar, 2009:1
Diberlakukannya sistem separation of power, kini lembaga- lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan
tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan di saat bersamaan dibatasi
juga oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasca amandemen Undang- Undang Dasar 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya
kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-
lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat dan Mahkamah
Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya untuk
menjadi pengawal konstitusi, mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”.
Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi memiliki
kedudukan, kewenangan
serta kewajiban
konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Bagan 1 Struktur Lembaga Tinggi Negara
Peran dan Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum.
Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Dalam rangka menjaga konstitusi, kewenagan pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan
Indonesia sebab Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.
Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara
demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan kewenangan untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor
konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial
review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu
Undang- Undang
Dasar 1945
KPU MK
KY MA
DPD MPR
DPR
Bank Central
BPK
Presiden
Undang- Undang
Dasar 1945
undang-undang atau salah satu bagian dari padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan
Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan
judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari
koridor konstitusi. Kewenangan lanjutan selain judicial review, yaitu 1 memutus
sengketa antar lembaga negara, 2 memutus pembubaran partai politik, dan 3 memutus sengketa hasil pemilu. kewenangan lanjutan semacam
itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan antar lembaga negara yang tidak dapat diselesaikan
melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu
erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Karena itu, kewenangan penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah
dilembagakan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang menentukan bahwa
Mahkamah Konstitusi
mempunyai empat
kewenangan konstitusional conctitutionally entrusted powers dan satu kewajiban
konstitusional constitusional obligation. Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945. 2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. 3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat 1 sampai dengan 5 dan
Pasal 24 C ayat 2 UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah
memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela,
atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Tabel 1 Kewenangan Konstitusional Mahkamah
Konstitusi
Tugas dan Wewenag MK
Das ar Hukum Uns ur Permohonan
Pemohon Amar
Putus an Sifat
Implikas i Relevans i
Uji Undang- Undang
terhapat Undang-
Undang Das ar Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3
huruf a jo. Pas al 10 1 huruf a jo. Pas al 30 huruf a jo. Bagian
kedelapan UUMK Kerugian dari: WNI;
kes atuan, mas yarakat hukum Adat; Badan
Hukum Publik dan Privat; dan Lembaga lainnya
Bertentangan atau Tidak
Bertentangan Tingkat
Pertama Dan
Terakhir, final
Kekuatan Hukum Suatu Materi
Undang-Undang Keberlakuan Undang-
Undang Memutus
Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara
Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3 huruf b jo. Pas al 10 1 huruf
b jo. Pas al 30 huruf b jo. Bagian kes embilan UUMK
Kepentingan langs ung dari Lembaga Negara
Kecuali Mahkamah Agung Berwenang
atau tidak berwenang
Tingkat Pertama
Dan Terakhir,
final Keabs ahan
kewenangan Lembaga Negara
Das ar hukum kewenangan Lembaga Negara
Memutus Pembubaran
Partai Politik Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3
huruf c jo. Pas al 10 1 huruf c jo. Pas al 30 huruf c jo. Bagian
kes epuluh UUMK Dianggap bertentangan
oleh Pemerintah Mengabulkan
atau tidak mengabulkan
permohonan Tingkat
Pertama Dan
Terakhir, final
Eks is tens i dan keabs ahan Partai
Politik Das ar hukum cabut atau
tidak mencabut s tatus hukum Partai Politik
Memutus Pers elius ihan
Has il Pemilu Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3
huruf d jo. Pas al 10 1 huruf d jo. Pas al 30 huruf d jo.
Bagian kes ebelas UUMK Mempengaruhi perolehan
s uara pes erta pemilu Membenarkan
atau tidak membenarkan
perhitungan pemohon
Tingkat Pertama
Dan Terakhir,
final Keabs ahan
Perhitungan s uara dalam
pemilu Das ar hukum penetapan
has il perhitungan s uara menurut KPU atau menurut
pemohon Impeachment
terhadap Pres iden dan
atau Wakil Pres iden
Pas al 3 3 jo. 7A JO. Pas al 7B jo. Pas al 24C 2; Pas al 1
angka 3 huruf c jo. Pas al 10 2 dan 3 jo. Pas al 30 huruf e
jo. Bagian keduabelas UUMK Ada pelanggaran menurut
DPR Membenarkan
atau tidak membenarkan
pendapat DPR Relatif,
tergantung kekuatan
politik di MPR
Legitimas i Pres iden dan
atau Wakil Pres iden, atau
MPR dan atau DPR
Das ar hukum DPR us ulkan rapat paripurna MPR
Putus an Mahkamah Kons titus i
Sumber:Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
47
A. Kewenangan Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar
Berdasarkan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Kostitusi melalui
putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang- undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak
sesuai dan tidak berdasarkan Undang-Undang Dasar. Melalui penafsiran atau interprestasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah
Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-
sama Presiden dalam penyelenggaraan Negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian
Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislative diimbangi oleh adannya pengujian formal dan materiil dari cabang yudisial c.q Mahkamah
Konstitusi.
B. Kewenangan Memutus Sengketa Lembaga Negara
Putusan Mahkamah Kostitusi atas hal ini akan menyatakan dengan tegas mengenai berwenang atau tidaknya suatu lembaga Negara menurut
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 61 Ayat 2 jo Pasal 64 Ayat 3 dan 4 jo Pasal 66 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal ini
mempunyai relevansi sebagai dasar hukum lembaga Negara yang
bersangkutan dalam menyelenggarakan kewenangan berdasarkan Undang- Undang Dasar 1945. Implikasinya adalah keabsahan atau legitimasi
konstitusional kewenangan lembaga Negara Pasal 64 jo Pasal 66 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2003. Adanya kewenangan lembaga Negara
adalah untuk menyelesaikan perselisihan hukum atas suatu kewenangan lembaga Negara. Artinya esensi kewenangan konstitusional mahkamah
konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga Negara dalam perimbangan kekuasaan lembaga Negara merupakan suatu fungsi control
dari badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga Negara yaitu dengan menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan
lembaga Negara sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut Undang-Undang Dasar 1945.
C. Kewenangan Memutus Pembubaran Partai Politik
Bilamana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan pembubaran partai politik yang diajukan oleh pemohon adalah beralasan
dan mememuhi ketentuan Pasal 68 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 maka, amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan dikabulkan, dan jika sebaliknya maka, amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Terhadap permohonan yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusik kemudian mumutuskan tidak
mengabulkan atau mengabulkan permohonan pembubaran partai politik Pasal 68 Ayat 2 jo Pasal 70 jo Pasal 71 jo Pasal 72 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003. Hal ini mempunyai relefansi sebagai dasar hukum bagi pemohon c.q Pemerintah Pusat Pasal 68 Ayat 1 jo Pasal 72 jo Pasal
73 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan penjelasannya untuk membubarkan atau tidak membubarkan atau tidak membatalkan status
hukum suatu partai politik. Implikasi dari hal tersebut adalah terdapat eksistensi dan keabsahan
suatu partai politik. Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pemerintah untuk membubarkan suatu partai
politik tertentu berarti bahwa partai politik yang bersangkutan secara hukum tidak diakui keberadaannya, dan tidak di benarkan untuk
melakukan aktifitas poitik. Demikian pula sebaliknya, yakni bila amar putusan
Mahkamah Konstitusi
tidak mengabulkan
permohonan pemerintah, maka keberadaan suatu partai politik tertentu secara hukum
tetap dijamin hak-hak dan kewajiban partai politik, yang berarti dapat melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai partai politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan syarat mutlak bagi pemerintah untuk membubarkan partai politik tertentu. Tanpa adanya
dasar hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara pembubaran partai politik, pemerintah tidak boleh membubarkan suatu
partai politik. Artinya, keberadaan mahkamah konstitusi adalah untuk menjamin sekaligus melindungi partai politik dari tindakan sewenang-
wenang pemerintah yang membubarkan partai politik tanpa alas an yang jelas dan sah secara hukum.
D. Kewenangan Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1. Terpilihnya anggota DPD, 2. Penetapan pasangan
calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3.
Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
E. Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem
presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung
oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran
hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara
hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan
yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat
semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 23 dua pertiga jumlah seluruh anggota DPR yang
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 23 dua per tiga anggota DPR.
1.5 Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi