Kedudukan, Peran IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46 PUU VIII 2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI

2.1. Kedudukan, Peran

dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sistem division of power pembagian kekuasaan yang sebelumnya dianut kemudian diganikan dengan separation of power pemisahan kekuasaan mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara. Berdasarkan division of power, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Pertimbangan Agung DPA, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, dan Mahkamah Agung MA yang kedudukannya sederajat dan masing- masing diberi status sebagai lembaga tinggi Negara. Kelemahan sistem division of power tersebut antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden concentration of power upon the President Mochtar, 2009:1 Diberlakukannya sistem separation of power, kini lembaga- lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasca amandemen Undang- Undang Dasar 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga- lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat dan Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya untuk menjadi pengawal konstitusi, mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. Bagan 1 Struktur Lembaga Tinggi Negara Peran dan Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, kewenagan pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan kewenangan untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu Undang- Undang Dasar 1945 KPU MK KY MA DPD MPR DPR Bank Central BPK Presiden Undang- Undang Dasar 1945 undang-undang atau salah satu bagian dari padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Kewenangan lanjutan selain judicial review, yaitu 1 memutus sengketa antar lembaga negara, 2 memutus pembubaran partai politik, dan 3 memutus sengketa hasil pemilu. kewenangan lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan antar lembaga negara yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, kewenangan penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional conctitutionally entrusted powers dan satu kewajiban konstitusional constitusional obligation. Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah: 1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945. 2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. 3. Memutus pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat 1 sampai dengan 5 dan Pasal 24 C ayat 2 UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Tabel 1 Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi Tugas dan Wewenag MK Das ar Hukum Uns ur Permohonan Pemohon Amar Putus an Sifat Implikas i Relevans i Uji Undang- Undang terhapat Undang- Undang Das ar Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3 huruf a jo. Pas al 10 1 huruf a jo. Pas al 30 huruf a jo. Bagian kedelapan UUMK Kerugian dari: WNI; kes atuan, mas yarakat hukum Adat; Badan Hukum Publik dan Privat; dan Lembaga lainnya Bertentangan atau Tidak Bertentangan Tingkat Pertama Dan Terakhir, final Kekuatan Hukum Suatu Materi Undang-Undang Keberlakuan Undang- Undang Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3 huruf b jo. Pas al 10 1 huruf b jo. Pas al 30 huruf b jo. Bagian kes embilan UUMK Kepentingan langs ung dari Lembaga Negara Kecuali Mahkamah Agung Berwenang atau tidak berwenang Tingkat Pertama Dan Terakhir, final Keabs ahan kewenangan Lembaga Negara Das ar hukum kewenangan Lembaga Negara Memutus Pembubaran Partai Politik Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3 huruf c jo. Pas al 10 1 huruf c jo. Pas al 30 huruf c jo. Bagian kes epuluh UUMK Dianggap bertentangan oleh Pemerintah Mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan Tingkat Pertama Dan Terakhir, final Eks is tens i dan keabs ahan Partai Politik Das ar hukum cabut atau tidak mencabut s tatus hukum Partai Politik Memutus Pers elius ihan Has il Pemilu Pas al 24C 1; Pas al 1 angka 3 huruf d jo. Pas al 10 1 huruf d jo. Pas al 30 huruf d jo. Bagian kes ebelas UUMK Mempengaruhi perolehan s uara pes erta pemilu Membenarkan atau tidak membenarkan perhitungan pemohon Tingkat Pertama Dan Terakhir, final Keabs ahan Perhitungan s uara dalam pemilu Das ar hukum penetapan has il perhitungan s uara menurut KPU atau menurut pemohon Impeachment terhadap Pres iden dan atau Wakil Pres iden Pas al 3 3 jo. 7A JO. Pas al 7B jo. Pas al 24C 2; Pas al 1 angka 3 huruf c jo. Pas al 10 2 dan 3 jo. Pas al 30 huruf e jo. Bagian keduabelas UUMK Ada pelanggaran menurut DPR Membenarkan atau tidak membenarkan pendapat DPR Relatif, tergantung kekuatan politik di MPR Legitimas i Pres iden dan atau Wakil Pres iden, atau MPR dan atau DPR Das ar hukum DPR us ulkan rapat paripurna MPR Putus an Mahkamah Kons titus i Sumber:Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 47

A. Kewenangan Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar

Berdasarkan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Kostitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang- undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasarkan Undang-Undang Dasar. Melalui penafsiran atau interprestasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama- sama Presiden dalam penyelenggaraan Negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislative diimbangi oleh adannya pengujian formal dan materiil dari cabang yudisial c.q Mahkamah Konstitusi.

B. Kewenangan Memutus Sengketa Lembaga Negara

Putusan Mahkamah Kostitusi atas hal ini akan menyatakan dengan tegas mengenai berwenang atau tidaknya suatu lembaga Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 61 Ayat 2 jo Pasal 64 Ayat 3 dan 4 jo Pasal 66 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal ini mempunyai relevansi sebagai dasar hukum lembaga Negara yang bersangkutan dalam menyelenggarakan kewenangan berdasarkan Undang- Undang Dasar 1945. Implikasinya adalah keabsahan atau legitimasi konstitusional kewenangan lembaga Negara Pasal 64 jo Pasal 66 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2003. Adanya kewenangan lembaga Negara adalah untuk menyelesaikan perselisihan hukum atas suatu kewenangan lembaga Negara. Artinya esensi kewenangan konstitusional mahkamah konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga Negara dalam perimbangan kekuasaan lembaga Negara merupakan suatu fungsi control dari badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga Negara yaitu dengan menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan lembaga Negara sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut Undang-Undang Dasar 1945.

C. Kewenangan Memutus Pembubaran Partai Politik

Bilamana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan pembubaran partai politik yang diajukan oleh pemohon adalah beralasan dan mememuhi ketentuan Pasal 68 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 maka, amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan dikabulkan, dan jika sebaliknya maka, amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima Pasal 70 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Terhadap permohonan yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusik kemudian mumutuskan tidak mengabulkan atau mengabulkan permohonan pembubaran partai politik Pasal 68 Ayat 2 jo Pasal 70 jo Pasal 71 jo Pasal 72 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal ini mempunyai relefansi sebagai dasar hukum bagi pemohon c.q Pemerintah Pusat Pasal 68 Ayat 1 jo Pasal 72 jo Pasal 73 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan penjelasannya untuk membubarkan atau tidak membubarkan atau tidak membatalkan status hukum suatu partai politik. Implikasi dari hal tersebut adalah terdapat eksistensi dan keabsahan suatu partai politik. Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pemerintah untuk membubarkan suatu partai politik tertentu berarti bahwa partai politik yang bersangkutan secara hukum tidak diakui keberadaannya, dan tidak di benarkan untuk melakukan aktifitas poitik. Demikian pula sebaliknya, yakni bila amar putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan pemerintah, maka keberadaan suatu partai politik tertentu secara hukum tetap dijamin hak-hak dan kewajiban partai politik, yang berarti dapat melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai partai politik. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan syarat mutlak bagi pemerintah untuk membubarkan partai politik tertentu. Tanpa adanya dasar hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara pembubaran partai politik, pemerintah tidak boleh membubarkan suatu partai politik. Artinya, keberadaan mahkamah konstitusi adalah untuk menjamin sekaligus melindungi partai politik dari tindakan sewenang- wenang pemerintah yang membubarkan partai politik tanpa alas an yang jelas dan sah secara hukum.

D. Kewenangan Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1. Terpilihnya anggota DPD, 2. Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.

E. Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden

Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 23 dua pertiga jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 23 dua per tiga anggota DPR.

1.5 Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi