Kerangka Berfikir IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46 PUU VIII 2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI

putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum yang bersifat final dan tidak ada upaya hukum lain karena Mahkamah Konstitusi mengadili tingkat pertama dan terakhir Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi. 10. Asas Sosialisasi, artinya putusan Mahkamah Konstitusi wajib diumumkan dan dilaporkan secara berkala kepada masyarakat secara terbuka Pasal 13 UU Mahkamah Konstitusi. 11. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan, untuk memenuhi harapan para pencari keadilan maka pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif serta dengan biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkaratidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan Pasal 4 ayat 2 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004. Sutiyoso,2006:38-44

2.7. Kerangka Berfikir

Perkawinan sebagai salah satu sunnah nabi Muhammad saw juga telah diatur dalam hukum perkawinan islam yang secara syar’i telah diatur dalam nash Al- Qur’an dan Hadits. Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya Fikih Sunnah : “Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perana yang positif dalam mewujug kan tujuan perkawinan”. Allah tidak mau menjadikan manusia seperti makluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dengan betina secara anarki, dan tidak ada suatu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah membuat hukum sesuai dengan martabat Thalib, 1980:7. Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut majasi mathaporic atau arti hukum adalah aqad perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Ramulyo, 2002:1. Menurut hukum Islam, nikah itu pada hakikatnya adalah aqad antara calon suami istri untuk memperbolehkannya mereka berdua bergaul sebagai suami istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi Aqad Nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki Asmin,1986:28. Karena itu perkawinan dianggap sah dan berdampak hukum positif maka harus memenuhi syarat dan rukunnya. Kalau salah satu syarat perkawina tidak terpenuhi maka perkawina itu tidak sah. Soemiyati.1982:30 Syarat perkawinan : Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan; Ada saksi; Ada wali; Mahar atau maskawin; Ijab –Qabul. Sedangkan rukun dari perkawinan : Ijab-Qabul siqhat; Wali; Dua orang Saksi. Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal dari kata assirru yang mempunyai arti “rahasia” Munawwir, 1997:625. Dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya sekalipun keluarga setempat Zuhdi,1996:7. Menurut terminologi ini nikah sirri tersebut adalah tidak sah, sebab nikah sirri selain dapat mengundang fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, juga bertentangan dengan hadis Nabi.yang berbunyi: “Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya hidung kambing” Hadis Riwayat Al- Bukhari dan Muslim dll. dari Anas. Sesuai dengan namanya, perkawinan sirri ini umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia, terselubung, atau sembunyi- sembunyi. Praktik kawin sirri ini telah banyak dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sementaara itu jika dilihat dari perespektif hukum pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai suatu penyimpangan Nurhaedi, 2003:27. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI “Perkawinan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif”. Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Ramulyo,1996: 239. Banyaknya sekali permasalahan di masyarakat yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan seperti kaburnya asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang- Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”. Meskipun Ulama Indonesia pada umumnya setuju terhadap pasal tersebut tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim di Indonesia masih memperdebatkan sahnya suatu perkawinan tanpa di temui suatu titik terang. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu menjadi tidak sah. Implikasi jawaban tersebut adalah bahwa jika sudah terpenuhi semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam fiqh, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai dampaknya adalah banyak masyarakat yang melakukan perkawinan sirri di Indonesia. Sehubungan dengan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang- Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hingga saat ini kalangan teoritis dan praktisi hukum masih saling bersilang pendapat tentang pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini. Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 ayat 1 Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam secara sempurna memenuhi rukun dan syarat nikah. Mengenai pencatatan nikah oleh PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban administratif saja; Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai tata cara agama dan ayat 2 mengenai pencatatan nikah oleh PPN secara simultan. Dengan demikian ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 tersebut merupakan syarat kumulatif, bukan alternatif. Karena itu perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syariat Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap sebagai perkawinan yang sempurna dan perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan perkawinan dibawah tangan atau perkawinan sirri. Perkawinan dibawah tangan atau perkawinan sirri berdampak sangat merugikan bagi perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun secara sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak menuntut nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Selanjutnya secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan dibawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi istri simpanan. Bila pernikahan dibawah tangan ingin diakhiri dan dilegalkan ada dua cara, yaitu dengan melakukan Itsbat Nikah dan dari hasil penetapan pengadilan tersebut dijadikan dasar pencatatan perkawinannya di KUA. Hal-hal seperti di ataslah yang mendasari seorang warga Indonesia dan juga seorang public figure Hj. Aisyah Mochtar atau yang biasa dikenal dengan nama Machica Mochtar mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang Perkawinan untuk di uji dengan Pasal 28 B ayat 1, Pasal 28 B ayat 2 dan Pasal 28 D ayat 1 Undang- Undang Dasar 1945 dan Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang Perkawinan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak biologisnya dan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang Perkawinan tidak dikabulkan dengan alasan perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Secara umum penulis menggambarkan alur kerangka berfikir sebagai berikut : Bagan 2  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010  Kompilasi Hukum Islam Perkawinan di Catatkan Perkawinan Tidak di Catatkan Anak Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Hasil Perkawinan Sirri Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 Prosedur Pengakuan Anak Luar Kawin Hasil Perkawinan Sirri : Perkawinan Sirri→ Anak → Itsbat Nikah → Perkawinan Sah dan Dicatatkan = Anak Sah → Hubungan Perdata Ibu dan Ayah → Hak Keperdataan Penuh Perkawinan Sirri→ Anak→ Tes DNA→ Perkawinan Sah Tidak Dicatatkan = Anak Anak Luar Kawin → Hubungan Perdata Ibu dan Ayah→ Hak Keperdataan Terbatas Perkawinan Sirri→ Anak→ Itsbat Nikah + Tes DNA→ Perkawinan Sah dan Dicatatkan = Anak Sah→ Hubungan Perdata Ibu dan Ayah→ Hak Keperdataan Penuh 61 BAB 3 METODE PENELITIAN Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi Soekanto Mamudji, 2010:20. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang ditetapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya dan hal ini tidaklah selalu berarti metodologi yang dipergunakan berbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan identitasnya, oleh karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis Usman dan Akbar, 2003:42. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tatacara seorang ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan- lingkungan yang dihadapinya Soekanto, 1991:6. Menurut Sunggono penelitian pada dasarnya merupakan “suatu upaya pencarian” dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang di tangan. Penelitian juga merupakan suatu kegiatan ilmiah yang mempunyai beberapa karakterisitik tertentu, yaitu: penelitian mempunyai tujuan, sistematik, terkendali, objektif serta tahan uji. Demikian juga penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang mempunyai karakteristik, diantaranya: a. Tujuan, dalam penelitian hukum mempunyai tujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu dengan menganalisanya. b. Sistematik, dalam penelitian hukum harus mempunyai langkah-langkah dalam persiapan, pelaksanaan dan pembuatan laporan yang terencana dengan baik. c. Terkendali, dalam penelitian hukum harus mempunyai langkah-langkah dalam persiapan, pelaksanaan dan pembuatan laporan yang terencana dengan baik. d. Objektif, dalam penelitian hukum terlebih dahulu ditentukan fenomena hukum yang akan diteliti. e. Tahan uji, dalam penelitian hukum, penyimpulan teori harus merupakan hasil dari telaah yang didasari pada suatu teori yang kuat dan metode yang benar, oleh karena itu siapapun yang melakukan replica akan sampai pada suatu keimpulan yang sama Azwar, 2003:1. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa metode penelitian adalah cara dalam melaksanakan suatu penelitian yang meliputi kegiatan seperti mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis, sampai dengan menyusun laporan berdasarkan fakta-fakta atau gejala ilmiah. Secara khusus menurut jenis, sifat, dan tujuannya suatu penelitian hukum dibedakan menjadi 2 dua yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum Sosiologis Amiruddin Aisikin, 2006:29 Penelitian hukum normatif disebut dengan penelitian hukum doktriner, karena dilakukan dan ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian ini dikatakan juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen, disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data Sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Soekanto Mamudji, 2010:24. Metode pendekatan penelitian ini lebih tepat digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara lebih dalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum serta memandang hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang-undang law in book tetapi juga melihat bagaimana bekerjanya hukum law in action.

1.1 Jenis Penelitian