peraturan perundang-undangan, rancangan undang-undang, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah seminar yang
berhubungan dengan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46PUU-VIII2010 terhadap eksistensi anak hasil perkawinan sirri.
b. Wawancara Dalam penelitian hukum yang menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan paling utama adalah penelitian kepustakaan library research. Sementara
wawancara berfungsi sebagai data pendukung, sehingga data yang diperoleh hanya berasal dari narasumber.
Wawancara merupakan alat pengumpul data yang tertua karena sering digunakan untuk mendapatkan informasi dalam semua situasi
praktis. Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka ketika seseorang yakin pewawancara mengajukan pertanyaan-
pertanyaan dan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang responden. soekanto, 2003:
12
1.6 Teknik Analisis Data
Tahap-tahap dari analisis data yuridis normatif adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan asas-asas hukum baik dari data sosial maupun dari data
hukum positif tertulis.
2. Merumuskan pengertian-pengertian hukum 3. Membentuk standar-standar hukum
4. Perumusan kaidah-kaidah hukum Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah metode
analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dimasyarakat Amiruddin Askin, 2006:25.
73
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46PUU-VIII2010
Keabsahan status dari seorang anak pasti tidak akan pernah terlepas dari status perkawinan kedua orangtuanya, anak sah sebagaimana yang
tertulis didalam Pasal 42 Undang- Undang No. Tahun 1974: “Anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Dan Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 99 yang menyatakan
anak sah adalah: a Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
b Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi : “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perk awinan yang sah”. Kata-kata “melanjutkan keturunan” apapun
pengertiannya pasti terjemahan konkritnya adalah anak, yakni kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan spermatozoa, yang
dipertegas dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pe
rkawinan, yang berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Menilik Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-
undangan yang berla ku”. Dari kasus ini topik bahasannya adalah
perkawinan sirri dan perkawinan sirri ialah perkawinan yang secara materiel telah memenuhi ketentuan syariat Islam sebagaimaa sesuai
dengan yang dimaksud didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 akan tetapi tidak memenuhi syarat administratif sesuai Pasal 2
ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Tujuan pemerintah mengatur tentang pencatatan perkawinan
adalah untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Melalui pencatatan perkawinan sepasang suami istri akan memiliki akta
perkawinan sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak
bertanggung jawab maka suami atau istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Akan tetapi
pada praktiknya tidak semua masyarakat Indonesia mengikuti semua prosedur atau aturan yang berlaku. Hal ini terbukti bahwa sebagian
masyarakat masih melaksanakan praktik perkawinan yang tidak dicatatkan secara resmi dan tidak dipublikasikan yang biasa dikenal dengan nama
nikah sirri atau kawin sirri dan sebagian ada yang menyebutnya nikah secara agama atau nikah dibawah tangan.
Terdapat dua macam manfaat pencatatan perkawinan, yang pertama manfaat pencatatan perkawinan secara preventif adalah untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya itu,
maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkritnya penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu : 1 Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
2 Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan. 3 Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam
ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.
Sedangkan manfaat pencatatan perkawinan represif dimaksudkan untuk membantu masyarakat agar didalam melangsungkan perkawinannya
tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqih saja, tetapi aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.
Anak yang terlahir dari perkawinan sirri pada dasarnya merupakan anak yang sah, akan tetapi, belum dicatatkannya perkawinan
kedua orang tuanya tersebutlah yang menyebabkan status anak tersebut menjadi anak luar kawin.
Dalam Makalah yang telah disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, Rasyid, 2012 mengatakan:
Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga 3 macam status kelahirannya, yaitu :
a. Anak yang lahir dari atau sebab perkawinan yang sah; b. Anak yang lahir di luar perkawinan;
c. Anak yang lahir tanpa perkawinan anak hasil zina.
a. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang
sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak
yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan antara lain:
a. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat 1, yaitu : Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah ;
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : Anak sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah ;
c. Pasal 2 ayat 1, yaitu : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; d. Pasal 2 ayat 2, yaitu : Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Oleh karena anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah ini bukan merupakan titik
pembahasan, maka penulis memandang tidak perlu diperluas pembahasannya, kecuali dua macam anak yang
akan diuraikan dibawah ini.
b. Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan
menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian
”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dengan demikian anak
tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah secara materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor
Urusan Agama KUA maupun di Kantor Catatan Sipil
anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan Moerdiono, maka tidak sah secara formil.
Untuk istilah ”anak yang lahir di luar perkawinan”, maka istilah ini yang tepat untuk kasus
Machica, mengingat anak yang lahir itu sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun secara
agama, namun tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana berkembangnya persepsi yang salah yang menganggap
kasus anak dari Machica dengan Moerdiono sebagai anak hasil zina. Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan
“di luar perkawinan” karena perkawinannya hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, dan
tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pada
dasarnya perkawinan
di Indonesia
harus dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat
1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan
yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti
pasal 2 ayat 1 saja, maka perkawinan itu disebut ”luar perkawinan”, oleh karena itu pasal 43 ayat 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan itu tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan adanya
perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada pasal 2 ayat 2. Tidak bisa
luar perkawinan itu diartikan sebagai perzinaan, karena perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada
perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan tanpa perkawinan. Analoginya bandingkan dengan kata-
kata : saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya ada tetapi saya tidur di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa
rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika disebut perkawinan sudah pasti perkawinan itu sudah
dilakukan minimal sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah
yang disebut luar perkawinan, sedangkan perzinaan
sama sekali tidak tersentuh dengan term ”perkawinan”. c. Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak yang
dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas
pertemuan ovum dengan sperma dari pasangan suami istri yang menikah secara sah keberadaan anak melalui Bayi
Tabung, namun anak tersebut ketika dalam masa kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang
sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil.
Pemahaman yang keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 terutama
terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa kepada perdebatan panjang. Frasa
“di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan
ketentuan agama
dan kepercayaannya tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor
Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang
dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan
tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil anak
zina. “Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan dengan perzinahan atau akibat perzinahan, kasus yang
melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan dengan
”pencatatan perkawinan”. Hal tersebut diatas sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan
penulis dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. Menurut beliau, anak luar kawin tidak bisa begitu saja disamakan dengan anak zina dan
sumbang, harus cermat dalam memposisikan anak yang lahir diluar perkawinan dan anak yang lahir tanpa perkawinan. Berikut kutipan
wawancaranya: Harus dibedakan luar kawin dan tanpa perkawinan,
anak luar kawin itu anak yang lahir dengan didasari perkawinan secara agama akan tetapi tidak dicatatkan
makannya disebut anak luar kawin dan tanpa perkawinan adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya perkawinan
sama sekali. Penyebutan anak luar kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 tersebut
harus di lihat dari perkaranya yang mengajukan itu siapa, dalam hal ini kasus machica mochtar dan moerdiono
tersebut didasari dengan pernikahan sirri atau pernikahan secara agama. Kalau mau menanggapi permasalahan ini
kita harus kembali ke pada kasusnya yang mengajukan itu
siapa dan jangan lari kemana-mana. Wawancara dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku Hakim di
Pengadilan Agama Semarang pada 12 Februari 2013.
Namun berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. beliau tidak sependapat dengan
hal tersebut diatas yang menyatakan Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah memenuhi Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan kata lain. Menurut beliau, perkawina dianggap sah jika sudah dijalankan menurut
agama dan kepercayaannya kemudian dicatatkan Untuk yang beragama Islam di KUA dan yang non Islam di Kantor Catatan Sipil tidak sahnya
perkawinan tersebut otomatis berimplikasi terhadap status anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Berikut kutipan wawancaranya:
Sahnya suatu anak itu jika perkawinan orang tuanya tersebut sudah dijalankan sesuai syarat perkawinan
sesuai agamanya dan kemudian dicatatkan di catatan sipil. Selama ini saya belum menemukan perkawinan yang tidak
dicatatkan dari kasus yang masuk disini pun juga selama ini perkawinannya tercatatkan semua.
wawancara dengan Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. selaku hakim di
Pengadilan Negeri Semarang pada 11 Februari 2013
Dari hasil wawancara yang dilakukan, penulis menemukan perbedaan secara prinsipil mengenai pemahaman keabsahan perkawinan
yang otomatis berimplikasi terhadap status dari anak tersebut, penulis tidak ingin memperdebatkan hal tersebut, hal tersebut memang sampai saat
ini masih menjadi perdebatan bagi beberapa kalangan dalam mendefinisan status perkawinan yang dilakukan secara agama dan kepercayaannya akan
tetapi tidak dicatatkan.
Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan penafsiran atas Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan berpendapat bahwa hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak
yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang
dilahirkan meskipun
keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan. Pendapat ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak
Convention on the Rights of Child yang mengatur bahwa anak akan didaftar segera setelah lahir dan akan mempunyai hak sejak lahir atas
nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Kemudian, Pasal 7 ayat
1 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri. Hak anak untuk mengetahui identitas kedua orang tuanya akan memperjelas status serta hubungan antara anak
dengan orang tuanya. Pembuktian asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan
dengan menggunakan akta otentik sebagai mana yang telah tertulis didalam Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
berbunyi: “Asal usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang”.
Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU- VIII2010 Anak yang lahir dari perkawinan sirri bisa mempunyai akta
kelahiran namun bedanya tidak ada nama ayahnya, hanya akan tercantum nama ibunya saja sebagai perempuan yang telah melahirkan anak tersebut.
Anak hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja sebagai mana yang tertulis didalam Pasal 43 ayat 1
Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Selain itu anak tidak berhak atas nafkah dan
warisan dari bapaknya sebagai mana yang dirasakan oleh ibunya, konsekuensi ketidaksahan status anak tersebut berakibat negatif terhadap
posisi hukumnya, sebab anak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika anak tesebut perempuan, bapaknya tidak bisa menjadi wali nikah atas
anaknya tersebut. Anak yang lahir dari perkawina sirri bisa memiliki akta kelahiran
akan tetapi tidak ada nama bapaknya, yang tercantum di dalam akta tersebut hanya nama ibunya saja sebagai wanita yang telah melahirnnya.
Isi pokok dari akta kelahirannya meliputi : 1. Nomor Akta;
2. Tempat, tanggal, bulan, dan tahun anak tersebut dilahirkan; 3. Nama anak yang bersangkutan;
4. Jenis kelamin; 5. Nama Ibunya;
6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran; 7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang
ditunjuk untuk itu atau dalam bentuk surat kenal lahir dari lurah atau kepala desa.
Manfaat dari akta kelahiran adalah sebagai bukti otentik asal usul anak, selain itu anak akan mengetahui secara pasti siapakah kedua orang
tuannya, jika disuatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta kelahiran tersebut, anak tersebut dapat melakukan upaya hukum. Akta
kelahiran dapat digunakan sebagai identitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk keperluan sekolah, dan lain sebagainya.
Semenjak di keluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 dalam amar putusannya yang berbunyi :
Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”,tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau
alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya” Anak luar kawin atau anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri
sekarang bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab ibu dan keluarga ibunya saja sebagaimana yang telah tertulis di dalam Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 akan tetapi juga menjadi tanggung jawab dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya selama dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah.
Dan untuk memperjelas status anak tersebut kepada ayah biologisnya harus dilakukan pengakuan, sebenarnya pengakuan anak
terhadap anak luar kawin sudah diatur didalam undang-undang lain, akan tetapi pengakuan tersebut harus di dasari kesukarelaan ayah biologisnya
dan juga didasari persetujuan ibu kandungnya sebagai upaya adanya hubungan hukum. Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi
tidak diperlukan kesukarelaan ayah biologisnya dan juga persetujuan ibu
kandungnya dalam hal pengakuan anak. Agar pembaca lebih mudah untuk memahami posisi status anak di
luar putusan Mahkamah Konstitusi, maka penulis sajikan table sebagai berikut:
Tabel. 2 Perbandingan Pengesahan Anak, Pengakuan Anak, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 Pengesahan Anak
Pengakuan Anak Putusan Mahkmah
Konstitusi
Penjelasan Pasal 50 ayat 1 UU No.23
tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan, bahwa
yang dimaksud
dengan
pengesahan anak
adalah :
pengesahan status seorang
anak yanglahir
diluar
Penjelasan Pasal 49 ayat 1 UU No.23
tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan, bahwa
yang dimaksud
dengan
pengakuan anak
adalah : pengakuan seorang
ayah terhadap anaknya
yang lahir diluar Anak
yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga
ibunya serta dengan laki-
laki sebagai
ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
ikatan perkawinan sah
pada saat
pencatatan perkawinan kedua
anak tersebut.
Penesahan anak ibu dan bapak si anak
tersebut melangsungkan
pernikahan dan pada saat
pencatatan perkawinan si anak
diakui sebagai anak kandung mereka.
Pengesahan anak ini merupakan
suatu upaya
hukum rechtsmidel untuk
memberikan suatu
kedudukan sebagai anak sah melalui
perkawinan yang
dilakukan oleh
orang tuanya. Mempunyai
hubungan keperdataan dengan
kedua orang tuanya karena
berkedudukan hukum sebagai anak
sah
perkawinan yang
sah atas
persetujuan ibu
kandung anak
tersebut.
Pengakuan anak
hanya sebatas
pengakuan dari ayah kandungnya
yang disetujui oleh ibu
kandungnya, tanpa
diikuti dengan
perkawinan ibu-
bapaknya harus ada kesukarelaan
dari bapak
dan persetujuan
dari ibunya
Kedudukan anak
tetap sebagai anak diluar
perkawinan yang sah
Mempunyai hubungan
perdata dengan ayah yang
mengakuinya pengetahuan dan
teknologi dan
atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai
hubungan perdata dengan keluarga.
Dalam putusan
Mahkamah Konstitusi,
kesukarelaan bapaknya
dan persetujuan
ibunya tidak
perlu dilakukan
tetapi harus ada usaha dari anak
untuk membuktikan
dirinya
sendiri sebagai anak yang
bersangkutan. Kedudukan anak
tetap sebagai anak diluar perkawinan
yang sah.
Mempunyai hubungan
keperdataan dengan
ayahnya dan
keluarga ayahnya
setelah dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi
dan atau alat bukti lain
menurut hukum
mempunyai hubungan perdata
dengan keluarga
ayahnya. Putusan
mahkamah konstitusi
ini dapat
diterapkan
jika ayahnya tidak mengakui
atau mengingkari
anaknya.
Sumber: Habib Adjie.2012. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait pengujian Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Terhadap Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris dab PPAT. Hal 27.
4.1.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46PUU-VIII2010
Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama
setempat. Adapun langkah-langkah yang harus di tempuh dalam pengajuan Itsbat Nikah adalah sebagai berikut:
Langkah 1. a. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan
Setempat. b. Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah
tempat tinggal anda. c. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat
permohonan dapat
dibuat sendiri
seperti terlampir. Apabila tidak bisa membuat surat
permohonan, dapat meminta bantuan kepada Pos Bakum Pos Bantuan Hukum yang ada pada
pengadilan setempat secara cuma-cuma.
d. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu 1 surat permohonan itsbat
nikah digabung dengan gugat cerai dan 2 surat permohonan itsbat nikah.
e. Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian mengisinya dan
menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan
kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi simpan.
f. Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain
surat keterangan
dari KUA
bahwa pernikahannya tidak tercatat.
Langkah 2. a. Membayar Panjar Biaya Perkara
b. Membayar panjar biaya perkara. Apabila anda tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda
dapat mengajukan permohonan untuk berperkara secara cuma-cuma Prodeo.
c. Apabila mendapatkan fasilitas Prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan perkara di pengadilan
menjadi tanggungan pengadilan kecuali biaya transportasi dari rumah ke pengadilan. Apabila
merasa biaya tersebut masih tidak terjangkau, maka dapat mengajukan Sidang Keliling.
d. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai
untuk meminta sisa panjar biaya perkara. Langkah 3.
a. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan b. Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang
berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada Pemohon dan Termohon secara langsung ke alamat
yang tertera dalam surat permohonan.
Langkah 4. a. Menghadiri Persidangan
b. Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan.
Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.
c. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan, fotokopi formulir
permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para
Pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang
asli. Dalam
kondisi tertentu
hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi
permohonan. d. Untuk
sidang selanjutnya,
hakim akan
memberitahukan kepada PemohonTermohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu siding
berikutnya. Bagi PemohonTermohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya
akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat.
e. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan harus mempersiapkan dokumen dan
bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi
tertentu, hakim
akan meminta
menghadirkan saksi saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan anda diantaranya wali
nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan.
Langkah 5. a. PutusanPenetapan Pengadilan
b. Jika permohonan dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan putusan penetapan itsbat nikah.
c. Salinan putusanpenetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari
sidang terakhir. d. Salinan putusanpenetapan itsbat nikah dapat
diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat
Kuasa.
e. Setelah mendapatkan salinan putusanpenetapan tersebut, bisa meminta KUA setempat untuk
mencatatkan pernikahan dengan menunjukkan bukti
salinan putusanpenetapan
pengadilan tersebut.
Prosedur pembuktian sebagai mana yang tercantum didalam Amar Putusan
Mahkamah Konstitusi
Nomor 46PUU-VIII2010
yang menyatakan bahwa : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”. Untuk sementara ini teknologi yang bisa dipakai dan mendekati akurat adalah dengan melakukan tes DNA. Tidak ada alternatif lain untuk
sementra ini dalam proses pembuktiannya. Berikut hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Agama Semarang :
Untuk sementara
terkait dengan
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ada alternatif lain
selain tes DNA, kecuali bapaknya mengakui. Asalkan bapaknya mengakui tidak perlu lagi dilakukan tes DNA.
wawancara dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku hakim di Pengadilan Agama Semarang pada 12
Februari 2013
Berikut hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Semarang :
Kalau untuk teknologi saat ini untuk membuktikan anak tersebut mempunyai hubungan darah atau tidak
hanya menggunakan tes DNA, karena untuk saat ini teknologi tersebut yang hasilnya mendekati akurat.
wawancara dengan Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. selaku hakim di Pengadilan Negeri Semarang pada 11
Februari 2013
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Hakim Pengadilan Agama Semarang Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. dan
Hakim Pengadilan Negeri Semarang Endang Sri Widayanti, S.H., M.H., beliau berdua sepakat bahwa untuk membuktikan asal usul sebuah anak
mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya adalah dengan menggunakan tes DNA, karena tes DNA tersebut merupakan teknologi
untuk saat ini yang hasilnya mendekati akurat. Setelah dilakukan pengakuan di Pengadilan Agama Semarang dan
terbukti dalam pembuktian bahwa laki-laki tersebut mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, secara otomatis ayah biologisnya tersebut bisa
mencantumkan namanya di dalam akta anak tersebut didasari dengan penetapan dari Pengadilan Agama dan baru di proses di kantor Catatan
Sipil. Berikut hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Agama Semarang :
Setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Agama, ayah biologisnya tersebut bisa mencantumkan
namanya didalam akta anak tersebut, terkait prosedurnya itu sudah kewenangan Catatan Sipil. Tugas kami hanya
sebatas menangani perkara yang diajukan di sini, kemudian membuat penetapan. Surat penetapan tersebut
digunakan untuk apa itu merupakan urusan yang bersangkutan dan diluar wilayah kami lagi. wawancara
dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku hakim di Pengadilan Agama Semarang pada 12 Februari 2013.
Pengadilan dapat mengeluarkan Penetapan tentang asal usul seorang anak melalui pengakuan dan perkawinan yang disahkan atau Itsbat
Nikah jika kedua orangtua anak tersebut menikah berdasarkan agama namun tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.
Bahwa sesuai dengan Kewenangan Pengadilan Agama berkaitan dengan permohonan Itsbat Nikah dapat disebutkan bahwa :
1 Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2 Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama. 3 Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian; b Hilangnya Akta Nikah;
c Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
d Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
e Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 Thaun 1974; 4 Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah
ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah
dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pasal 7 Kompilas Hukum Islam
Dengan adanya putusan penetapan Itsbat Nikah, maka secara hukum perkawinan tersebut telah tercatat yang berarti adanya jaminan
ataupun perlindungan hukum bagi hak-hak suami istri maupun anak-anak dalam perkawinan tersebut.
Itsbat Nikah dilakukan untuk melegalkan perkawinan sirri yang dalam pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi
tidak dicatatkan setelah dalam pembuktian yang dilakukan di pengadilan bahwa benar perkawinan tersebut telah dilakukan dan terpenuhi syarat dan
rukun nikah barulah tes DNA di jadikan salah satu bukti penguat untuk membuktikan bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri tersebut
benar-benar mempunyai hubungan keperdataan dengan orangtuanya.
4.2 Pembahasan