Pembahasan IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46 PUU VIII 2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI

dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pasal 7 Kompilas Hukum Islam Dengan adanya putusan penetapan Itsbat Nikah, maka secara hukum perkawinan tersebut telah tercatat yang berarti adanya jaminan ataupun perlindungan hukum bagi hak-hak suami istri maupun anak-anak dalam perkawinan tersebut. Itsbat Nikah dilakukan untuk melegalkan perkawinan sirri yang dalam pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi tidak dicatatkan setelah dalam pembuktian yang dilakukan di pengadilan bahwa benar perkawinan tersebut telah dilakukan dan terpenuhi syarat dan rukun nikah barulah tes DNA di jadikan salah satu bukti penguat untuk membuktikan bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri tersebut benar-benar mempunyai hubungan keperdataan dengan orangtuanya.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 Terlahirnya seorang anak di dunia tidak bisa terlepas dari peran serta kedua orang tuanya dan begitupula dengan status hukum seorang anak tidak bisa begitu saja dilepaskan dari status perkawinan kedua orang tuannya. Mengenai syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana yang tertulis didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut sah jika dilakukan menurut agama dan kepercayaannya dan jika perkawinan tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun nikah yang dijelaskan di dalam Islam maka perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang sah, dan terkait dengan ayat 2 didalam Pasal tersebut yang menyebutkan untuk diadakannya suatu pencatatan didalam perkawinan, itu hanya sebagai syarat administratif yang ditawarkan Negara guna menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban warganegara dengan cara diberikan akta otentik yang di buat oleh pejabat yang berwenang. Terkait dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka jika anak itu lahir dari atau sebab dari perkawinan yang sah, maka otomatis anak tersebut merupakan anak yang sah dan anak dari hasil perkawinan sirri merupakan anak sah selama perkawinan kedua orang tuanya telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Akan tetapi tidak dicatatkannya perkawinan kedua orang tuanya tadi secara langsung berimplikasi terhadap status hukum anak tersebut. Status hukum dari anak tersebut menjadi anak luar kawin, Disebut anak luar kawin karena perkawinan sirri yang dilakukan oleh kedua orang tuanya tersebut sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi tidak dicatatkan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VII2010, uji materiil yang diajukan oleh Machica Mochtar terkait Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi berkeyaknan bahwa pencatatan perkawinan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut menurut Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk jaminan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah Pasal 28I ayat 4 UUD 1945, dan juga bertujuan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan Pasal 28I ayat 5 UUD 1945. Jika pencatatan perkawinan dianggap sebagai pembatasan, Mahkamah Konstitusi berkeyakinan tidak bertentangan dengan konstitusi karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Terkait anak luar kawin Mahkamah Kostitusi berpendapat bahwa, seorang anak dalam kelahirannya tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa ada pembuahan antara ovum dan spermatozoa baik disebabkan karena hubungan seksual atau teknologi yang menyebabkan pembuahan tersebut. Mahkamah Kostitusi berpendapat bahwa tidak adil jika anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya saja, dan terlebih tidak adil jika laki-laki yang terbukti mempunyai hubungan darah dengan seorang anak tersebut lepas dari tanggung jawabnya. Terlepas dari status perkawinan kedua orang tuanya yang masih diperdebatkan, anak harus mendapat perlindungan hukum dan Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Pasal 28B ayat 2 UUD 1945. Walau bagaimanapun juga kelahiran seorang anak didasari bukan dari kehendak anak tersebut ingin terlahir akan tetapi anak tersebut terlahir dari akibat perbuatan orang tuannya. Jelas dalam kasus ini anak lah yang paling merasa dirugikan dan Negara harus memberikan perlindungan dan kepastian hukum status anak tersebut karena ketidak jelasan status ayah anak tersebut seringkali mendapat stigma negatif didalam masyarakat. Harus bisa di bedakan mana anak luar kawin dan mana anak tanpa perkawinan. Penyebutan anak luar kawin itu hanya sebatas istilah yang dipakai oleh hukum positif untuk menyebut anak yang dilahirkan dari perkawinan kedua orang tuanya yang tidak dicatatkan bukan anak yang di lahirkan tanpa perkawinan, dan secara prinsip perkawinan sirri merupakan perkawinan yang sah karena sudah terpenuhi syarat dan rukun nikah dalam pelaksanaan perkawinannya. Maka sepatutnya tidak perlu diperdebatkan lagi sah atau tidaknya anak yang lahir dari perkawinan sirri. 4.2.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VIII2010 Untuk meningkatkan status hukum seorang anak dari anak luar kawin menjadi anak sah secara hukum positif yaitu bisa dibuktikannya bahwa anak tersebut benar-benar terlahir dari suatu dan atau sebab dari perkawinan yang sah. Untuk membuktikan keabsahan perkawinan orang tuanya yang sebelumnya dilakukan dengan dilakukan secara agama harus bisa dibuktikan di Pengadilan bahwa perkawinan tersebut memang bener- benar ada dan harus dibuktikan juga bahwa syarat dan rukun nikahnya telah terpenuhi barulah penetapan pengadilan tersebut bisa di jadikan dasar untuk mencatatkan perkawinannya di KUA. Itsbat Nikah yang di ajukan ke Pengadilan Agama dari beberapa syarat yang bisa di gunakan pemohon pengajuan Itsbat Nikah terkait dengan pembahasan ini dimana telah dilakukan perkawinan secara agama akan tetapi tidak dicatatkan, para pemohon bisa memberikan alasan dan menuturkan maksud dan tujuan untuk melakukan Itsbat Nikah karena adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian danatau perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974. Dengan dilakukannya Itsbat Nikah yang dilakukan orangtuanya tersebut otomatis berimplikasi terhadap status hukum dari anak tersebut. Anak tersebut mendapatkan hak keperdataan secara penuh sebagaimana anak sah pada umumnya. Untuk sementara ini dari hasil wawancara yang dilakukan penulis di Pengadilan Agama Semarang dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. terkait dengan pembuktian menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di mungkinkan untuk di pakai dan melihat hasilnya yang mendekati akurat adalah dengan melakukan tes DNA Deoxyribonucleic acid. Pembuktian dengan menggunakan tes DNA dan terbukti mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tidak lantas merubah status anak luar kawin tadi berubah statusnya menjadi anak sah secara hukum positif, statusnya tetap menjadi anak luar kawin. Status hukum dari anak tersebut bisa berubah satatusnya menjadi anak sah setelah orangtuanya mencatatkan perkawinannya di KUA atas dasar penetapan dari Pengadilan Agama setelah terbukti Perkawinan sirrinya telah terbukti benar-benar telah dilaksanakan dan terbukti telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah secara agama Islam maka otomatis anak tersebut statusnya menjadi anak sah. Bagan 3 : Skema Status Anak 1 Dari skema 1 tersebut diatas di jelaskan bahwa perkawinan sirri yang kemudian dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama dinyatakan sah dan kemudian dicatatkan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, dan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga ayahnya. Hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian. Perkawinan Sirri Anak Itsbat Nikah Perkawinan Sah dan Dicatatkan = Anak Sah Hubungan Perdata Ibu dan Ayah Hak Keperdataan Penuh Bagan 4 : Skema Status Anak 2 Dari skema 2 tersebut di atas di jelaskan bahwa perkawina sirri yang menghasilkan seorang anak dan dibuktikan didalam Pengadilan Agama jika terbukti bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang diduga sebagai ayah biologisnya dan terbukti bahwa laki-laki tersebut mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut maka timbullah hubungan keperdataan antara laki-laki tersebut dengan anak tersebut, status anak tersebut tidak lantas berubah statusnya menjadi anak sah, status anak tersebut masih berstatus anak luar kawin akan tetapi anak luar kawin tersebut benar-benar terbukti mempunyai hubungan darah dengan laki-laki tersebut. Statusnya masih anak luar kawin karena perkawinan kedua orang tuanya yang tidak dicatatkan walaupun pada Perkawinan Sirri Anak Tes DNA Perkawinan Sah dan Tidak Dicatatkan = Anak Luar Kawin Hubungan Perdata Ibu dan Ayah Hak Keperdataan Terbatas dasarnya perkawinan kedua orang tuanya tersebut itu sah akan tetapi belum sempurna karena perkawinan tersebut belum dicatatkan maka anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri yang tidak dicatatkan tersebut status hukum dari anak tersebut adalah anak luar kawin. Hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak penafkahan, hak perwalian, dan hak waris anak luar kawin bukan hak waris anak sah. Bagan 5 : Skema Status Anak 3 Dari skema 3 tersebut di atas dijelaskan bahwa perkawinan sirri yang kemudian dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama dinyatakan sah dan kemudian dicatatkan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan Perkawinan Sirri Anak Itsbat Nikah + Tes DNA Perkawinan Sah dan Dicatatkan = Anak Sah Hubungan Perdata Ibu dan Ayah Hak Keperdataan Penuh Agama tersebut maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, akan tertapi jika terjadi permasalahan terhadap status dari anak tersebut, atau hanya sekedar memastikan status dari anak tersebut, maka perlu untuk dilakukan tes DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah antara anak tersebut dengan laki-laki tersebut. Mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga ayahnya. Hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian. Dari ketiga skema tersebut diatas, Jika menghadapi kasus seperti ini penulis lebih sepakat untuk menggunakan skema 3, karena selain perkawinan sirri yang harus dicatatkan agar mempunyai kekuatan hukum dan hak-haknya terjamin, anak tersebut juga harus dipastikan mempunyai hubungan darah dengan orangtuanya terlebih ayah biologisnya. Hal tersebut nantinya berimplikasi terhadap perwalian anak tersebut jika anak tersebut perempuan dan hukum harus memastikan bahwa anak tersebut benar-benar mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya supaya tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. 100

BAB 5 PENUTUP

5.1 Simpulan