Peran Stakeholders di TNAP

Gambar 37 Struktur hierarki co-management konservasi banteng di TNMB Mod. Saaty 1993 Hasil AHP menunjukkan bahwa prioritas aktor yang mempunyai tingkat peranan penting dalam konservasi banteng secara berturut-turut yaitu Balai TNMB 68,10, Perkebunan Bandealit 13, LSM 11 dan masyarakat 7,90. Balai Taman Nasional Meru Betiri menjadi aktor prioritas seperti di TNAP, hal ini sesuai dengan tupoksinya yang memegang mandat dalam pengelolaan taman nasional. Pada level faktor urutan prioritas yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng yaitu faktor ekologi 61,10, faktor ekonomi 20,10 dan faktor sosial 18,80. Pada level alternatif program kegiatan di TNMB, urutan prioritas yaitu peningkatan kualitas habitat banteng 40,40, pengembangan penangkaran banteng 23,50, pengembangan ekowisata 20,30 dan pengembangan tanaman obat dan buah 15,90. Padang perumputan di kawasan TNMB tidak dapat menampung populasi banteng dan banteng memilih areal perkebunan untuk melakukan aktivitas hariannya, sehingga dibutuhkan peningkatan kualitas Co-Management Balai TNMB 0,681 Perkebunan 0,130 LSM 0,110 Masyarakat 0,079 Sosial 0,188 Ekonomi 0,201 Ekologi 0,611 Pengembangan Wisata 0,203 Pengembangan Tanaman obatbuah 0,159 Pengembangan Penangkaran Banteng 0,235 Konsultatif 0,201 Instruktif 0,278 Kooperatif 0,223 Informatif 0,106 Advokatif 0,183 Fokus Aktor Faktor Peningkatan Kualitas Habitat Banteng 0,404 Alternatif Program tingkat Kolaborasi padang penggembalaan. Peningkatan kualitas atau pembinaan habitat padang penggembalaan akan menstimulasi kehidupan banteng Alikodra 2010. Djuwantoko 1986 menyatakan bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air dan naungan cover. Jika salah satu dari komponen habitat tersebut tidak terpenuhi populasi banteng akan terancam. Dari hasil analisis secara keseluruhan tingkatbentuktipe pengelolaan kolaboratif co-management terhadap alternatif program kegiatan disajikan dalam Gambar 38. Gambar 38 Prioritas tingkat co-management konservasi banteng di TNMB Pada Gambar 38 menunjukkan bahwa prioritas bentuktipe pengelolaan kolaboratif adalah bentuk instruktif 27,80, selanjutnya kooperatif 22,30, konsultatif 20,10, pendampingan 19,30, dan informatif 10,60 . Bentuk pengelolaan secara kooperatif yang menjadi prioritas kedua merupakan bentuk pengelolaan kolaboratif yang sesungguhnya, yaitu antar stakeholders dapat bekerjasama sebagai mitra yang setara mulai dari pengambilan keputusan sampai implementasi di lapangan. Pengelolaan kolaboratif disebut sebagai round-table management , share management, pengelolaan bersama atau pengelolaan multi-pihak. Pengelolaan kolaboratif adalah pembuatan keputusan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat tentang satu atau lebih aspek- aspek pemanfaatan sumberdaya alam Castro dan Nielson 2001. Pengelolaan kolaboratif sudah diterapkan dalam bidang perikanan, taman nasional, kawasan dilindungi, kehutanan, satwaliar, lokasi penggembalaan, dan sumberdaya air Conley and moote 2001. Pola pengelolaan secara kolaboratif untuk kawasan konservasi adalah kemitraan diantara berbagai pihak yang berkepentingan yang menyetujui berbagai fungsi, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi Borrini-Feyerabend et al. 2000. Bentuktingkattipe co-management untuk masing-masing alternatif program di TNMB Lampiran 7 menunjukkan bahwa bentuk co-management yang dipilih untuk kegiatan peningkatan kualitas habitat adalah instruktif 39,4, pengembangan penangkaran kooperatif 30,7, pengembangan ekowisata pendampingan 34,2 dan pengembangan tanaman obat dan buah kooperatif 30,7 . Kegiatan peningkatan kualitas habitat sesuai dengan PP No. 7 tahun 1999 bahwa pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional bertanggung jawab dalam melaksanakan pembinaan habitat dan populasi jenis satwa dan tumbuhan dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitat, dalam pelaksanaan kegiatannya dapat dikerjasamakan dengan masyarakat stakeholders, Peraturan Pemerintah tersebut menyiratkan bahwa kegiatan pembinaan habitat dapat dikolaborasikan. Bentuk pengelolaan kooperatif yang dipilih dalam program kegiatan pengembangan penangkaran banteng dan pengembangan tanaman obat dan buah, pemerintah dapat berkontribusi dalam bentuk dukungan legal terhadap aturan-aturan yang ditetapkan dan disepakati bersama. Tingkat kooperatif merupakan bentuk pengelolaan kolaborasi yang sesungguhnya dimana pemerintah dan semua stakeholders yang berkepentingan bekerja sama dalam hubungan kemitraan yang sejajar dalam pembuatan keputusan, implementasi, pengawasan dan pemantauan Suporahardjo 2005; Nikijuluw 2002. Dalam kegiatan pengembangan ekowisata bentuk yang dipilih yaitu pendampingan advokasi. Bentuk kolaborasi ini kewenangan pemerintah berkurang karena usul, ide, inovasi dan inisiasi dalam pengambilan keputusan ada pada stakeholders dan pemerintah menerima usulan yang diajukan stakeholders , tetapi pemerintah tetap melakukan pengawasan, pemantauan serta penegakan hukum. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara kolaboratif harus ada inisiatif dan inisiatif boleh datang dari masyarakat maupun dari pemerintah. Efektifitas pengelolaan secara kolaboratif akan meningkat jika inisiatif datang dari pemerintah, dan masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh proses kegiatan mulai dari perencanaan sampai implementasi Tadjudin 2000. Hal tersebut diperkuat oleh McKinnon et al. 1993 yang menyatakan bahwa pengelolaan kawasan hutan tanpa melibatkan masyarakat akan tidak efektif. 5.4.3 Strategi dalam Implementasi Program Kegiatan Dari hasil penelitian seperti yang sudah dibahas sebelumnya didapatkan bahwa prioritas program kegiatan yang dapat dikolaborasikan dalam menyelesaikan konflik konservasi banteng yaitu peningkatan kualitas habitat, pengembangan penangkaran banteng, pengembangan ekowisata banteng dan pengembangan tanaman obat dan buah. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor strategis dalam mengimplementasikan masing-masing program kegiatan dilakukan analisis SWOT. Berdasarkan data dari hasil pengamatan di lapangan dan diskusi dengan para stakeholders diketahui faktor internal kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal peluang dan ancaman yang bersifat strategis dan dapat mempengaruhi pengelolaan kolaboratif konservasi banteng. Hasil analisis SWOT dalam pelaksanaan kolaborasi empat program kegiatan konservasi banteng di TNAP dan TNMB disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19 Analisis SWOT pelaksanaan kolaborasi empat progran kegiatan konservasi banteng di TNAP dan TNMB No FAKTOR-FAKTOR Peningkatan kualitas Habitat Pengembangan Tanaman obatbuah Ekowisata Banteng Pengembangan Penangkaran B P NP B P NP B P NP B P NP A INTERNAL Kekuatan SDM yang cukup memadai 0,2 3 0,6 0,2 3 0,6 0,2 3 0,6 0,2 3 0,6 Status kawasan berkekuatan hukum 0,3 4 1,2 0,3 4 1,2 0,2 3 0,6 0,1 1 0,1 Potensi SDA cukup tinggi di zona pemanfaatan 0,2 4 0,8 0,2 4 0,8 0,3 4 1,2 0.3 4 1,2 Teknologipengalaman memadai 0,1 3 0,3 0,1 3 0,3 0,1 2 0,2 0,2 4 0,8 Kewenangan pemangku kawasan 0,2 2 0,4 0,2 2 0,4 0,2 2 0,4 0,2 4 0,8 JUMLAH 1 1,0 - 3,3 1,0 - 3,3 1,0 - 3,0 1,0 - 3,5 Kelemahan Perencanaan jangka panjang belum tersedia 0,2 2 0,4 0,3 3 0,9 0,2 3 0,6 0,2 3 0,6 Koordinasi rendah 0,3 4 1,2 0,2 4 0,8 0,2 4 0,8 0,2 4 0,6 Terbatasnya dana 0,2 2 0,4 0,2 2 0,4 0,2 4 0,8 0,2 3 0,6 Perbedaan persepsi tentang pelestarian banteng 0,2 4 0,8 0,1 3 0,3 0,2 2 0,4 0,3 4 1,2 Sapras belum memadai 0,1 2 0,2 0,2 3 0,6 0,2 4 0,8 0,1 2 0,2 JUMLAH 2 1,0 - 3,0 1,0 - 3,0 0,8 - 3,4 1,0 - 3,1 B EKSTERNAL Peluang Dukungan dari sektor lain dan pemda 0,3 3 0,9 0,2 3 0,6 0,3 4 1,2 0,3 4 1,2 Pasar cukup potensial 0,2 2 0,4 0,3 4 1,2 0,2 4 0,8 0,3 4 1,2 Dukungan budaya masyarakat setempat 0,1 2 0,2 0,2 3 0,6 0,2 3 0,6 0,2 3 0,6 Akses ke lokasi tersedia 0,2 2 0,4 0,1 2 0,2 0,2 3 0,6 0,1 2 0,2 Kelembagaan masyarakat berfungsi 0,2 2 0,4 0,2 3 0,6 0,1 2 0,2 0,1 2 0,2 JUMLAH 3 1,0 - 2,3 1,0 - 3,2 1,0 - 3,4 1,0 - 3,4 Ancaman Gangguan terhadap kawasan Perambahan. Illegal logging 0,2 3 0,6 0,2 4 0,8 0,3 3 0,9 0,2 3 0,6 Perburuan terhadap satwa banteng 0,1 2 0,2 0,1 2 0,2 0,3 4 1,2 0,3 4 1,2 Sosek masyarakat rendah 0,2 3 0,6 0,3 4 1,2 0,2 3 0,6 0,2 2 0,4 Perubahan penataan ruang daerah penyangga di luar TN 0,2 2 0,4 0,2 3 0,6 0,1 2 0,2 0,1 3 0,3 Invasive spesies flora 0,3 3 0,9 0,1 2 0,2 - - - 0,2 2 0,4 JUMLAH 4 1,0 - 2,7 0,9 - 3,0 0,9 - 2,9 1,0 - 2,9 Keterangan : B = Bobot; P = Peringkat; NP = Nilai pengaruh 121 Faktor-faktor strategis yang dapat mempengaruhi pengelolaan kolaboratif konservasi banteng pada empat program kegiatan yang akan diimplementasikan di TNAP dan TNMB diringkas dalam matrik SWOT yang disajikan pada Lampiran 8, 9,10 dan 11. Berdasarkan matrik SWOT diketahui strategi dalam mengimplementasikan program kegiatan konservasi banteng tersebut terdapat empat alternatif strategi, yaitu: 1. Strategi SO : menggunakan kekuatan S untuk memanfaatkan peluang O 2. Strategi ST : menggunakan kekuatan S untuk mengatasi hambatan T 3. Strategi WO: mengatasi kelemahan W untuk memanfaatkan peluang O 4. Strategi WT: meminimumkan kelemahan W dan menghindari ancaman T Strategi yang dihasilkan dari analisis SWOT untuk empat program kegiatan dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng dan stakeholders terkait yang dapat berkontribusi dalam implementasi program disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20 Program kegiatan, strategi, dan stakeholders terkait Program kegiatan Strategi Stakeholders terkait 1. Peningkatan kualitas habitat Strategi ST 1. Peningkatan perlindungan terhadap kawasan hutan 2. Melaksanakan kegiatan pembinaan dan perluasan habitat pakan serta pengendalian invasif sp 3. Melaksanakan penyuluhan dan kegiatan perhutanan sosial di zona pemanfaatan rehabilitasi BTN, Perum Perhutani, Perkebunan, masyarakat 2. Pengembangan penangkaran Strategi SO 1. Melakukan kerjasama sesuai kewenangan yang ada pada pemangku kawasan untuk mendapatkan dukungan sektor lain dan pemda 2. Memanfaatkan potensi SDA zona pemanfaatan, teknologi yang ada serta potensi pasar 3. Mengembangkan penangkaran pemanfaatan semen yang melibatkan masyarakat BTN, Perkebunan, Perum Perhutani, masyarakat, BBIB, Dinas Peternakan 3. Pengembangan ekowisata Strategi WO 1. Meningkatkan koordinasi dan penyamaan persepsi antar stakeholders dan dukungan sektor lain serta budaya dan kelembagaan masyarakat untuk pengembangan ekowisata 2. Meningkatkan ketersediaan dana dan sapras dengan memanfaatkan dukungan sektor lain dan potensi pasar BTN, Perum Perhutani, Perkebunan, LSM, masyarakat, Dinas Pariwisata 4. Pengembangan tanaman obat dan buah Strategi SO 1. Pengembangan pemanfaatan potensi SDA dan didukung oleh pasar, budaya, kelembagaan masyarakat serta dukungan sektor lain di zona pemanfaatan 2. Kerjasama dengan sektor lain untuk pengembangan tanaman obat dan buah melalui teknologi dan SDM 3. Diversifikasi tanaman agroforestry dengan tanaman obat dan buah potensial BTN, LSM, masyarakat, Dinas Kehutanan dan Pertanian 0,5– 0,4– 0,3– 0,2– 0,1– 0,1– 0,2– 0,3– 0,4– 0,5– 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 – – – – – – – – – – 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman Kuadran 1 Kuadran 2 Kuadran 3 Kuadran 4 5.4.3.1 Strategi Implementasi Program Peningkatan Kualitas Habitat Dari hasil analisis terhadap nilai faktor Tabel 18 dapat dihitung nilai IFAS yang merupakan selisih total nilai pengaruh faktor internal kekuatan dan kelemahan. Nilai IFAS dari kegiatan peningkatan kualitas habitat yaitu sebesar 3,30 – 3,00 = 0,30, sedangkan nilai EFAS sebesar 2,3 – 2,7 = - 0,40. Nilai IFAS positif berarti secara kumulatif faktor kekuatan lebih besar dibandingkan faktor kelemahan, sedangkan nilai EFAS negatif berarti secara kumulatif faktor peluang lebih kecil dibanding ancaman. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut dibuat matrik SPACE seperti Gambar 39. Gambar 39 Diagram matrik space peningkatan kualitas habitat banteng Hasil analisis SWOT untuk program peningkatan kualitas habitat, strateginya yaitu dengan cara memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Kekuatan yang dimanfaatkan adalah: 1 SDM cukup memadai, 2 status kawasan berkekuatan hukum, 3 potensi sda cukup memadai, 4 teknologipengalaman memadai, 5 kewenangan pemangku kawasan. Ancaman yang perlu diatasi adalah: 1 perambahan kawasan taman nasional, 2 perburuan satwa banteng, 3 sosek masyarakat sekitar taman nasional rendah, 4 perubahan penataan ruang daerah penyangga dan 5 jenis invasif flora. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS diketahui strategi alternatif yang perlu dilakukan dalam implementasi kegiatan peningkatan kualitas habitat yaitu strategi