Jenis tegakan yang diusahakan pada zona rehabilitasi di TNMB sebagian besar yaitu tanaman buah dan obat. Tanaman buah-buahan yang dikembangkan yaitu
nangka, durian, mangga, jambu, petai, tanaman obat seperti kedawung , kemiri, kluwih, asem, mengkudu, melinjo, jahe, cabe jawa dan kunyit serta tanaman kayu
diantaranya sengon dan jati. Jenis komoditas tanaman palawija yang umum diusahakan adalah jagung, kedelai, padi, jagung dan kacang ijo, selain itu masyarakat
juga menanam lada dan cabe jawa. Alasan pemilihan jenis tersebut karena pemasaran yang mudah, setiap panen sudah ada yang datang menampung, harga jual
cukup baik pemeliharaan dan penyediaan bibit mudah, bibit selain menggunakan dari hasil panen juga dibeli dari toko pertanian yang ada di kota
kecamatan. Persentase jenis komoditas tanaman yang diusahakan dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Persentase distribusi jenis komoditas tanaman sekitar TNMB Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pola tanam dan jenis tanaman
yang dikembangkan di Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko yaitu padi ditanam pada saat musim hujan, sedangkan pada musim kemarau lahan garapan
umumnya ditanami jagung, kedelai, dan kacang ijo. Penanaman dilakukan secara bergiliran yaitu jika satu jenis komoditi sudah panen diganti dengan jenis komoditi
lain, sehingga dalam satu tahun petani menanam beberapa jenis secara bergantian tidak hanya satu jenis saja. Tingkat pendapatan petani pesanggem sekitar di TNMB
disajikan pada Tabel 17.
10 20
30 40
50 60
Tanaman obat
Tanaman buah
Tanaman palawija
Tanaman kayu
Tanaman perkebunan
Persentase
Jenis komoditas tanaman
Andongrejo Curahnongko
Tabel 17 Pendapatan petani pesanggem di sekitar TNMB per tahun
No. Jenis
komoditi Biaya bibit dan
pemupukan Rp.
Hasil panen Rp.
Pendapatan Rp.
Luas lahan m
2
1. Padi 175.000,-
875.000,- 700.000,- 5.000
2. Kedelai 100.000,-
700.000,- 600.000,- 2.500
3. Jagung 200.000,- 1.600.000,-
1.400.000,- 2.500 4. Kacang
ijo 150.000,- 1.440.000,-
1.290.000,- 2.500 5. Kunyit,
Jahe -
500.000,- 500.000,-
Dibawah tegakan
6. Buah2an -
- 1.635.000,- 5.000
7. Pelihara sapi
- 1.250.000,-
Total 7.375.000,-
Sumber : Data primer yang diolah Produksi padi gogo sebanyak 3,5 kuintal dengan harga jual Rp.2500,- per kg,
petani dapat hasil sebesar Rp. 875.000,-. per sekali panen. Hasil panen padi tidak dijual tetapi untuk dimakan sehari-hari. Hasil panen kacang kedelai sebanyak 2
kuintal harga per kilo Rp.3.500,- petani dapat hasil Rp. 700.000,- hasil dari kacang ijo 180 kg dengan harga Rp. 8.000,- sebesar Rp.1.440.000,-. Selain hasil dari
tanaman palawija, hasil lainnya yaitu dari penjualani buah-buahan seperti pisang sebesar Rp. 50.000,- per bulan, nangka Rp. 25.000,- per bulan, petai Rp. 350.000
per tahun, mangga Rp.85.000,- per tahun, rambutan Rp. 125.000,- pertahun serta durian Rp.175.000,- per tahun , kunyit atau jahe Rp. 500.000,- per tahun serta
dari memelihara sapi titipan Rp. 1.250.000,- per tahun. Dari perhitungan terhadap hasil produksi pertanian serta harga jual tanaman
yang diusahakan diketahui pendapatan rata –rata per tahun dari hasil berladang seluas 0,5 ha, yaitu Rp.7.375.000,- atau Rp. 617.000,- per bulan. Pendapatan
tersebut masuk dalam katagori miskin, berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik BPS, 2007 pendapatan masyarakat kurang dari Rp. 480.000,- per bulan
termasuk dalam katagori sangat miskin, pendapatan diatas Rp. 480.000,- sampai Rp.700.00 katagori miskin. Pendapatan tersebut dibawah upah minimum
Kabupaten Jember tahun 2011 yaitu sebesar Rp. 875.000,- per bulan. Masyarakat yang bekerja di perkebunan Bandealit hanya mendapatkan gaji dari perusahaan
rata-rata Rp. 195.000,- per bulan, untuk meningkatkan pendapatannya mereka menggarap lahan perkebunan seperti di bawah tegakan karet yang masih muda.
Dari hasil perhitungan terhadap produksi tanaman semusim di zona rehabilitasi TNMB diketahui sebesar Rp. 1 635.000,- per tahun, jumlah tersebut
meningkat dibanding pendapatan pada tahun 2000 yang dilakukan di demplot zona rehabilitasi yaitu sebesar Rp.881.750,- Suharti 2000. Meningkatnya hasil
produksi tersebut karena masyarakat selain menanam jenis kayu juga menanam tanaman buah-buahan. Jika tidak ada pemanfaatan tanaman obat dan buah di zona
rehabilitasi serta tidak melakukan pemeliharaan sapi pendapatan rata-rata masyarakat sekitar TNMB menjadi lebih kecil yaitu sekitar Rp 332.500,- per
bulan. Masyarakat pesanggem khususnya yang ada di sekitar Hutan Pantai Bandealit sebagian besar hidup dalam kemiskinan, tinggal di gubug-gubug tanpa
penerangan listrik, dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 10.000,- per hari. Indikator kemiskinan bagi warga yang tinggal di dalam dan di dekat hutan
diantaranya jika pendapatan kurang dari US 1 per hari, atau dibawah UMR yang ditentukan pemerintah, tidak bersekolah, tidak mendapat layanan kesehatan, tidak
mendapat penerangan listrik Somerville 1998. Perbedaan produktivitas hasil panen di TNAP dan TNMB dimungkinkan
karena di TNAP lahan pertaniannya dikelola secara intensif, dengan melakukan pemeliharaan dari gangguan gulma serta pemberian pupuk sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Di TNMB hal tersebut tidak dilakukan secara optimal, sehingga hasil produksi panennya rendah, untuk itu dibutuhkan suatu usaha untuk
meningkatkan produksi melalui bantuan modal dan penyuluhan untuk meningkatkan kapasitas petani.
Tingkat pendapatan masyarakat petani sekitar kawasan taman nasional yang rendah akan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya kawasan taman
nasional . Masyarakat akan memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga pemerintah daerah dan pengelola taman
nasional harus membuat kebijakan pengelolaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Sumberdaya hutan akan terjamin
keberadaannya jika masyarakat sekitar kawasan sudah terpenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti mempunyai pendapatan yang cukup, terpenuhi kebutuhan
makannya, menerima pelayanan yang baik dari pemerintah, dihargai serta kesehatannya terjamin DFID 2001.
5.2.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Taman Nasional dan Banteng 5.2.6.1 Persepsi Masyarakat terhadap ManfaatTaman Nasional
Persepsi atau pengetahuan masyarakat petani pesanggem di Desa Kalipait TNAP serta Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko TNMB terhadap manfaat
atau fungsi taman nasional dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29 Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat TN Pada Gambar 29 terlihat bahwa sebagian besar petani pesanggem di ketiga
lokasi pengamatan menyebutkan bahwa fungsi taman nasional adalah sebagai obyek wisata dengan masing-masing persentase untuk Desa Curahnongko 51,35,
Desa Andongrejo 43,24 dan Desa Kalipait 38,30. Selanjutnya untuk Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko menyatakan sebagai tempat untuk mencari
madu dan kayu dengan persentase untuk Desa Curahnongko 32,43 dan Desa Andongrejo 27,05. Untuk Desa Kalipait TNAP persentase terbesar kedua
menyebutkan bahwa manfaat taman nasional adalah untuk pelestarian 21,28, yaitu bahwa semua yang ada di taman nasional khususnya pohon dan satwaliar
harus dilestarikan tidak boleh diganggu. Sebagian besar responden di ketiga lokasi pengamatan menyebutkan bahwa
fungsi taman nasional sebagai obyek wisata karena menurut mereka semua yang ada di taman nasional seperti satwaliar banteng, tanaman yang indah, pantai bisa
10 20
30 40
50 60
Persentase
Manfaat kawasan TN
Andongrejo Curahnongko
Kalipait
dijadikan sebagai obyek wisata. Responden berharap dapat dilibatkan dalam kegiatan ekowisata untuk meningkatkan pendapatannya, sebagian kecil responden
menyatakan manfaat taman nasional sebagai sumber air, mencegah banjir, sebagai tempat religi bertapa, tempat hidup satwa, tempat mengambil madu dan tempat
mengambil kayu. Masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko menyatakan bahwa taman
nasional bermanfaat sebagai tempat mengambil kayu dan madu, hal ini berhubungan dengan aktivitas masyarakat yang suka mengambil kayu dan madu di kawasan
TNMB, kayu tersebut dimanfaatkan sebagai bahan untuk membangun rumah dan kayu bakar. Heriyanto et al. 2006 menyatakan bahwa masyarakat sekitar kawasan
TNMB termasuk desa Curahnongko dan Andongrejo memanfaatkan kayu dari kawasan TNMB dengan persentase pemanfaatan yaitu kayu garu 35,72, nyampo
dan bendo masing-masing 21,43, kayu bindung 14,28 , pacar gunung 7,14. Kebutuhan rata-rata kayu bakar untuk tiap KK sebanyak 4 - 6 pikul perbulan, berat
setiap pikul ± 30 kg. Dari pernyataan masyarakat yang dijadikan responden di ketiga desa
tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya sudah mengetahui fungsi taman nasional yaitu sebagai kawasan yang dilindungi. Tetapi masyarakat tetap
ingin memanfaatkan taman nasional melalui kegiatan bertani serta mengambil kayu dan madu karena mereka tidak punya pilihan lain untuk memenuhi
kebutuhan hariannya. Masyarakat berharap mendapat manfaat dari kawasan taman nasional, sehingga pengelolaan kawasan taman nasional harus dapat berkontribusi
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tersebut. Pengelolaan taman nasional berbasis masyarakat harus diwujudkan, jika tidak
tentu akan mengancam keberadaan sumberdaya yang ada di taman nasional termasuk keberadaan banteng.
5.2.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Banteng Persepsi masyarakat terhadap banteng sangat dipengaruhi oleh terganggunya
ladang mereka oleh banteng. Kerusakan ladang dan kebun menjadikan persepsi masyarakat terhadap banteng cenderung negatif. Hasil wawancara dengan
masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Curahnongko 70,27, Desa Andongrejo 64,86 dan Desa Kalipait 59,57 menyatakan
bahwa banteng tidak mempunyai manfaat. Selanjutnya masyarakat Desa Andongrejo dan desa Curahnongko masing-masing 27,03 menyatakan bahwa banteng sebagai
obyek wisata, sedangkan untuk Desa Kalipait 14,89 . Sisanya menyatakan tidak tahu dan untuk pelestarian serta kotorannya untuk pupuk Gambar 30.
Gambar 30 Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat banteng Masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko TNMB sebesar 27 lebih
menyatakan bahwa banteng dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata, pernyataan tersebut didasarkan pada banyak wisatawan datang ke lokasi TNMB khususnya
Resort Bandealit dimana sebagian masyarakat desa Andongrejo tinggal. Wisatawan datang ke Bandealit selain untuk melihat pantai Bandealit juga untuk
melihat banteng di sekitar areal Perkebunan Bandealit. Masyarakat Desa Kalipait TNAP yang menyatakan banteng bermanfaat
sebagai obyek wisata lebih kecil dibanding dengan kedua desa di TNMB yaitu hanya 14,89, tetapi yang menyatakan tidak tahu persentasenya lebih besar
dibanding Desa Andongrejo dan Curahnongko yaitu 21,28. Masyarakat yang
10 20
30 40
50 60
70 80
Persentase
Manfaat banteng
Andongrejo Curahnongko
Kalipait
menyatakan tidak tahu tersebut sebenarnya sama persepsinya dengan yang menyatakan bahwa banteng tidak bermanfaat, karena masyarakat tidak boleh
memanfaatkan banteng sehubungan dengan statusnya yang dilindungi, disisi lain masyarakat merasa dirugikan akibat gangguan banteng.
Masyarakat berminat memanfaatkan banteng melalui hasil penangkaran atau menggunakan semennya untuk dikawinkan dengan sapi bali dalam rangka
meningkatkan genetik sapi bali khususnya dalam meningkatan bobot badannya. Minat masyarakat dalam memanfaatkan banteng cukup tinggi, karena banteng
mempunyai nilai ekonomi. Menurut mereka harga banteng akan lebih mahal dari harga sapi jenis lokal. Harga sapi bali umur tiga tahun sekitar sembilan juta
rupiah, sedangkan harga banteng dewasa menurut perkiraan responden bisa mencapai 20 juta rupiah atau setara dengan harga sapi limosin . Berdasarkan hasil
wawancara di ketiga desa yang dijadikan obyek penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar 69,57 masyarakat berminat untuk memanfaatkan banteng hasil
penangkaran terutama semennya, sedangkan sisanya 30,43 tidak berminat.
5.2.7 Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Faktor-faktor yang menyebabkan konflik banteng dan masyarakat sekitar taman nasional dipicu oleh terganggunya masyarakat oleh banteng. Masyarakat
dimaksud yaitu masyarakat secara individu yang bertempat tinggal di sekitar kawasan taman nasional, perusahaan perkebunan dan Perum Perhutani yang arealnya
berbatasan langsung dengan taman nasional. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa banteng keluar kawasan taman
nasional karena rendahnya daya dukung habitat baik aspek kualitas Tabel 10 dan Tabel 11 maupun aspek kuantitas yaitu kecilnya luasan padang penggembalaan yang
ada di dalam kawasan taman nasional sehingga produktivitas pakan yang dihasilkan juga rendah terutama pada saat kemarau Tabel 7 dan Tabel 8. Keluarnya banteng
dan mengganggu kebun masyarakat, perusahaan perkebunan serta Perum Perhutani membuat kerugian dan mempengaruhi pendapatan masyarakat.
Pendapatan yang rendah karena produktivitas dan luasan lahan garapan yang kecil Tabel 15 dan Tabel 16 semakin memicu potensi konflik yang diindikasikan
dengan terjadinya perburuan terhadap banteng. Luas lahan garapan masyarakat rata- rata hanya 0,25 ha per KK termasuk sedikit sehingga tidak mencukupi. Menurut BPS
kebutuhan optimal lahan garapan per KK sebesar dua hektar seperti yang digarap oleh para petani transmigran. Sedangkan Awang 2006 menyatakan bahwa kebutuhan
lahan garapan minimal di jawa untuk setiap petani seluas 0,50 ha sedangkan menurut Yatap 2008 kebutuhan lahan untuk mencapai hidup layak masyarakat sekitar
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebesar 0,56 ha per orang. Konflik satwaliar dengan masyarakat juga terjadi karena tingkat
pendidikan yang rendah Grafik 23 menyebabkan persepsi masyarakat terhadap banteng menjadi negatif Grafik 30 dan masyarakat menganggap
banteng tidak bermanfaat secara langsung karena dilindungi dan merugikan karena merusak tanaman petani. Persepsi yang rendah tersebut menyebabkan
perburuan terhadap banteng. Tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya lahan pertanian dengan produktivitas yang rendah serta minimnya
pengetahuan masyarakat tentang konservasi dapat meningkatkan gangguan masyarakat terhadap kawasan Anonimous 2006. Perburuan juga terkait
dengan upaya masyarakat untuk mendapatkan sumber protein hewani daging, memenuhi kebutuhan ekonomi karena hidup dalam kekurangan serta
dipicu oleh rasa kesal karena gangguan banteng di lahan garapan yang menyebabkan berkurangnya hasil pertanian serta kerugian bagi masyarakat.
Tingkat potensi konflik banteng dan masyarakat disajikan dalam Tabel 18. Keluarnya banteng dari kawasan taman nasional menyebabkan masalah
yang berujung pada meningkatnya potensi konflik antara banteng dan masyarakat. Masyarakat petani pesanggem mengalami kerugian karena tanamannya dimakan
banteng sehingga produksi panennya menurun. Berdasarkan hasil penelitian Heriyanto 2011 diketahui bahwa adanya gangguan banteng menyebabkan
masyarakat Desa Andongrejo mengalami kerugian sebesar 30 - 50 dari produksi panennya, selanjutnya dikatakan bahwa 90 dari masyarakat merasa
was-was atau tidak tenang dengan adanya gangguan banteng, karena takut dengan serangan banteng.
Tabel 18 Potensi dan tingkat konflik konservasi banteng di TNMB dan TNAP
Parameter Lokasi
Potensi Konflik Derajat
Konflik Jumlah Kasus
Jenis Konflik Kehadiran populasi
banteng di sekitar masyarakat
TNMB Tiap hari Perburuan
Tinggi TNAP Tiap hari
Perburuan Tinggi
Gangguan satwa pada lahan
masyarakat TNMB Tiap hari
Perburuanpelukaan Tinggi TNAP Tiap hari
Perburuan Tinggi
Tingkat kerugian ekonomi
TNMB 30 dari produksi 180 rb per bulan
Buru Tinggi TNAP 50 dari produksi
700 rb per bulan Buru, bantai
Tinggi Serangan banteng
terhadap masyarakat TNMB 2008-2010 3 kali
Masuk kampung Tinggi
TNAP - Ancaman
masyarakat terhadap banteng
TNMB 1 kasus : 2 kematian 2010
Buru dgn senjata Tinggi
TNAP 11 kasus : 3 kematian 2010
Jerat Tinggi
Berdasarkan pengamatan terhadap faktor ekologi, sosial, ekonomi masyarakat sekitar kawasan serta wawancara dengan para pakar konservasi
diketahui beberapa alternatif program kegiatan yang dapat dikolaborasikan antar stakeholders
untuk menekan konflik yang lebih tinggi. Program kegiatan yang diharapkan dapat meminimalisir konflik dan dapat meningkatkan sosial ekonomi
masyarakat sekitar kawasan taman nasional yaitu; program kegiatan peningkatan kualitas habitat pakan, program pengembangan penangkaran khususnya
pemanfaatan semen banteng , program pengembangan ekowisata serta program pengembangan tanaman obat dan buah.
Berdasarkan analisis di atas, maka pengelolaan Taman Nasional dalam mengatasi konflik konservasi banteng perlu dibuat sistem pengelolaan dengan
pendekatan kolaboratif. Pengelolaan kolaboratif dimaksud harus melibatkan stakeholders
seperti masyarakat sekitar kawasan, pengelola kawasan sekitar Taman Nasional, LSM dan PEMDA terkait.
5.3 Pengaruh dan Kepentingan
Stakeholders terhadap Konservasi Taman Nasional dan Banteng
5.3.1 Pemetaan Stakeholders di TNAP
Untuk mengetahui pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap konservasi taman nasional dan banteng dilakukan pemetaan peran stakeholders.
Stakeholders yang terkait dalam pengelolaan taman nasional khususnya konservasi banteng di TNAP yaitu Perum Perhutani, LSM binaan KAIL,
masyarakat sekitar kawasan khususnya desa Kalipait serta Balai TNAP sebagai penanggung jawab pengelolaan TNAP.
Perum Perhutani terkait dengan pengelolaan taman nasional karena kawasan hutannya berbatasan langsung dengan TNAP Gambar 31. Selain itu adanya
permasalahan dengan bekas zona penyangga taman nasional yang di kelola oleh Perum Perhutani berupa hutan jati tahun tanam 1954 dengan luas 1.309 ha. Bekas
zona penyangga tersebut merupakan koridor banteng dalam mencari pakan dan minum di kawasan hutan produksi khususnya di blok Sumbergedang dan blok
Gunting yang menyebabkan tanaman Perum Perhutani diantaranya mahoni kelas umur 0-5 tahun mengalami kerusakan dan kematian karena kulit batangnya dimakan
banteng.
Gambar 31 Areal Perum Perhutani HP yang berbatasan langsung dengan TN Alas Purwo
Stakeholders lainnya yaitu masyarakat Desa Kalipait yang mempunyai
aktivitas tumpangsari di kawasan bekas penyangga dan kawasan hutan produksi Perum Perhutani. Masyarakat tersebut mengalami kerugian karena tanamannya
dimakan oleh banteng sehingga produksi panennya menurun, gangguan tersebut menyebabkan persepsi terhadap banteng menjadi rendah. Masyarakat mempunyai
kepentingan yang tinggi terhadap SDA taman nasional tetapi pengaruhnya rendah. Selanjutnya Lembaga Swadaya Masyarakat LSM KAIL Konservasi Alam
Indonesia Lestari, stakeholders tersebut berperan sebagai advokasi dan ikut dalam proses pendampingan pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat
petani pesanggem di kawasan bekas penyangga taman nasional. LSM mempunyai pengaruh terhadap konservasi banteng karena bergerak di bidang konservasi
sumberdaya alam taman nasional dan advokasi masyarakat. Hasil pemetaan pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap konservasi banteng dapat
dilihat dalam matrik resultante Gambar 32 yang terdiri atas empat kuadran yang menggambarkan sebaran posisi masing-masing stakeholders yang berhubungan
dengan pengelolaan kawasan taman nasional dan banteng.
Gambar 32 Matriks resultante hasil analisis stakeholders di TNAP
5.3.2 Peran Stakeholders di TNAP
Berdasarkan ilustrasi disusun suatu mekanisme yang dapat dilakukan oleh masing-masing stakeholders seperti peranan dan peluang-peluang berdasarkan
UPT TN AP
PERHUTANI
LSM MASYARAKAT
5 10
15 20
25
5 10
15 20
25
PENGARUH K
E P
E N
T I
N G
A N
posisinya. Pada Gambar 32 terlihat bahwa posisi kuadran II key player merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan
pengaruh yang sama-sama tinggi. Kuadran II ditempati oleh UPT TNAP dan Perum Perhutani. Posisi kuadran II menunjukkan bahwa stakeholders tersebut
memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengelolaan taman nasional dan banteng. Balai TNAP memiliki kepentingan karena institusi ini mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab dalam menjalankan program kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yaitu melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan
taman nasional dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Balai TNAP memiliki pengaruh yang tinggi dan dapat berperan dalam hal membuat
kebijakan dan berinisiatif dalam perencanaan dan melaksanakan program kegiatan konservasi banteng serta melakukan intermediasi dengan stakeholders terkait lainnya.
Perum Perhutani mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi, karena berhubungan dengan belum selesainya status kawasan bekas penyangga yang
diakui oleh Perum Perhutani sebagai bagian dari hutan produksinya. Kepentingannya yaitu kawasan bekas penyangga sebelum dikembalikan ke taman nasional harus
ditebang dulu jatinya, karena kawasan itu merupakan hutan produksi yang mereka tanam sejak tahun 1964 dan berbarengan dengan SK Menteri Kehutanan No
283Kpts-111992 tentang penetapan kawasan TNAP. Di sisi lain Perum juga sebagai BUMN Kementerian Kehutanan harus berkontribusi dalam konservasi banteng.
Perum Perhutani mempunyai pengaruh terhadap konservasi banteng karena arealnya yaitu blok Sumbergedang merupakan wilayah jelajah banteng dan
berfungsi sebagai habitat pakan dan minum, sebagai BUMN dari Kementerian Kehutanan Perum Perhutani dapat berperan dalam melaksanakan kebijakan
kehutanan untuk kelestarian lingkungan termasuk taman nasional dan banteng melalui pengelolaan hutannya yang tetap mempertimbangkan kebutuhan banteng.
Stakeholders dalam kuadran IV context setter yaitu LSM KAIL. LSM ini
dapat memainkan perannya dalam fungsi intermediasi, penyebaran informasi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat sekitar kawasan. Informasi dimaksud berupa
teknis penanaman, pemilihan jenis dan penyediaan bibit serta pemasaran hasil yang dapat menunjang kegiatan bertani masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Masyarakat sekitar kawasan posisinya ada pada kuadran I subjects. Masyarakat memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya taman
nasional, khususnya di kawasan bekas penyangga dimana mereka melakukan kegiatan bertani sebagai pesanggem. Masyarakat mempunyai kepentingan tinggi
tetapi pengaruhnya rendah karena tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan taman nasional. Aspirasi masyarakat tidak tertampung
dan kurangnya pemberdayaan. Masyarakat ingin memanfatkan banteng melalui pemanfaatan semennya untuk meningkatkan kualitas sapi yang mereka pelihara
melalui IB. Motivasi masyarakat terhadap kawasan taman nasional dan banteng adalah ingin meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya diantaranya melalui
kegiatan pengembangan tanaman buah dan obat serta tanaman tumpangsari khususnya di kawasan bekas penyangga.
Masyarakat ingin memanfaatkan kawasan bekas penyangga seperti yang dilakukan selama ini melalui penanaman pohon buah-buahan, pohon obat dan biji-
bijian yang hasilnya dapat dipanen dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Penanaman pohon buah-buahan dan obat tersebut untuk mengantisipasi
jika masa sebagai pesanggem selesai, masyarakat masih bisa mendapatkan manfaat dari hasil tanaman tersebut.
5.3.3 Pemetaan Stakeholders di TNMB Berdasarkan identifikasi stakeholders di TNMB diketahui bahwa stakeholders
terkait dalam konservasi banteng hampir sama dengan di TNAP yaitu Balai TNMB, LSM KAIL, masyarakat sekitar kawasan khususnya Desa Andongrejo dan
desa Curahnongko. Stakeholders lainnya yang membedakan dengan TNAP yaitu perusahaan Perkebunan Bandealit. Dalam kawasan TNMB terdapat dua enclave
berupa perkebunan seluas 2.115 ha yaitu Perkebunan Bandealit dengan luas 1.057 ha dan Perkebunan Sukamade Baru dengan luas 1.058 ha. Perkebunan Bandealit
statusnya sebagai zona penyangga sehingga pengelolaannya sangat berhubungan dengan pengelolaan taman nasional dan areal perkebunan tersebut menjadi habitat
yang disukai banteng. Sejak tahun 2003 banteng menjadikan areal Perkebunan Bandealit sebagai habitat yang permanen, mulai dari aktivitas makan sampai
aktivitas kawin dilakukan di areal perkebunan, akibatnya perkebunan mengalami
kerusakan dan kerugian yang dalam empat tahun terakhir sebesar delapan milyar rupiah berdasarkan wawancara dengan manajer perkebunan. Untuk menghindari
gangguan banteng Perkebunan Bandealit melakukan pemagaran dengan menggunakan kawat duri khususnya di lokasi persemaian Kebun Pantai. Tindakan
tersebut menjadi masalah karena ada indikasi pemagaran tersebut menyebabkan luka pada banteng, sehingga BTNMB membuka pagar tersebut dan pengelola
perkebunan merasa dirugikan, karena areal persemaiannya dirusak banteng. Kejadian tersebut masuk dalam katagori konflik terbuka, konflik terbuka adalah
yang berakar dalam dan sangat nyata, sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya Fisher et al. 2001.
Berdasarkan hasil analisis stakeholders diketahui Perkebunan Bandealit mempunyai kepentingan rendah terhadap kelestarian banteng karena kepentingan
utama perusahaan adalah mendapatkan penghasilan dari hasil produksi perkebunan. Tetapi perkebunan tersebut mempunyai pengaruh yang besar karena arealnya
dimanfaatkan oleh banteng dari mulai aktivitas makan sampai kawin. Selain itu perusahaan perkebunan mempunyai pengaruh dalam merubah persepsi masyarakat
terhadap banteng yang dapat dijadikan modal untuk propaganda konservasi banteng, sehingga Perkebunan Bandealit perlu dilibatkan dalam perencanaan
program TNMB untuk sinkronisasi program kegiatan dalam upaya konservasi banteng.
Stakeholders masyarakat khususnya Desa Andongrejo dan Curahnongko
yang letak desanya berbatasan langsung dengan kawasan TNMB. Pekerjaan masyarakat sekitar kawasan TNMB sebagian besar adalah petani pesanggem di
kawasan zona rehabilitasi taman nasional dan di areal Perkebunan Bandealit khusus yang bekerja sebagai buruh perkebunan. Hasil pemetaan stakeholders terhadap
pengaruh dan kepentingan dapat dilihat dalam matrik resultante Gambar 33. Masyarakat mempunyai kepentingan sebagai pemelihara sekaligus pemanfaat
taman nasional dan banteng tetapi tidak mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan sehingga aspirasi masyarakat perlu diakomodir
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan dan banteng. Kepentingan sebagian masyarakat sudah diakomodir melalui kegiatan agroforestry
di zona rehabilitasi taman nasional tetapi belum optimal.
Gambar 33 Matrik resultante hasil analisis stakeholders di TNMB 5.3.4 Peran Stakeholders di TNMB
Berdasarkan hasil pemetaan stakeholders UPT BTNMB dan LSM KAIL berada pada posisi kuadran II yaitu berperan sebagai key player, LSM perannya
sejalan dengan TNMB tetapi tidak punya peran dalam pengelolaan banteng. LSM KAIL berperan dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat khususnya
kegiatan rehabilitasi sejak tahun 2001 dalam implementasi praktek konservasi berbasis masyarakat yang diwujudkan dalam program rehabilitasi tanaman
Multipurpose tree species MPTS. LSM berkepentingan dalam terbangunnya
sosial budaya masyarakat sebagai kapital sosial untuk membangun budaya kehutanan yang memiliki nilai korvengensi dengan pelestarian dan terciptanya
daya dukung lingkungan yang berkualitas. Kontribusi LSM dalam zona rehabilitasi selama ini membantu masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan
pengembangan tanaman Multipurpose tree species MPTS mulai dari pemilihan jenis, pengolahan dan pemasaran. Selain itu LSM mempunyai arti strategis
sebagai jembatan aspirasi masyarakat untuk diakomodir dalam pembuatan keputusan pengelolaan zona rehabilitasi. Hasil pemetaan stakeholders LSM
berada pada kuadran II key player yaitu satu posisi dengan BTNMB, sedangkan di TNAP LSM berada pada kuadran III context setter. Hal ini dimungkinkan
UPT TN MERU
BETIRI
PERKEBUNAN
LSM
MASYARAKAT
5 10
15 20
25
5 10
15 20
25
K E
P E
N T
I N
G A
N
PENGARUH
karena peran LSM KAIL di TNMB sudah berjalan cukup lama dan intensif sehingga program kegiatannya sudah sinkron dengan program kegiatan BTNMB.
Sedangkan di TNAP peran LSM belum optimal dan masyarakat masih membutuhkan dukungan LSM dalam mengadvokasi kepentingannya.
Posisi context setter di TNMB ditempati Perkebunan Bandealit, Perkebunan Bandealit masuk dalam stakeholders yang mempunyai kepentingan rendah
terhadap kelestarian banteng karena kepentingan utama perusahaan adalah mendapatkan keuntungan dari hasil produksi perkebunan. Tetapi perkebunan
mempunyai tingkat pengaruh yang besar karena arealnya dimanfaatkan banteng dari mulai aktivitas makan sampai kawin. Peran perkebunan sebagai context setter
dapat dijadikan modal untuk mempropaganda masyarakat khususnya karyawan perkebunan sehingga persepsi masyarakat terhadap konservasi banteng menjadi
positif. Selain itu perkebunan harus membantu TN dalam perbaikan lingkungan khususnya habitat pakan banteng, dan dapat dilibatkan dalam pengelolaan banteng
sebagai obyek wisata yang dipadukan dengan agrowisata yang dikembangkan oleh Perkebunan. Untuk sinkronisasi program kegiatan dalam upaya konservasi banteng
Perkebunan Bandealit dapat dilibatkan mulai dari perencanaan sampai implementasi program kegiatan. Tingkat pengaruh mengindikasikan kemampuan stakeholders
untuk mempengaruhi berhasil tidaknya suatu pengelolaan Hermawan et al. 2005 Kuadran I atau subyek ditempati masyarakat yaitu kelompok yang
mempunyai kepentingan tinggi namun pengaruhnya rendah sehingga perlu pemberdayaan dalam pengelolaan taman nasional dan banteng dengan
melibatkannya dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan. Tingkat kepentingan berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholders,
semakin besar dampak yang akan diterima oleh stakeholders, maka semakin tinggi tingkat kepentingannya Hermawan et al. 2005. Motivasi utama masyarakat sekitar
kawasan TNMB yaitu ingin meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya melalui kegiatan bertani di zona rehabilitasi serta memanfaatkan hasil tanaman utama
yang mereka tanam melalui pemanfaatan tanaman buah dan tanaman obat. Kepentingan masyarakat perlu diakomodir untuk meminimalkan gangguan
masyarakat terhadap kawasan khususnya perburuan satwa dan penebangan kayu. Untuk meminimalisir gangguan banteng khususnya di areal perkebunan,
Co-Management
Balai TNAP 0,679
Perhutani 0,102
LSM 0,099
Masyarakat 0,119
Sosial 0,180
Ekonomi 0,191
Ekologi 0,629
Pengembangan ekowisata
0,225 Pengembangan
tanaman obatbuah
0,117 Pengembangan
penangkaran banteng
0,243
Konsultatif 0,210
Instruktif 0,255
Kooperatif 0,209
Informatif 0,110
Advokatif 0,215
Fokus
Aktor Faktor
Alternatif Program
Peningkatan kualitas habitat
banteng 0,415
tingkat Kolaborasi
masyarakat menginginkan agar pengelola TNMB menyediakan padang penggembalaan feeding ground yang mencukupi kebutuhan banteng.
5.4 Manajemen Kolaborasi dalam Upaya Konservasi Banteng
5.4.1 Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng Dari hasil pengamatan terhadap aspek ekologi, sosial ekonomi, identifikasi dan
pemetaan stakeholders, persepsi dan kepentingan stakeholders yang terkait dengan konflik banteng serta wawancara dengan stakeholders yang tidak terkait konflik
diketahui alternatif program kegiatan yang dapat mengakomodir kepentingan
bersama. Penentuan prioritas kegiatan dan tingkatbentuk kolaborasi dipilih oleh stakeholders
dan para pakar konservasi, yang terdiri dari pakar konservasi jenis dan konservasi kawasan, pakar tersebut berasal dari Perguruan Tinggi IPB satu orang,
Badan Litbang Kehutanan dua orang, dan dari Ditjen PHKA empat orang. Berdasarkan hasil analisis diketahui struktur hierarki dengan bobot kepentingan
yang menunjukkan prioritas program kegiatan dan bentuk kolaborasi yang dipilih dalam rangka konservasi banteng seperti Gambar 34.
Gambar 34 Struktur hierarki co-management konservasi banteng di TNAP Mod. Saaty 1993
Dari hasil analisis secara keseluruhan peran aktor dalam program kegiatan untuk tujuan konservasi banteng dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35 Tingkat peranan aktor terhadap pelaksanaan program kegiatan konservasi banteng di TNAP.
Pada Gambar 35 diketahui bahwa prioritas aktor yang berperan penting dalam pelaksanaan program konservasi banteng di TNAP secara berturut-turut
yaitu Balai TNAP 67,90, masyarakat 11,90, Perum Perhutani 10,20 dan LSM 9,90. Balai TNAP menjadi yang pertama karena sesuai dengan
keadaan di lapangan bahwa dalam pengelolaan banteng peran Balai TNAP adalah yang paling dominan. Sedangkan stakeholders lainnya belum
dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan TN, khususnya pengelolaan banteng karena belum dilakukan kerjasama antar stakeholders. Dalam
kenyataannya Perum Perhutani sebagai pemangku pengelola hutan produksi kawasannya digunakan banteng sebagai bagian dari wilayah jelajahnya, tetapi
Perum Perhutani belum dilibatkan dalam perencanaan kebijakan pengelolaan taman nasional dan banteng. Dalam upaya konservasi banteng secara
kolaboratif Balai TNAP harus mulai berbagi peran dan kewenangan dengan stakeholders
terkait untuk tercapainya upaya konservasi banteng. Pada level alternatif kegiatan faktor terhadap aktor, urutan prioritas yang
penting dipertimbangkan dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng yaitu faktor ekologi 62,90, faktor ekonomi 19,10 dan faktor sosial
18,00. Data tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan konservasi banteng secara kolaboratif faktor ekologi merupakan faktor yang paling
penting untuk diperhatikan demi keberlangsungan sumberdaya. Hal tersebut selaras dengan tujuan utama pengelolaan kolaboratif yang salah satu elemen
pentingnya yaitu mempertahankan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya Claridge and O’ Callaghan 1995. Namun demikian dalam pengelolaan
sumberdaya alam faktor ekonomi harus dipertimbangkan juga khususnya yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi masyarakat sekitar kawasan
taman nasional. Pembangunan ekonomi tersebut harus berwawasan lingkungan, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
secara berkelanjutan. Jika masyarakat sekitar kawasan sejahtera diharapkan gangguan terhadap ekosistem dan sumberdaya kawasan dapat ditekan.
MacKinnon et al. 1993 menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan kawasan yang dilindungi banyak bergantung pada kadar dukungan dan
penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitarnya. Jika kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang,
masyarakat setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi jika pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat, masyarakat sendiri yang akan
bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari pengembangan yang membahayakan.
Pada level alternatif terhadap faktor yang berupa alternatif kegiatan secara kolaboratif untuk meminimalisir konflik, urutan prioritas yang paling
penting yaitu peningkatan kualitas habitat banteng 41,50, pengembangan penangkaran banteng 24,30, pengembangan ekowisata 22,50 dan
pengembangan tanaman obat dan buah 11,70. Urutan prioritas kegiatan peningkatan kualitas habitat banteng adalah pilihan yang sangat sesuai dengan
keadaan di lapang. Berdasarkan hasil pengukuran potensi habitat pakan diketahui bahwa habitat padang penggembalaan dalam kawasan taman
nasional tidak memenuhi kebutuhan banteng baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini yang menyebabkan banteng keluar kawasan memakan
tanaman ladang masyarakat seperti jagung, padi dan kacang kedelai serta tanaman Perum Perhutani seperti kulit batang mahoni yang menyebabkan
kematian pohon tersebut.
Pengembangan penangkaran banteng yang menjadi prioritas kedua perlu dipertimbangkan khususnya dalam pemanfaatkan semen banteng untuk
peningkatan genetik sapi bali melalui inseminasi buatan, sehingga salah satu tujuan konservasi yaitu pemanfaatan plasma nuftah dapat diwujudkan.
Pengembangan tanaman obat dan buah perlu ditingkatkan dan dipertimbangkan walaupun tidak menjadi prioritas utama karena masyarakat
sekitar kawasan umumnya sudah mengembangkan kegiatan tersebut pada kawasan bekas penyangga TNAP.
Hasil analisis secara keseluruhan bentuktipe co-management terhadap alternatif program dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36 Prioritas tingkat co-management konservasi banteng di TNAP Berdasarkan hasil analisis bentuk co-management terhadap alternatif
program kegiatan secara keseluruhan diketahui bahwa prioritas yang terpilih adalah tingkattipe co-management instruktif 25,50, pendampingan 21,50,
konsultatif 21,10, kooperatif 20,09, dan informatif 11,00. Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa bentuk co-management instruktif, pendampingan,
konsultatif dan kooperatif nilainya hampir tidak berbeda yaitu antara 20 - 25. Setelah dilakukan analisis AHP terhadap tiap alternatif kegiatan Lampiran 6
diketahui bahwa tipe co-management yang dipilih untuk tiap program kegiatan yaitu pengembangan habitat dengan tipe kolaborasi instruktif 35,1,
pengembangan penangkaran banteng tipe kolaborasi kooperatif 25,2, pengembangan ekowisata pendampingan 34,2 dan pengembangan tanaman
obat dan buah tipe kolaborasi kooperatif 36,2.
Hasil analisis seluruh alternatif bentuk co-management secara instruktif merupakan pilihan yang tinggi bobot nilainya dibanding yang lainnya Gambar
36. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa pengelolaan taman nasional secara umum masih bersifat instruktif. Inisiatif kebijakan pengelolaan
selalu berasal dari pemerintah BTN, masyarakat dan stakeholders lain tidak dilibatkan dalam perencanaan pengelolaan kawasan secara umum dan
pengelolaan banteng secara khusus. Peran pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional BTN yang dominan disebabkan oleh fungsi dan otoritas regulasi
formal yang hanya dapat diperankan oleh pihak pemerintah BTN. Nikijuluw 2002 menyatakan bahwa tingkattipe pengelolaan kolaboratif secara instruktif
pemerintah sangat berperan dalam banyak hal, sedangkan masyarakat hanya menerima apa yang direncanakan dan diatur oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Perum Perhutani dan masyarakat yang berkepentingan tinggi khususnya di kawasan bekas penyangga
tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan TNAP. Kepentingan Perum Perhutani pada pengelolaan kawasan bekas penyangga
seluas 1309 ha, karena kawasan tersebut sudah menjadi hutan produksi jati sejak tahun 1964. Perum Perhutani ingin memanfaatkan kayu pada kawasan bekas
penyangga melalui penebangan dan penanaman kembali, hal yang harus dipertimbangkan bahwa kawasan bekas penyangga merupakan koridor habitat
banteng, sehingga dalam pemanfaatannya harus mempertimbangkan
kepentingan banteng.
5.4.2 Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng di TNMB
Dari hasil analisis seperti yang dilakukan di TNAP diketahui kepentingan, pengaruh dan kebutuhan para stakeholders di TNMB dan dapat dijadikan
program kegiatan yang dapat mengakomodir kepentingan bersama. Struktur hierarki dan bobot kepentingan atau prioritas dalam pengelolaan banteng secara
kolaborasi di TNMB disajikan dalam Gambar 37.