Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Eksistensi Konsul Kehormatan (Honorary Consul) Dalam Hubungan Konsuler (Studi Kasus: Konsul Kehormatan Jerman Di Medan)

(1)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI

KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN

KONSULER (STUDI KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH: KANIA SYAFIZA

NIM: 090200116

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

KETUA DEPATEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Arif,S.H.,M.Hum. NIP. 196403301993031002

Pembimbing I Pembimbing II

Arif,S.H.,M.Hum. Dr. Jelly Leviza S.H.,M.Hum NIP. 196403301993031002 NIP. 197308012002121002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI

KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN

KONSULER (STUDI KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

KANIA SYAFIZA

090200116

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya yang begitu besar kepada Penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membimbing manusia ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Penulisan skripsi yang berjudul : “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI KONSUL KEHORMATAN

(HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN KONSULER (STUDI

KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)”, adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam melaksanakan penulisan skripsi ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan seperti membalikkan telapak tangan. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini penulis mengucapkaln terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,S.H.,M.H,selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif,S.H.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional

dan Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak atas bantuan dan serta dukungannya selama penulisan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional dan Dosen Pembimbing II. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingan serta dukungannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

7. Bapak Liliek Darmadi,Dipl.Ing.,MM selaku Konsul Kehormatan Jerman di

Medan yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan riset di Konsulat Kehormatan Jerman di Medan, serta terima kasih atas segala informasi dan penjelasan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Adeline Tampubolon selaku Sekretaris Konsul Kehormatan Jerman di

Medan yang telah banyak memberikan informasi mengenai pengalamannya dalam urusan konsuler.


(5)

9. Heike Larissa Tampubolon,S.H. “my partner in crime” dari jaman SD ‘til

the end of time’. Dari memburu Dracula sampai menghadapi samurai jaman Heian akan kita lakukan bersama.

10. Teman-teman yang telah bersedia menjadi teman Penulis yang ‘weird

ini. Ayu Ananda Tarigan sang penginspirasi sedunia,Rabithah Khairul,S.H.

sang otak komplotan, Oky Wiratama Siagian,S.H. sang hero pencinta

demokrasi yang terkadang tanpa disadari lebih cendrung bersikap diktator,

Yulistia sang stylist yang selalu matching up to toe,Rahmi Pambhpa Patrecia

sang informan merangkap ahli gaib yang muncul tiba-tiba,Natalia Gracia

Sinaga the semi-invincible woman antara ada dan tiada tapi pengetahuannya

luas seperti koran, Christina Waruwu,S.H. the sharp tongue and mind yang

selalu pulang satu jurusan dengan Penulis, dan Andini Pratiwi Siregar yang selalu unik. Semoga kita semua berteman selamanya.

Dalam kesempatan ini juga Penulis ingin berterimakasih kepada

saudara-saudara kandung penulis, M. Ibnu Hidayah dan M. Faqih Akbar. You guys rock,

really.

Akhirnya Penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus Penulis untuk segala bantuan, doa, restu, motivasi,kasih sayang, pengorbanan dan kesabaran yang telah diberikan orang tua tercinta yaitu Ayahanda Iskandar S.H.,M.H. dan Ibunda Aziarni S.H.,M.H. yang telah menjadi pemicu semangat bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(6)

Sesuai dengan pepatah,”Tiada gading yang tak retak”, yang berarti Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati Penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.

Akhir kata,Penulis berharap semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan,khususnya pengetahuan ilmu hukum,Amin.

Terima Kasih.

Hormat saya, Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

ABSTRAK...viii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...9

D. Keaslian Penelitian...10

E. Tinjauan Pustaka...11

F. Metode Penelitian...17

G. Sistematika Penulisan...20

BAB II KAITAN ANTARA HUBUNGAN KONSULER DENGAN KONSUL KEHORMATAN...21

A. Sejarah Hubungan Konsuler...22

1. Sebelum Konvensi Wina 1963...22

2. Lahirnya Konvensi Wina 1963...27

B. Pembukaan Hubungan Konsuler...29

C. Klasifikasi Pejabat Konsuler Menurut Konvensi Wina 1963...35

D. Pengangkatan Konsul Kehormatan...38

E. Ruang Lingkup Hubungan Konsuler oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan…...43


(8)

1.Pembukaan Konsulat Kehormatan Jerman di Medan...43

2. Pengangkatan Konsul Kehormatan Jerman di Medan...48

3. Hal-hal Operasional dalam Hubungan Konsuler Oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan……...……53

BAB III PERANAN PERWAKILAN KONSULER...55

A. Mulainya Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...55

B. Berakhirnya Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...57

C. Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...62

D.Berbagai Kelonggaran Pelaksanaan Tugas & Fungsi Perwakilan Konsuler...72

E. Tugas & Fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam Hubungan Konsuler...75

BAB IV ASPEK KEISTIMEWAAN DAN KEKEBALAN...81

A. Keistimewaan dan Kekebalan Perwakilan Konsuler...81

B. Keistimewaan dan Kekebalan Anggota Perwakilan Konsuler...92

C. Mulai dan Berakhirnya Keistimewaan dan Kekebalan Pejabat Konsuler...103

D. Perbedaan Keistimewaan dan Kekebalan antara Pejabat Konsuler Karir dan Konsuler Kehormatan...106


(9)

E. Kekebalan dan Keistimewaan Yang Diperoleh Konsul Kehormatan

Jerman di Medan dalam Menjalankan Tugas dan

Fungsinya...110

BAB V PENUTUP...113

A. Kesimpulan...113

B. Saran...115

DAFTAR PUSTAKA...117 LAMPIRAN


(10)

ABSTRAK Kania Syafiza* Arif,S.H.,M.Hum** Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hu m***

Dalam pelaksanaan hubungan damai antarnegara,secara umum selain ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik juga diikuti dengan pembukaan hubungan konsuler. Hubungan diplomatik bersifat politis sedangkan hubungan konsuler bersifat non-politis dan cenderung mengurus masalah administratif dan komersial. Untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran di negara asing yang mengadakan hubungan konsuler dengannya, suatu negara mengangkat pejabat konsuler. Konvensi Wina 1963 mengklasifikasikan dua jenis pejabat konsuler, yaitu Pejabat Konsuler Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Indonesia dan Jerman secara resmi telah mengadakan hubungan diplomatik sejak tahun 1952 dan pada saat ini perwakilan Jerman di Indonesia terdiri dari satu Kedutaan Besar dan tiga Konsul Kehormatan,yang salah satunya terdapat di Medan.

Melihat pada hal tersebut di atas,yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana ruang lingkup tugas Konsul Kehormatan Jerman di Medan, bagaimana tugas dan fungsinya serta bagaimana pula kekebalan dan keistimewaan yang diperolehnya.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana penelitian ini dilakukan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu penelitian pada penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum dan menjabarkan fakta secara sistematis, faktual, dan akurat.

Menjawab permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan terdiri dari pembukaan konsulat kehormatan, pengangkatan konsul kehormatan dan hal-hal operasional hubungan konsuler oleh konsul kehormatan. Tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konsulargesetz yang merupakan Undang-Undang tentang Fungsi dan Kewenangan Pejabat Konsuler Jerman dimana fungsi-fungsi tersebut merupakan penegasan dari Konvensi Wina 1963. Sementara kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sangat terbatas selain itu antara Jerman dan Indonesia tidak

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(11)

memiliki pengaturan tersendiri tentang pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan.

Untuk itu disarankan demi alasan penghematan dan efisensi, pengangkatan konsul kehormatan dapat dijadikan pilihan yang tepat oleh negara-negara yang

ingin membuka perwakilan konsuler pada masa sekarang ini. Dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya, Konsul Kehormatan Jerman di Medan dapat meningkatkan perannya sebagai penghubung kegiatan bisnis antara Jerman dan Indonesia. Oleh karena itu dalam hal pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan seharusnya Indonesia dan Jerman membuat suatu perjanjian khusus mengenai hal tersebut agar lebih menjamin seorang konsul


(12)

ABSTRAK Kania Syafiza* Arif,S.H.,M.Hum** Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hu m***

Dalam pelaksanaan hubungan damai antarnegara,secara umum selain ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik juga diikuti dengan pembukaan hubungan konsuler. Hubungan diplomatik bersifat politis sedangkan hubungan konsuler bersifat non-politis dan cenderung mengurus masalah administratif dan komersial. Untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran di negara asing yang mengadakan hubungan konsuler dengannya, suatu negara mengangkat pejabat konsuler. Konvensi Wina 1963 mengklasifikasikan dua jenis pejabat konsuler, yaitu Pejabat Konsuler Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Indonesia dan Jerman secara resmi telah mengadakan hubungan diplomatik sejak tahun 1952 dan pada saat ini perwakilan Jerman di Indonesia terdiri dari satu Kedutaan Besar dan tiga Konsul Kehormatan,yang salah satunya terdapat di Medan.

Melihat pada hal tersebut di atas,yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana ruang lingkup tugas Konsul Kehormatan Jerman di Medan, bagaimana tugas dan fungsinya serta bagaimana pula kekebalan dan keistimewaan yang diperolehnya.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana penelitian ini dilakukan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu penelitian pada penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum dan menjabarkan fakta secara sistematis, faktual, dan akurat.

Menjawab permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan terdiri dari pembukaan konsulat kehormatan, pengangkatan konsul kehormatan dan hal-hal operasional hubungan konsuler oleh konsul kehormatan. Tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konsulargesetz yang merupakan Undang-Undang tentang Fungsi dan Kewenangan Pejabat Konsuler Jerman dimana fungsi-fungsi tersebut merupakan penegasan dari Konvensi Wina 1963. Sementara kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sangat terbatas selain itu antara Jerman dan Indonesia tidak

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(13)

memiliki pengaturan tersendiri tentang pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan.

Untuk itu disarankan demi alasan penghematan dan efisensi, pengangkatan konsul kehormatan dapat dijadikan pilihan yang tepat oleh negara-negara yang

ingin membuka perwakilan konsuler pada masa sekarang ini. Dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya, Konsul Kehormatan Jerman di Medan dapat meningkatkan perannya sebagai penghubung kegiatan bisnis antara Jerman dan Indonesia. Oleh karena itu dalam hal pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan seharusnya Indonesia dan Jerman membuat suatu perjanjian khusus mengenai hal tersebut agar lebih menjamin seorang konsul


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Lembaga konsuler2 menurut sejarah telah ada lebih dulu dibanding lembaga

diplomatik. Lembaga konsuler bahkan telah ada sejak zaman Yunani Kuno,

dimana kegiatan-kegiatan perdagangan yang mulai berkembang pesat di city

states Yunani dapat dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya lembaga konsuler.

Pada saat itu dikenal istilah proxenia yaitu semacam pejabat negara (warga negara

terkemuka) yang bertugas dan bertanggung jawab atas penduduk asing yang

berdudukan di suatu city state.3 Sementara di zaman Romawi dikenal istilah

konsul untuk sebagai peran yaitu hakim-hakim khusus bagi pedagang asing pada abad ke-12. Keberadaan perwakilan konsuler pada masa itu memiliki fungsi yang cukup luas dimana para konsul mempunyai wewenang sipil dan kriminal terhadap warga mereka.

Sistem modern lembaga konsul baru dimulai sejak abad ke-16.4 Pada abad

ke-18 fungsi perwakilan konsuler telah mengalami berbagai penyesuaian sehingga tidak jauh berbeda dengan fungsi perwakilan konsuler modern yang kita kenal

2 Dalam praktiknya,istilah konsuler sendiri berkenaan dengan segala hal yang sifatnya kekonsuleran yang meliputi hubungan konsuler, pejabat-pejabat konsul, kantornya, maupun tugas dan fungsinya. Sumber: http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=consular diakses pada 25 Juli 2013.

3 Widodo, Huk um Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, LaksBang Justitia, Surabaya, 2009, hal.185

4 J.G. Starke, Pengantar Huk um Internasional 2 Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 573.


(15)

pada saat ini yaitu mengurus berbagai kegiatan perdagangan,transportasi dan

warga negara mereka.5

Pada masa pasca Perang Dunia II dimana banyak terjadi perubahan yang menyebabkan hubungan antar subjek hukum internasional semakin berkembang dan kompleks, meskipun banyak subjek hukum internasional baru bermunculan, namun yang paling utama diperhatikan tetaplah negara dan hubungan negara satu sama lain maupun dengan subjek hukum internasional lainnya. Hal ini karena

negara dianggap sebagai subjek hukum internasional penuh.6 Selain itu berbagai

perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Berbagai perkembangan tersebut juga dapat memberi dampak tertentu terhadap hubungan antarnegara dalam hal kerja sama dan saling ketergantungan sehingga diperlukan seperangkat aturan hukum dalam mengatur hubungan antarnegara.

Hukum internasional yang mengatur hubungan antarnegara berasal dari hukum kebiasaan yang dapat ditemukan dalam praktik pelaksanaan hubungan antar bangsa yang telah ada bahkan jauh sebelum istilah hukum internasional dikenal. Pada akhirnya setelah melewati proses yang panjang, praktik-praktik kebiasaan ini dikodifisikan dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis hingga

sampai dalam bentuk konvensi-konvensi yang kita kenal saat ini yaitu Vienna

Convention on Diplomatic Relations 1961 (Konvensi Wina tentang Hubungan

5 Boer Mauna,Huk um Internasional Pengertian,Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamik a

Global, P.T.Alumni,Bandung,2011,hal.573.

6 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Huk um Internasional, P.T. Alumni,


(16)

Diplomatik 1961) dan Vienna Convention on Consular Relations 1963 (Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler 1963). Kedua konvensi ini juga diikuti dengan protokol-protokol tambahannya selain konvensi-konvensi pendukung antara lain Convention on Special Mission (Konvensi tentang Misi Khusus) pada tahun 1969 dan Convention on Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons,including Diplomatic Agents (Konvensi mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang-orang yang menurut Hukum Internasional dilindungi termasuk Para Diplomat) pada tahun 1971.

Hubungan antar negara secara umum dibagi dalam dua lembaga yaitu lembaga diplomatik dan lembaga konsuler. Seperti telah disebutkan di atas,lembaga konsuler telah ada terlebih dahulu dibanding lembaga diplomatik. Keduanya sama-sama mengurus hubungan antar negara di luar yurisdiksi nasional

yang pelaksanaannya berasal dari kebiasaan-kebiasaan internasional.

Perbedaannya, lembaga diplomatik mengurus bidang politis sementara lembaga konsuler mengurus bidang-bidang nonpolitis. Meskipun demikian, keduanya tetap mempunyai garis singgung karena dalam praktik antara urusan perwakilan

diplomatik dengan perwakilan konsuler sering terjadi pembauran7. Pembukaan

hubungan diplomatik dalam prinsipnya juga berarti persetujuan pembukaan

hubungan konsuler,kecuali secara spesifik tidak dinyatakan demikian.8 Tetapi

7 Widodo,op.cit,hal.24.


(17)

pemutusan hubungan diplomatik,tidak secara otomatis juga berarti pemutusan

hubungan konsuler.9

Kesepakatan antarnegara yang bersangkutan menjadi dasar bagi pembukaan hubungan konsuler. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa pelaksanaan

hubungan konsuler antarnegara harus didasari oleh kesepakatan bersama.10 Kata

mutual consent’ dapat dijelaskan sebagai kesepakatan atau persetujuan bersama timbal balik antara negara-negara yang hendak membuka hubungan konsuler.Hal ini tidak berbeda dengan pembukaan hubungan diplomatik. Dapat diartikan bahwa suatu negara tidak berkewajiban menerima perwakilan konsuler dari negara asing,begitu juga suatu negara tidak dapat memaksakan negara lain untuk menerima perwakilan konsulernya. Agar hubungan konsuler antarnegara dapat terlaksana,maka negara-negara yang bersangkutan harus memliki kesepakatan satu sama lain terlebih dahulu untuk membuka hubungan konsuler.

Dalam menjalankan fungsi-fungsi hubungan konsuler,setelah pembukaan hubungan konsuler maka biasanya diikuti oleh pembukaan Kantor Konsuler dan pengangkatan Pejabat Konsuler. Mengenai Pejabat Konsuler sendiri, dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi Wina 1963 terdapat dua pembagian besar yaitu

Pejabat-pejabat Konsul Karier/Tetap (career consular officer) dan Pejabat-pejabat Konsul

Kehormatan (honorary consular officer). Hal ini merupakan salah satu perbedaan

antara Pejabat Konsuler dengan Pejabat Diplomatik. Dalam hubungan konsuler

9 Pasal 2 ayat 3 Konvensi Wina 1963. 10 Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 1963.


(18)

diperbolehkan adanya Pejabat-pejabat Konsuler Kehormatan,sementara dalam hubungan diplomatik tidak dibenarkan yang demikian.

Meskipun dalam Konvensi Wina 1963 tidak memberikan secara jelas batasan dan perbedaan antara Pejabat Konsuler Karir dengan Pejabat Konsul

Kehormatan,secara umum,terdapat 4 pokok perbedaan antara keduanya,yaitu:11

1. Konsul karier merupakan pegawai tetap dari negara pengirim,karena itu

diangkat dari warga negara pengirim dan berstatus sebagai pegawai tetap departemen luar negeri negara pengirim.Sedangkan Konsul kehormatan biasanya tidak diangkat dari warga negara pengirim,tetapi cukup diangkat dari warga negara penerima atau warga negara pihak ketiga sehingga mungkin berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha dan bukan merupakan pegawai tetap negara pengirim.Berdasar pada cara pemberian kontra prestasi atas pengabdiannya,konsul karier mendapat gaji,tunjangan dan pensiun dari negara pengirim,sedangkan konsul kehormatan hanya memperoleh honorarium sehingga konsul kehormatan sering juga disebut konsul honorer.

2. Konsul karier membayar pajak pada negara pengirim,dan dalam rangka

menunaikan tugas resminya konsul yang berstatus ini tidak boleh melakukan tugas lain (usaha sampingan) kecuali sebagaimana yang ditugaskan padanya.Konsul kehormatan membayar pajak pada negara penerima dan konsul berstatus honorer boleh menjalankan profesi lain selain membantu negara pengirim perwakilan konsuler.

11 Widodo, op.cit,hal.191.


(19)

3. Konsul karier beserta sanak keluarganya yang memenuhi persyaratan

sebagaimana yang ditentukan hukum yang berlaku memperoleh

kekebalan dan keistimewaan di negara penerima, sedangkan konsul kehormatan beserta sanak keluarganya tidak memperoleh kekebalan dan keistimewaan.

4. Pertukaran dan/atau pengiriman tas konsuler (consuler bag) antara dua

kantor perwakilan konsuler-konsuler yang dipimpin oleh pejabat-pejabat berstatus konsul kehormatan,tidak diperkenankan kecuali sudah ada persetujuan antara negara penerima perwakilan konsuler. Sedangkan pada perwakilan yang dipimpin oleh konsul karier,pertukaran dengan pola semacam itu tidak dipermasalahkan.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut di atas,kantor konsuler yang dipimpin oleh Pejabat Konsul Kehomatan,pada dasarnya memiliki tugas dan fungsi yang tidak jauh berbeda dengan kantor konsuler yang dipimpin Pejabat Konsul Karir. Apabila ditelaah lebih lanjut,Konsul Kehormatan memiliki peran

yang serupa dengan proxenia pada zaman Yunani Kuno yang telah ada hampir

1000 tahun lebih dulu dari Konsul Karir. Tidak salah apabila Konsul Kehormatan dapat dianggap sebagai ‘ibu’ dari institusi konsuler.

Dalam praktik sekarang ini, banyak negara-negara kecil dan berkembang mengadakan hubungan konsuler dengan mengangkat konsul kehormatan. Namun demikian beberapa negara besar juga melaksanakan hubungan konsuler dengan membuka kantor perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Pejabat Konsul Kehormatan. Hal ini karena pada abad ke-21, lembaga Konsul Kehormatan


(20)

dianggap sedang mengalami masa kebangkitan kembali atau istilahnya renaissance sebagai dampak dari perkembangan berkelanjutan di bidang komunikasi secara besar-besaran di satu sisi dan pengurangan penanaman

anggaran di bidang pelayanan-pelayanan diplomatik di sisi lain.12 Dari segi

ekonomi, dimana pengangkatan Konsul Kehormatan dirasakan jauh lebih hemat dibanding membuka Kantor Konsulat yang dikepalai Pejabat Konsul Karir.

Jerman merupakan salah satu negara besar yang memiliki banyak perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Konsul Kehormatan di berbagai negara. Jerman memiliki 229 Perwakilan di luar negeri berupa; 153 Kedutaan, 55 Konsulat Jendral dan Konsulat, 12 Misi-misi Permanen dan 3 misi lainnya. Selain itu, sejauh ini Jerman juga memiliki 346 Konsul Kehormatan yang tidak digaji (unpaid Honorary Consul).13 Sementara untuk perwakilan Jerman di Indonesia, terdiri dari Kedutaan Besar Jerman dan beberapa Konsulat Kehormatan yang

terletak di Medan,Bali,dan Surabaya.14 Dari sini kita dapat mengetahui bahwa

lembaga Konsul Kehormatan sangat besar peranannya bagi Jerman dalam mengadakan hubungan konsulernya.

Indonesia sendiri mengakui keberadaan Konsul Kehormatan dalam

hubungan konsuler. Selain telah meratifikasi Konvensi Wina Tahun 1963 dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1982, yang berarti sesuai dengan konvensi yang

membedakan antara Pejabat Konsul Karir dengan Pejabar Konsul

12 http://pfeiffer-klestil.com/honorary-consulate/ diakses tanggal 20 Februari 2013

13 http://www.auswaertiges -amt.de/EN/AAmt/Auslandsvertretungen/Uebersicht_node.html diakses tanggal 20 Februari 2013.

14http://www.auswaertiges

-amt.de/EN/Laenderinformationen/01-Laender/DeutscheAVen/Indonesien/DeutscheVertretungen_node.html diakses tanggal 20 Februari 2013


(21)

Kehormatan,Indonesia juga mengakui pembedaan tersebut. Selanjutnya dalam instrumen hukum nasional,Indonesia juga mengakui lembaga Konsul Kehormatan dengan disebutkannya mengenai Konsul Jendral Kehormatan atau Konsul Kehormatan dalam Pasal 38 Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri15 dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang

Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.16

Indonesia juga telah mengangkat 64 Konsul Kehormatan.17

Selanjutnya,dalam upaya memahami eksistensi Konsul Kehormatan dalam

hubungan konsuler,penulis mengambil contoh pada Konsul Kehormatan Jerman di Medan. Untuk mengetahui segala sesuatu mengenai pelaksanaan hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan yang diatur oleh hukum internasional maupun hukum nasional,melalui pelaksanaan hubungan konsuler antara Jerman dengan Indonesia selama ini melalui salah satu perwakilan konsuler Republik Federal Jerman di Indonesia,tepatnya di Medan Sumatera Utara yang dikepalai oleh Konsul Kehormatan.

15 UU No.37 Tahun 1999 Pasal 38 bunyinya;

(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler untuk suatu wilayah tertentu pada suatu negara asing.

(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan asing yang bertugas di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur.

16 Ketentuan Umum Pasal 1 poin 14 Kepres No.108 Tahun 2003,bunyinya; “Konsul Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan adalah Warga Negara Penerima yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Luar Negeri yang memiliki kualifikasi tertentu untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran dan/atau fungsi promosi di wilayah Negara Penerima.” Dan Pasal 27 yang bunyinya; “Pengangkatan Konsul Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Luar Negeri.”


(22)

B.Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan?

2. Bagaimana tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan

dalam hubungan konsuler?

3. Bagaimana kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan fungsinya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas,maka tujuan dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan.

2. Untuk mengetahui tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di

Medan dalam hubungan konsuler?

3. Untuk mengetahui kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh

Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan fungsinya?


(23)

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang

pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum,khususnya yang berkaitan dengan

eksistensi Konsul Kehormatan dalam hubungan konsuler.

2. Secara praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum,Institusi

Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan

dengan penegakan hukum maupun perkembangan ilmu

hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk

menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum,khususnya yang berkaitan dengan eksistensi Konsul Kehormatan dalam hubungan konsuler.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul dari skripsi ini adalah “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN KONSULER (STUDI KASUS : KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)”. Pembahasan pada skripsi


(24)

ini dititikberatkan untuk melihat eksistensi Konsul Kehormatan dalam pelaksanaan hubungan konsuler yang ditinjau menurut Hukum Internasional.

Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh penulis,ada beberapa skripsi yang membahas mengenai hubungan konsuler,namun dengan redaksi judul yang berbeda dan pendekatan sudut pandang yang berbeda pula,sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Definisi Hukum Internasional dapat disimpulkan sebagai seperangkat sistem yang terdiri dari aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional antara negara-negara berdaulat maupun subjek-subjek hukum

internasional lainnya.18 Lebih singkat lagi, Steven Wheatley menyatakan Hukum

Internasional biasanya dianggap oleh para praktisi Hukum Internasional sebagai hukum yang diterapkan antara negara-negara. Perhatian utamanya adalah hak dan kewajiban negara-negara.Namun definisi-definisi singkat di atas belum cukup rasanya untuk memahami Hukum Internasional dengan lebih mendalam apabila tidak diikuti oleh definisi-definisi lainnya oleh para pakar Hukum Internasional yang lebih mendetail dan spesifik.

Untuk pertama, definisi Hukum Internasional oleh J.G. Starke yang dapat melampaui batasan tradisional hukum internasional menyebutkan bahwa Hukum Internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari

18 Martin Dixon, International Law Fourth Edition, Blackstone Press Limited, London, 2000, hal 2


(25)

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain,dimana hubungan

tersebut meliputi19:

1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya

lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu.

2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu

dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. Pada hakikatnya Hubungan Internasional dari segi subjeknya memiliki beberapa pembagian. Hubungan Internasional dapat berwujud dalam berbagai

bentuk yaitu 20:

1) Hubungan individual, misalnya turis, mahasiswa, sarjana, pedagang dan

sebagainya, mempunyai kepentingan yang tersebar di dunia ini. Mereka mengadakan kontak-kontak pribadi sehingga timbul kepentingan timbal balik di antara mereka.

2) Hubungan antar kelompok (inter group relations) misalnya

lembaga-lembaga sosial, keagamaan, atau perdagangan dan sebagainya, dapat

19 J.G. Starke, Pengantar Huk um Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 3.

20 Sumarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antarbangsa, Sinar Harapan, Jakarta, 1985, hal 13.


(26)

pula mengadakan hubungan baok yang bersifat insidental,periodik, maupun permanen.

3) Hubungan antar negara. Negara adalah kelompok yang terdiri dari

individu- individu dengan ciri-ciri yang sangat khusus.

Ada beberapa pembagian terhadap subjek Hukum Internasional oleh

Mochtar Kusumatmadja,yang terdiri dari 21:

1. Negara

2. Takhta Suci (Vatican)

3. Palang Merah Internasional

4. Organisasi Internasional

5. Orang perorangan (individu)

6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)

Negara sendiri menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah dipandang sebagai prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara menurut Hukum Internasional,mengemukakan 4 (empat) unsur-unsur negara terdiri dari :

1. Adanya penduduk yang tetap (a permanent population)

2. Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory)

3. Adanya pemerintah (a government)

4. Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan

negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with other states)


(27)

Hubungan konsuler bahkan telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sebelum

dikenalnya istilah negara ,dimana dalam kegiatan perdagangan antar city-states

(negara kota) diangkatlah proxenia, yaitu semacam pejabat atau warga terkemuka

yang dipercayakan oleh suatu negara asing untuk melindungi warga negaranya di wilayah negara proxenia itu sendiri. Praktek ini terus berlanjut hingga zaman Romawi. Pada bagian kedua abad ke-18,dengan pesatnya perkembangan perdagangan internasional,perkapalan dan pelayaran,perkembangan peranan lembaga konsuler semakin meningkat hingga keberadaan dan peranannya tidak berbeda dengan lembaga konsuler modern yang dikenal sekarang.

Mengenai pengaturan hubungan konsuler, sejak semula dapat dikatakan pengaturan tersebut berasal dari persetujuan-persetujuan bilateral antarnegara

yang berkepentingan. Untuk menlengkapi persetujuan-persetujuan tersebut,

banyak negara yang membuat peraturan perundang-undangan nasional yang kemudian diikuti dengan lahirnya kebiasaan umum yang berasal dari

ketentuan-ketentuan bilateral ataupun unilateral oleh negara-negara tersebut.22

Setelah berakhirnya Perang Dunia II,Komisi Hukum Internasional, mulai tahun 1955,melakukan kodifikasi tentang hubungan konsuler. Pada tahun 1963 diadakan konferensi kodifikasi di Wina yang merupakan lanjutan dari penerimaan Konvensi Hubungan Diplomatik tahun 1961 dan pada 24 April 1963 lahirlah Konvensi Hubungan Konsuler yang mulai berlaku bulan Maret 1967.Indonesia

telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1982.23

22 Gerhard von Glahn, Law Among Nations, Seventh Edition,MacMillan Publishing Inc,New York,1996, hal.446.


(28)

Pasal 1 ayat (1) Konvensi Wina 1963 memberikan batasan-batasan istilah yang digunakan dalam konvensi tersebut antara lain:

1. Kantor Konsuler, yaitu suatu Konsulat Jenderal, Konsulat, Wakil

Konsulat (Konsul Muda), atau Perwakilan Konsulat;

2. Wilayah Konsuler, adalah wilayah yang ditetapkan untuk kantor

konsulat dalam menjalankan fungsi resminya;

3. Kepala Kantor Konsuler adalah orang yang diberi tugas untuk bertindak

dalam kapasitasnya sebagai kepala kantor konsuler;

4. Pejabat Konsuler adalah setiap orang, termasuk kepala kantor konsuler

yang diberi kepercayaan dalam kapasitasnya masing-masing untuk melaksanakan fungsi-fungsi konsuler;

5. Pegawai Konsuler adalah setiap orang yang bekerja dalam pelayanan

teknik atau administratif pada suatu kantor konsuler;

6. Anggota Staf Pelayan adalah setiap orang yang bekerja dalam

pelayanan domestik (dalam negeri negara penerima) dari suatu kantor konsuler;

7. Anggota-Anggota Kantor Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler dan

anggota-anggota staf pelayan;

8. Anggota-Angota Staf Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler selain

kepala kantor konsuler, pegawai-pegawa konsuler dan anggota –

anggota staf pelayan;

9. Anggota Staf Pribadi adalah setiap orang yang bekerja secara khusus


(29)

10. Gedung Konsuler adalah bangunan-bangunan (gedung-gedung) atau bagian dari bangunan tersebut dan tanah-tanah yang mendukungnya dengan tanpa memandang status kepemilikannya yang dapat digunakan secara khusus untuk tujuan-tujuan kantor konsuler;

11. Arsip-Arsip Konsuler adalah semua naskah,dokumen, surat-menyurat,

buku, film,pita (kaset) dan berbagai daftar dari kantor konsuler, termasuk sandi-sandi dan kode-kode, kartu indeks, dan setiap barang yang dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga keselamatan benda-benda tersebut.

Pejabat Konsuler Kehormatan merupakan salah satu dari dua pembagian terhadap Pejabat Konsuler yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Konvensi Wina 1963,satunya lagi adalah Pejabat Konsuler Karir,dan pengaturan diantara keduanya dibedakan. Ketentuan mengenai Kantor Konsuler yang dikepalai

Pejabat Konsuler Karir diatur dalam Chapter II Konvensi Wina 1963, sedangkan

terhadap Kantor Konsuler yang dikepalai Pejabat Konsuler

Kehormatan,ketentuannya diatur dalam Chapter III Konvensi Wina 1963. Status

bagi anggota Kantor Konsuler yang merupakan warga negara atau penduduk tetap negara penerima diatur dalam Pasal 71 Konvensi Wina 1963.

Pengaturan mengenai hubungan konsuler dalam produk hukum nasional terdapat dalam Undang Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.


(30)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini,metode penelitian diperlukan agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai

hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet,

koran, dan sebagainya.24

Penggunaan metode yuridis normatif dimaksudkan untuk meneliti berbagai bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi ini yang dapat diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Penelitian hukum normatif seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang

dianggap pantas.25

24 Sunaryati Hartono, Penelitian Huk um di Indonesia Pada Ak hir Abad k e -20,Penerbit Alumni, Bandung,1994,hal. 139.

25 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Huk um,P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,hal. 118


(31)

2. Sumber Data

Pada umumnya dalam penelitian,dikenal tiga jenis alat pengumpulan data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan

wawancara atau interview.

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan informan yang merupakan narasumber yang terkait dengan penelitian,yaitu : Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

Selain itu, dalam penulisan skripsi ini juga digunakan data sekunder yang terdiri atas :

1. Bahan hukum primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Seperti : Konvensi-Konvensi hukum internasional, berbagai peraturan perundang-undangan seperti; Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,dll

2. Bahan hukum sekunder,yaitu bahan hukum yang menunjang,yang

memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, dan pendapat para ahli hukum.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

dari bahan hukum primer dan sekunder, berupa Kamus Hukum,dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


(32)

3. Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis,yaitu analisis data yang mempergunakan pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang

menjadi objek kajian.26

4. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif. Pada proses deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan

(pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.27

Sedangkan pada prosedur induktif, proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan

(pengetahuan baru) berupa asas umum.28

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan- permasalahan yang telah disusun

26 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Huk um, Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal. 175-177. 27 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Huk um, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.11


(33)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab,dimana tiap bab terbagi lagi atas tiap sub-sub bab,agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan. Sub bab ini merupakan gambaran umum yang

berisi tentang, Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian,dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : Pembahasan mengenai kaitan antara hubungan konsuler dengan Konsul Kehormatan. Bab ini akan memberikan

penjelasan yang dimulai dengan sejarah hubungan

konsuler,pembukaan hubungan konsuler, adanya klasifikasi Pejabat Konsuler menurut Konvensi Wina 1963,kemudian

mengenai pengangkatan Konsul Kehormatan dan

pelaksanaan hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

BAB III : Pembahasan mengenai peranan Perwakilan Konsuler. Dalam bab ini menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masa mulai dan berakhirnya tugas dan fungsi Perwakilan Konsuler,tugas dan fungsi Perwakilan Konsuler serta kelonggaran dalam pelaksanaannya. Kemudian tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan.


(34)

BAB IV : Pembahasan mengenai aspek keistimewaan dan kekebalan. Bab ini memberikan penjelasan tentang keistimewaan dan kekebalan bagi Perwakilan Konsuler dan anggotanya. Kemudian masa mulai dan berakhirnya keistimewaan dan

kekebalan tersebut. Selanjutnya adalah perbedaan

keistimewaan dan kekebalan antara Pejabat Konsuler Karir dengan Pejabat Konsul Kehormatan serta fasilitas yang diperoleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan rangkaian dari bab-bab

sebelumnya yang memuat kesimpulan berdasarkan uraian skripsi ini dilengkapi dengan saran-saran.


(35)

BAB II

KAITAN ANTARA HUBUNGAN KONSULER DENGAN KONSUL KEHORMATAN

A. Sejarah Hubungan Konsuler

1. Sebelum Konvensi Wina 1963

Manusia sebagai makhluk yang selalu hidup bermasyarakat sudah tentu

tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya, atau istilahnya zoon politikon menurut

Aristoteles.29 Begitu juga dengan negara yang merupakan suatu organisasi besar

terdiri dari sekumpulan masyarakat yang memiliki berbagai kepentingan, sudah tentu tidak bisa eksis tanpa berhubungan dengan negara lainnya. Setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing yang terkadang, kepentingan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh negara itu sendiri. Oleh karena itu, negara tersebut harus berhubungan ataupun bekerjasama dengan negara lain untuk dapat memenuhi kepentingannya itu.

Salah satu kegiatan dalam rangka memenuhi kepentingan suatu negara adalah perdagangan,dimana kegiatan perdagangan ini biasanya dilakukan dengan negara lain. Pada abad ke-21 ini,perdagangan antarnegara merupakan hal yang signifikan. Apalagi didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta transportasi yang telah meminimalisir hambatan-hambatan bagi kegiatan perdagangan antarnegara.


(36)

Apabila dilihat dari sejarahnya, sebelum dikenal istilah negara seperti yang kita kenal sekarang ini, di zaman Yunani Kuno telah terdapat kegiatan-kegiatan

perdagangan yang dilakukan antar city-states. City-state atau negara kota

melakukan perdagangan antara mereka satu sama lainnya atau dengan kota-kota

lain di Timur Tengah. Akibat perkembangan kegiatan perdagangan antar

city-states ini kemudian lahirlah suatu lembaga konsuler. Tentu saja lembaga konsuler yang lahir pada saat itu tidak sama dengan lembaga konsuler yang kita kenal sekarang ini kendati keduanya dapat dibandingkan.

Istilah proxenia pada zaman Yunani Kuno muncul dalam kegiatan

perdagangan antar city-states sebagai seorang pejabat negara atau warga negara

terkemuka yang dipercayakan oleh suatu negara asing untuk bertugas dan bertanggung jawab atas warga negara asing tersebut yang berkedudukan di negara sang pejabat atau warga negara terkemuka tersebut. Proxenia juga menggunakan semua koneksi dan pengaruhnya untuk mendukung persahabatan ataupun aliansi dengan city-state yang ia wakili. Contohnya adalah Cimon,

seorang proxenia yang mewakili Sparta di Athena, ia telah melaksanakan

tugasnya bahkan sebelum pecahnya perang Peloponnesia Pertama 30 (460 SM-

sekitar 445 SM) hampir 2500 tahun yang lalu 31

30 Perang Peloponnesia Pertama (First Peloponnesian War) merupakan perang antara Sparta dan Athena yang salah satu penyebanya adalah kecemburuan Sparta terhadap perkembangan Kekaisaran Athena.


(37)

Kemudian pada masa Romawi istilah bagi pejabat yang bertugas sebagai proxenia ini disebut preator peregrinus.32

Kekaisaran Romawi kemudian jatuh tetapi kemudian segera disusul dengan berdirinya Kekaisaran Romawi Timur atau yang dikenal sebagai Byzantium dengan pusat pemerintahan di Konstantinopel dan Istanbul. Asas hukum personal ditemukan pada masa kejayaan Kekaisaran Romawi Timur ini. Pada masa itu di Byzantium banyak warga negara asing yang berkedudukan di sana, namun mereka tetap diperbolehkan memakai hukum nasionalnya masing-masing. Selain itu, para golongan warga asing di wilayah itu boleh mengangkat wakil khusus yang berasal dari golongan mereka sendiri sesuai dengan asal negaranya. Kemudian muncul suatu lembaga pengadilan khusus yang mengadili perselisihan yang terjadi antara para pedagang asing dengan warga negara Byzantium. Pejabat-pejabat yang diangkat sebagai hakim-hakim khusus bagi pedagang dan warga negara asing di

luar negeri inilah yang kemudian disebut konsul.33

Selanjutnya hingga pada abad ke-12 dimana terjadi perpecahan di Semenanjung Italia yang memunculkan lagi pemerintahan negara-negara kota (city-states) yang telah berkembang, dimana dalam kegiatan perdagangannya telah melahirkan suatu konsul perniagaan yang memimpin persekutuan perniagaan dan mewakili kepentingannya di luar negeri,terutama di kota-kota pusat perdagangan seperti Milan dan Pisa. Perlu diketahui,aturan-aturan mengenai tugas-tugas konsul

32 S.L.Roy,Diplomasi,Rajawa li,Ja karta,1995,hal.221,lihat juga Widodo,op.cit.,hal.185 33 Masyur Effendi, Huk um Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas Ak tif Asas

Huk um Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa, Usaha Nasional ,Surabaya, 1995.


(38)

pada awalnya berkembang sekitar abad ke- 12, sebagian besar dalam bentuk kompilasi-kompilasi hukum laut.

Dinas konsuler yang terorganisasi secara sistematis dianggap penting untuk didirikan oleh negara-negara Eropa pada abad ke-13 dengan harapan agar dinas tersebut dapat melindungi warga negara asal pejabat konsuler yang berada di luar negeri. Konsul bukan lagi diangkat oleh para pendatang asing di antara mereka sendiri,melainkan diutus oleh negara masing- masing.

Raja Richard III pada tahun 1485, mengangkat seorang konsul di Florence yang merupakan Konsulat Kerajaan pertama. Oleh karena itu, semua warga Inggris yang berada di Florence tunduk pada hukum Inggris dan memiliki

peradilan yang dijalankan oleh konsulat tersebut.34 Sementara itu di dalam

berbagai catatan sejarah, selain di Eropa Barat dan Asia Barat, lembaga-lembaga kekonsuleran juga didirikan di wilayah Asia Timur. Dalam penelitian Resink, di Indonesia juga telah ada Lembaga Syahbandar yang keberadaannya dapat

disejajarkan dengan lembaga kekonsuleran di Eropa.35

Peranan lembaga konsuler sedikit mengalami kemunduran pada sekitar abad

ke-17. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya antara lain karena

berkembangnya sistem perwakilan diplomatik dan fungsi konsul di bidang hukum yang meliputi bidang sipil dan pidana sudah tidak sesuai lagi dengan kedaulatan teritorial negara penerima. Perubahan signifikan terhadap kekuasaan konsul ini

34 M.Sanwani Nasution,Pengantar k e Huk um Internasional dalam Hubungan Diplomatik, Fakultas Hukum USU, Medan,1989, hal.12


(39)

mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya sekumpulan peraturan menyangkut

konsuler yaitu Ordonnance de la Marine,Colbert pada tahun 1681.36

Peranan lembaga konsul kembali berkembang pada abad ke-18. Perkembangan lembaga konsul ini sejalan dengan perdagangan internasional yang juga berkembang dengan pesatnya. Berbagai perubahan berkaitan dengan hal-hal yang diperlukan dalam fungsi konsuler telah membuat eksistensi lembaga konsuler kembali menonjol. Lembaga Konsuler resmi pertama dibuka di Perancis pada akhir abad ke-18, yang kemudian disusul oleh negara-negara lainnya.

Perkembangan perwakilan konsuler, untuk selanjutnya terus mengalami

perkembangan yang pesat bersamaan dengan perwakilan diplomatik untuk mengurus berbagai kegiatan perdagangan, transportasi dan warga negara mereka.37

Selanjutnya karena semakin signifikannya peran lembaga konsuler pada abad ke-19 dan ke-20 terutama dalam berbagai kegiatan perdagangan dan urusan masalah warga negara asing di berbagai negara, maka diperlukan suatu pengaturan yang terkodifikasi menyangkut pelaksanaan hubungan konsuler oleh lembaga konsul terutama kekebalan,hak istimewa dan status para konsul. Hal ini kemudian menjadi titik awal lahirnya suatu pengaturan tentang hubungan konsuler yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam melakukan hubungan konsuler mereka satu sama lain.

36 http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/vccr/vccr.html diakses tanggal 10 April 2013 37 Boer Mauna,op.cit,hal.573


(40)

Beberapa usaha persiapan dalam pengkodifikasian aturan-aturan internasional tentang konsuler, antara lain mengadopsi perjanjian-perjanjian yang bersifat regional, misalnya dalam Konferensi Negara-negara Amerika di

Havana,Kuba pada tahun 1928 yang menghasilkan Convention on Consular

Agents (Konvensi mengenai Pejabat Konsuler). Setelah itu, meskipun dirasakan perlu adanya pengaturan konsuler melalui instrumen internasional, belum ada usaha yang cukup menyangkut hal tersebut dan dibiarkan tertunda hingga hampir 20 tahun kemudian.

2. Lahirnya Konvensi Wina 1963

Pada 1949 Komisi Hukum Internasional memutuskan untuk menyertakan masalah hubungan konsuler dan kekebalan sebagai bagian dari rencana kodifikasi yang akan datang.

Pembahasan masalah tersebut dalam Komisi Hukum Internasional dimulai

sejak tahun 1955,tepatnya pada pertemuan ketujuh yang diadakan di

Jenewa,Swiss pada tanggal 2 Mei-8 Juli 1955. Dimana pada saat itu Komisi

Hukum Internasional mengangkat seorang Rapporteur khusus bernama Mr.

Jaroslav Zourek untuk meninjau masalah tersebut dan membuat rancangan

peraturan yang berdasarkan jus cogens,hukum internasional maupun hukum

nasional.

Selanjutnya rancangan peraturan tersebut dibagi ke dalam empat bagian berupa; hubungan konsuler dan kekebalan, hak-hak istimewa konsuler, status hukum konsul-konsul kehormatan beserta hak-hak istimewa dan kekebalannya,


(41)

dan ketentuan umum. Rancangan peraturan tersebut juga dilengkapi dengan komentar-komentar dan kemudian diserahkan ke negara-negara anggota untuk dilakukan observasi dalam beberapa tahap negosiasi.

Pada pertemuan ke-12 yang diadakan pada 25 April-1 July 1960, Komisi menetapkan bahwa pasal-pasal yang menyangkut konsul karir juga berlaku bagi

konsul kehormatan.38 Rencana terakhir konvensi mengenai Hubungan Konsuler

telah dimajukan kepada Majelis Umum PBB dalam tahun 1961. Melalui Resolusi 1685 (XVI),Majelis Umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi pada Maret 1963.

Konferensi PBB mengenai Hubungan Konsuler diselenggarakan di Wina, Austria mulai tanggal 4 Maret hingga 22 April 1963 yang dihadiri oleh wakil dari 95 negara. Setelah melalui pertimbangan matang, pada 18 April 1963 konferensi telah menyetujui rancangan terakhir Konvensi mengenai Hubungan Konsuler termasuk kedua Protokol Pilihan sebagaimana juga terjadi pada Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik. Perumusan Konvensi yang telah dilakukan secara teliti dan rinci ini bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan Konvensi Wina 1961. Akta finalnya ditandatangani pada 24 Aril 1963 dan dinyatakan berlaku efektif pada tanggal 19 Maret 1967. Selanjutnya ada 117 negara yang telah meratifikasi dan aksesi, 40 di antaranya telah menjadi pihak dalam Protokol

Pilihan tentang Kewajiban untuk Menyelesaikan Sengketa.39

38 http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/vccr/vccr.html

39 Sumaryo Suryokusumo, Huk um Diplomatik Teori dan Kasus, P.T. Alumni, Bandung, 2005, hal.17


(42)

Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1982 pada tanggal 25 Januari 1982.

Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler memiliki 79 pasal dan digolongkan ke dalam lima bab. Bab Pertama mulai dari pasal 2 hingga pasal 27 merupakan cara-cara mengadakan hubungan konsuler beserta tugas-tugas konsul. Mengenai kekebalan dan keistimewaan konsuler diatur di dalam Bab Kedua (Pasal 28-57). Lembaga Konsul Kehormatan mendapatkan pengaturannya sendiri dalam Bab Ketiga (Pasal 58-67) termasuk mengenai kantor, kekebalan dan keistimewaannya. Bab Keempat (Pasal 69-73) berisi ketentuan-ketentuan umum misalnya mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya dan sebagainya. Bab kelima adalah mengenai ketentuan-ketentuan final seperti penandatangan, ratifikasi dan aksesi, mulai berlakunya, dan lain-lain.

B. Pembukaan Hubungan Konsuler

Mengenai pembukaan hubungan konsuler yang hendak dilakukan

antarnegara,Konvensi Wina 1963 mengaturnya dalam Pasal 2 yaitu sebagai berikut:

1) The establishment of consular relations between States takes place by mutual consent.

2) The consent given to the establishment of diplomatic relations between two States implies, unless otherwise stated, consent to the establishment of consular relations.

3) The severance of diplomatic relations shall not ipso facto involve the severance of consular relations.


(43)

Dengan demikian dapat diketahui hal yang paling utama dalam pembukaan

hubungan konsuler yaitu adanya mutual consent atau kesepakatan bersama antara

negara-negara yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (1)). Tidak berbeda dengan pembukaan hubungan diplomatik yang juga mengharuskan adanya kesepakatan bersama antarnegara. Kesepakatan bersama antarnegara ini dapat juga berarti pelaksanaan hubungan konsuler antara negara-negara yang bersangkutan berlaku

secara timbal balik. Biasanya kesepakatan bersama ini tertuang dalam bentuk joint

communike (komunike bersama).

Dalam Pasal 2 ayat (2) di atas menyatakan bahwa persetujuan yang diberikan terhadap pembukaan hubungan diplomatik antara kedua negara yang bersangkutan berlaku juga terhadap pembukaan hubungan konsuler,kecuali dinyatakan lain. Hal ini berarti, apabila kedua negara telah membuka hubungan diplomatik sebelumnya maka sudah termasuk juga pembukaan hubungan konsuler. Kecuali ada pernyataan oleh negara-negara yang bersangkutan bahwa kesepakatan bersama dalam pembukaan hubungan diplomatik tidak termasuk untuk pembukaan hubungan konsuler.

Pemutusan hubungan diplomatik tidak berakibat ipso facto40 terhadap

pemutusan hubungan konsuler (Pasal 2 ayat(3)). Maksudnya yaitu apabila terjadi

pemutusan hubungan diplomatik antarnegara yang bersangkutan, tidak

menyebabkan putusnya hubungan konsuler antar kedua negara tersebut.

40 Ipso facto dapat diartikan sebagai “berpengaruh langsung” atau “meghasilkan efek langsung” terhadap suatu tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Ipso_facto diakses pada 25 Juli 2013.


(44)

Gerharld von Glahn menambahkan satu persyaratan utama selain kesepakatan bersama dalam menjalin hubungan konsuler antarnegara, yaitu diperlukan juga adanya persetujuan antara negara penerima dengan negara pengirim untuk melaksanakan hubungan konsuler berdasarkan prinsip-prinsip

hukum internasional yang berlaku.41

Setelah hubungan konsuler terjalin antar kedua negara, maka hal yang harus diperhatikan selanjutnya yaitu mengenai pembukaan kantor konsuler di wilayah negara penerima. Perlu diketahui bahwa perwakilan konsuler dapat didirikan di

wilayah yang tidak berdaulat atau di wilayah yang belum diakui.42 Misalnya

negara-negara yang belum mempunyai pemerintahan sendiri atau yang berada di bawah kedaulatan asing.

Apabila dalam pembukaan hubungan konsuler antarnegara diperlukan

adanya kesepakatan bersama (mutual consent) antara negara-negara yang

bersangkutan, maka begitu juga dengan pembukaan kantor konsuler di wilayah negara penerima yang memerlukan adanya persetujuan dari negara tersebut (State’s consent). Dari sini kita dapat melihat bahwa kesepakatan bersama dalam pembukaan hubungan konsuler berbeda dan tidak termasuk dengan persetujuan negara penerima dalam hal pembukaan kantor konsuler.Pasal 4 ayat 1 Konvensi

Wina 1963 menyatakan sebagai berikut; “A consular post may be established in

the territory of the receiving State only with that State’s consent.”

41 Gerhard von Glahn,op.cit.hal.235

42Mohd. Burhan Tsani, Huk um dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990, hal.92.


(45)

Hal ini berarti dalam pembukaan kantor konsuler, suatu negara (negara pengirim) yang hendak membuka perwakilan konsulernya di negara lain (negara penerima) memerlukan adanya persetujuan tersendiri dari negara yang menjadi negara penerima.

Mengenai masalah kedudukan kantor konsuler, tingkatan dan wilayah kerjanya harus dilaksanakan oleh negara pengirim dan harus tunduk pada ketentuan dan persetujuan negara penerima. Pasal 4 ayat (2) dengan tegas

menyatakan sebagai berikut; “The seat of the consular post, its classification and

the consular district shall be established by the sending State and shall be subject to the approval of the receiving State.”

Sampai saat ini belum ada pedoman baku menyangkut persoalan-persoalan aturan teknis misalnya seperti pengangkatan kepala kantor konsuler dan siapa yang berhak mengangkatnya. Hal-hal tersebut banyak ditentukan oleh hukum nasional masing-masing negara.

Di Indonesia sendiri dalam hal membuka hubungan konsuler dengan negara lain, ditetapkan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan pembukaan kantor konsuler di negara lain ditetapkan dengan keputusan presiden. Keduanya terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang bunyinya;

1) Pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan

negara lain serta masuk ke dalam atau keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.


(46)

2) Pembukaan dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di

negara lain atau kantor perwakilan pada organisasi internasional

ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pembukaan kantor konsuler di Indonesia memiliki mekanisme sebagai berikut :

1. Persetujuan negara penerima (RI) dapat berupa nota atau nota diplomatik,

apabila nota pemberitahuan tentang pembukaan perwakilan konsuler ditandatangani oleh kepala negara atau menteri luar negeri negara pengirim (asing) maka nota persetujuan yang disampaikan sebaga jawabannya ditandatangani oleh Kepala Negara RI atau didelegasikan pada Menteri Luar Negeri RI. Apabila antara negara pengirim dengan negara RI (penerima) telah menjalin hubungan diplomatik, tetapi secara tegas disebutkan bahwa pembukaan perwakilan diplomatik tidak termasuk pembukaan kantor konsuler, maka persetujuan antara negara penerima dengan pengirim tentang pembukaan perwakilan konsuler tersebut dapat pula hanya ditandatangani oleh kepala perwakilan diplomatik negara pengirim yang ada di Jakarta. Jika demikian jawaban atas permohonan akan disampaikan oleh Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler atas nama Menteri Luar Negeri RI.

2. Nota diplomatik dari negara pengirim perwakilan konsuler tersebut harus

berisi tentang ; keinginan negara tersebut untuk membuka perwakilan konsuler di wilayah RI disertai dengan dasar alasannya, rencana tempat kedudukan kantor konsuler, bentuk/tingkat perwakilan yang akan dibuka.


(47)

3. Prosedur penyampaian permohonan dan jawaban nota diplomatik atau nota di Indonesia dalam rangka pembukaan perwakilan konsuler adalah:

(a)Nota diplomatik diajukan ke Deplu RI u.p. (c.q) Direktorat Fasilitas

Diplomatik (Ditfasdip), dari bagian ini dilanjutkan ke bagian-bagian lain dalam Deplu misalnya Dirjen Politik dan Dirjen Sosial Budaya dan Penerangan, selanjutnya nota tersebut dibahas pihak-pihak yang terkait. (b)Nota dari Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan Penerangan diteruskan

pada instansi terkait misalnya Mabes TNI, dan BIN untuk dibahas olehnya dari segi politik da keamanan yang berkaitan erat dengan rencana pembukaan kantor konsuler tersebut.

(c)Apabila permohonan tersebut dianggap sangat penting dan

mendesak,maka secara khusus Deplu RI akan mengadakan rapat koordinasi untuk segera membahasnya.

(d)Instansi-instansi yang terkait dan diserahi nota tersebut setelah melakukan pembahasan akan segera membuat jawaban yang berisi pendapat dan saran serta kesimpulantentang diterima atau ditolaknya permohonan tersebut ditelaah dari sisi polotik dan keamanan RI. Berdasar jawaban inilah Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan Penerangan serta Dirjen Politik Departemen Luar Negeri RI membuat nota diplomatik yang merupakan jawaban atas permohonan tersebut kepada Direktorat Fasilitas Diplomatik. Berpola pada beberapa langkah


(48)

yang harus dilewati tersebut baru nota diplomatik yang berisi tentang

diterima atau ditolaknya permohonan dapat diterbitkan.43

C. Klasifikasi Pejabat Konsuler Menurut Konvensi Wina 1963

Pejabat Konsuler dibagi ke dalam dua kategori sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi Wina 1963,yaitu sebagai berikut:

“Consular officers are of two categories, namely career consular officers and

honorary consular officers. The provisions of Chapter II of the present Convention apply to consular posts headed by career consular officers, the provisions of Chapter III govern consular posts headed by honorary consular officers.”

Dengan menelaah kutipan pasal di atas, dapat dipahami Konvensi Wina 1963 membagi pejabat konsuler ke dalam dua kategori yaitu Pejabat Konsuler Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Selain itu ketentuan peraturan yang berlaku mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa bagi keduanya ditempatkan

dalam chapter yang berbeda dalam konvensi ini, dimana ketentuan mengenai

kantor konsuler yang dikepalai Pejabat Konsuler Karir terdapat dalam Chapter II

konvensi, sedangkan mengenai kantor konsuler yang dikepalai Pejabat Konsul

Kehormatan ketentuannya terdapat di Chapter III konvensi. Meskipun begitu ada

beberapa ketentuan yang berlaku bagi Pejabat Konsul Karir,berlaku juga bagi Pejabat Konsul Kehormatan.

Konvensi Wina 1963 tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas mengenai Pejabat Konsul Karir maupun Pejabat Konsul Kehormatan,serta perbedaan di antara keduanya. Perlu diketahui bahwa Pejabat Konsul Karir dan

43 Masyur Effendi,Huk um Konsuler Huk um Diplomatik serta Hak dan Kewajiban Wak il


(49)

Pejabat Konsul Kehormatan keduanya memiliki status hukum yang berbeda menyangkut masalah kekebalan dan hak-hak istimewa.

Penggunaan istilah Konsul Kehormatan (honorary consul) tidak memiliki

pengertian yang sama menurut hukum di setiap negara. Dalam beberapa kasus, terdapat standar yang menentukan bahwa pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tugas konsulernya tidak menerima bayaran. Namun ada juga hukum lainnya, yang secara jelas mengakui bahwa Konsul Karir juga memiliki kemungkinan dibayar ataupun tidak dibayar,dan yang menjadi dasar perbedaan antara Konsul Karir dengan Konsul Kehormatan adalah fakta bahwa Konsul Karir merupakan pejabat yang dikirim ke luar negeri sementara Konsul kehormatan adalah pejabat yang diangkat dari penduduk lokal negara di mana pos konsuler itu ditempatkan (negara asing).

Menurut beberapa batasan yang terdapat dalam peraturan-peraturan lainnya mengenai konsuler, istilah Konsul Kehormatan merupakan seorang wakil yang bukan merupakan warga negara dari negara pengirim.Wakil ini disamping melaksanakan tugas-tugas resminya, juga berwenang untuk melakukan pekerjaan lain yang menguntungkan bagi dirinya,tidak masalah apakah ia benar-benar melakukan pekerjaan lain itu atau tidak.

Dalam hal pemberian kekebalan konsuler, beberapa negara menganggap

konsul kehormatan sebagai perwakilan yang memiliki kewarganegaraan

apapun,dan disamping melaksanakan fungsi kekonsulerannya juga memiliki pekerjaan atau profesi yang menguntungkan dirinya. Selanjutnya,banyak negara


(50)

menganggap konsul-konsul yang bukan merupakan konsul karir sebagai konsul

kehormatan.44

Dapat disimpulkan,beberapa perbedaan yang prinsip antara Pejabat Konsul Karir dengan Pejabat Konsul Kehormatan,antara lain:

1. Pejabat Konsul Karir menerima gaji dan pensiun, sedangkan Pejabat

Konsul Kehormatan tidak menerima gaji namun dalam beberapa praktik, menerima hak-hak honorarium yang merupakan imbalan jasa dari

tugas-tugas yang telah dilaksanakannya (hak conselary).

2. Pejabat Konsul Karir diangkat dari warga negara sendiri, sedangkan

Pejabat Konsul Kehormatan tidak perlu dari warga negaranya sendiri, dapat saja seorang pengusaha sukses dari negara di mana pos konsuler itu ditempatkan.

3. Pejabat Konsul Karir merupakan pegawai tetap dari departemen luar

negeri negara pengirim,sedangkan Pejabat Konsul Kehormatan bisa saja diangkat dari warga negara penerima.

4. Pejabat Konsul Karir membayar pajak di negara pengirimnya dan tidak

diperkenankan mengerjaka tugas lain,sedangkan Pejabat Konsul

Kehormatan membayar pajak di negaranya sendiri dan boleh merangkap jabatan lain.

5. Kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada Pejabat Konsul

Karir beserta anggota-anggota keluarganya,tidak diberikan kepada anggota-anggota keluarga dari Pejabat Konsul Kehormatan.

44 Draft Articles on Consular Relations, with commentaries 1961, Copyright United


(51)

6. Pertukaran dan atau pengiriman kantong-kantong konsuler (consuler

bags) antara dua pos konsuler yang dipimpin oleh pejabat-pejabat Konsul

Kehormatan di negara yang berbeda45,tidak diperkenankan dibuka tanpa

persetujuan dari kedua negara penerima yang bersangkutan.46

D. Pengangkatan Konsul Kehormatan

Suatu negara dapat mengangkat seorang warga negara asing untuk mengepalai suatu kantor konsulatnya. Warga negara asing yang diangkat biasanya adalah seorang usahawan setempat, di mana kantor konsulat dibuka, yang memiliki hubungan baik dan pengalaman yang erat dengan negara yang mengangkatnya. Warga negara asing setempat yang mengepalai kantor konsulat

suatu negara itulah yang disebut Konsul Kehormatan (honorary consul).

Dalam Konvensi Wina 1963 tidak terdapat perbedaan dalam pengaturan mengenai pengangkatan kepala-kepala kantor konsuler,baik bagi yang dikepalai oleh Konsul Karir maupun yang dikepalai oleh Konsul Kehormatan. Pasal 10 konvensi menyatakan sebagai berikut :

1) Heads of consular posts are appointed by the sending State and are admitted to the exercise of their functions by the receiving State.

2) Subject to the provisions of the present Convention, the formalities for the appointment and for the admission of the head of a consular post are determined by the laws, regulations and usages of the sending State and of the receiving State respectively.

45 Pasal 58 ayat (4) Konvensi Wina 1963

46 Syahmin,A.K,Hukum Diplomatik Dalam Kerangk a Studi Analisis,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008,hal. 178-179


(52)

Kepala-kepala kantor konsuler diangkat oleh negara pengirim dan diakui oleh negara penerima untuk melaksanakan fungsi-fungsi konsulernya (Pasal 10 ayat (1)). Dengan tetap tunduk kepada ketentuan-ketentuan konvensi ini, formalitas dalam pengangkatan dan pengakuan kepala kantor konsuler ditentukan oleh hukum, peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan masing-masing di negara pengirim dan negara penerima ( Pasal 10 ayat (2)).

Hal-hal formalitas dalam pengangkatan dan pengakuan kepala kantor konsuler ini berkaitan dengan antara lain; siapa pejabat di negara pengirim yang berwenang mengangkat kepala kantor konsuler dan siapa pejabat di negara penerima yang berwenang memberikan pengakuan kepada kepala kantor konsuler untuk melaksanakan fungsinya. Selain itu prosedur pengangkatan dan pengakuan kepala kantor konsuler juga termasuk dalam formalitas yang ditentukan oleh negara pengirim dan penerima. Meskipun begitu, ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan dan pengakuan kepala kantor konsuler ini harus diterapkan secara seragam tanpa diskriminasi antara negara satu dengan yang lain. Misalnya pada negara A pejabat yang berwenang memberi eksekuatur kepala perwakilan konsuler setingkat konsulat Jenderal dari negara B adalah presiden dengan prosedur baku sebagaimana ditentukan negara A, maka ketentuan tersebut harus diterapkan konsisten pada pemberian eksekuatur kepala perwakilan konsuler yang tingkatannya sama dengan negara B yang berasal dari negara C,negara D,atau

negara E.47

47 Widodo,op.cit,hal.199.


(53)

Kepala kantor konsuler yang diangkat oleh negara pengirim harus disertai

dengan suatu dokumen dalam bentuk komisi (comission). Sebutan lainnya untuk

dokumen ini, selain komisi konsuler, dalam bahasa Perancis disebut sebagai lettre

de provision, lettre patente,commission consulaire, atau Surat Tauliah48. Mengenai dokumen yang menyertai pengangkatan kepala kantor konsuler ini terdapat dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1963 sebagai berikut.

1) The head of a consular post shall be provided by the sending State with a document, in the form of a commission or similar instrument, made out for each appointment, certifying his capacity and showing, as a general rule, his full name, his category and class, the consular district and the seat of the consular post.

2) The sending State shall transmit the commission or similar instrument through the diplomatic or other appropriate channel to the Government of the State in whose territory the head of a consular post is to exercise his functions.

3) If the receiving State agrees, the sending State may, instead of a commission or similar instrument, send to the receiving State a notification containing the particulars required by paragraph 1 of this article.

Pada Pasal 11 ayat (1) di atas dapat diketahui selain dalam bentuk surat komisi konsuler,dokumen yang menyertai pengangkatan kepala kantor konsuler juga dapat berupa instrumen lain yang dapat dipersamakan dengan surat komisi tersebut. Surat tersebut dibuat oleh negara pengirim pada setiap kali terjadi pengangkatan kepala kantor konsuler. Surat komisi konsuler berisi tentang nama lengkap kepala kantor konsuler,wilayah kerja dari kantor konsuler yang dikepalainya,klasifikasi konsulernya serta tempat kedudukan dari kantor konsuler yang dikepalainya.

48 Istilah Surat Tauliah terdapat dalam Undang -Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri


(54)

Pengiriman dokumen pengangkatan kepala kantor konsuler oleh negara pengirim ke negara penerima,dilakukan melalui saluran diplomatik (apabila antara negara pengirim dan penerima perwakilan konsuler telah menjalin hubungan diplomatik. Apabila hal tersebut tidak memungkinkan atau antara kedua negara belum menjalin hubungan diplomatik, maka pengiriman dokumen-dokumen tersebut dapat dilakukan melalui saluran lain yang pantas dan disepakati oleh kedua negara (Pasal 11 ayat (2)) .

Selain surat komisi atau instrumen lain yang dapat dipersamakan, apabila negara penerima setuju, negara pengirim boleh mengirimkan suatu pemberitahuan atau notifikasi kepada negara penerima berisi hal-hal tertentu yang diperlukan seperti yang disebutkan ayat (1) pasal ini,yaitu nama lengkap,klasifikasi konsuler,serta wilayah dan kedudukan konsuler (Pasal 11 ayat (3)).

Apabila dalam pengangkatan kepala kantor konsuler harus dilengkapi dengan suatu dokumen ataupun pemberitahuan oleh negara pengirim, maka dalam hal pemberian pengakuan kepada kepala kantor konsuler tersebut oleh negara

penerima dikeluarkanlah suatu eksekuatur (exequatur). Eksekuatur ini merupakan

persetujuan atau kesepakatan yang diberikan oleh negara penerima perwakilan konsuler atas seorang calon kepala perwakilan konsuler dari negara pengirim, untuk menerima pengangkatannya sehingga kepala kantor konsuler tersebut dapat mulai melaksanakan tugas-tugasnya setelah ia memperoleh eksekuatur tersebut. Berikut terdapat dalam Pasal 12 Konvensi Wina 1963.

1) The head of a consular post is admitted to the exercise of his functions by an authorization from the receiving State termed an exequatur, whatever the form of this authorization.


(55)

2) A State which refused to grant an exequatur is not obliged to give to the sending State reasons for such refusal.

3) Subject to the provisions of articles 13 and 15, the head of a consular post shall not enter upon his duties until he has received an exequatur.

Suatu negara yang menolak untuk mengeluarkan eksekuatur tidak memiliki kewajiban untuk memberitahukan alasan penolakan pemberian eksekuatur tersebut kepada negara pengirim (Pasal 12 ayat (2)).Apabila seorang kepala kantor konsuler belum menerima eksekuatur,ia tidak diperkenankan untuk melaksanakan tugas-tugas kekonsulerannya,hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (3). Namun di dalam Konvensi Wina 1963 juga dikenal istilah pengakuan sementara atau ‘provisional admission’ ataupun eksekuatur sementara. Apabila terjadi penundaan dalam pengeluaran eksekuatur, kepala kantor konsuler

diberikan pengakuan sementara agar tetap dapat melaksanakan fungsi

konsulernya. Meskipun sifatnya sementara, namun apabila pengakuan atau eksekuatur tersebut telah diberikan oleh negara penerima, seluruh ketentuan Konvensi Wina 1963 atau ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan hubungan konsuler sudah dianggap berlaku sebagaimana mestinya. Pengakuan sementara ini

diatur dalam Pasal 13 konvensi;“Pending delivery of the exequatur, the head of a

consular post may be admitted on a provisional basis to the exercise of his functions. In that case, the provisions of the present Convention shall apply.”

Selanjutnya Pasal 14 Konvensi Wina 1963 menyatakan sebagai berikut; “As soon as the head of a consular post is admitted even provisionally to the exercise of his functions, the receiving State shall immediately notify the competent authorities of the consular district. It shall also ensure that the necessary measures are taken to enable the head of a consular post to carry out


(56)

the duties of his office and to have the benefit of the provisions of the present Convention.”

Bahwa segera setelah kepala kantor konsuler memperoleh pengakuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya bahkan pengakuan yang bersifat sementara sekalipun, negara penerima harus secepatnya memberitahukan tentang hal tersebut kepada pihak berkuasa yang berwenang (maksudnya pemerintah daerah) di daerah konsuler terkait. Harus dipastikan bahwa tindakan-tindakan yang penting harus dilakukan agar memudahkan kepala kantor konsuler menjalankan tugas-tugas kekonsulerannya.

E. Ruang Lingkup Hubungan Konsuler oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan

1. Pembukaan Konsulat Kehormatan Jerman di Medan

Indonesia dan Republik Federal Jerman (Jerman Barat) telah resmi menjalin hubungan diplomatik sejak tahun 1952 dengan diresmikannya Kantor Perwakilan Tetap di Bonn (ibukota Jerman Barat saat itu) dan sebuah Konsulat juga diresmikan pada tahun yang sama. Dilanjutkan dengan peresmian K edutaan Besar Republik Indonesia di Bonn pada tahun 1954. Tahun 1973 Indonesia juga mendirikan sebuah Kantor Perwakilan Tetap untuk Republik Demokrat Jerman (Jerman Timur) di Berlin bagian timur, yang kemudian ditingkatkan menjadi

sebuah Kedutaan pada tahun 1976.49

49 http://kemlu.go.id/berlin/Pages/AboutUs.aspx?IDP=5&l=id diakses pada tanggal 18 April 2013.


(1)

Situs Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia dapat ditemukan di http://www.jakarta.diplo.de/

Situs yang menyediakan peraturan perundang-undangan Jerman dapat ditemukan di http://www.gesetze- im internet.de/

Sumber mengenai Pratique dapat ditemukan di http://en.wikipedia.org/wiki/Pratique

D.Lain-lain

Wawancara dari narasumber Liliek Darmadi selaku Konsul Kehormatan Jerman ,

di Kantor Konsulat Kehormatan Jerman Jl.Abdullah Lubis No.47 A, Medan, 19 April 2013.

Draft Articles on Consular Relations, with commentaries 1961, Copyright United Nations ,2005.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)